Perubahan Global

Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Pasir, Fondasi Tak Terlihat yang Kini Terancam

Pasir dan kerikil adalah bahan dasar tak tergantikan dalam pembangunan dunia modern—mulai dari beton, kaca, hingga elektronik. Namun, laporan “Sand and Sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources” yang diterbitkan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019, mengungkapkan bahwa konsumsi pasir global telah melonjak tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun atau sekitar 18 kg per orang per hari. Ironisnya, di balik peran vitalnya, pasir merupakan salah satu sumber daya yang paling tidak diatur dan paling rentan terhadap eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial1.

Artikel ini akan mengupas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data dan studi kasus utama, membandingkan dengan tren global, serta menawarkan analisis dan rekomendasi bagi pembaca industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

 Skala Permasalahan: Pasir sebagai Krisis Sumber Daya Abad ke-21

Lonjakan Permintaan dan Konsumsi

  • Konsumsi pasir global: 40–50 miliar ton per tahun, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, terutama di Asia1.
  • China dan India: Menyumbang 67% produksi agregat global. China sendiri mengonsumsi 14,3 ton agregat per kapita per tahun, jauh di atas rata-rata dunia1.
  • Korelasi dengan semen: Untuk setiap 1 ton semen, digunakan 6–10 ton agregat (pasir dan kerikil). Dengan produksi semen global mencapai 4,1 miliar ton (2017), diperkirakan kebutuhan agregat untuk beton saja mencapai 28,7–32,8 miliar ton1.

Keterbatasan Data dan Pengawasan

  • Tidak ada sistem pemantauan global yang komprehensif untuk ekstraksi pasir, meski dampaknya sangat luas1.
  • Sebagian besar pasir dikonsumsi secara regional karena biaya transportasi tinggi, sehingga pengawasan dan penegakan hukum sering kali lemah di tingkat lokal.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Dari Erosi hingga Konflik Sosial

Dampak Lingkungan

  • Erosi sungai dan pesisir: Ekstraksi pasir dari sungai dan pantai menyebabkan erosi, hilangnya habitat, dan menurunnya kualitas air. Di banyak sungai besar dunia, 50–95% sedimen alami tidak lagi mencapai laut karena penambangan dan pembangunan bendungan1.
  • Kehancuran ekosistem: Penambangan pasir di kawasan sensitif mengancam spesies langka, seperti penyu dan lumba-lumba air tawar, serta menghancurkan habitat ikan dan burung air1.
  • Dampak pada pertanian dan infrastruktur: Erosi sungai menyebabkan hilangnya lahan pertanian, penurunan muka air tanah, dan kerusakan struktur seperti jembatan dan dinding penahan1.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Risiko keselamatan: Banyak pekerja penambangan pasir menghadapi risiko tenggelam, longsor, dan kecelakaan fatal lainnya.
  • Sand mafia: Di India, Maroko, dan negara lain, penambangan pasir ilegal dikuasai kelompok kriminal terorganisir, memicu kekerasan dan korupsi1.
  • Konflik dengan masyarakat lokal: Komunitas yang terdampak sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan hanya memperoleh manfaat ekonomi jangka pendek, sementara menanggung kerugian jangka panjang1.

Studi Kasus Kunci: Dampak Nyata di Lapangan

A. Singapura: Raksasa Impor Pasir Dunia

  • Ekspansi wilayah: Dalam 45 tahun, luas Singapura bertambah 23% (137 km²) melalui reklamasi lahan dengan pasir impor1.
  • Impor pasir: 517 juta ton pasir diimpor selama 20 tahun terakhir, terutama dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Namun, data ekspor-impor tidak sinkron, menunjukkan adanya perdagangan ilegal sekitar 120 juta ton1.
  • Dampak regional: Penambangan pasir untuk kebutuhan Singapura menyebabkan erosi pantai di Indonesia dan Vietnam, serta memicu ketegangan diplomatik1.

B. Braamspunt, Suriname: Konflik Konservasi dan Ekonomi

  • Ekstraksi pasir di kawasan konservasi: Pantai Braamspunt, habitat penting penyu langka, menjadi lokasi penambangan pasir legal dan ilegal meski sudah ada zona konservasi1.
  • Kebijakan tumpang tindih: Izin penambangan diberikan tanpa konsultasi kementerian lingkungan, dan tanpa analisis dampak lingkungan yang wajib1.
  • Aksi masyarakat sipil: LSM lokal berupaya menekan pemerintah agar perlindungan tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi juga di lapangan1.

C. Maroko: Sand Mafia dan Erosi Pantai

  • Penambangan ilegal: Sekitar 10 juta m³ pasir per tahun diambil secara ilegal dari pantai, mengubah lanskap dan mengancam industri pariwisata1.
  • Kerusakan ekonomi: Erosi pantai akibat penambangan pasir mengancam hotel dan infrastruktur wisata, ironi karena pasir digunakan untuk membangun fasilitas tersebut1.

Tantangan Tata Kelola: Fragmentasi, Kurangnya Data, dan Lemahnya Penegakan

Fragmentasi Regulasi

  • Di banyak negara, penambangan pasir diatur secara nasional atau regional, namun implementasi dan pengawasan sering kali lemah karena keterbatasan sumber daya dan korupsi1.
  • Banyak negara telah melarang penambangan pasir di sungai, danau, atau pantai, tetapi penegakan hukum sering tidak efektif.

Peran Aktor Global

  • Hanya sekitar 5% agregat yang diperdagangkan lintas negara, tetapi negara-negara seperti Singapura, UEA, dan Arab Saudi menjadi indikator tren masa depan bagi negara dengan sumber daya terbatas1.
  • Lima perusahaan besar dunia (misal: Sibelco, Holcim, Heidelberg, CRH, Chinese Harbour & Construction Ltd.) menguasai rantai pasok utama, namun ribuan operasi kecil dan informal sulit diawasi1.

Solusi dan Inovasi: Menuju Tata Kelola Pasir yang Berkelanjutan

A. Mengurangi Konsumsi Pasir Alam

  • Perencanaan kota kompak: Mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan memperpanjang umur bangunan melalui perawatan dan adaptasi ulang1.
  • Green infrastructure: Menggantikan infrastruktur beton dengan solusi hijau seperti permeable pavement yang mengurangi kebutuhan pasir sekaligus mengatasi banjir kota1.
  • Studi kasus: Permeable Pavement
    • Digunakan di kota-kota baru di China dan India untuk mengurangi limpasan air dan kebutuhan pasir dalam pembangunan jalan dan trotoar1.
    • Beton permeabel mengurangi kebutuhan pasir hingga 100% pada beberapa desain1.

B. Substitusi dan Daur Ulang Material

  • Agregat daur ulang: Negara seperti Jerman telah mendaur ulang 87% limbah agregat konstruksi, mengurangi tekanan pada sumber daya primer1.
  • Material alternatif: Penggunaan fly ash, slag baja, limbah plastik, kulit kelapa sawit, dan material limbah lainnya sebagai pengganti pasir telah diujicoba di India, Malaysia, China, dan Australia1.
  • Studi kasus: Waste-to-Energy di China
    • Pabrik waste-to-energy terbesar di Shenzhen akan mengolah 5.000 ton sampah per hari, menghasilkan abu dasar yang dapat digunakan sebagai agregat pengganti pasir dalam konstruksi1.

C. Standar dan Praktik Terbaik

  • Adopsi standar internasional: Konvensi seperti Ramsar, UNCLOS, dan berbagai perjanjian regional dapat diadaptasi untuk mengatur ekstraksi pasir1.
  • Praktik industri: Di Inggris, pajak agregat dan pelaporan transparan telah mendorong praktik penambangan yang lebih bertanggung jawab dan restorasi lahan pasca-ekstraksi1.
  • Studi kasus: Restorasi tambang di Eropa
    • Proyek “Life in Quarries” di Belgia berhasil meningkatkan keanekaragaman hayati dengan mengelola tambang sebagai habitat sementara bagi burung langka1.

Rekomendasi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Tata Kelola Pasir Berkelanjutan

A. Penguatan Standar dan Penegakan

  • Setiap negara perlu memiliki kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk perizinan dan pengawasan penambangan pasir, dengan memperhatikan konteks lokal1.
  • Adaptasi pengalaman Eropa dalam pengelolaan agregat dapat menjadi acuan, namun harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi setempat.

B. Investasi dalam Pemantauan dan Data

  • Pengumpulan data dasar tentang ekstraksi, konsumsi, dan dampak pasir harus menjadi prioritas. Sistem pemantauan nasional dan regional perlu diperkuat, termasuk pelacakan rantai pasok1.
  • Studi sedimentasi di DAS dan pesisir sangat penting untuk menentukan kuota ekstraksi yang berkelanjutan.

C. Dialog dan Transparansi Multi-Pihak

  • Semua aktor—pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan komunitas lokal—harus dilibatkan dalam dialog transparan dan akuntabel untuk merumuskan kebijakan dan solusi bersama1.
  • Integrasi sektor pasir ke dalam inisiatif transparansi ekstraktif global seperti Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dapat menjadi langkah awal.

Kritik dan Perbandingan dengan Tren Global

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data dan transparansi: Tanpa data yang akurat, kebijakan sering reaktif dan tidak efektif.
  • Dominasi aktor informal: Ribuan operasi kecil dan sand mafia sulit dijangkau oleh regulasi formal.
  • Perubahan perilaku lambat: Masyarakat dan industri masih memandang pasir sebagai sumber daya tak terbatas.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Penelitian Gavriletea (2017) dan Beiser (2018) menguatkan temuan UNEP tentang dampak destruktif penambangan pasir dan perlunya tata kelola lintas sektor.
  • Studi WWF (2018) menyoroti dampak penambangan pasir di Mekong dan Asia Tenggara, sejalan dengan kasus Singapura dan Vietnam dalam laporan ini.

Konteks Industri dan Tren Masa Depan

  • Circular economy: Industri konstruksi global mulai beralih ke prinsip ekonomi sirkular, mendaur ulang limbah dan mencari material alternatif.
  • Teknologi material: Inovasi seperti beton hijau, agregat dari limbah plastik, dan penggunaan fly ash semakin berkembang, namun adopsi massal masih terbatas oleh biaya dan standar teknik.
  • Urbanisasi berkelanjutan: Kota-kota di China, India, dan Afrika menjadi laboratorium penting untuk solusi pengelolaan pasir yang inovatif.

Paradigma Baru untuk Sumber Daya Tak Terbarukan

Laporan UNEP 2019 menegaskan bahwa krisis pasir adalah salah satu tantangan keberlanjutan terbesar abad ini. Solusi teknis sudah tersedia—mulai dari perencanaan kota kompak, substitusi material, hingga praktik industri terbaik—namun tantangan utama terletak pada tata kelola, transparansi, dan perubahan paradigma bahwa pasir bukanlah sumber daya tak terbatas1.

Masa depan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola sumber daya dasar seperti pasir secara bertanggung jawab, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berinovasi dalam kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Jika tidak, kita akan menghadapi konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar kekurangan bahan bangunan.

Sumber Artikel :

UNEP 2019. Sand and sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources. GRID-Geneva, United Nations Environment Programme, Geneva, Switzerland.

Selengkapnya
Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Perubahan Global

Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air dan Skala sebagai Isu Kunci Tata Kelola Lingkungan Global

Air merupakan sumber daya yang lintas batas, baik secara geografis maupun kelembagaan. Dalam konteks krisis iklim dan urbanisasi cepat, air tak hanya menjadi "emas biru" yang kian langka, tetapi juga menjadi pusat perdebatan tata kelola lintas skala (multilevel governance). Artikel oleh Timothy Moss dan Jens Newig (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam membingkai tantangan "skala" dalam tata kelola air modern. Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah air tidak bisa ditangani hanya pada satu tingkat pemerintahan—baik lokal maupun global—melainkan membutuhkan pendekatan lintas-skala dan lintas-aktor.

Apa Itu Masalah Skala? Memahami Dimensi Biogeofisik dan Kelembagaan

Skala dalam tata kelola lingkungan memiliki dua dimensi utama:

  1. Dimensi Biogeofisik (Hydrological scale) – seperti DAS (Daerah Aliran Sungai), danau, atau cekungan air tanah.
  2. Dimensi Institusional/Politik – seperti desa, kota, negara bagian, atau level supranasional (misalnya Uni Eropa).

Masalah muncul ketika kedua dimensi ini tidak saling "fit". Misalnya, batas administratif tidak selalu sesuai dengan batas ekosistem air. Hal ini memicu berbagai masalah:

  • Misfit scalar: Ketika sistem kelembagaan tidak sejalan dengan proses ekologi (misalnya, DAS yang membentang lintas wilayah administratif).
  • Vertical interplay: Ketegangan antara kebijakan pusat dan lokal.
  • Rescaling: Perubahan level tata kelola, baik karena desentralisasi (ke bawah) atau integrasi regional (ke atas).
  • Up/downscaling: Generalisasi kebijakan dari satu skala ke skala lain, yang seringkali tidak kontekstual.

Tata Kelola Air Multilevel: Kompleksitas Tak Terelakkan

Pengelolaan air kini tidak lagi menjadi ranah satu aktor tunggal. Dalam era "governance", keterlibatan banyak pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga organisasi supranasional—menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tata kelola air menjadi arena yang sangat sensitif terhadap dinamika skala.

Studi Kasus: Water Framework Directive (WFD) Uni Eropa

WFD mensyaratkan pengelolaan air berdasarkan DAS, bukan batas negara atau provinsi. Ini menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan, di mana aktor-aktor yang mampu beroperasi lintas skala (misalnya LSM besar atau birokrasi pusat) cenderung lebih dominan dibanding komunitas lokal.

Dilema Demokrasi dalam Tata Kelola Air

Artikel ini menyoroti dilema mendasar dalam tata kelola multilevel: antara partisipasi warga (input legitimacy) dan efektivitas kebijakan (output legitimacy).

  • Semakin tinggi level pengambilan keputusan, semakin sulit bagi warga biasa untuk berpartisipasi secara langsung.
  • Semakin rendah level (lokal), efektivitas dalam mengatasi isu kompleks seperti polusi lintas batas atau perubahan iklim juga menurun.

Robert Dahl (1994) menyebut ini sebagai “dilema demokrasi antara partisipasi warga dan efektivitas sistem.”

Sudut Pandang Disipliner: Beragam, Tapi Saling Melengkapi

Artikel ini memperkenalkan pendekatan interdisipliner terhadap masalah skala dalam tata kelola air. Beberapa pendekatan yang dibahas antara lain:

  1. Pendekatan Federalisme Ekonomi (Benson & Jordan)
    Menekankan distribusi fungsi pemerintahan dan pembiayaan antar skala. Mereka membedakan tiga jenis "spillovers":
    • Pollution spillover (contoh: limbah yang meresap ke wilayah tetangga),
    • Competitive spillover (contoh: kompetisi antar wilayah untuk investasi yang melemahkan standar lingkungan),
    • Preservation spillover (contoh: wisatawan dari kota lain yang memanfaatkan keindahan alam wilayah tertentu tanpa berkontribusi langsung pada pelestariannya).
  2. Ekonomi Biaya Transaksi (Roggero & Fritsch)
    Mengkaji efisiensi rescaling dalam pengelolaan Lagoon Venice, Italia, dengan mempertimbangkan biaya koordinasi antarlembaga pada berbagai level.
  3. Deliberatif-Partisipatif (Dore & Lebel)
    Melalui studi tentang Mekong, mereka mendorong deliberasi sebagai jalan tengah untuk mengatasi kompleksitas skala sambil meningkatkan legitimasi.
  4. Pendekatan Geografi Kritis (Thiel, Vreugdenhil dkk.)
    Menjelaskan bagaimana skala merupakan produk sosial-politik yang dinegosiasikan, bukan sesuatu yang alami. Skala adalah alat kekuasaan.

Studi Kasus dan Temuan Kunci:

1. Mekong River (Asia Tenggara) – Dore & Lebel

Dalam pengelolaan Sungai Mekong, skala dipolitisasi oleh berbagai aktor. Negara bagian, LSM, dan lembaga internasional masing-masing "memainkan" skala yang sesuai kepentingan mereka:

  • Negara nasional cenderung mengutamakan skala administratif,
  • LSM menggunakan skala ekosistem untuk mendorong pelestarian,
  • Investor memainkan skala ekonomi (wilayah industri atau turisme).

Temuan penting: Partisipasi tidak cukup; aktor juga harus memiliki kapasitas lintas-skala agar benar-benar berpengaruh.

2. Algarve, Portugal – Thiel

Pemerintah pusat menggunakan dana Uni Eropa dan argumen krisis air untuk merebut kembali kontrol dari pemerintah lokal. Dengan dalih krisis, terjadi "upscaling" kekuasaan. Tujuannya? Melayani kepentingan turisme dan agribisnis skala besar.

3. The Netherlands – Vreugdenhil et al.

Dalam upaya restorasi floodplain, ditemukan bahwa perbedaan pemahaman tentang "skala yang relevan" (ekologis vs administratif) memicu konflik antar aktor. Para peneliti mengusulkan "mapping perbedaan skalar" untuk mengidentifikasi titik benturan sejak awal.

Menantang Kebijakan Konvensional: Apakah Skala DAS Selalu Ideal?

Pendekatan river basin management telah menjadi paradigma dominan. Namun, artikel ini mempertanyakan keabsahan universal dari pendekatan ini:

  • Dalam kasus EU WFD, Moss menunjukkan bahwa pemaksaan pengelolaan berdasarkan DAS bisa mengabaikan konteks lokal.
  • Benson & Jordan membandingkan pendekatan terpusat UE dengan desentralisasi di Australia. Kesimpulan: tidak ada satu model skala yang cocok untuk semua situasi.
  • Dalam banyak kasus, DAS sebagai unit pengelolaan bisa menciptakan masalah baru jika tidak diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan dan partisipasi sejati.

Skala sebagai Produk Politik: Siapa Diuntungkan, Siapa Tersingkir?

Skala bukan sekadar unit spasial. Dalam banyak kasus, skala dikonstruksi untuk melayani kekuasaan. Beberapa temuan menarik:

  • Aktor besar (negara, perusahaan) lebih mampu melakukan "scale jumping" untuk mendapatkan pengaruh.
  • Skala bisa digunakan untuk melegitimasi intervensi eksternal—misalnya, Uni Eropa mengintervensi lokalitas atas nama koordinasi lintas batas.
  • Skala sering dijadikan "pembungkus" narasi—misalnya, "masalah ini terlalu besar untuk lokal, perlu pengelolaan global".

Implikasi Praktis dan Rekomendasi:

Untuk Peneliti:

  • Gunakan pendekatan lintas skala dan interdisipliner dalam studi kebijakan air.
  • Hindari asumsi bahwa "skala DAS" selalu solusi terbaik.

Untuk Pengambil Kebijakan:

  • Akui bahwa skala bersifat dinamis dan dapat dinegosiasikan.
  • Rancang kebijakan dengan mempertimbangkan konflik skalar dan potensi manipulasi kekuasaan.
  • Perkuat kemampuan komunitas lokal agar dapat berpartisipasi secara bermakna lintas skala.

Untuk Aktivis Lingkungan:

  • Kuasai narasi dan peta skala untuk mengadvokasi kebijakan.
  • Bangun koalisi lintas level: dari komunitas lokal hingga forum internasional.

Kesimpulan: Skala Bukan Masalah Teknis, Tapi Politik

Artikel ini berhasil membongkar mitos teknokratis dalam pengelolaan air. Masalah skala bukan soal teknis belaka, melainkan medan perebutan kekuasaan, legitimasi, dan efisiensi. Dalam era tata kelola lingkungan yang semakin kompleks dan saling terhubung, memahami dinamika skala menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.

Bukan lagi pertanyaan “di level mana keputusan harus dibuat?”, melainkan “siapa yang mengontrol skala, dan untuk tujuan siapa?”.

Sumber Artikel:

Moss, T., & Newig, J. (2010). Multilevel Water Governance and Problems of Scale: Setting the Stage for a Broader Debate. Environmental Management, 46, 1–6. DOI: 10.1007/s00267-010-9531-1

Selengkapnya
Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Perubahan Global

Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Planet dalam Titik Kritis

Ketika dunia memperingati 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), kita justru dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan: enam dari sembilan batas planet telah dilampaui. Laporan khusus dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), bertajuk “Stepping Back from the Precipice”, menyampaikan pesan yang tegas: kita tidak bisa menunda transformasi dalam cara kita mengelola lahan.

Lahan bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi kehidupan. Ia menopang iklim, menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, menyediakan pangan, dan mendukung budaya. Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, pertanian intensif, dan urbanisasi telah mendorong sistem bumi ke arah titik kritis yang berisiko memicu keruntuhan ekologis.

Kerangka Batas Planet: Sinyal Bahaya Global

Konsep planetary boundaries yang dipelopori oleh Johan Rockström dkk. mengidentifikasi sembilan proses penting dalam sistem bumi yang memiliki ambang batas aman. Jika terlampaui, risiko terjadinya perubahan besar yang tak dapat dipulihkan meningkat drastis.

Dari sembilan batas ini, tujuh sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan:

  • Perubahan sistem lahan
  • Perubahan iklim
  • Gangguan integritas biosfer
  • Perubahan air tawar
  • Aliran biogeokimia (nitrogen dan fosfor)
  • Entitas baru (polutan sintetis)
  • Beban aerosol atmosfer

Fakta mengejutkan: enam dari sembilan batas telah dilampaui, termasuk batas untuk perubahan sistem lahan, integritas biosfer, dan aliran nitrogen. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, umat manusia telah mengguncang stabilitas bumi yang dibangun selama 11.700 tahun era Holosen.

Skala Kerusakan: Dari Amazon hingga Sawah Subur

Laporan PIK menunjukkan bahwa hanya 60% dari tutupan hutan global yang masih tersisa – jauh di bawah ambang batas 75% yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim global. Dalam beberapa dekade terakhir:

  • 90% deforestasi disebabkan oleh ekspansi pertanian
  • Savana dan padang rumput kehilangan fungsinya karena konversi lahan
  • Daerah kering (drylands) mengalami desertifikasi permanen akibat overgrazing dan kekeringan

Sebagai contoh, hutan Amazon mengalami deforestasi begitu parah hingga memicu umpan balik yang mempercepat pengeringan kawasan tersebut. Studi menyebutkan potensi tipping point yang bisa mengubah kawasan ini dari penyerap karbon menjadi sumber emisi.

Biaya Nyata: Triliunan Dolar dan Krisis Pangan

Nilai kerugian dari degradasi lahan tidak main-main. Menurut inisiatif Economics of Land Degradation (ELD), kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan mencapai antara USD 6,3 hingga 10,6 triliun per tahun.

Kehilangan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial:

  • Penurunan produktivitas pertanian
  • Krisis air dan kekeringan
  • Konflik lahan dan migrasi ekologis
  • Ketimpangan sosial akibat akses lahan yang tidak merata

Dimensi Sosial-Ekonomi: Siapa yang Paling Rentan?

Transformasi lahan sering terjadi tanpa memperhatikan dimensi keadilan. Laporan PIK menyoroti kelompok paling terdampak:

  • Petani kecil yang kehilangan akses tanah subur
  • Komunitas adat yang tergeser oleh ekspansi agribisnis
  • Perempuan yang tidak memiliki hak atas lahan
  • Masyarakat urban yang terancam oleh banjir akibat betonisasi lahan hijau

Ketidakadilan distribusi manfaat dan beban ini memperparah risiko sosial, memperdalam ketimpangan, dan menghambat partisipasi publik dalam restorasi lahan.

Transformasi Nyata: Strategi Keluar dari Jurang Krisis

Laporan PIK menyarankan enam pendekatan transformatif untuk menjaga keberlanjutan sistem lahan:

1. Produktivitas dan Kesehatan Tanah

Intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) diperlukan untuk meningkatkan hasil tanpa merusak tanah. Teknologi organik, rotasi tanaman, dan agroekologi terbukti memperbaiki produktivitas sekaligus menjaga kualitas tanah.

2. Restorasi Ekosistem

Contoh sukses datang dari program “Green Great Wall” di Afrika dan restorasi hutan mangrove di Asia Tenggara yang tidak hanya menahan abrasi tetapi juga memperbaiki perikanan pesisir.

3. Manajemen Air Berbasis Ekosistem

Dengan 18% daratan dunia kini mengalami kekeringan ekstrem (indikator blue water) dan 15,8% menghadapi kehilangan kelembaban tanah (green water), diperlukan pendekatan berbasis ekohidrologi dan efisiensi irigasi.

4. Solusi Digital

Pemanfaatan AI, big data, dan remote sensing dalam pemetaan degradasi lahan dan pengambilan keputusan berbasis bukti semakin krusial.

5. Integrasi Rantai Pasok

Kebijakan lahan tidak bisa dipisahkan dari konsumsi global. Praktik produksi kedelai di Amerika Selatan, misalnya, terkait erat dengan permintaan pakan di Eropa dan Asia. Transparansi rantai pasok dan jejak karbon produk pertanian perlu ditingkatkan.

6. Perbaikan Tata Kelola

Laporan menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah, transparansi, dan insentif fiskal untuk restorasi. Subsidi yang justru mendorong deforestasi perlu direformasi.

Studi Kasus Inspiratif: Harapan dari Berbagai Belahan Dunia

• Ethiopia: Regreening Highlands

Melalui community-led watershed management, lebih dari 3 juta hektar lahan berhasil direstorasi. Peningkatan tutupan vegetasi berdampak positif pada air tanah dan ketahanan pangan.

• Brasil: Pembatasan Legal Amazon

Meskipun mendapat tekanan dari ekspansi pertanian, beberapa wilayah di Brasil berhasil menurunkan deforestasi melalui sistem monitoring berbasis satelit, penegakan hukum, dan insentif bagi petani kecil.

• India: Digital Soil Health Cards

Program ini meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan memperbaiki hasil panen di lebih dari 140 juta petani.

Pendekatan Adil: Transformasi Tidak Bisa Seragam

Laporan PIK menegaskan pentingnya prinsip keadilan dan inklusivitas dalam aksi transformatif. Tidak semua negara, komunitas, atau individu memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis fair share, pengurangan jejak ekologis negara maju, dan dukungan keuangan internasional menjadi sangat penting.

Rekomendasi Kebijakan: Dari Ilmiah ke Implementasi

  1. Integrasikan batas planet dalam kebijakan nasional dan lokal.
  2. Berikan prioritas pendanaan untuk restorasi dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
  3. Bangun mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat akar rumput.
  4. Reformasi sistem subsidi pertanian dan kehutanan agar sejalan dengan keberlanjutan.
  5. Gunakan kerangka kerja batas planet sebagai alat pengambilan keputusan dalam perdagangan, investasi, dan infrastruktur.

Penutup: Kita Masih Bisa Melangkah Mundur

Laporan PIK memberikan kita peta jalan untuk menghindari bencana ekologi yang sedang mengintai. Dengan pengelolaan lahan yang berkeadilan, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, kita masih memiliki peluang untuk melangkah mundur dari jurang.

Masa depan tidak ditentukan oleh ketidakpastian, tetapi oleh pilihan. Dan pilihan itu harus dimulai dari bagaimana kita memperlakukan lahan—penyangga kehidupan kita di planet ini.

Sumber Artikel:

Tomalka, J., Hunecke, C., Murken, L., Heckmann, T., Cronauer, C., Becker, R., Collignon, Q., Collins-Sowah, P., Crawford, M., Gloy, N., Hampf, A., Lotze-Campen, H., Malevolti, G., Maskell, G., Müller, C., Popp, A., Vodounhessi, M., Gornott, C., Rockström, J. (2024). Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries. Potsdam, Germany: Potsdam Institute for Climate Impact Research.

Selengkapnya
Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi

Perubahan Global

Membangun Ketahanan dalam Sistem Sosial-Ekologis: Strategi Adaptif untuk Menghadapi Perubahan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengapa Sistem Sosial dan Ekologi Tidak Bisa Dipisahkan

Krisis iklim, degradasi lingkungan, dan disrupsi sosial-ekonomi telah mengubah cara kita memandang hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun sistem yang tidak hanya tahan terhadap guncangan, tetapi juga mampu beradaptasi dan bertransformasi. Buku Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change, yang diedit oleh Fikret Berkes, Johan Colding, dan Carl Folke, menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami bagaimana masyarakat bisa membangun resiliensi sosial-ekologis dalam menghadapi dinamika dan ketidakpastian masa depan.

Apa Itu Sistem Sosial-Ekologis dan Ketahanan?

Sistem sosial-ekologis (SES) adalah sistem yang saling terkait antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Dalam konteks ini, “resiliensi” bukan sekadar kemampuan bertahan, tetapi juga:

  • Kapasitas untuk menyerap gangguan,
  • Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kondisi,
  • Dan potensi untuk melakukan transformasi struktural bila diperlukan.

Buku ini membingkai ketahanan sebagai proses aktif dan bukan kondisi tetap. Dalam dunia yang semakin kompleks dan tak terduga, pendekatan ini menjadi sangat relevan.

Tiga Modal Ketahanan: Persistensi, Adaptasi, dan Transformasi

Salah satu kontribusi terbesar buku ini adalah penjabaran tentang tiga modal utama dalam membangun ketahanan:

  1. Persistensi: Kemampuan sistem untuk mempertahankan struktur dan fungsi utama meskipun terjadi gangguan.
  2. Adaptasi: Kapasitas aktor sosial (individu, komunitas, lembaga) untuk belajar dan mengubah perilaku agar sesuai dengan kondisi baru.
  3. Transformasi: Kemampuan untuk mengubah sistem secara menyeluruh ketika sistem saat ini sudah tidak bisa lagi menopang keberlanjutan.

Ketiga modal ini bukan hanya teoretis, tetapi juga dijelaskan melalui berbagai studi kasus konkret dari seluruh dunia.

Studi Kasus: Ketahanan dalam Praktik Nyata

1. Kepulauan James Bay Cree, Kanada

Komunitas adat Cree di Kanada menghadapi tekanan besar dari pembangunan bendungan hidroelektrik yang merusak lanskap dan ekosistem tradisional mereka. Namun, alih-alih menyerah pada dampak tersebut, mereka menunjukkan adaptasi dengan:

  • Mengintegrasikan pengetahuan lokal dan ilmiah dalam pemantauan perubahan lingkungan,
  • Menegosiasikan hak-hak pengelolaan dengan pemerintah,
  • Mengembangkan lembaga kolaboratif untuk melindungi sumber daya air dan perikanan.

Hasilnya? Komunitas ini tidak hanya bertahan, tetapi memperkuat posisi politik dan ekologis mereka di wilayah tersebut.

2. Perikanan Laguna Venice, Italia

Perikanan laguna di Venice menghadapi tantangan dari polusi industri dan perubahan pasar global. Melalui penguatan koperasi lokal, adaptasi terhadap regulasi Uni Eropa, dan perlindungan ekosistem perairan, nelayan berhasil mempertahankan ketahanan ekonomi sambil menjaga ekosistem.

Ini adalah contoh bagaimana kapasitas kelembagaan dan adaptasi pasar bisa memperkuat ketahanan dalam sistem SES.

3. Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Subak)

Sistem Subak, yang berusia ratusan tahun, adalah bentuk tata kelola air berbasis komunitas di Bali. Dalam sistem ini:

  • Keputusan distribusi air diambil secara kolektif melalui pura dan forum adat.
  • Pengetahuan lokal diwariskan lintas generasi.
  • Hubungan antara agama, ekologi, dan produksi pertanian menyatu dalam satu sistem yang adaptif terhadap cuaca dan krisis.

Ketika sistem ini mulai tertekan oleh pembangunan pariwisata dan perubahan kebijakan pertanian nasional, Subak tetap menjadi contoh ketahanan berbasis budaya dan spiritualitas.

Kunci Ketahanan: Sembilan Prinsip Pengelolaan Sistem SES

Para penulis merumuskan sembilan prinsip inti untuk memperkuat ketahanan sosial-ekologis, antara lain:

  1. Belajar adaptif dan eksperimentasi: Tidak ada satu solusi tetap; semua kebijakan harus dianggap uji coba yang bisa diperbaiki.
  2. Diversitas dan redundansi: Keanekaragaman ekologi dan sosial meningkatkan peluang sistem untuk bertahan.
  3. Konektivitas: Hubungan antar elemen sistem harus seimbang—tidak terlalu terisolasi, tapi juga tidak terlalu terhubung hingga rentan.
  4. Partisipasi dan pembelajaran sosial: Keberhasilan jangka panjang membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan.
  5. Sumber daya pengetahuan lokal: Pengetahuan tradisional bukanlah warisan masa lalu, melainkan aset masa depan.
  6. Kepemimpinan lintas skala: Dibutuhkan pemimpin lokal, regional, dan nasional yang mampu menjembatani berbagai level pengambilan keputusan.
  7. Kepercayaan dan jejaring sosial: Ketahanan sosial tumbuh dari hubungan timbal balik, bukan dari kontrol sepihak.
  8. Monitoring dan feed-back loop: Evaluasi berkelanjutan memungkinkan penyesuaian kebijakan secara real time.
  9. Peluang untuk transformasi: Sistem harus mengenali kapan saatnya berubah secara radikal, bukan hanya memperbaiki bagian-bagian kecil.

Dinamika Skala dan Waktu: Tantangan Lintas Dimensi

Salah satu kekuatan buku ini adalah penguraian bagaimana sistem sosial-ekologis beroperasi dalam berbagai skala ruang dan waktu. Sebuah keputusan pertanian lokal bisa berdampak pada perubahan iklim global, sementara kejadian global seperti pandemi bisa mengguncang ekonomi lokal.

Oleh karena itu, pendekatan ketahanan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Perlu mekanisme koordinasi antar-skala, seperti:

  • Kelembagaan lintas pemerintah,
  • Forum multi-aktor dari komunitas hingga korporasi,
  • Integrasi data spasial dan temporal untuk perencanaan jangka panjang.

Mengelola Ketidakpastian: Dari Stresor hingga Tipping Point

Ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari sistem SES. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak melihat ketidakpastian sebagai musuh, tetapi sebagai ruang inovasi dan pembelajaran.

Contohnya adalah bagaimana ekosistem perairan dapat bertahan terhadap pencemaran jangka pendek, tapi bisa kolaps jika melewati batas ambang (tipping point). Strategi yang disarankan adalah:

  • Memantau indikator awal perubahan mendasar,
  • Mengembangkan skenario masa depan,
  • Menggunakan “resilience thinking” dalam evaluasi risiko.

Kritik dan Nilai Tambah dari Buku Ini

Kelebihan:

  • Berbasis data empiris dari berbagai belahan dunia.
  • Menyatukan teori dan praktik dengan sangat baik.
  • Memberikan panduan konkret untuk kebijakan dan tata kelola.

Catatan Kritis:

  • Beberapa bagian terlalu teoretis bagi pembaca non-akademik.
  • Kurang eksplorasi konteks perkotaan modern seperti smart cities dan platform digital dalam membentuk resiliensi.
  • Minim data kuantitatif atau metrik yang bisa langsung diterapkan oleh pembuat kebijakan.

Meski demikian, nilai utama buku ini adalah sebagai kerangka kerja strategis untuk berpikir lintas disiplin dan lintas skala.

Relevansi untuk Indonesia dan Dunia Global Selatan

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keragaman budaya dan risiko bencana yang tinggi, sangat membutuhkan pendekatan seperti ini. Sistem irigasi tradisional, hutan adat, dan komunitas pesisir memiliki karakteristik SES yang khas. Namun, tekanan dari ekonomi ekstraktif dan proyek infrastruktur besar sering mengabaikan prinsip-prinsip ketahanan sosial-ekologis.

Menerapkan prinsip dari buku ini akan sangat membantu dalam:

  • Membangun kota tangguh terhadap iklim,
  • Merancang sistem pangan lokal yang adaptif,
  • Melindungi hak masyarakat adat atas sumber daya alam.

Menuju Masa Depan yang Adaptif dan Kolaboratif

“Navigating Social-Ecological Systems” bukan hanya bacaan akademis, tetapi panduan praktis bagi siapa saja yang ingin membangun masa depan berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian iklim, krisis air, dan gejolak sosial, membangun ketahanan berarti menyatukan pengetahuan lokal, tata kelola partisipatif, dan fleksibilitas dalam kebijakan.

Sebagaimana ditegaskan dalam buku ini, ketahanan bukanlah soal bertahan tanpa perubahan, melainkan kemampuan untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.

Sumber Artikel :

Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (Eds.). (2003). Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan dalam Sistem Sosial-Ekologis: Strategi Adaptif untuk Menghadapi Perubahan Global
page 1 of 1