Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Harga Premium Perumahan Hijau di Jabodetabek – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 21.53

unsplash.com

Kesenjangan Terbesar Pembeli Properti: Niat Hijau Terbentur Harga dan Keraguan

Indonesia, didorong oleh laju pertumbuhan populasi sebesar 1,25% per tahun dari tahun 2000 hingga 2020, menghadapi peningkatan kebutuhan perumahan yang masif.1 Aktivitas pembangunan yang tak terhindarkan ini, khususnya di sektor hunian, menyumbang sekitar 27% dari konsumsi energi total dunia dan menghasilkan 17% dari emisi karbon dioksida ($CO_{2}$), menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global.1

Menanggapi krisis iklim ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. DKI Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan, memimpin dengan mandat bahwa 100% bangunan baru dan 60% bangunan lama harus memenuhi persyaratan bangunan hijau pada tahun 2030.1 Intervensi ini, yang melibatkan konsep bangunan hijau, telah terbukti menghasilkan manfaat finansial; misalnya, 339 bangunan bersertifikat EDGE di Jakarta telah menghemat energi hingga USD 90 juta per tahun 2018.1

Namun, terlepas dari kebijakan yang kuat dan potensi penghematan yang nyata, keberhasilan penerapan perumahan hijau (Green Housing atau GH) sangat bergantung pada penerimaan dan kesediaan konsumen untuk membayar premi harga. Penelitian ini, yang secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Niat Beli Hijau (Green Purchase Intention atau GPI) dan Kesiapan Membayar Lebih (Willingness to Pay atau WTP) pada komunitas Jabodetabek, mengisi kekosongan data krusial ini. Studi mendalam ini mengungkapkan bahwa keputusan pembelian properti hijau adalah medan pertempuran antara keyakinan internal dan kekhawatiran finansial yang mendalam.

 

Tiga Pilar Fondasi Keputusan Beli: Edukasi Mengalahkan Tekanan Sosial

Studi perilaku ini, yang menganalisis 347 respons dari masyarakat Jabodetabek menggunakan model perilaku terencana yang diperluas, mengidentifikasi tiga faktor yang secara signifikan dan langsung mendorong niat beli GH.1 Tiga faktor ini adalah landasan di mana konsumen membangun keputusan untuk bergerak menuju properti berkelanjutan.

Kekuatan Sikap Pribadi Adalah Fondasi Utama

Sikap (Attitude, ATT) positif terhadap Perumahan Hijau ditemukan sebagai pendorong niat beli (GPI) yang sangat signifikan.1 Sikap ini mencakup keyakinan bahwa GH adalah keputusan pembelian yang baik, menguntungkan dalam jangka panjang, dibangun dengan proses ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya.1

Dalam model yang diuji, sikap adalah faktor pendorong terkuat kedua yang menentukan GPI, dengan koefisien jalur 0.411.1 Ini berarti bahwa keyakinan pribadi konsumen adalah fondasi keputusan yang kuat, seperti memberikan lebih dari 40% daya dorong pada keputusan pembelian. Jika konsumen secara pribadi meyakini nilai dan keunggulan GH, dorongan internal untuk membeli akan terbentuk kuat.

Pentingnya Pengetahuan Subjektif: Pembentuk Keyakinan Jangka Panjang

Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge, SK)—rasa percaya diri konsumen pada pemahaman mereka tentang GH—tidak hanya memberikan dorongan langsung yang signifikan terhadap GPI (koefisien jalur 0.159), tetapi yang lebih penting, ia memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk Sikap positif konsumen.1

Analisis menunjukkan bahwa pengaruh Pengetahuan Subjektif dalam membentuk Sikap positif mencapai koefisien jalur 0.572 dan sangat signifikan.1 Ini adalah salah satu hubungan kausal terkuat dalam model. Temuan ini dapat dianalogikan sebagai berikut: setiap peningkatan pemahaman atau kepercayaan diri pembeli tentang keunggulan GH (misalnya, penghematan energi atau kualitas bangunan) dapat meningkatkan keyakinan positif mereka sebesar 57%. Ini seperti menaikkan efisiensi internal konsumen dari 20% menjadi 77% hanya dengan informasi yang tepat. Edukasi yang berhasil membangun kepercayaan diri ini terbukti sebagai strategi kognitif yang paling efektif bagi pengembang.

Intervensi Pemerintah yang Jelas: Memberikan Kepastian

Faktor Kebijakan (Policy, PO), yang melibatkan insentif pemerintah seperti potongan pajak, subsidi, atau pinjaman lunak, terbukti secara langsung memengaruhi niat beli (GPI) dengan signifikan (koefisien jalur 0.242).1

Dukungan struktural dari regulator bertindak sebagai 'lampu hijau' yang melegitimasi dan memberikan dorongan seperempat kekuatan pada niat pembelian.1 Fakta bahwa kebijakan memengaruhi niat beli secara langsung, bukan hanya secara tidak langsung, menunjukkan bahwa insentif pemerintah bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang harus ada untuk mendorong transaksi di pasar properti hijau yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.

 

Mengapa Risiko Keuangan Menjadi 'Jangkar' Utama yang Menarik Niat Beli

Di tengah gelombang pendorong positif dari Sikap dan Pengetahuan, ada satu hambatan tunggal yang konsisten dan signifikan bekerja untuk menekan niat beli: Risiko Dirasakan (Perceived Risk, PR).1

Risiko Dirasakan mencakup kekhawatiran konsumen terhadap tiga dimensi utama: risiko finansial (harga tinggi atau investasi yang tidak menguntungkan), risiko kinerja (kekhawatiran bahwa fitur hijau tidak akan berfungsi atau gagal memberikan kenyamanan yang dijanjikan), dan risiko psikologis (kekhawatiran bahwa rumah hijau tidak sesuai dengan gaya hidup).1

Penelitian membuktikan bahwa Risiko Dirasakan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Niat Beli Hijau (GPI).1 Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah -0.118, dan signifikansinya sangat tinggi (p=0.000).1 Dampak ini dapat diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang, meskipun kecil, selalu menahan kapal niat beli. Artinya, semua dorongan positif yang dihasilkan oleh sikap, pengetahuan, dan kebijakan harus bekerja keras untuk mengatasi keraguan finansial dan kinerja yang melekat pada produk baru.

Ini menunjukkan bahwa masalah harga premium GH tidak dapat diabaikan. Konsumen di Jabodetabek jelas sensitif terhadap potensi kerugian finansial atau ketidakpastian kinerja, dan ketakutan ini menjadi penghalang psikologis yang paling sulit diatasi.

 

Fakta Mengejutkan di Balik Data Jabodetabek: Iklan dan Tekanan Sosial Gagal

Temuan yang paling menarik bagi analis perilaku adalah kegagalan beberapa faktor kunci yang secara teoritis harus mendorong niat beli. Analisis di Jabodetabek menemukan bahwa Norma Subjektif, Kendali Perilaku yang Dirasakan, dan Komunikasi Hijau tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap GPI.1

Tekanan Sosial Gagal Mendorong Pembelian Properti

Norma Subjektif (SN) mengukur tekanan dari lingkungan sosial terdekat (keluarga, teman, opini publik) untuk melakukan perilaku tertentu.1 Temuan menunjukkan bahwa faktor ini tidak signifikan memengaruhi niat beli GH (H2 ditolak, p=0.503).1

Meskipun Kepedulian Lingkungan (EC) masyarakat Jabodetabek ditemukan kuat dan bahkan memperkuat Norma Subjektif (PC=0.480, p=0.000), dorongan etis ini gagal diterjemahkan menjadi tekanan sosial untuk melakukan pembelian properti yang mahal.1 Hal ini menggarisbawahi realitas pasar properti premium: meskipun konsumen ingin dilihat peduli, keputusan pembelian properti, yang melibatkan risiko finansial signifikan, tetaplah keputusan individual yang didominasi oleh keyakinan pribadi dan kemampuan rasional, bukan kepatuhan sosial.

Komunikasi Hijau yang Kurang Efektif

Demikian pula, Komunikasi Hijau (GC) yang melibatkan pesan iklan dan klaim lingkungan dari perusahaan, ditemukan tidak signifikan memengaruhi Niat Beli Hijau (H4 ditolak, p=0.179).1

Temuan ini merupakan peringatan keras bagi pengembang: kampanye iklan mahal yang hanya berisi klaim ramah lingkungan cenderung tidak efektif di pasar properti Jabodetabek yang kritis. Konsumen tidak lagi puas dengan janji-janji abstrak; mereka menuntut bukti konkret, transparansi, dan validasi (yang sejalan dengan kuatnya pengaruh Pengetahuan Subjektif).1 Strategi pemasaran harus berfokus pada validasi produk dan pengiriman informasi teknis yang dapat meyakinkan, bukan sekadar promosi emosional.

Ilusi Kontrol Keuangan

Faktor Kendali Perilaku yang Dirasakan (PBC), yang seharusnya mencerminkan kemampuan finansial untuk membeli, juga tidak signifikan mendorong GPI (H3 ditolak, p=0.093).1 Hal ini terjadi meskipun kebijakan pemerintah (PO) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan rasa mampu ini (PC=0.571).1

Implikasinya adalah bahwa regulator dapat membuat konsumen merasa mampu secara teori melalui insentif, tetapi perasaan mampu ini mudah digantikan oleh kekhawatiran yang nyata. Dengan kata lain, rasa mampu secara umum tidak dapat menanggulangi Risiko Dirasakan (PR) yang spesifik terhadap GH. Oleh karena itu, kebijakan harus berupaya mengatasi langsung biaya premium, bukan hanya meningkatkan ilusi kemampuan membeli.

 

Kesiapan Membayar Lebih: Niat Kuat Sama dengan Dompet Terbuka

Inti dari penelitian ini adalah hubungan antara niat dan kesediaan finansial. Ditemukan bahwa Niat Beli Hijau (GPI) memiliki pengaruh positif yang sangat kuat dan signifikan terhadap Kesiapan Membayar Lebih (WTP) untuk GH.1

Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah 0.623 dan sangat signifikan (p=0.000).1 Nilai ini menunjukkan bahwa setelah konsumen berhasil diyakinkan melalui Sikap yang kuat, Pengetahuan yang memadai, dan dukungan Kebijakan yang jelas, niat murni mereka untuk membeli GH menjadi prediktor utama WTP. Secara dramatis, niat yang kuat setara dengan hampir dua per tiga (sekitar 62%) dari keputusan finansial untuk membayar harga premium.1

Hal ini memberikan wawasan strategis yang jelas: pengembang dan pemerintah tidak perlu terlalu fokus untuk mengurangi harga awal secara drastis, tetapi harus berkonsentrasi pada penguatan niat beli melalui edukasi dan mitigasi risiko. Ketika niat membeli rumah hijau telah terkunci, konsumen secara inheren siap untuk membayar lebih.

 

Kritik Realistis: Batasan Studi dan Generalisasi Temuan

Meskipun hasil penelitian ini sangat mendalam, perlu diakui batasan yang ada.

  • Keterbatasan Geografis: Studi ini secara eksklusif berfokus pada komunitas Jabodetabek.1 Wilayah ini memiliki tingkat kesadaran dan regulasi perumahan hijau yang spesifik. Keterbatasan studi di daerah perkotaan ini bisa jadi mengecilkan dampak secara umum. Misalnya, bagaimana perilaku ini terwujud di kota-kota lain di Indonesia yang memiliki kerangka kebijakan dan kondisi ekonomi yang berbeda? Studi serupa di luar Jabodetabek diperlukan untuk memvalidasi generalisasi temuan.1
  • Keterbatasan Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode survei dan purposive sampling, yang berpotensi menyebabkan bias respons.1 Yang paling penting, studi ini hanya mengukur niat pembelian, bukan perilaku pembelian yang aktual. Jarak antara niat dan aksi, terutama dalam pembelian properti bernilai tinggi, adalah area yang memerlukan penelitian lebih lanjut di masa depan untuk memvalidasi model ini secara penuh.1

 

Roadmap Strategis: Implikasi Aksi Nyata

Temuan penelitian ini memberikan arahan yang jelas bagi pengembang dan regulator untuk mendorong adopsi perumahan hijau.

Rekomendasi untuk Pengembang Properti

Pengembang harus menerapkan strategi yang secara eksplisit mengombinasikan faktor sikap (ATT), pengetahuan subjektif (SK), dan kepedulian lingkungan (EC).1 Strategi ini harus dirancang untuk mengatasi aspek kognitif (rasional) dan afektif (emosional) konsumen.1

  1. Investasi pada Validasi: Menggantikan kampanye iklan (GC) dengan investasi pada transparansi data, sertifikasi, dan sesi edukasi mendalam (SK) akan lebih efektif dalam membentuk sikap positif dan mengatasi keraguan kinerja (PR).
  2. Targeting Spesifik: Karena Pendapatan, Pekerjaan, dan Status Perkawinan memengaruhi GPI dan WTP secara signifikan, pengembang harus menyegmentasi pasar. Pesan pemasaran harus berfokus pada manfaat jangka panjang GH bagi keluarga (Status Menikah) dan menyesuaikan penawaran pinjaman lunak untuk segmen pendapatan menengah yang sensitif terhadap harga.1

Peran Kunci Pemerintah (Regulator)

Pemerintah harus memainkan peran proaktif dalam mempromosikan penggunaan Green Housing melalui insentif yang terkait dengan konstruksi hijau.1

  1. Insentif yang Jelas dan Terukur: Pemerintah harus memastikan insentif seperti pengurangan pajak properti untuk bangunan hijau diterapkan sepenuhnya dan dipublikasikan secara luas.1
  2. Mitigasi Risiko Finansial: Daripada hanya meningkatkan rasa mampu (Perceived Behavioral Control) yang tidak efektif, pemerintah perlu berkontribusi pada proyek GH, misalnya dengan menyediakan suku bunga rendah untuk kontraktor atau memberikan insentif langsung untuk mengatasi Risiko Finansial yang menjadi penghalang utama konsumen.1

 

Pernyataan Dampak Nyata

Analisis yang kuat menunjukkan bahwa niat beli (GPI) adalah kunci utama Kesiapan Membayar Lebih (WTP). Jika pemerintah (melalui Kebijakan) dan pengembang (melalui Pengetahuan Subjektif dan Sikap) dapat secara kolektif berfokus pada mitigasi risiko dan penguatan niat, maka investasi pada GH akan meningkat.

Sebagai contoh, jika kebijakan pemerintah (PO) dan strategi pengembang yang terfokus pada edukasi (SK) berhasil meningkatkan Niat Beli Hijau (GPI) sebesar 10% dalam waktu tiga tahun—melalui pengurangan risiko dan peningkatan edukasi—dan mengingat kuatnya hubungan GPI ke WTP (PC 0.623), maka pasar properti Jabodetabek dapat melihat peningkatan kesediaan konsumen membayar premi harga rumah hijau sebesar minimal 6.23% dalam waktu lima tahun.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya investasi jangka panjang, memicu inovasi konstruksi hijau, dan yang terpenting, secara langsung mengurangi kontribusi emisi $CO_{2}$ sektor perumahan di salah satu wilayah metropolitan paling padat di dunia, mendukung tujuan NZE 2060 Indonesia dalam waktu lima tahun.1

 

Sumber Artikel:

Pangaribuan, E., Yuniaristanto, & Zakaria, R. (2023). Development of Green Housing Willingness to Pay Conceptual Model on Jabodetabek Community. Jurnal Teknik Industri, 25(1), 97–110. https://doi.org/10.9744/jti.25.1.97-110 1