Perubahan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Pasir, Fondasi Tak Terlihat yang Kini Terancam
Pasir dan kerikil adalah bahan dasar tak tergantikan dalam pembangunan dunia modern—mulai dari beton, kaca, hingga elektronik. Namun, laporan “Sand and Sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources” yang diterbitkan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019, mengungkapkan bahwa konsumsi pasir global telah melonjak tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun atau sekitar 18 kg per orang per hari. Ironisnya, di balik peran vitalnya, pasir merupakan salah satu sumber daya yang paling tidak diatur dan paling rentan terhadap eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial1.
Artikel ini akan mengupas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data dan studi kasus utama, membandingkan dengan tren global, serta menawarkan analisis dan rekomendasi bagi pembaca industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.
Skala Permasalahan: Pasir sebagai Krisis Sumber Daya Abad ke-21
Lonjakan Permintaan dan Konsumsi
Keterbatasan Data dan Pengawasan
Dampak Lingkungan dan Sosial: Dari Erosi hingga Konflik Sosial
Dampak Lingkungan
Dampak Sosial dan Ekonomi
Studi Kasus Kunci: Dampak Nyata di Lapangan
A. Singapura: Raksasa Impor Pasir Dunia
B. Braamspunt, Suriname: Konflik Konservasi dan Ekonomi
C. Maroko: Sand Mafia dan Erosi Pantai
Tantangan Tata Kelola: Fragmentasi, Kurangnya Data, dan Lemahnya Penegakan
Fragmentasi Regulasi
Peran Aktor Global
Solusi dan Inovasi: Menuju Tata Kelola Pasir yang Berkelanjutan
A. Mengurangi Konsumsi Pasir Alam
B. Substitusi dan Daur Ulang Material
C. Standar dan Praktik Terbaik
Rekomendasi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Tata Kelola Pasir Berkelanjutan
A. Penguatan Standar dan Penegakan
B. Investasi dalam Pemantauan dan Data
C. Dialog dan Transparansi Multi-Pihak
Kritik dan Perbandingan dengan Tren Global
Kritik dan Tantangan
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Konteks Industri dan Tren Masa Depan
Paradigma Baru untuk Sumber Daya Tak Terbarukan
Laporan UNEP 2019 menegaskan bahwa krisis pasir adalah salah satu tantangan keberlanjutan terbesar abad ini. Solusi teknis sudah tersedia—mulai dari perencanaan kota kompak, substitusi material, hingga praktik industri terbaik—namun tantangan utama terletak pada tata kelola, transparansi, dan perubahan paradigma bahwa pasir bukanlah sumber daya tak terbatas1.
Masa depan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola sumber daya dasar seperti pasir secara bertanggung jawab, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berinovasi dalam kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Jika tidak, kita akan menghadapi konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar kekurangan bahan bangunan.
Sumber Artikel :
UNEP 2019. Sand and sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources. GRID-Geneva, United Nations Environment Programme, Geneva, Switzerland.
Perubahan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Air dan Skala sebagai Isu Kunci Tata Kelola Lingkungan Global
Air merupakan sumber daya yang lintas batas, baik secara geografis maupun kelembagaan. Dalam konteks krisis iklim dan urbanisasi cepat, air tak hanya menjadi "emas biru" yang kian langka, tetapi juga menjadi pusat perdebatan tata kelola lintas skala (multilevel governance). Artikel oleh Timothy Moss dan Jens Newig (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam membingkai tantangan "skala" dalam tata kelola air modern. Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah air tidak bisa ditangani hanya pada satu tingkat pemerintahan—baik lokal maupun global—melainkan membutuhkan pendekatan lintas-skala dan lintas-aktor.
Apa Itu Masalah Skala? Memahami Dimensi Biogeofisik dan Kelembagaan
Skala dalam tata kelola lingkungan memiliki dua dimensi utama:
Masalah muncul ketika kedua dimensi ini tidak saling "fit". Misalnya, batas administratif tidak selalu sesuai dengan batas ekosistem air. Hal ini memicu berbagai masalah:
Tata Kelola Air Multilevel: Kompleksitas Tak Terelakkan
Pengelolaan air kini tidak lagi menjadi ranah satu aktor tunggal. Dalam era "governance", keterlibatan banyak pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga organisasi supranasional—menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tata kelola air menjadi arena yang sangat sensitif terhadap dinamika skala.
Studi Kasus: Water Framework Directive (WFD) Uni Eropa
WFD mensyaratkan pengelolaan air berdasarkan DAS, bukan batas negara atau provinsi. Ini menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan, di mana aktor-aktor yang mampu beroperasi lintas skala (misalnya LSM besar atau birokrasi pusat) cenderung lebih dominan dibanding komunitas lokal.
Dilema Demokrasi dalam Tata Kelola Air
Artikel ini menyoroti dilema mendasar dalam tata kelola multilevel: antara partisipasi warga (input legitimacy) dan efektivitas kebijakan (output legitimacy).
Robert Dahl (1994) menyebut ini sebagai “dilema demokrasi antara partisipasi warga dan efektivitas sistem.”
Sudut Pandang Disipliner: Beragam, Tapi Saling Melengkapi
Artikel ini memperkenalkan pendekatan interdisipliner terhadap masalah skala dalam tata kelola air. Beberapa pendekatan yang dibahas antara lain:
Studi Kasus dan Temuan Kunci:
1. Mekong River (Asia Tenggara) – Dore & Lebel
Dalam pengelolaan Sungai Mekong, skala dipolitisasi oleh berbagai aktor. Negara bagian, LSM, dan lembaga internasional masing-masing "memainkan" skala yang sesuai kepentingan mereka:
Temuan penting: Partisipasi tidak cukup; aktor juga harus memiliki kapasitas lintas-skala agar benar-benar berpengaruh.
2. Algarve, Portugal – Thiel
Pemerintah pusat menggunakan dana Uni Eropa dan argumen krisis air untuk merebut kembali kontrol dari pemerintah lokal. Dengan dalih krisis, terjadi "upscaling" kekuasaan. Tujuannya? Melayani kepentingan turisme dan agribisnis skala besar.
3. The Netherlands – Vreugdenhil et al.
Dalam upaya restorasi floodplain, ditemukan bahwa perbedaan pemahaman tentang "skala yang relevan" (ekologis vs administratif) memicu konflik antar aktor. Para peneliti mengusulkan "mapping perbedaan skalar" untuk mengidentifikasi titik benturan sejak awal.
Menantang Kebijakan Konvensional: Apakah Skala DAS Selalu Ideal?
Pendekatan river basin management telah menjadi paradigma dominan. Namun, artikel ini mempertanyakan keabsahan universal dari pendekatan ini:
Skala sebagai Produk Politik: Siapa Diuntungkan, Siapa Tersingkir?
Skala bukan sekadar unit spasial. Dalam banyak kasus, skala dikonstruksi untuk melayani kekuasaan. Beberapa temuan menarik:
Implikasi Praktis dan Rekomendasi:
Untuk Peneliti:
Untuk Pengambil Kebijakan:
Untuk Aktivis Lingkungan:
Kesimpulan: Skala Bukan Masalah Teknis, Tapi Politik
Artikel ini berhasil membongkar mitos teknokratis dalam pengelolaan air. Masalah skala bukan soal teknis belaka, melainkan medan perebutan kekuasaan, legitimasi, dan efisiensi. Dalam era tata kelola lingkungan yang semakin kompleks dan saling terhubung, memahami dinamika skala menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.
Bukan lagi pertanyaan “di level mana keputusan harus dibuat?”, melainkan “siapa yang mengontrol skala, dan untuk tujuan siapa?”.
Sumber Artikel:
Moss, T., & Newig, J. (2010). Multilevel Water Governance and Problems of Scale: Setting the Stage for a Broader Debate. Environmental Management, 46, 1–6. DOI: 10.1007/s00267-010-9531-1
Perubahan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Planet dalam Titik Kritis
Ketika dunia memperingati 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), kita justru dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan: enam dari sembilan batas planet telah dilampaui. Laporan khusus dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), bertajuk “Stepping Back from the Precipice”, menyampaikan pesan yang tegas: kita tidak bisa menunda transformasi dalam cara kita mengelola lahan.
Lahan bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi kehidupan. Ia menopang iklim, menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, menyediakan pangan, dan mendukung budaya. Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, pertanian intensif, dan urbanisasi telah mendorong sistem bumi ke arah titik kritis yang berisiko memicu keruntuhan ekologis.
Kerangka Batas Planet: Sinyal Bahaya Global
Konsep planetary boundaries yang dipelopori oleh Johan Rockström dkk. mengidentifikasi sembilan proses penting dalam sistem bumi yang memiliki ambang batas aman. Jika terlampaui, risiko terjadinya perubahan besar yang tak dapat dipulihkan meningkat drastis.
Dari sembilan batas ini, tujuh sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan:
Fakta mengejutkan: enam dari sembilan batas telah dilampaui, termasuk batas untuk perubahan sistem lahan, integritas biosfer, dan aliran nitrogen. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, umat manusia telah mengguncang stabilitas bumi yang dibangun selama 11.700 tahun era Holosen.
Skala Kerusakan: Dari Amazon hingga Sawah Subur
Laporan PIK menunjukkan bahwa hanya 60% dari tutupan hutan global yang masih tersisa – jauh di bawah ambang batas 75% yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim global. Dalam beberapa dekade terakhir:
Sebagai contoh, hutan Amazon mengalami deforestasi begitu parah hingga memicu umpan balik yang mempercepat pengeringan kawasan tersebut. Studi menyebutkan potensi tipping point yang bisa mengubah kawasan ini dari penyerap karbon menjadi sumber emisi.
Biaya Nyata: Triliunan Dolar dan Krisis Pangan
Nilai kerugian dari degradasi lahan tidak main-main. Menurut inisiatif Economics of Land Degradation (ELD), kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan mencapai antara USD 6,3 hingga 10,6 triliun per tahun.
Kehilangan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial:
Dimensi Sosial-Ekonomi: Siapa yang Paling Rentan?
Transformasi lahan sering terjadi tanpa memperhatikan dimensi keadilan. Laporan PIK menyoroti kelompok paling terdampak:
Ketidakadilan distribusi manfaat dan beban ini memperparah risiko sosial, memperdalam ketimpangan, dan menghambat partisipasi publik dalam restorasi lahan.
Transformasi Nyata: Strategi Keluar dari Jurang Krisis
Laporan PIK menyarankan enam pendekatan transformatif untuk menjaga keberlanjutan sistem lahan:
1. Produktivitas dan Kesehatan Tanah
Intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) diperlukan untuk meningkatkan hasil tanpa merusak tanah. Teknologi organik, rotasi tanaman, dan agroekologi terbukti memperbaiki produktivitas sekaligus menjaga kualitas tanah.
2. Restorasi Ekosistem
Contoh sukses datang dari program “Green Great Wall” di Afrika dan restorasi hutan mangrove di Asia Tenggara yang tidak hanya menahan abrasi tetapi juga memperbaiki perikanan pesisir.
3. Manajemen Air Berbasis Ekosistem
Dengan 18% daratan dunia kini mengalami kekeringan ekstrem (indikator blue water) dan 15,8% menghadapi kehilangan kelembaban tanah (green water), diperlukan pendekatan berbasis ekohidrologi dan efisiensi irigasi.
4. Solusi Digital
Pemanfaatan AI, big data, dan remote sensing dalam pemetaan degradasi lahan dan pengambilan keputusan berbasis bukti semakin krusial.
5. Integrasi Rantai Pasok
Kebijakan lahan tidak bisa dipisahkan dari konsumsi global. Praktik produksi kedelai di Amerika Selatan, misalnya, terkait erat dengan permintaan pakan di Eropa dan Asia. Transparansi rantai pasok dan jejak karbon produk pertanian perlu ditingkatkan.
6. Perbaikan Tata Kelola
Laporan menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah, transparansi, dan insentif fiskal untuk restorasi. Subsidi yang justru mendorong deforestasi perlu direformasi.
Studi Kasus Inspiratif: Harapan dari Berbagai Belahan Dunia
• Ethiopia: Regreening Highlands
Melalui community-led watershed management, lebih dari 3 juta hektar lahan berhasil direstorasi. Peningkatan tutupan vegetasi berdampak positif pada air tanah dan ketahanan pangan.
• Brasil: Pembatasan Legal Amazon
Meskipun mendapat tekanan dari ekspansi pertanian, beberapa wilayah di Brasil berhasil menurunkan deforestasi melalui sistem monitoring berbasis satelit, penegakan hukum, dan insentif bagi petani kecil.
• India: Digital Soil Health Cards
Program ini meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan memperbaiki hasil panen di lebih dari 140 juta petani.
Pendekatan Adil: Transformasi Tidak Bisa Seragam
Laporan PIK menegaskan pentingnya prinsip keadilan dan inklusivitas dalam aksi transformatif. Tidak semua negara, komunitas, atau individu memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis fair share, pengurangan jejak ekologis negara maju, dan dukungan keuangan internasional menjadi sangat penting.
Rekomendasi Kebijakan: Dari Ilmiah ke Implementasi
Penutup: Kita Masih Bisa Melangkah Mundur
Laporan PIK memberikan kita peta jalan untuk menghindari bencana ekologi yang sedang mengintai. Dengan pengelolaan lahan yang berkeadilan, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, kita masih memiliki peluang untuk melangkah mundur dari jurang.
Masa depan tidak ditentukan oleh ketidakpastian, tetapi oleh pilihan. Dan pilihan itu harus dimulai dari bagaimana kita memperlakukan lahan—penyangga kehidupan kita di planet ini.
Sumber Artikel:
Tomalka, J., Hunecke, C., Murken, L., Heckmann, T., Cronauer, C., Becker, R., Collignon, Q., Collins-Sowah, P., Crawford, M., Gloy, N., Hampf, A., Lotze-Campen, H., Malevolti, G., Maskell, G., Müller, C., Popp, A., Vodounhessi, M., Gornott, C., Rockström, J. (2024). Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries. Potsdam, Germany: Potsdam Institute for Climate Impact Research.
Perubahan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Mengapa Sistem Sosial dan Ekologi Tidak Bisa Dipisahkan
Krisis iklim, degradasi lingkungan, dan disrupsi sosial-ekonomi telah mengubah cara kita memandang hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun sistem yang tidak hanya tahan terhadap guncangan, tetapi juga mampu beradaptasi dan bertransformasi. Buku Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change, yang diedit oleh Fikret Berkes, Johan Colding, dan Carl Folke, menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami bagaimana masyarakat bisa membangun resiliensi sosial-ekologis dalam menghadapi dinamika dan ketidakpastian masa depan.
Apa Itu Sistem Sosial-Ekologis dan Ketahanan?
Sistem sosial-ekologis (SES) adalah sistem yang saling terkait antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Dalam konteks ini, “resiliensi” bukan sekadar kemampuan bertahan, tetapi juga:
Buku ini membingkai ketahanan sebagai proses aktif dan bukan kondisi tetap. Dalam dunia yang semakin kompleks dan tak terduga, pendekatan ini menjadi sangat relevan.
Tiga Modal Ketahanan: Persistensi, Adaptasi, dan Transformasi
Salah satu kontribusi terbesar buku ini adalah penjabaran tentang tiga modal utama dalam membangun ketahanan:
Ketiga modal ini bukan hanya teoretis, tetapi juga dijelaskan melalui berbagai studi kasus konkret dari seluruh dunia.
Studi Kasus: Ketahanan dalam Praktik Nyata
1. Kepulauan James Bay Cree, Kanada
Komunitas adat Cree di Kanada menghadapi tekanan besar dari pembangunan bendungan hidroelektrik yang merusak lanskap dan ekosistem tradisional mereka. Namun, alih-alih menyerah pada dampak tersebut, mereka menunjukkan adaptasi dengan:
Hasilnya? Komunitas ini tidak hanya bertahan, tetapi memperkuat posisi politik dan ekologis mereka di wilayah tersebut.
2. Perikanan Laguna Venice, Italia
Perikanan laguna di Venice menghadapi tantangan dari polusi industri dan perubahan pasar global. Melalui penguatan koperasi lokal, adaptasi terhadap regulasi Uni Eropa, dan perlindungan ekosistem perairan, nelayan berhasil mempertahankan ketahanan ekonomi sambil menjaga ekosistem.
Ini adalah contoh bagaimana kapasitas kelembagaan dan adaptasi pasar bisa memperkuat ketahanan dalam sistem SES.
3. Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Subak)
Sistem Subak, yang berusia ratusan tahun, adalah bentuk tata kelola air berbasis komunitas di Bali. Dalam sistem ini:
Ketika sistem ini mulai tertekan oleh pembangunan pariwisata dan perubahan kebijakan pertanian nasional, Subak tetap menjadi contoh ketahanan berbasis budaya dan spiritualitas.
Kunci Ketahanan: Sembilan Prinsip Pengelolaan Sistem SES
Para penulis merumuskan sembilan prinsip inti untuk memperkuat ketahanan sosial-ekologis, antara lain:
Dinamika Skala dan Waktu: Tantangan Lintas Dimensi
Salah satu kekuatan buku ini adalah penguraian bagaimana sistem sosial-ekologis beroperasi dalam berbagai skala ruang dan waktu. Sebuah keputusan pertanian lokal bisa berdampak pada perubahan iklim global, sementara kejadian global seperti pandemi bisa mengguncang ekonomi lokal.
Oleh karena itu, pendekatan ketahanan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Perlu mekanisme koordinasi antar-skala, seperti:
Mengelola Ketidakpastian: Dari Stresor hingga Tipping Point
Ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari sistem SES. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak melihat ketidakpastian sebagai musuh, tetapi sebagai ruang inovasi dan pembelajaran.
Contohnya adalah bagaimana ekosistem perairan dapat bertahan terhadap pencemaran jangka pendek, tapi bisa kolaps jika melewati batas ambang (tipping point). Strategi yang disarankan adalah:
Kritik dan Nilai Tambah dari Buku Ini
Kelebihan:
Catatan Kritis:
Meski demikian, nilai utama buku ini adalah sebagai kerangka kerja strategis untuk berpikir lintas disiplin dan lintas skala.
Relevansi untuk Indonesia dan Dunia Global Selatan
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keragaman budaya dan risiko bencana yang tinggi, sangat membutuhkan pendekatan seperti ini. Sistem irigasi tradisional, hutan adat, dan komunitas pesisir memiliki karakteristik SES yang khas. Namun, tekanan dari ekonomi ekstraktif dan proyek infrastruktur besar sering mengabaikan prinsip-prinsip ketahanan sosial-ekologis.
Menerapkan prinsip dari buku ini akan sangat membantu dalam:
Menuju Masa Depan yang Adaptif dan Kolaboratif
“Navigating Social-Ecological Systems” bukan hanya bacaan akademis, tetapi panduan praktis bagi siapa saja yang ingin membangun masa depan berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian iklim, krisis air, dan gejolak sosial, membangun ketahanan berarti menyatukan pengetahuan lokal, tata kelola partisipatif, dan fleksibilitas dalam kebijakan.
Sebagaimana ditegaskan dalam buku ini, ketahanan bukanlah soal bertahan tanpa perubahan, melainkan kemampuan untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.
Sumber Artikel :
Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (Eds.). (2003). Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press.