Perumahan dan Permukiman
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 01 Desember 2025
Latar Belakang Teoretis
Proyek perumahan di Mariyamma Nagar hadir sebagai respons terhadap kondisi kemiskinan perkotaan yang kompleks: keterbatasan akses air bersih, sanitasi buruk, kepadatan hunian berlebih, ketidakamanan tenurial, hingga rendahnya peluang ekonomi. Permukiman kumuh di wilayah ini tidak hanya menggambarkan keterbelakangan fisik, tetapi juga dinamika struktural yang memerangkap warga dalam siklus kerentanan.
Secara teoretis, proyek ini berakar pada pendekatan pro-poor housing yang menggabungkan prinsip basic services provisioning dengan peningkatan kondisi sosial-ekonomi penghuni. Sasaran lintas-SDG—mulai dari kemiskinan, kesehatan, mitigasi risiko gender, hingga kesetaraan energi—mengindikasikan paradigma terintegrasi yang dipilih pemerintah kota.
Kerangka pemikiran yang membingkai proyek ini mencakup tiga pilar: (1) peningkatan infrastruktur dasar sebagai prasyarat kesejahteraan, (2) penataan ruang hunian yang sehat dan adaptif, serta (3) pemberdayaan kelompok rentan, khususnya perempuan. Pendekatan multidimensional ini selaras dengan literatur kontemporer tentang perumahan inklusif yang menekankan bahwa intervensi fisik harus berjalan seiring dengan transformasi sosial.
Sebelum intervensi, Mariyamma Nagar menunjukkan ciri khas tipikal permukiman miskin urban India—akses air bergantung pada sumber komunal, sanitasi tak memadai, aliran air limbah terbuka, serta struktur hunian semi permanen. Kondisi tersebut memperburuk paparan terhadap penyakit dan menurunkan keterhubungan sosial. Dengan demikian, proyek ini berfungsi sebagai studi penting dalam memahami bagaimana Smart City Mission mampu mengintervensi kemiskinan struktural melalui desain berbasis bukti dan konsultasi masyarakat.
Metodologi dan Kebaruan
Proyek ini dikembangkan dengan pendekatan mixed-method, memadukan survei lapangan, inventarisasi hunian, dan wawancara dengan warga. Tim peneliti mengkaji kondisi eksisting—konstruksi, kesehatan penghuni, akses sarana dasar—untuk menghasilkan gambaran komprehensif mengenai titik-titik kritis yang perlu ditangani.
Kebaruan utama terletak pada integrasi perumahan sosial dengan basic services provisioning yang dirancang bersamaan, bukan sebagai tahap lanjutan. Dalam banyak proyek sebelumnya, perumahan murah dibangun tanpa memastikan sanitasi, air, listrik, dan pengelolaan limbah yang layak. Namun, di Mariyamma Nagar, semua komponen tersebut dimasukkan secara simultan, menciptakan paket intervensi terpadu.
Pendekatan intervensi juga memprioritaskan perempuan sebagai agen utama transformasi rumah tangga. Dimensi gender disorot dengan memberikan ruang aman, pencahayaan baik, akses sanitasi yang memadai, serta upaya meningkatkan mobilitas dan keamanan perempuan di ruang publik.
Metodologi konstruksi menekankan pemanfaatan teknologi hemat biaya dan ramah lingkungan, serta desain unit yang memenuhi standar kesehatan—sirkulasi udara, cahaya alami, drainase tertutup, dan zona komunal yang memadai. Semua ini menjadikan proyek tersebut salah satu contoh inovatif dalam penataan perumahan urban poor skala kecil namun berdampak besar.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Temuan penelitian menunjukkan perubahan signifikan dalam tiga dimensi utama: kesehatan dan sanitasi, kualitas fisik permukiman, serta kehidupan sosial-ekonomi warga.
1. Peningkatan Akses Sanitasi dan Kesehatan Publik
Sebelum proyek berlangsung, sanitasi buruk menjadi ancaman kesehatan paling serius di Mariyamma Nagar. Setelah intervensi, instalasi toilet rumah tangga, sistem sewerage terhubung, dan drainase tertutup berhasil menekan risiko penyakit berbasis air. Warga melaporkan berkurangnya genangan air serta meningkatnya kebersihan area hunian. Walau tidak disajikan sebagai angka, laporan lapangan menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan dan persepsi kesehatan rumah tangga meningkat secara signifikan.
Penyediaan air bersih melalui sambungan rumah juga menurunkan beban kerja perempuan yang sebelumnya harus mengantre di titik air komunal. Dampak ini tidak hanya fungsional tetapi juga sosial, meningkatkan rasa aman dan mengurangi waktu yang terbuang hanya untuk kebutuhan sehari-hari.
2. Hunian Layak dan Penataan Ruang yang Meningkatkan Martabat Sosial
Unit perumahan baru memberikan ruang hidup yang lebih sehat dan stabil. Struktur yang lebih kokoh, ventilasi memadai, serta pencahayaan alami berkontribusi pada pengurangan polusi dalam ruangan—faktor penting bagi kesehatan anak dan lansia.
Tata ruang permukiman yang baru, dilengkapi jalan internal dan fasilitas komunal, meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di dalam kawasan. Sebelumnya, lorong sempit menghambat pergerakan dan menciptakan risiko keselamatan, terutama bagi perempuan dan anak. Kini, ruang terbuka memberikan fungsi sosial baru dan memperkuat kohesi sosial.
Perubahan fisik juga menghasilkan peningkatan simbolik: warga merasa ruang tinggal mereka lebih bermartabat, aman, dan layak dikunjungi. Efek psikososial semacam ini jarang disorot dalam proyek perumahan, namun di sini terbukti menjadi komponen krusial.
3. Penguatan Identitas Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi
Transformasi fisik tidak berdiri sendiri. Proyek ini turut membuka peluang ekonomi melalui peningkatan stabilitas hunian—faktor yang sering menjadi prasyarat untuk memasuki pasar kerja formal atau semi formal.
Perempuan sangat diuntungkan: dengan lingkungan yang lebih aman, waktu mereka yang sebelumnya habis untuk kerja domestik kini dapat dialihkan ke pekerjaan produktif. Perubahan ini menciptakan lintasan baru menuju peningkatan pendapatan rumah tangga.
Selain itu, penataan ruang yang lebih teratur memungkinkan kegiatan komunal terselenggara dengan lebih baik, memperkuat jaringan sosial serta solidaritas antarwarga. Hal ini penting bagi komunitas berpenghasilan rendah yang mengandalkan dukungan sosial dalam menghadapi kondisi krisis.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun proyek ini berhasil meningkatkan kualitas hidup warga secara signifikan, sejumlah keterbatasan metodologis dan struktural perlu dicatat.
Pertama, kajian tidak menjelaskan proses pemilihan penerima manfaat secara rinci. Dalam proyek perumahan sosial, transparansi alokasi unit sangat penting agar tidak terjadi ketimpangan baru di antara warga.
Kedua, tidak terdapat evaluasi longitudinal mengenai keberlanjutan infrastruktur. Sistem sanitasi, dalam konteks permukiman berpenghasilan rendah, sangat rentan terhadap degradasi jika tidak dipelihara secara kolektif. Studi ini belum menyoroti bagaimana mekanisme pemeliharaan akan dijalankan setelah masa proyek berakhir.
Ketiga, aspek ketahanan iklim minim dibahas. Padahal, wilayah urban India kian rentan terhadap panas ekstrem dan curah hujan tinggi. Desain hunian seharusnya mempertimbangkan ventilasi termal pasif, pemanenan air hujan, dan manajemen run-off untuk menghindari banjir mikro.
Keempat, integrasi gender—meskipun menjadi salah satu sorotan—belum didukung bukti kuantitatif mengenai peningkatan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan komunitas.
Secara metodologis, kurangnya data kuantitatif membatasi kemampuan studi untuk mengukur dampak konkret seperti pengurangan insiden penyakit, perubahan tingkat literasi, atau kenaikan pendapatan. Ini adalah peluang yang terlewat untuk memperkuat argumentasi ilmiah.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Proyek ini memberikan kontribusi penting bagi literatur perumahan inklusif di kota-kota berkembang. Empat implikasi ilmiah dapat ditarik:
Perumahan layak bagi urban poor harus diintegrasikan dengan layanan dasar sejak tahap perencanaan, bukan sebagai elemen sekunder.
Dimensi gender perlu diposisikan sebagai faktor desain utama, terutama dalam permukiman berpendapatan rendah tempat perempuan menanggung beban mobilitas terbatas dan pekerjaan domestik berat.
Model perumahan kecil namun komprehensif seperti di Mariyamma Nagar dapat direplikasi, terutama untuk kota-kota tingkat dua dan tiga yang memiliki keterbatasan lahan dibandingkan kota metropolitan.
Diperlukan riset lanjutan yang menggabungkan pendekatan kuantitatif, seperti survei kesehatan, produktivitas ekonomi, dan perubahan perilaku sosial—agar efek jangka panjang dapat diukur secara lebih akurat.
Proyek ini menegaskan bahwa transformasi permukiman kumuh bukan hanya soal penyediaan fisik, tetapi proses sosial yang membutuhkan pembacaan konteks budaya, relasi gender, dan dinamika ekonomi. Sebagai model kecil namun berorientasi manusia, temuan ini memadai untuk menjadi acuan bagi pembangunan kota yang lebih inklusif dan manusiawi.
Sumber
Studi Kasus C23: Housing and Basic Services for Urban Poor at Mariyamma Nagar, Tumakuru (2019). Dalam SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure). National Institute of Urban Affairs (NIUA).
Perumahan dan Permukiman
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Kesenjangan Terbesar Pembeli Properti: Niat Hijau Terbentur Harga dan Keraguan
Indonesia, didorong oleh laju pertumbuhan populasi sebesar 1,25% per tahun dari tahun 2000 hingga 2020, menghadapi peningkatan kebutuhan perumahan yang masif.1 Aktivitas pembangunan yang tak terhindarkan ini, khususnya di sektor hunian, menyumbang sekitar 27% dari konsumsi energi total dunia dan menghasilkan 17% dari emisi karbon dioksida ($CO_{2}$), menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global.1
Menanggapi krisis iklim ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. DKI Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan, memimpin dengan mandat bahwa 100% bangunan baru dan 60% bangunan lama harus memenuhi persyaratan bangunan hijau pada tahun 2030.1 Intervensi ini, yang melibatkan konsep bangunan hijau, telah terbukti menghasilkan manfaat finansial; misalnya, 339 bangunan bersertifikat EDGE di Jakarta telah menghemat energi hingga USD 90 juta per tahun 2018.1
Namun, terlepas dari kebijakan yang kuat dan potensi penghematan yang nyata, keberhasilan penerapan perumahan hijau (Green Housing atau GH) sangat bergantung pada penerimaan dan kesediaan konsumen untuk membayar premi harga. Penelitian ini, yang secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Niat Beli Hijau (Green Purchase Intention atau GPI) dan Kesiapan Membayar Lebih (Willingness to Pay atau WTP) pada komunitas Jabodetabek, mengisi kekosongan data krusial ini. Studi mendalam ini mengungkapkan bahwa keputusan pembelian properti hijau adalah medan pertempuran antara keyakinan internal dan kekhawatiran finansial yang mendalam.
Tiga Pilar Fondasi Keputusan Beli: Edukasi Mengalahkan Tekanan Sosial
Studi perilaku ini, yang menganalisis 347 respons dari masyarakat Jabodetabek menggunakan model perilaku terencana yang diperluas, mengidentifikasi tiga faktor yang secara signifikan dan langsung mendorong niat beli GH.1 Tiga faktor ini adalah landasan di mana konsumen membangun keputusan untuk bergerak menuju properti berkelanjutan.
Kekuatan Sikap Pribadi Adalah Fondasi Utama
Sikap (Attitude, ATT) positif terhadap Perumahan Hijau ditemukan sebagai pendorong niat beli (GPI) yang sangat signifikan.1 Sikap ini mencakup keyakinan bahwa GH adalah keputusan pembelian yang baik, menguntungkan dalam jangka panjang, dibangun dengan proses ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya.1
Dalam model yang diuji, sikap adalah faktor pendorong terkuat kedua yang menentukan GPI, dengan koefisien jalur 0.411.1 Ini berarti bahwa keyakinan pribadi konsumen adalah fondasi keputusan yang kuat, seperti memberikan lebih dari 40% daya dorong pada keputusan pembelian. Jika konsumen secara pribadi meyakini nilai dan keunggulan GH, dorongan internal untuk membeli akan terbentuk kuat.
Pentingnya Pengetahuan Subjektif: Pembentuk Keyakinan Jangka Panjang
Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge, SK)—rasa percaya diri konsumen pada pemahaman mereka tentang GH—tidak hanya memberikan dorongan langsung yang signifikan terhadap GPI (koefisien jalur 0.159), tetapi yang lebih penting, ia memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk Sikap positif konsumen.1
Analisis menunjukkan bahwa pengaruh Pengetahuan Subjektif dalam membentuk Sikap positif mencapai koefisien jalur 0.572 dan sangat signifikan.1 Ini adalah salah satu hubungan kausal terkuat dalam model. Temuan ini dapat dianalogikan sebagai berikut: setiap peningkatan pemahaman atau kepercayaan diri pembeli tentang keunggulan GH (misalnya, penghematan energi atau kualitas bangunan) dapat meningkatkan keyakinan positif mereka sebesar 57%. Ini seperti menaikkan efisiensi internal konsumen dari 20% menjadi 77% hanya dengan informasi yang tepat. Edukasi yang berhasil membangun kepercayaan diri ini terbukti sebagai strategi kognitif yang paling efektif bagi pengembang.
Intervensi Pemerintah yang Jelas: Memberikan Kepastian
Faktor Kebijakan (Policy, PO), yang melibatkan insentif pemerintah seperti potongan pajak, subsidi, atau pinjaman lunak, terbukti secara langsung memengaruhi niat beli (GPI) dengan signifikan (koefisien jalur 0.242).1
Dukungan struktural dari regulator bertindak sebagai 'lampu hijau' yang melegitimasi dan memberikan dorongan seperempat kekuatan pada niat pembelian.1 Fakta bahwa kebijakan memengaruhi niat beli secara langsung, bukan hanya secara tidak langsung, menunjukkan bahwa insentif pemerintah bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang harus ada untuk mendorong transaksi di pasar properti hijau yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.
Mengapa Risiko Keuangan Menjadi 'Jangkar' Utama yang Menarik Niat Beli
Di tengah gelombang pendorong positif dari Sikap dan Pengetahuan, ada satu hambatan tunggal yang konsisten dan signifikan bekerja untuk menekan niat beli: Risiko Dirasakan (Perceived Risk, PR).1
Risiko Dirasakan mencakup kekhawatiran konsumen terhadap tiga dimensi utama: risiko finansial (harga tinggi atau investasi yang tidak menguntungkan), risiko kinerja (kekhawatiran bahwa fitur hijau tidak akan berfungsi atau gagal memberikan kenyamanan yang dijanjikan), dan risiko psikologis (kekhawatiran bahwa rumah hijau tidak sesuai dengan gaya hidup).1
Penelitian membuktikan bahwa Risiko Dirasakan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Niat Beli Hijau (GPI).1 Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah -0.118, dan signifikansinya sangat tinggi (p=0.000).1 Dampak ini dapat diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang, meskipun kecil, selalu menahan kapal niat beli. Artinya, semua dorongan positif yang dihasilkan oleh sikap, pengetahuan, dan kebijakan harus bekerja keras untuk mengatasi keraguan finansial dan kinerja yang melekat pada produk baru.
Ini menunjukkan bahwa masalah harga premium GH tidak dapat diabaikan. Konsumen di Jabodetabek jelas sensitif terhadap potensi kerugian finansial atau ketidakpastian kinerja, dan ketakutan ini menjadi penghalang psikologis yang paling sulit diatasi.
Fakta Mengejutkan di Balik Data Jabodetabek: Iklan dan Tekanan Sosial Gagal
Temuan yang paling menarik bagi analis perilaku adalah kegagalan beberapa faktor kunci yang secara teoritis harus mendorong niat beli. Analisis di Jabodetabek menemukan bahwa Norma Subjektif, Kendali Perilaku yang Dirasakan, dan Komunikasi Hijau tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap GPI.1
Tekanan Sosial Gagal Mendorong Pembelian Properti
Norma Subjektif (SN) mengukur tekanan dari lingkungan sosial terdekat (keluarga, teman, opini publik) untuk melakukan perilaku tertentu.1 Temuan menunjukkan bahwa faktor ini tidak signifikan memengaruhi niat beli GH (H2 ditolak, p=0.503).1
Meskipun Kepedulian Lingkungan (EC) masyarakat Jabodetabek ditemukan kuat dan bahkan memperkuat Norma Subjektif (PC=0.480, p=0.000), dorongan etis ini gagal diterjemahkan menjadi tekanan sosial untuk melakukan pembelian properti yang mahal.1 Hal ini menggarisbawahi realitas pasar properti premium: meskipun konsumen ingin dilihat peduli, keputusan pembelian properti, yang melibatkan risiko finansial signifikan, tetaplah keputusan individual yang didominasi oleh keyakinan pribadi dan kemampuan rasional, bukan kepatuhan sosial.
Komunikasi Hijau yang Kurang Efektif
Demikian pula, Komunikasi Hijau (GC) yang melibatkan pesan iklan dan klaim lingkungan dari perusahaan, ditemukan tidak signifikan memengaruhi Niat Beli Hijau (H4 ditolak, p=0.179).1
Temuan ini merupakan peringatan keras bagi pengembang: kampanye iklan mahal yang hanya berisi klaim ramah lingkungan cenderung tidak efektif di pasar properti Jabodetabek yang kritis. Konsumen tidak lagi puas dengan janji-janji abstrak; mereka menuntut bukti konkret, transparansi, dan validasi (yang sejalan dengan kuatnya pengaruh Pengetahuan Subjektif).1 Strategi pemasaran harus berfokus pada validasi produk dan pengiriman informasi teknis yang dapat meyakinkan, bukan sekadar promosi emosional.
Ilusi Kontrol Keuangan
Faktor Kendali Perilaku yang Dirasakan (PBC), yang seharusnya mencerminkan kemampuan finansial untuk membeli, juga tidak signifikan mendorong GPI (H3 ditolak, p=0.093).1 Hal ini terjadi meskipun kebijakan pemerintah (PO) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan rasa mampu ini (PC=0.571).1
Implikasinya adalah bahwa regulator dapat membuat konsumen merasa mampu secara teori melalui insentif, tetapi perasaan mampu ini mudah digantikan oleh kekhawatiran yang nyata. Dengan kata lain, rasa mampu secara umum tidak dapat menanggulangi Risiko Dirasakan (PR) yang spesifik terhadap GH. Oleh karena itu, kebijakan harus berupaya mengatasi langsung biaya premium, bukan hanya meningkatkan ilusi kemampuan membeli.
Kesiapan Membayar Lebih: Niat Kuat Sama dengan Dompet Terbuka
Inti dari penelitian ini adalah hubungan antara niat dan kesediaan finansial. Ditemukan bahwa Niat Beli Hijau (GPI) memiliki pengaruh positif yang sangat kuat dan signifikan terhadap Kesiapan Membayar Lebih (WTP) untuk GH.1
Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah 0.623 dan sangat signifikan (p=0.000).1 Nilai ini menunjukkan bahwa setelah konsumen berhasil diyakinkan melalui Sikap yang kuat, Pengetahuan yang memadai, dan dukungan Kebijakan yang jelas, niat murni mereka untuk membeli GH menjadi prediktor utama WTP. Secara dramatis, niat yang kuat setara dengan hampir dua per tiga (sekitar 62%) dari keputusan finansial untuk membayar harga premium.1
Hal ini memberikan wawasan strategis yang jelas: pengembang dan pemerintah tidak perlu terlalu fokus untuk mengurangi harga awal secara drastis, tetapi harus berkonsentrasi pada penguatan niat beli melalui edukasi dan mitigasi risiko. Ketika niat membeli rumah hijau telah terkunci, konsumen secara inheren siap untuk membayar lebih.
Kritik Realistis: Batasan Studi dan Generalisasi Temuan
Meskipun hasil penelitian ini sangat mendalam, perlu diakui batasan yang ada.
Roadmap Strategis: Implikasi Aksi Nyata
Temuan penelitian ini memberikan arahan yang jelas bagi pengembang dan regulator untuk mendorong adopsi perumahan hijau.
Rekomendasi untuk Pengembang Properti
Pengembang harus menerapkan strategi yang secara eksplisit mengombinasikan faktor sikap (ATT), pengetahuan subjektif (SK), dan kepedulian lingkungan (EC).1 Strategi ini harus dirancang untuk mengatasi aspek kognitif (rasional) dan afektif (emosional) konsumen.1
Peran Kunci Pemerintah (Regulator)
Pemerintah harus memainkan peran proaktif dalam mempromosikan penggunaan Green Housing melalui insentif yang terkait dengan konstruksi hijau.1
Pernyataan Dampak Nyata
Analisis yang kuat menunjukkan bahwa niat beli (GPI) adalah kunci utama Kesiapan Membayar Lebih (WTP). Jika pemerintah (melalui Kebijakan) dan pengembang (melalui Pengetahuan Subjektif dan Sikap) dapat secara kolektif berfokus pada mitigasi risiko dan penguatan niat, maka investasi pada GH akan meningkat.
Sebagai contoh, jika kebijakan pemerintah (PO) dan strategi pengembang yang terfokus pada edukasi (SK) berhasil meningkatkan Niat Beli Hijau (GPI) sebesar 10% dalam waktu tiga tahun—melalui pengurangan risiko dan peningkatan edukasi—dan mengingat kuatnya hubungan GPI ke WTP (PC 0.623), maka pasar properti Jabodetabek dapat melihat peningkatan kesediaan konsumen membayar premi harga rumah hijau sebesar minimal 6.23% dalam waktu lima tahun.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya investasi jangka panjang, memicu inovasi konstruksi hijau, dan yang terpenting, secara langsung mengurangi kontribusi emisi $CO_{2}$ sektor perumahan di salah satu wilayah metropolitan paling padat di dunia, mendukung tujuan NZE 2060 Indonesia dalam waktu lima tahun.1
Sumber Artikel:
Pangaribuan, E., Yuniaristanto, & Zakaria, R. (2023). Development of Green Housing Willingness to Pay Conceptual Model on Jabodetabek Community. Jurnal Teknik Industri, 25(1), 97–110. https://doi.org/10.9744/jti.25.1.97-110 1