Planet dalam Titik Kritis
Ketika dunia memperingati 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), kita justru dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan: enam dari sembilan batas planet telah dilampaui. Laporan khusus dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), bertajuk “Stepping Back from the Precipice”, menyampaikan pesan yang tegas: kita tidak bisa menunda transformasi dalam cara kita mengelola lahan.
Lahan bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi kehidupan. Ia menopang iklim, menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, menyediakan pangan, dan mendukung budaya. Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, pertanian intensif, dan urbanisasi telah mendorong sistem bumi ke arah titik kritis yang berisiko memicu keruntuhan ekologis.
Kerangka Batas Planet: Sinyal Bahaya Global
Konsep planetary boundaries yang dipelopori oleh Johan Rockström dkk. mengidentifikasi sembilan proses penting dalam sistem bumi yang memiliki ambang batas aman. Jika terlampaui, risiko terjadinya perubahan besar yang tak dapat dipulihkan meningkat drastis.
Dari sembilan batas ini, tujuh sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan:
- Perubahan sistem lahan
- Perubahan iklim
- Gangguan integritas biosfer
- Perubahan air tawar
- Aliran biogeokimia (nitrogen dan fosfor)
- Entitas baru (polutan sintetis)
- Beban aerosol atmosfer
Fakta mengejutkan: enam dari sembilan batas telah dilampaui, termasuk batas untuk perubahan sistem lahan, integritas biosfer, dan aliran nitrogen. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, umat manusia telah mengguncang stabilitas bumi yang dibangun selama 11.700 tahun era Holosen.
Skala Kerusakan: Dari Amazon hingga Sawah Subur
Laporan PIK menunjukkan bahwa hanya 60% dari tutupan hutan global yang masih tersisa – jauh di bawah ambang batas 75% yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim global. Dalam beberapa dekade terakhir:
- 90% deforestasi disebabkan oleh ekspansi pertanian
- Savana dan padang rumput kehilangan fungsinya karena konversi lahan
- Daerah kering (drylands) mengalami desertifikasi permanen akibat overgrazing dan kekeringan
Sebagai contoh, hutan Amazon mengalami deforestasi begitu parah hingga memicu umpan balik yang mempercepat pengeringan kawasan tersebut. Studi menyebutkan potensi tipping point yang bisa mengubah kawasan ini dari penyerap karbon menjadi sumber emisi.
Biaya Nyata: Triliunan Dolar dan Krisis Pangan
Nilai kerugian dari degradasi lahan tidak main-main. Menurut inisiatif Economics of Land Degradation (ELD), kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan mencapai antara USD 6,3 hingga 10,6 triliun per tahun.
Kehilangan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial:
- Penurunan produktivitas pertanian
- Krisis air dan kekeringan
- Konflik lahan dan migrasi ekologis
- Ketimpangan sosial akibat akses lahan yang tidak merata
Dimensi Sosial-Ekonomi: Siapa yang Paling Rentan?
Transformasi lahan sering terjadi tanpa memperhatikan dimensi keadilan. Laporan PIK menyoroti kelompok paling terdampak:
- Petani kecil yang kehilangan akses tanah subur
- Komunitas adat yang tergeser oleh ekspansi agribisnis
- Perempuan yang tidak memiliki hak atas lahan
- Masyarakat urban yang terancam oleh banjir akibat betonisasi lahan hijau
Ketidakadilan distribusi manfaat dan beban ini memperparah risiko sosial, memperdalam ketimpangan, dan menghambat partisipasi publik dalam restorasi lahan.
Transformasi Nyata: Strategi Keluar dari Jurang Krisis
Laporan PIK menyarankan enam pendekatan transformatif untuk menjaga keberlanjutan sistem lahan:
1. Produktivitas dan Kesehatan Tanah
Intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) diperlukan untuk meningkatkan hasil tanpa merusak tanah. Teknologi organik, rotasi tanaman, dan agroekologi terbukti memperbaiki produktivitas sekaligus menjaga kualitas tanah.
2. Restorasi Ekosistem
Contoh sukses datang dari program “Green Great Wall” di Afrika dan restorasi hutan mangrove di Asia Tenggara yang tidak hanya menahan abrasi tetapi juga memperbaiki perikanan pesisir.
3. Manajemen Air Berbasis Ekosistem
Dengan 18% daratan dunia kini mengalami kekeringan ekstrem (indikator blue water) dan 15,8% menghadapi kehilangan kelembaban tanah (green water), diperlukan pendekatan berbasis ekohidrologi dan efisiensi irigasi.
4. Solusi Digital
Pemanfaatan AI, big data, dan remote sensing dalam pemetaan degradasi lahan dan pengambilan keputusan berbasis bukti semakin krusial.
5. Integrasi Rantai Pasok
Kebijakan lahan tidak bisa dipisahkan dari konsumsi global. Praktik produksi kedelai di Amerika Selatan, misalnya, terkait erat dengan permintaan pakan di Eropa dan Asia. Transparansi rantai pasok dan jejak karbon produk pertanian perlu ditingkatkan.
6. Perbaikan Tata Kelola
Laporan menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah, transparansi, dan insentif fiskal untuk restorasi. Subsidi yang justru mendorong deforestasi perlu direformasi.
Studi Kasus Inspiratif: Harapan dari Berbagai Belahan Dunia
• Ethiopia: Regreening Highlands
Melalui community-led watershed management, lebih dari 3 juta hektar lahan berhasil direstorasi. Peningkatan tutupan vegetasi berdampak positif pada air tanah dan ketahanan pangan.
• Brasil: Pembatasan Legal Amazon
Meskipun mendapat tekanan dari ekspansi pertanian, beberapa wilayah di Brasil berhasil menurunkan deforestasi melalui sistem monitoring berbasis satelit, penegakan hukum, dan insentif bagi petani kecil.
• India: Digital Soil Health Cards
Program ini meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan memperbaiki hasil panen di lebih dari 140 juta petani.
Pendekatan Adil: Transformasi Tidak Bisa Seragam
Laporan PIK menegaskan pentingnya prinsip keadilan dan inklusivitas dalam aksi transformatif. Tidak semua negara, komunitas, atau individu memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis fair share, pengurangan jejak ekologis negara maju, dan dukungan keuangan internasional menjadi sangat penting.
Rekomendasi Kebijakan: Dari Ilmiah ke Implementasi
- Integrasikan batas planet dalam kebijakan nasional dan lokal.
- Berikan prioritas pendanaan untuk restorasi dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
- Bangun mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat akar rumput.
- Reformasi sistem subsidi pertanian dan kehutanan agar sejalan dengan keberlanjutan.
- Gunakan kerangka kerja batas planet sebagai alat pengambilan keputusan dalam perdagangan, investasi, dan infrastruktur.
Penutup: Kita Masih Bisa Melangkah Mundur
Laporan PIK memberikan kita peta jalan untuk menghindari bencana ekologi yang sedang mengintai. Dengan pengelolaan lahan yang berkeadilan, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, kita masih memiliki peluang untuk melangkah mundur dari jurang.
Masa depan tidak ditentukan oleh ketidakpastian, tetapi oleh pilihan. Dan pilihan itu harus dimulai dari bagaimana kita memperlakukan lahan—penyangga kehidupan kita di planet ini.
Sumber Artikel:
Tomalka, J., Hunecke, C., Murken, L., Heckmann, T., Cronauer, C., Becker, R., Collignon, Q., Collins-Sowah, P., Crawford, M., Gloy, N., Hampf, A., Lotze-Campen, H., Malevolti, G., Maskell, G., Müller, C., Popp, A., Vodounhessi, M., Gornott, C., Rockström, J. (2024). Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries. Potsdam, Germany: Potsdam Institute for Climate Impact Research.