Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meskipun tantangan pandemi Covid-19 masih belum berakhir, kinerja industri nasional cukup menggembirakan dibanding tahun 2020 dengan indikasi rata-rata Purchasing Manager's Index (PMI) selama 2021 menunjukkan angka 50 atau ada dalam tahap ekspansif. Hal ini juga ditunjukkan oleh kinerja sektor industri logam dan baja yang turut mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2021.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal ketiga 2021, sektor industri logam dengan HS 72-73 mampu tumbuh di atas 9,82%. Kinerja ini juga didukung ekspor produk baja hingga November 2021 mencapai US$ 19,6 miliar dan mengalami surplus sebesar US$ 6,1 miliar.
Direktur Industri Logam, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Budi Susanto mengemukakan, pertumbuhan positif sektor baja disebabkan upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan konsep smart supply demand yang diterapkan dengan berpihak pada industri baja nasional mulai dari sektor hulu, antara, hingga hilir.
“Peningkatan kebutuhan baja ini didukung kebijakan PPnBM otomotif yang juga tumbuh hingga 27% di kuartal ketiga tahun 2021,” ungkap Budi dalam siaran pers di situs Kemenperin, Jumat (21/1).
Dia menyebut, pengaturan ini menjadi penting agar produk-produk baja yang sudah diproduksi di dalam negeri dapat dimaksimalkan dan hampir semua impor yang ada merupakan bahan baku untuk berbagai jenis industri.
Senada dengan Budi, Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) Handjaja Susanto menyampaikan, salah satu keberhasilan perusahaan memperoleh laba bersih hingga Rp 100 miliar karena berkat kontrol pemerintah terhadap impor baja, sehingga pasar impor banyak beralih ke pasar lokal.
“Optimisme industri baja nasional ini terus dijaga dengan upaya hilirisasi dan substitusi impor yang telah dicanangkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Iklim usaha dan investasi pun terus meningkat di Indonesia. Hingga kuartal ketiga 2021, investasi di sektor logam menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan dengan mencapai Rp 87,73 triliun serta utilisasi di sektor tersebut di atas 60%. Contohnya di industri baja lapis yang kinerjanya meningkat sangat baik seperti yang ditunjukkan oleh Saranacentral Bajatama.
Sebelumnya, Direktur Komersial Krakatau Steel Melati Sarnita mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor baja sebesar 23% yang semula 3,9 juta ton di tahun 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institute Ahmad Rijal Ilyas mengatakan, untuk melihat perbandingan data baja jangan menggunakan data tahun 2020. “Kalau menggunakan data tersebut pada saat itu semua industri terpuruk. Artinya kalau tidak boleh naik terhadap tahun 2020 sama saja tidak ingin industri baja ini tumbuh karena yang diimpor adalah bahan baku,” terangnya.
Ahmad Rijal Ilyas menambahkan, impor baja tahun 2021 dibanding 2019 mengalami penurunan yang cukup baik, yaitu dari 6,9 juta ton pada tahun 2019 menjadi 4,8 juta ton di 2021 atau menurun 31%.
Menurutnya, beberapa program pemerintah yang dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha antara lain pengendalian impor, program substitusi impor termasuk penurunan nilai impor untuk beberapa produk baja, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), penerapan SNI wajib dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri dari produk baja yang tidak berkualitas, serta pemberian insentif untuk mendorong peningkatan investasi di sektor industri logam.
Sumber: industri.kontan.co.id
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga komoditas logam industri kompak menguat karena pasokan yang terbatas. Namun, para analis memproyeksikan pertumbuhan harga logam industri di tahun depan tidak lebih tinggi dari tahun ini.
Mengutip Bloomberg, Jumat (3/12), harga timah memimpin penguatan tertinggi diantara logam industri. Komoditas tersebut naik 93% secara year to date (ytd) ke US$ 39.335 per metrik ton. Sementara, harga aluminium naik 32% ytd ke US$ 2.623 per metrik ton.
Sementara, tembaga dan nikel masing-masing naik 21% ytd ke US$ 9.418 per metrik ton dan 20% ytd ke US$ 20.030 per metrik ton.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan harga logam industri kompak naik karena jumlah pasokan lebih sedikit dari permintaan. Produksi belum pulih seperti sebelum pandemi Covid-19 menyerang.
Bahkan untuk aluminium, Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono memproyeksikan defisit pasokan akan berlanjut ke 2022. Sementara, faktor cuaca ekstrem serta bencana banjir juga turut mengganggu produksi logam industri.
Sedangkan, permintaan meningkat pesat seiring ekonomi mulai bangkit. Wahyu mengatakan permintaan logam industri naik pasca pandemi mereda di China. "Pemulihan ekonomi meningkatkan permintaan untuk kebutuhan manufaktur yang kembali berjalan," kata Wahyu.
Namun, Ibrahim memproyeksikan harga komoditas dalam jangka pendek berpotensi terkoreksi. Sentimen negatif datang dari potensi The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya. Meski begitu, Ibrahim memproyeksikan koreksi harga hanya akan terjadi untuk sementara waktu.
Sementara, di kuartal I-2022, Ibrahim memproyeksikan harga logam industri masih dapat bertahan di level tingginya. Sentimen varian baru omicon yang menjadi pemicu harga komoditas masih tinggi.
Namun, memasuki kuartal selanjutnya, Ibrahim memproyeksikan pergerakan harga komoditas akan cenderung stagnan atau stabil. Sentimen yang mempengaruhi adalah proyeksi pemulihan ekonomi yang mulai kembali berjalan. Alhasil, negara produksi komoditas logam industri juga akan kembali menggenjot produksi.
Wahyu memproyeksikan harga timah masih bisa naik tetapi kenaikannya tidak lebih tinggi dari 2021. Rentang harga timah di 2022 US$ 25.000-US$45.000. Begitu pun, kenaikan harga aluminium di tahun depan tidak sekuat tahun ini. Namun, target rekor all time high di US$ 3.200 masih berpotensi tercapai. Rentang harga aluminium di 2022 US$ 2.000-US$ 3.500.
Sementara, harga nikel terpantau stabil konsolidasi. Wahyu memproyeksikan pergerakan tersebut akan berlanjut di tahun depan. "Harga nikel sulit naik tetapi juga tidak anjlok, konsolidasi saja," kata Wahyu. Rentang harga nikel pada 2022 berada di kisaran US$ 16.000-US$23.000.
Sumber: investasi.kontan.co.id
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
Presiden Jokowi saat melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau tepatnya di Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Selasa, (12/10/2021).
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur memberikan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia.
Di antaranya membuka lapangan kerja di Indonesia. Pada saat pembangunan smelter saja akan ada 40 ribu tenaga kerja.
"Karena sekali lagi, kita ingin nilai tambah itu ada di sini tadi disampaikan pak menteri bahwa ini dalam masa konstruksi saja akan ada 40 ribu tenaga kerja," kata Jokowi saat melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau tepatnya di Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Selasa, (12/10/2021).
Jokowi yakin setelah smelter ini jadi, maka tenaga kerja yang terserap akan semakin banyak. Smelter yang akan dibangun dengan desain single line ini merupakan terbesar di dunia karena mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
"Menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan ini goal yang penting bagi rakyat dan tentu saja membuat bangsa kita semakin mandiri, semakin maju," katanya.
Jokowi berharap kehadiran smelter dapat menjadi daya tarik bagi industri lainnya untuk masuk ke KEK Gresik. Sehingga lapangan kerja yang terbuka semakin luas.
"Ini khususnya industri turunan tembaga, untuk ikut berinvestasi di sini," katanya.
Sumber: www.tribunnews.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau pembangunan ruas Jalan Morosi-Lasolo di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, Senin (27/12) 2021).
Penanganan Jalan Morosi sepanjang 17 kilometer untuk meningkatkan konektivitas dari Konawe ke Konawe Utara guna mendukung pengembangan kawasan industri nikel di Konawe.
Dalam tinjauannya, Basuki meminta Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Tenggara, Direktorat Jenderal Bina Marga sebagai penanggung jawab untuk mempercepat penyelesaian Jalan Morosi-Lasolo.
"Saya ingin pembangunan Jalan Morosi - Lasolo bisa dipercepat penyelesaiannya karena jalan poros ini memberikan manfaat yang sangat besar," kata Basuki dalam keterangannya, Selasa (28/12/2021). Penanganan Segmen Jalan Morosi dimulai pada tahun 2020 secara bertahap dengan panjang 4,5 kilometer. Pada TA 2021-2022, dilanjutkan dengan penanganan sepanjang 16,9 kilometer meliputi rekonstruksi jalan 3,2 kilometer, dan pelebaran jalan 13,7 kilometer,
Lalu pelebaran jembatan 20,6 meter, pemeliharaan rutin jalan 4,5 kilometer dan pemeliharaan jembatan 134,8 meter. Adapun progres penanganan fisik untuk TA 2021-2022 mencapai 18,6 persen.
Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan bertujuan untuk memangkas biaya logistik agar daya saing produk Indonesia meningkat.
Untuk itu, penyelesaian pekerjaan ini harus dipercepat dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
"Akses jalan yang semakin baik juga akan menunjang perekonomian masyarakat di kawasan sekitar," tuturnya.
Dengan adanya jalan poros tersebut, kondisi jalan dalam kota juga bisa lebih awet, karena kendaraan besar memiliki jalur alternatif.
Sehingga pada akhirnya diharapkan juga akan menekan angka kecelakaan lalu lintas di jalur tersebut.
"Sekali lagi tolong dipercepat, langgamnya rock on roll, jangan keroncong. Tetapi jangan korbankan kualitas beton karena pasti nanti di sini akan banyak kendaraan over dimension over load (ODOL)," ucapnya.
Pembangunan Jalan Morosi menggunakan anggaran APBN senilai Rp 139,9 miliar dikerjakan oleh kontraktor PT Yasa Patria Perkasa-PT Gangking Raya (KSO).
Sesuai kontrak, ditargetkan serah terima sementara pekerjaan atau Provisional Hand Over (PHO) konstruksi Jalan Morosi pada Desember 2022.
Sumber: www.kompas.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
BATULICIN, KOMPAS.com - PT Jhonlin Grup akan membangun smelter nikel di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel). Rencana pembangunan smelter nikel diutarakan langsung oleh pemilik PT Jhonlin Grup, Andi Syamsuddin Arsyad atau yang akrab disapa Haji Isam. Menurut Haji Isam, Jhonlin Grup akan menginvestasikan dananya sebesar 440 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,3 trilliun.
"Rencana pembangunan mulai April tahun depan atau 2022 dengan nilai investasi 440 dollar AS," sebut Haji Isam dalam keterangan resminya yang diterima, Minggu (19/12/2021). Smelter nikel tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 2.000 hektar. Isam menyebut, smelter nikel ini merupakan yang pertama di Pulau Kalimantan.
Menurut dia, smelter nikel ini diharapkan bisa menyerap 10.000 tenaga kerja dengan diutamakan putra daerah Kabupaten Tanah Bumbu.
"Pabrik smelter nikel itu akan berdiri di dekat pabrik biodiesel yang sudah terbangun," jelasnya.
Haji Isam menambahkan, selain pabrik smelter nikel, PT Jhonlin Grup juga berencana membangun dua pabrik lainnya.
Agar seluruh rencana pembangunan pabrik tersebut berjalan mulus, PT Jhonlin Grup telah menyiapkan kawasan ekonomi khusus di Kabupaten Tanah Bumbu.
Di kawasan itu nantinya akan berdiri empat pabrik yang saling menopang, yaitu pabrik biodiesel yang sudah beroperasi setelah diresmikan Jokowi beberapa waktu lalu. Selain itu, terdapat pula pabrik smelter nikel, pabrik plywood dan pabrik pengolahan plastik.
"Kawasan ekonomi khusus ini diharapkan akan menopang perekonomian secara nasional dan juga lokal dan tentu akan menyerap banyak tenaga kerja," kata dia.
Sebagai informasi, sesuai regulasi pemerintah setiap perusahaan tambang diwajibkan membuat smelter. Hal ini agar setiap hasil tambang tak lagi diekspor dalam bentuk mentah.
Sumber: money.kompas.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 25 Februari 2025
KOMPAS.com - Dekarbonisasi atau pembatasan emisi karbon dioksida adalah proses yang rumit karena harus merancang ulang jalannya kegiatan perekonomian. Saat ini, sistem energi netral iklim membutuhkan sejumlah besar bahan baku penting untuk menginstalasi dan menyimpan energi terbarukan.
Kian ambisiusnya target penanggulangan perubahan iklim dan naiknya harga bahan baku telah membuat investasi energi terbarukan menjadi lebih mahal dan lebih rentan terhadap ketegangan geopolitik. Masalah pandemi, investasi, rantai pasokan, dan logistik juga ikut memperburuk situasi.
Baru-baru ini dilaporkan bahwa harga panel surya yang sebagian besar diproduksi di China lebih mahal dan sulit ditemukan di pasaran. Para ahli pun memprediksi masalah ini akan tetap ada dalam beberapa tahun mendatang
Harga komoditas terus bergejolak
"Harga sejumlah bahan baku meningkat signifikan dalam beberapa bulan terakhir, tetapi tentu saja harga minyak dan gas alam juga meningkat secara signifikan," Direktur Pusat Inovasi dan Teknologi IRENA, Dolf Gielen, mengatakan kepada DW. IRENA adalah Badan Energi Terbarukan Internasional.
Pakar perencanaan energi ini juga menambahkan bahwa permintaan bahan baku yang lebih tinggi didorong oleh besarnya permintaan bahan baku terkait produksi mobil elektrik "karena banyak pabrik baterai baru sedang dibangun.
" Ia menambahkan bahwa ketidakpastian tetap ada, antara lain dapat berupa bentuk dan material dasar pembuatan generasi baterai masa depan. "Seperti apa baterainya, tepatnya, masih menjadi tanda tanya," kata Gielen.
"Beberapa tahun yang lalu, semua orang berbicara tentang kobalt, tetapi sekarang sepertinya jumlah kobalt yang dibutuhkan jauh lebih rendah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Masa depan campuran bahan katoda masih belum pasti.
" Setidaknya butuh beberapa tahun dan perencanaan keamanan jangka panjang untuk mewujudkan proyek-proyek pertambangan skala besar, terutama mengingat volatilitas harga yang tinggi. Tahun 2017 harga litium anjlok, tetapi dalam beberapa bulan terakhir harganya melonjak ke level rekor baru. Menurut Gielen, kita harus terbiasa dengan fluktuasi seperti itu.
Perburuan sumber litium dan nikel
"Mengenai litium, kita butuh lima kali lebih banyak dalam penambangan pada dekade ini, tetapi ada banyak kapasitas baru yang dikembangkan," ujar Gielen.
Litium adalah material yang paling banyak dibutuhkan terutama untuk produksi baterai. Material ini tersedia di beberapa daerah. Penambangan litium itu sendiri bukanlah faktor strategis yang besar, tetapi lebih kepada pemrosesannya, tambah Gielen. "China punya posisi dominan dalam pemrosesan litium menjadi baterai, dan perusahaan China membeli banyak pasokan litium baru.
" Dalam jangka menengah, ketegangan geopolitik terkait litium kemungkinan besar dapat diatasi melalui fasilitas penambangan dan pemrosesan baru di Uni Eropa (UE). Peluang pasokan ada di Republik Ceko, Portugal, Spanyol, dan Jerman serta di negara-negara Eropa lain termasuk Inggris dan Serbia. Namun proyek pertambangan baru sulit diterima oleh warga lokal.
Nikel adalah mineral mentah utama lainnya untuk baterai. "Indonesia akan menjadi produsen utama nikel, menggantikan Filipina di posisi teratas," kata Gielen. "China kembali memproses sebagian besar sumber dayanya. Indonesia memberlakukan kebijakan lama dan mengharuskan nikel diproses langsung di dalam negeri. Jadi, China dan Indonesia akan mendominasi pasar nikel.”
Secara keseluruhan, permintaan nikel diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. UE memiliki simpanan nikelnya sendiri, termasuk di Finlandia dan di Kaledonia Baru.
Material tanah jarang, ada di mana? Tanah jarang atau rare earth, juga diperlukan untuk membuat magnet. Mineral ini jadi bagian ketiga dalam teka-teki transisi energi ini. China berada di depan Eropa dan Amerika, kata Beata Javorcik, Kepala Ekonom di European Bank for Reconstruction and Development.
"Pada 2010 China telah menguasai lebih dari 90% penambangan tanah jarang," kata Javorcik kepada DW. "Negara ini mengejutkan dunia dengan memberlakukan pembatasan ekspor. AS dan UE menentang keputusan itu dan menang, tetapi masih ada beberapa kekhawatiran bahwa pembatasan ekspor mungkin akan kembali berlaku."
China bukan satu-satunya negara yang memberlakukan pembatasan ekspor. "Meskipun pembatasan ekspor adalah ilegal menurut aturan WTO, itu tetap terjadi," kata Javorcik. Ekonom yang berbasis di London ini menjelaskan bahwa ikatan internasional yang kuat adalah kunci agar pasar bahan baku yang minim ini bisa tetap berfungsi dengan baik.
Selain hubungan rumit antara AS dan China, ketegangan juga mungkin muncul sebagai konsekuensi dari upaya UE untuk menghindari kebocoran karbon. Ini memicu perilaku perusahaan untuk memindahkan produksi mereka yang intensif karbon ke luar negeri tempat mereka mungkin menemukan standar yang lebih longgar.
Opsi dan alternatif bagi UE
Sejumlah institusi di UE juga tengah mengerjakan beberapa program untuk mendukung penciptaan rantai pasokan lokal yang digerakkan oleh pasar untuk produksi baterai.
Awal bulan ini, perusahaan Neo Performance Materials asal Kanada mengumumkan rencana investasi pada tanah jarang di Estonia. Pemasok bahan canggih ini juga berencana memproduksi magnet permanen pada 2024.
Terlepas dari investasi baru-baru ini, UE masih bergantung pada impor logam tanah jarang, dan baterai. Namun blok ini kuat di sektor energi angin.
"Sekitar 99 persen turbin angin yang dipasang di Eropa diproduksi di benua ini. Karena perusahaan-perusahaan Eropa memimpin di bidang ini, kita dapat menetapkan standar teknologi internasional," kata Alexander Vandenberghe, manajer penelitian dan inovasi di Association Wind Europe. Ia menambahkan bahwa turbin angin tidak akan berubah drastis dalam beberapa tahun ke depan.
Karena itu, kebutuhan industri angin untuk bahan baku kritis dapat direncanakan sebelumnya, dan ini menciptakan kepastian di sektor pertambangan. Namun di sisi lain, industri angin UE sangat bergantung pada impor tanah jarang. Kenaikan harga yang drastis dapat memperlambat ekspansi sektor ini.
Selama lima tahun ke depan, sektor angin Eropa kemungkinan akan menderita meskipun ada produksi dalam negeri. "Harga bahan baku yang tinggi saat ini mempersulit perusahaan energi angin di Eropa," Manajer Komunikasi Wind Europe, Christoph Zipf.
Sumber: www.kompas.com