Air dan Skala sebagai Isu Kunci Tata Kelola Lingkungan Global
Air merupakan sumber daya yang lintas batas, baik secara geografis maupun kelembagaan. Dalam konteks krisis iklim dan urbanisasi cepat, air tak hanya menjadi "emas biru" yang kian langka, tetapi juga menjadi pusat perdebatan tata kelola lintas skala (multilevel governance). Artikel oleh Timothy Moss dan Jens Newig (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam membingkai tantangan "skala" dalam tata kelola air modern. Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah air tidak bisa ditangani hanya pada satu tingkat pemerintahan—baik lokal maupun global—melainkan membutuhkan pendekatan lintas-skala dan lintas-aktor.
Apa Itu Masalah Skala? Memahami Dimensi Biogeofisik dan Kelembagaan
Skala dalam tata kelola lingkungan memiliki dua dimensi utama:
- Dimensi Biogeofisik (Hydrological scale) – seperti DAS (Daerah Aliran Sungai), danau, atau cekungan air tanah.
- Dimensi Institusional/Politik – seperti desa, kota, negara bagian, atau level supranasional (misalnya Uni Eropa).
Masalah muncul ketika kedua dimensi ini tidak saling "fit". Misalnya, batas administratif tidak selalu sesuai dengan batas ekosistem air. Hal ini memicu berbagai masalah:
- Misfit scalar: Ketika sistem kelembagaan tidak sejalan dengan proses ekologi (misalnya, DAS yang membentang lintas wilayah administratif).
- Vertical interplay: Ketegangan antara kebijakan pusat dan lokal.
- Rescaling: Perubahan level tata kelola, baik karena desentralisasi (ke bawah) atau integrasi regional (ke atas).
- Up/downscaling: Generalisasi kebijakan dari satu skala ke skala lain, yang seringkali tidak kontekstual.
Tata Kelola Air Multilevel: Kompleksitas Tak Terelakkan
Pengelolaan air kini tidak lagi menjadi ranah satu aktor tunggal. Dalam era "governance", keterlibatan banyak pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga organisasi supranasional—menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tata kelola air menjadi arena yang sangat sensitif terhadap dinamika skala.
Studi Kasus: Water Framework Directive (WFD) Uni Eropa
WFD mensyaratkan pengelolaan air berdasarkan DAS, bukan batas negara atau provinsi. Ini menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan, di mana aktor-aktor yang mampu beroperasi lintas skala (misalnya LSM besar atau birokrasi pusat) cenderung lebih dominan dibanding komunitas lokal.
Dilema Demokrasi dalam Tata Kelola Air
Artikel ini menyoroti dilema mendasar dalam tata kelola multilevel: antara partisipasi warga (input legitimacy) dan efektivitas kebijakan (output legitimacy).
- Semakin tinggi level pengambilan keputusan, semakin sulit bagi warga biasa untuk berpartisipasi secara langsung.
- Semakin rendah level (lokal), efektivitas dalam mengatasi isu kompleks seperti polusi lintas batas atau perubahan iklim juga menurun.
Robert Dahl (1994) menyebut ini sebagai “dilema demokrasi antara partisipasi warga dan efektivitas sistem.”
Sudut Pandang Disipliner: Beragam, Tapi Saling Melengkapi
Artikel ini memperkenalkan pendekatan interdisipliner terhadap masalah skala dalam tata kelola air. Beberapa pendekatan yang dibahas antara lain:
- Pendekatan Federalisme Ekonomi (Benson & Jordan)
Menekankan distribusi fungsi pemerintahan dan pembiayaan antar skala. Mereka membedakan tiga jenis "spillovers":- Pollution spillover (contoh: limbah yang meresap ke wilayah tetangga),
- Competitive spillover (contoh: kompetisi antar wilayah untuk investasi yang melemahkan standar lingkungan),
- Preservation spillover (contoh: wisatawan dari kota lain yang memanfaatkan keindahan alam wilayah tertentu tanpa berkontribusi langsung pada pelestariannya).
- Ekonomi Biaya Transaksi (Roggero & Fritsch)
Mengkaji efisiensi rescaling dalam pengelolaan Lagoon Venice, Italia, dengan mempertimbangkan biaya koordinasi antarlembaga pada berbagai level. - Deliberatif-Partisipatif (Dore & Lebel)
Melalui studi tentang Mekong, mereka mendorong deliberasi sebagai jalan tengah untuk mengatasi kompleksitas skala sambil meningkatkan legitimasi. - Pendekatan Geografi Kritis (Thiel, Vreugdenhil dkk.)
Menjelaskan bagaimana skala merupakan produk sosial-politik yang dinegosiasikan, bukan sesuatu yang alami. Skala adalah alat kekuasaan.
Studi Kasus dan Temuan Kunci:
1. Mekong River (Asia Tenggara) – Dore & Lebel
Dalam pengelolaan Sungai Mekong, skala dipolitisasi oleh berbagai aktor. Negara bagian, LSM, dan lembaga internasional masing-masing "memainkan" skala yang sesuai kepentingan mereka:
- Negara nasional cenderung mengutamakan skala administratif,
- LSM menggunakan skala ekosistem untuk mendorong pelestarian,
- Investor memainkan skala ekonomi (wilayah industri atau turisme).
Temuan penting: Partisipasi tidak cukup; aktor juga harus memiliki kapasitas lintas-skala agar benar-benar berpengaruh.
2. Algarve, Portugal – Thiel
Pemerintah pusat menggunakan dana Uni Eropa dan argumen krisis air untuk merebut kembali kontrol dari pemerintah lokal. Dengan dalih krisis, terjadi "upscaling" kekuasaan. Tujuannya? Melayani kepentingan turisme dan agribisnis skala besar.
3. The Netherlands – Vreugdenhil et al.
Dalam upaya restorasi floodplain, ditemukan bahwa perbedaan pemahaman tentang "skala yang relevan" (ekologis vs administratif) memicu konflik antar aktor. Para peneliti mengusulkan "mapping perbedaan skalar" untuk mengidentifikasi titik benturan sejak awal.
Menantang Kebijakan Konvensional: Apakah Skala DAS Selalu Ideal?
Pendekatan river basin management telah menjadi paradigma dominan. Namun, artikel ini mempertanyakan keabsahan universal dari pendekatan ini:
- Dalam kasus EU WFD, Moss menunjukkan bahwa pemaksaan pengelolaan berdasarkan DAS bisa mengabaikan konteks lokal.
- Benson & Jordan membandingkan pendekatan terpusat UE dengan desentralisasi di Australia. Kesimpulan: tidak ada satu model skala yang cocok untuk semua situasi.
- Dalam banyak kasus, DAS sebagai unit pengelolaan bisa menciptakan masalah baru jika tidak diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan dan partisipasi sejati.
Skala sebagai Produk Politik: Siapa Diuntungkan, Siapa Tersingkir?
Skala bukan sekadar unit spasial. Dalam banyak kasus, skala dikonstruksi untuk melayani kekuasaan. Beberapa temuan menarik:
- Aktor besar (negara, perusahaan) lebih mampu melakukan "scale jumping" untuk mendapatkan pengaruh.
- Skala bisa digunakan untuk melegitimasi intervensi eksternal—misalnya, Uni Eropa mengintervensi lokalitas atas nama koordinasi lintas batas.
- Skala sering dijadikan "pembungkus" narasi—misalnya, "masalah ini terlalu besar untuk lokal, perlu pengelolaan global".
Implikasi Praktis dan Rekomendasi:
Untuk Peneliti:
- Gunakan pendekatan lintas skala dan interdisipliner dalam studi kebijakan air.
- Hindari asumsi bahwa "skala DAS" selalu solusi terbaik.
Untuk Pengambil Kebijakan:
- Akui bahwa skala bersifat dinamis dan dapat dinegosiasikan.
- Rancang kebijakan dengan mempertimbangkan konflik skalar dan potensi manipulasi kekuasaan.
- Perkuat kemampuan komunitas lokal agar dapat berpartisipasi secara bermakna lintas skala.
Untuk Aktivis Lingkungan:
- Kuasai narasi dan peta skala untuk mengadvokasi kebijakan.
- Bangun koalisi lintas level: dari komunitas lokal hingga forum internasional.
Kesimpulan: Skala Bukan Masalah Teknis, Tapi Politik
Artikel ini berhasil membongkar mitos teknokratis dalam pengelolaan air. Masalah skala bukan soal teknis belaka, melainkan medan perebutan kekuasaan, legitimasi, dan efisiensi. Dalam era tata kelola lingkungan yang semakin kompleks dan saling terhubung, memahami dinamika skala menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.
Bukan lagi pertanyaan “di level mana keputusan harus dibuat?”, melainkan “siapa yang mengontrol skala, dan untuk tujuan siapa?”.
Sumber Artikel:
Moss, T., & Newig, J. (2010). Multilevel Water Governance and Problems of Scale: Setting the Stage for a Broader Debate. Environmental Management, 46, 1–6. DOI: 10.1007/s00267-010-9531-1