Mengapa Tata Kelola Air Menjadi Isu Kritis?
Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi pesat, dunia menghadapi krisis air yang tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga tata kelola. Permasalahan air kerap kali berakar pada lemahnya tata kelola—bukan sekadar kurangnya sumber daya fisik. Paper “Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina” menawarkan studi kasus mendalam tentang bagaimana kerangka tata kelola air OECD diimplementasikan di tingkat lokal, serta tantangan dan pelajaran yang dapat dipetik untuk konteks global dan Indonesia1.
Artikel ini mengupas temuan utama paper tersebut, menyoroti data dan studi kasus aktual, serta menganalisis relevansinya dengan tren industri, kebijakan, dan tantangan tata kelola air di berbagai negara. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini relevan untuk pembuat kebijakan, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya air.
Gambaran Umum: Definisi dan Kerangka Tata Kelola Air
Apa Itu Tata Kelola Air?
Tata kelola air didefinisikan sebagai serangkaian aturan, praktik, dan proses politik, institusional, serta administratif—baik formal maupun informal—yang menentukan bagaimana keputusan terkait air diambil dan diimplementasikan, bagaimana kepentingan para pemangku kepentingan diakomodasi, serta bagaimana akuntabilitas dijaga1. Tata kelola air yang efektif melibatkan:
- Hukum dan kebijakan yang jelas.
- Kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi.
- Instrumen implementasi yang adaptif dan partisipatif.
OECD Water Governance Indicator Framework
OECD mengembangkan 12 Prinsip Tata Kelola Air yang menjadi rujukan global, meliputi aspek peran dan tanggung jawab, skala pengelolaan, koherensi kebijakan, kapasitas, data dan informasi, pembiayaan, kerangka regulasi, inovasi, integritas dan transparansi, keterlibatan pemangku kepentingan, keadilan antar pengguna, serta monitoring dan evaluasi1.
Studi Kasus: General Pueyrredon Municipality (GPM), Argentina
Profil Wilayah
General Pueyrredon (GPM) adalah salah satu wilayah urban terbesar di Provinsi Buenos Aires, Argentina, dengan populasi 682.605 jiwa (2023) dan mencakup kota Mar del Plata serta sejumlah kawasan peri-urban1. Wilayah ini terkenal dengan keanekaragaman ekosistem, pertanian hortikultura, dan pertumbuhan penduduk yang pesat, namun menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan air tanah sebagai sumber utama air bersih.
Sistem Pengelolaan Air
- Sumber utama: 97% penduduk GPM mendapat air bersih dari jaringan pipa yang dikelola OSSE (Obras Sanitarias Mar del Plata Sociedad del Estado), sementara kawasan peri-urban masih mengandalkan sumur domestik yang rentan kontaminasi1.
- Tantangan utama: Pencemaran air tanah akibat limbah domestik, pertanian, dan penggunaan pestisida; konflik antar pengguna; serta keterbatasan infrastruktur sanitasi di area peri-urban.
Analisis Kerangka Tata Kelola Air: Temuan Kunci
1. Kerangka Kebijakan (What)
- Kekuatan: Argentina memiliki kerangka hukum yang kuat, seperti Water Code (Law 12257/99) di tingkat provinsi, serta berbagai peraturan nasional dan lokal yang mengatur hak, kewajiban, dan pengelolaan air1.
- Kelemahan: Banyak instrumen kebijakan yang hanya di atas kertas (partly implemented), misalnya penarikan pajak air untuk irigasi dan industri yang tidak optimal, serta deklarasi sumur air domestik yang kurang terkontrol.
2. Kelembagaan (Who)
- Institusi kunci: OSSE (pengelolaan dan distribusi air), ADA (otoritas air provinsi), serta Komite DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara teori mengkoordinasikan lintas wilayah1.
- Permasalahan: Koordinasi antar lembaga sering tumpang tindih, dengan peran yang tidak selalu jelas antara pemerintah nasional, provinsi, dan kota. Komite DAS berjalan tidak rutin.
3. Instrumen Implementasi (How)
- Keterbatasan utama: Banyak instrumen implementasi yang hanya sebagian dijalankan, seperti sistem informasi air, mekanisme partisipasi publik, dan monitoring kualitas air1.
- Data dan informasi: Walau ada regulasi keterbukaan data, informasi tentang kualitas air dan monitoring OSSE tidak sepenuhnya tersedia untuk publik, sehingga menghambat partisipasi masyarakat dan pengawasan.
Studi Kasus dan Data Empirik
1. Ketersediaan dan Akses Air Bersih
- Cakupan air bersih: 97% penduduk GPM memiliki akses air pipa, namun kawasan peri-urban sangat rentan karena mengandalkan sumur dangkal yang sering tidak memenuhi standar teknis dan dekat dengan sumber kontaminasi1.
- Kualitas air: Studi menemukan banyak sumur domestik di peri-urban tercemar limbah domestik dan pestisida, meningkatkan risiko kesehatan masyarakat.
2. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
- Mekanisme formal: Ada forum dengar pendapat publik dan komite pengguna air, namun partisipasi masyarakat masih minim dan cenderung formalitas1.
- Kendala: Kurangnya akses data, minimnya edukasi, dan rendahnya pengakuan terhadap peran komunitas lokal dalam pengambilan keputusan.
3. Pembiayaan dan Investasi
- Pendanaan: OSSE umumnya tidak kesulitan membiayai investasi, namun prioritas proyek sering lebih ditentukan oleh ketersediaan dana daripada kebutuhan teknis atau sosial1.
- Subsidi: Ada tarif sosial air untuk kelompok rentan, namun mekanisme evaluasi kebutuhan dan efektivitas subsidi masih perlu diperkuat.
4. Monitoring dan Evaluasi
- Sistem pengawasan: Audit dilakukan oleh lembaga provinsi dan kota, namun monitoring kualitas air dan evaluasi kebijakan sering hanya bersifat administratif, bukan substantif1.
- Kelemahan: Kurangnya indikator kinerja yang jelas dan minimnya evaluasi berbasis hasil membuat perbaikan tata kelola berjalan lambat.
Tantangan Utama Tata Kelola Air GPM
- Implementasi Instrumen Lemah: Banyak kebijakan dan instrumen tata kelola hanya berjalan sebagian, terutama dalam hal data, partisipasi, dan inovasi1.
- Koordinasi Lintas Lembaga: Overlapping peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota menyebabkan kebijakan sering tidak sinkron.
- Keterbatasan Data dan Transparansi: Informasi air masih tersebar dan sulit diakses, menghambat partisipasi publik dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
- Minimnya Inovasi dan Adaptasi: Kerangka regulasi yang kaku membatasi ruang inovasi, baik dalam teknologi maupun model tata kelola.
- Kesenjangan Urban–Peri-Urban: Akses air dan sanitasi jauh lebih baik di pusat kota dibandingkan kawasan pinggiran, memperlebar ketimpangan sosial.
Perbandingan dengan Studi dan Praktik Global
Relevansi dan Pelajaran untuk Indonesia
- Desentralisasi dan Fragmentasi: Seperti Argentina, Indonesia juga menerapkan desentralisasi tata kelola air, yang kerap menimbulkan fragmentasi kebijakan dan lemahnya koordinasi antar level pemerintahan.
- Pentingnya Data dan Partisipasi: Pengalaman GPM menegaskan bahwa keterbukaan data dan partisipasi masyarakat adalah kunci tata kelola air yang efektif—isu yang juga menjadi tantangan di banyak kota Indonesia.
- Kontekstualisasi Kebijakan: OECD menekankan pentingnya adaptasi kebijakan sesuai konteks lokal. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk menghindari “copy-paste” kebijakan tanpa memperhatikan karakteristik wilayah.
Kritik dan Opini
- Kekuatan: Paper ini menampilkan metodologi evaluasi tata kelola air yang komprehensif dan berbasis indikator, sehingga dapat menjadi acuan diagnosis di daerah lain.
- Kelemahan: Studi hanya menerapkan fase awal kerangka OECD (assessment kondisi awal), belum mengevaluasi perubahan dari waktu ke waktu atau konsensus antar pemangku kepentingan.
- Kritik: Banyak rekomendasi masih bersifat normatif dan belum menyentuh akar masalah seperti politik anggaran, resistensi birokrasi, dan dinamika kekuasaan lokal.
Kaitan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
- SDGs dan Hak atas Air: Tata kelola air yang baik sangat penting untuk mencapai SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan mengurangi ketimpangan akses air di wilayah urban dan peri-urban.
- Digitalisasi dan Smart Water Management: Tren global menuju digitalisasi data air dan pemanfaatan teknologi (IoT, big data, remote sensing) perlu diadopsi untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan air.
- Inovasi Tata Kelola: Model-model baru seperti water fund, payment for ecosystem services (PES), dan kolaborasi multi-pihak semakin relevan untuk mengatasi kompleksitas pengelolaan air di era perubahan iklim.
- Green Finance dan ESG: Investasi air kini juga dinilai dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), sehingga tata kelola air yang baik menjadi prasyarat akses ke pembiayaan hijau dan investasi internasional.
Rekomendasi Strategis
- Penguatan Implementasi Instrumen: Fokus pada pelaksanaan nyata kebijakan dan instrumen tata kelola, bukan sekadar regulasi di atas kertas.
- Peningkatan Koordinasi Lintas Lembaga: Bentuk forum koordinasi tetap antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota untuk sinkronisasi kebijakan air.
- Transparansi dan Akses Data: Wajibkan publikasi data kualitas air, monitoring, dan hasil audit secara terbuka untuk mendorong partisipasi masyarakat.
- Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat: Libatkan komunitas lokal dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi pengelolaan air.
- Inovasi Model Bisnis dan Pembiayaan: Dorong kolaborasi dengan sektor swasta, adopsi skema PES, dan manfaatkan green finance untuk investasi air berkelanjutan.
- Penguatan Monitoring dan Evaluasi Berbasis Hasil: Terapkan indikator kinerja yang terukur dan evaluasi berbasis outcome, bukan sekadar output administratif.
Tata Kelola Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Studi kasus General Pueyrredon menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif bukan hanya soal regulasi atau institusi, tetapi juga implementasi nyata, transparansi, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan1. Tantangan fragmentasi, lemahnya data, dan minimnya inovasi adalah masalah universal yang juga dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dengan mengadopsi kerangka OECD dan menyesuaikannya dengan konteks lokal, kota-kota di Indonesia dan negara berkembang lain dapat memperkuat tata kelola air, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Tata kelola air yang baik adalah fondasi bagi masa depan yang inklusif, sehat, dan berkelanjutan.
Sumber Asli
Martín Velasco, M.J., Calderon, G., Lima, M.L., Matencón, C.L., & Massone, H.E. (2023). Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina. Water Policy, 25(7), 623–638.