Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

16 Juni 2025, 09.07

pixabay.com

Pasir, Fondasi Tak Terlihat yang Kini Terancam

Pasir dan kerikil adalah bahan dasar tak tergantikan dalam pembangunan dunia modern—mulai dari beton, kaca, hingga elektronik. Namun, laporan “Sand and Sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources” yang diterbitkan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019, mengungkapkan bahwa konsumsi pasir global telah melonjak tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun atau sekitar 18 kg per orang per hari. Ironisnya, di balik peran vitalnya, pasir merupakan salah satu sumber daya yang paling tidak diatur dan paling rentan terhadap eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial1.

Artikel ini akan mengupas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data dan studi kasus utama, membandingkan dengan tren global, serta menawarkan analisis dan rekomendasi bagi pembaca industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

 Skala Permasalahan: Pasir sebagai Krisis Sumber Daya Abad ke-21

Lonjakan Permintaan dan Konsumsi

  • Konsumsi pasir global: 40–50 miliar ton per tahun, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, terutama di Asia1.
  • China dan India: Menyumbang 67% produksi agregat global. China sendiri mengonsumsi 14,3 ton agregat per kapita per tahun, jauh di atas rata-rata dunia1.
  • Korelasi dengan semen: Untuk setiap 1 ton semen, digunakan 6–10 ton agregat (pasir dan kerikil). Dengan produksi semen global mencapai 4,1 miliar ton (2017), diperkirakan kebutuhan agregat untuk beton saja mencapai 28,7–32,8 miliar ton1.

Keterbatasan Data dan Pengawasan

  • Tidak ada sistem pemantauan global yang komprehensif untuk ekstraksi pasir, meski dampaknya sangat luas1.
  • Sebagian besar pasir dikonsumsi secara regional karena biaya transportasi tinggi, sehingga pengawasan dan penegakan hukum sering kali lemah di tingkat lokal.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Dari Erosi hingga Konflik Sosial

Dampak Lingkungan

  • Erosi sungai dan pesisir: Ekstraksi pasir dari sungai dan pantai menyebabkan erosi, hilangnya habitat, dan menurunnya kualitas air. Di banyak sungai besar dunia, 50–95% sedimen alami tidak lagi mencapai laut karena penambangan dan pembangunan bendungan1.
  • Kehancuran ekosistem: Penambangan pasir di kawasan sensitif mengancam spesies langka, seperti penyu dan lumba-lumba air tawar, serta menghancurkan habitat ikan dan burung air1.
  • Dampak pada pertanian dan infrastruktur: Erosi sungai menyebabkan hilangnya lahan pertanian, penurunan muka air tanah, dan kerusakan struktur seperti jembatan dan dinding penahan1.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Risiko keselamatan: Banyak pekerja penambangan pasir menghadapi risiko tenggelam, longsor, dan kecelakaan fatal lainnya.
  • Sand mafia: Di India, Maroko, dan negara lain, penambangan pasir ilegal dikuasai kelompok kriminal terorganisir, memicu kekerasan dan korupsi1.
  • Konflik dengan masyarakat lokal: Komunitas yang terdampak sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan hanya memperoleh manfaat ekonomi jangka pendek, sementara menanggung kerugian jangka panjang1.

Studi Kasus Kunci: Dampak Nyata di Lapangan

A. Singapura: Raksasa Impor Pasir Dunia

  • Ekspansi wilayah: Dalam 45 tahun, luas Singapura bertambah 23% (137 km²) melalui reklamasi lahan dengan pasir impor1.
  • Impor pasir: 517 juta ton pasir diimpor selama 20 tahun terakhir, terutama dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Namun, data ekspor-impor tidak sinkron, menunjukkan adanya perdagangan ilegal sekitar 120 juta ton1.
  • Dampak regional: Penambangan pasir untuk kebutuhan Singapura menyebabkan erosi pantai di Indonesia dan Vietnam, serta memicu ketegangan diplomatik1.

B. Braamspunt, Suriname: Konflik Konservasi dan Ekonomi

  • Ekstraksi pasir di kawasan konservasi: Pantai Braamspunt, habitat penting penyu langka, menjadi lokasi penambangan pasir legal dan ilegal meski sudah ada zona konservasi1.
  • Kebijakan tumpang tindih: Izin penambangan diberikan tanpa konsultasi kementerian lingkungan, dan tanpa analisis dampak lingkungan yang wajib1.
  • Aksi masyarakat sipil: LSM lokal berupaya menekan pemerintah agar perlindungan tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi juga di lapangan1.

C. Maroko: Sand Mafia dan Erosi Pantai

  • Penambangan ilegal: Sekitar 10 juta m³ pasir per tahun diambil secara ilegal dari pantai, mengubah lanskap dan mengancam industri pariwisata1.
  • Kerusakan ekonomi: Erosi pantai akibat penambangan pasir mengancam hotel dan infrastruktur wisata, ironi karena pasir digunakan untuk membangun fasilitas tersebut1.

Tantangan Tata Kelola: Fragmentasi, Kurangnya Data, dan Lemahnya Penegakan

Fragmentasi Regulasi

  • Di banyak negara, penambangan pasir diatur secara nasional atau regional, namun implementasi dan pengawasan sering kali lemah karena keterbatasan sumber daya dan korupsi1.
  • Banyak negara telah melarang penambangan pasir di sungai, danau, atau pantai, tetapi penegakan hukum sering tidak efektif.

Peran Aktor Global

  • Hanya sekitar 5% agregat yang diperdagangkan lintas negara, tetapi negara-negara seperti Singapura, UEA, dan Arab Saudi menjadi indikator tren masa depan bagi negara dengan sumber daya terbatas1.
  • Lima perusahaan besar dunia (misal: Sibelco, Holcim, Heidelberg, CRH, Chinese Harbour & Construction Ltd.) menguasai rantai pasok utama, namun ribuan operasi kecil dan informal sulit diawasi1.

Solusi dan Inovasi: Menuju Tata Kelola Pasir yang Berkelanjutan

A. Mengurangi Konsumsi Pasir Alam

  • Perencanaan kota kompak: Mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan memperpanjang umur bangunan melalui perawatan dan adaptasi ulang1.
  • Green infrastructure: Menggantikan infrastruktur beton dengan solusi hijau seperti permeable pavement yang mengurangi kebutuhan pasir sekaligus mengatasi banjir kota1.
  • Studi kasus: Permeable Pavement
    • Digunakan di kota-kota baru di China dan India untuk mengurangi limpasan air dan kebutuhan pasir dalam pembangunan jalan dan trotoar1.
    • Beton permeabel mengurangi kebutuhan pasir hingga 100% pada beberapa desain1.

B. Substitusi dan Daur Ulang Material

  • Agregat daur ulang: Negara seperti Jerman telah mendaur ulang 87% limbah agregat konstruksi, mengurangi tekanan pada sumber daya primer1.
  • Material alternatif: Penggunaan fly ash, slag baja, limbah plastik, kulit kelapa sawit, dan material limbah lainnya sebagai pengganti pasir telah diujicoba di India, Malaysia, China, dan Australia1.
  • Studi kasus: Waste-to-Energy di China
    • Pabrik waste-to-energy terbesar di Shenzhen akan mengolah 5.000 ton sampah per hari, menghasilkan abu dasar yang dapat digunakan sebagai agregat pengganti pasir dalam konstruksi1.

C. Standar dan Praktik Terbaik

  • Adopsi standar internasional: Konvensi seperti Ramsar, UNCLOS, dan berbagai perjanjian regional dapat diadaptasi untuk mengatur ekstraksi pasir1.
  • Praktik industri: Di Inggris, pajak agregat dan pelaporan transparan telah mendorong praktik penambangan yang lebih bertanggung jawab dan restorasi lahan pasca-ekstraksi1.
  • Studi kasus: Restorasi tambang di Eropa
    • Proyek “Life in Quarries” di Belgia berhasil meningkatkan keanekaragaman hayati dengan mengelola tambang sebagai habitat sementara bagi burung langka1.

Rekomendasi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Tata Kelola Pasir Berkelanjutan

A. Penguatan Standar dan Penegakan

  • Setiap negara perlu memiliki kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk perizinan dan pengawasan penambangan pasir, dengan memperhatikan konteks lokal1.
  • Adaptasi pengalaman Eropa dalam pengelolaan agregat dapat menjadi acuan, namun harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi setempat.

B. Investasi dalam Pemantauan dan Data

  • Pengumpulan data dasar tentang ekstraksi, konsumsi, dan dampak pasir harus menjadi prioritas. Sistem pemantauan nasional dan regional perlu diperkuat, termasuk pelacakan rantai pasok1.
  • Studi sedimentasi di DAS dan pesisir sangat penting untuk menentukan kuota ekstraksi yang berkelanjutan.

C. Dialog dan Transparansi Multi-Pihak

  • Semua aktor—pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan komunitas lokal—harus dilibatkan dalam dialog transparan dan akuntabel untuk merumuskan kebijakan dan solusi bersama1.
  • Integrasi sektor pasir ke dalam inisiatif transparansi ekstraktif global seperti Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dapat menjadi langkah awal.

Kritik dan Perbandingan dengan Tren Global

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data dan transparansi: Tanpa data yang akurat, kebijakan sering reaktif dan tidak efektif.
  • Dominasi aktor informal: Ribuan operasi kecil dan sand mafia sulit dijangkau oleh regulasi formal.
  • Perubahan perilaku lambat: Masyarakat dan industri masih memandang pasir sebagai sumber daya tak terbatas.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Penelitian Gavriletea (2017) dan Beiser (2018) menguatkan temuan UNEP tentang dampak destruktif penambangan pasir dan perlunya tata kelola lintas sektor.
  • Studi WWF (2018) menyoroti dampak penambangan pasir di Mekong dan Asia Tenggara, sejalan dengan kasus Singapura dan Vietnam dalam laporan ini.

Konteks Industri dan Tren Masa Depan

  • Circular economy: Industri konstruksi global mulai beralih ke prinsip ekonomi sirkular, mendaur ulang limbah dan mencari material alternatif.
  • Teknologi material: Inovasi seperti beton hijau, agregat dari limbah plastik, dan penggunaan fly ash semakin berkembang, namun adopsi massal masih terbatas oleh biaya dan standar teknik.
  • Urbanisasi berkelanjutan: Kota-kota di China, India, dan Afrika menjadi laboratorium penting untuk solusi pengelolaan pasir yang inovatif.

Paradigma Baru untuk Sumber Daya Tak Terbarukan

Laporan UNEP 2019 menegaskan bahwa krisis pasir adalah salah satu tantangan keberlanjutan terbesar abad ini. Solusi teknis sudah tersedia—mulai dari perencanaan kota kompak, substitusi material, hingga praktik industri terbaik—namun tantangan utama terletak pada tata kelola, transparansi, dan perubahan paradigma bahwa pasir bukanlah sumber daya tak terbatas1.

Masa depan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola sumber daya dasar seperti pasir secara bertanggung jawab, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berinovasi dalam kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Jika tidak, kita akan menghadapi konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar kekurangan bahan bangunan.

Sumber Artikel :

UNEP 2019. Sand and sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources. GRID-Geneva, United Nations Environment Programme, Geneva, Switzerland.