Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?
Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.
Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:
- Berkurangnya kapasitas ekonomi dan fiskal,
- Penurunan layanan publik (transportasi, kesehatan, pendidikan),
- Berkurangnya tenaga sukarela untuk penanggulangan bencana,
- Potensi “lingkaran setan kemunduran” komunitas rural.
Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.
Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data
Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.
Metode yang digunakan:
- Survei rumah tangga (respons 7,8%) untuk mengukur kerentanan sosial, kapasitas coping, dan adaptasi.
- Analisis spasial dengan ArcGIS untuk memetakan perubahan eksposur bangunan terhadap banjir (1998–2019) dan proyeksi masa depan.
- Wawancara semi-terstruktur dengan pejabat, walikota, perencana, dan relawan bencana.
- Analisis wacana kebijakan dan media.
Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur
1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas
- 81,8% responden survei adalah pemilik rumah, mayoritas tinggal di rumah sendiri.
- 75,1% responden pernah mengalami banjir; 38,7% pernah mengalami banjir kecil dan sebagian besar masih mengingat banjir besar 1965–1966.
- Tingkat kohesi sosial tinggi: 45% aktif di organisasi lokal, hampir semua responden tinggal di area studi sejak lahir.
- 10,7% rumah tangga memiliki anggota dengan kebutuhan khusus.
- Tingkat kesiapsiagaan individu untuk banjir 2018: rata-rata 2,45 (skala 1–5), kesiapsiagaan komunitas 2,22, dan kesiapsiagaan otoritas publik 2,79.
- Pengalaman banjir masa lalu meningkatkan kesiapsiagaan: Responden yang pernah mengalami banjir lebih siap menghadapi banjir berikutnya (χ2 (5) = 23.584; p < 0.001).
- Faktor gender signifikan: Perempuan cenderung lebih siap secara individu dan dalam ekspektasi terhadap kejadian masa depan (F = 12.775, p < 0.000).
2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang
- Jumlah bangunan di area rawan banjir justru meningkat meski populasi menurun.
- Antara 1998–2019, di beberapa kota seperti Kötschach-Mauthen, bangunan di zona banjir naik 14%.
- Proyeksi masa depan: jika semua lahan permukiman yang diizinkan dibangun, 31% (19 ha) tambahan lahan permukiman di Kötschach-Mauthen akan berada di zona rawan banjir.
- Populasi Gailtal turun 7% (2001–2019), tapi bangunan di zona banjir terus bertambah.
- Fenomena ini disebut “exposure paradox”: penurunan populasi tidak otomatis menurunkan eksposur terhadap banjir, karena pembangunan rumah baru (termasuk rumah kedua dan migrasi pensiunan kaya) tetap terjadi di area rawan.
3. Strategi Manajemen Risiko Banjir
- Sejak 1970, Austria menginvestasikan sekitar EUR 60 juta untuk perlindungan banjir di Gailtal, dengan tambahan EUR 25–35 juta per tahun (2000–2019) untuk Carinthia.
- Proyek besar:
- St. Stefan (2013): EUR 5,1 juta, plus EUR 9 juta dari WLV untuk perlindungan sungai.
- Kötschach-Mauthen (2017): EUR 11,5 juta, perlindungan terhadap banjir 100-tahunan.
- Hermagor (2020): EUR 13 juta untuk pelebaran sungai dan retensi air.
- Fokus utama tetap pada infrastruktur fisik: bendungan, pelebaran sungai, retensi air.
- Pendanaan dan prioritas proyek tidak pernah mempertimbangkan indikator demografi sebagai syarat utama. Namun, komunitas mulai khawatir pendanaan bisa berkurang jika populasi terus turun.
4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah
- Di tingkat negara bagian, isu demografi dan banjir diakui sebagai tantangan, namun jarang diintegrasikan dalam satu kebijakan.
- Wacana publik dan media lebih banyak menyoroti solusi teknis (infrastruktur) dibanding adaptasi berbasis demografi.
- Beberapa kebijakan mulai mempertimbangkan usia relawan, kebutuhan rumah tangga dengan anggota lanjut usia, dan urban sprawl akibat migrasi pensiunan.
Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal
- Oktober 2018: hujan ekstrem menyebabkan jebolnya tanggul di Rattendorf, menenggelamkan 39 rumah, merusak jalan dan jembatan, dengan kerugian EUR 233 juta.
- November 2019: banjir besar kembali terjadi, menyebabkan kerusakan “ratusan juta euro” di Carinthia, sekitar EUR 100 juta di sektor privat.
- 5300 petugas pemadam kebakaran dan militer dikerahkan selama banjir 2018.
- Komunitas menunjukkan proses pemulihan cepat, namun kompensasi kerugian dinilai masih rendah.
Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama
1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?
- Studi ini menantang asumsi bahwa komunitas tua otomatis lebih rentan.
- Di Gailtal, kohesi sosial tinggi, pengalaman banjir masa lalu, dan keterlibatan di organisasi lokal justru memperkuat kapasitas coping dan adaptasi.
- Namun, jika proporsi lansia 80+ tahun terus naik, bisa terjadi “tipping point” di mana kapasitas komunitas benar-benar menurun.
2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?
- Penurunan jumlah anggota rumah tangga (lebih banyak rumah satu-dua orang), kebijakan lokal yang ingin menarik penduduk baru, dan pembangunan rumah kedua berperan besar.
- Zoning lahan permukiman sering dilakukan tanpa memperhatikan peta bahaya banjir yang baru tersedia bertahun-tahun setelahnya.
- Migrasi “new highlanders” (pensiunan kaya) ke Alpen juga memperbanyak rumah di zona rawan.
3. Implikasi untuk Kebijakan
- Pendanaan proyek banjir masih kuat, tetapi masa depan bisa berubah jika populasi terus turun dan cost-benefit ratio menurun.
- Tantangan utama ke depan: bagaimana mempertahankan dan merawat infrastruktur perlindungan banjir dengan sumber daya manusia dan dana yang makin terbatas.
- Kebijakan perlu mulai mengintegrasikan data demografi, proyeksi populasi, dan kebutuhan kelompok rentan dalam perencanaan risiko.
Perbandingan dengan Studi Global
- Studi di Belanda, Jerman, dan AS juga menemukan bahwa penurunan populasi tidak selalu menurunkan eksposur banjir, terutama jika pembangunan rumah baru tetap terjadi di zona rawan.
- Kohesi sosial dan pengalaman bencana masa lalu terbukti memperkuat resiliensi di banyak komunitas rural Eropa.
- Namun, jika tren penuaan ekstrem berlanjut, banyak negara menghadapi tantangan serupa: kekurangan relawan, dana, dan kapasitas perawatan infrastruktur.
Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia
- Banyak daerah pegunungan di Indonesia juga menghadapi migrasi keluar dan penuaan populasi, terutama di desa-desa terpencil.
- Penting untuk tidak hanya fokus pada jumlah penduduk, tetapi juga pola pembangunan rumah, kohesi sosial, dan pengalaman bencana lokal.
- Perencanaan tata ruang dan kebijakan banjir harus mengantisipasi “paradox eksposur”—jangan sampai pembangunan baru justru memperbesar risiko meski penduduk menurun.
- Investasi pada kohesi sosial, edukasi risiko, dan dokumentasi pengalaman bencana sangat penting untuk membangun resiliensi jangka panjang.
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual
Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.
Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.