Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Ketika Konsep Lama Keberlanjutan Gagal Membendung Ledakan Suburban
Kawasan penyangga (hinterland) Metropolitan Jakarta—termasuk Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi mesin pertumbuhan dan sekaligus zona krisis keberlanjutan. Kota-kota ini menanggung beban spill-over effects (efek limpahan) yang masif dari ibu kota, baik itu dalam bentuk dampak ekonomi, sosial, spasial, maupun lingkungan.1 Ledakan populasi dan pembangunan perumahan yang tak terhindarkan telah menguji batas-batas kerangka perencanaan kota tradisional.
Dalam kurun waktu delapan tahun, antara 2010 hingga 2018, wilayah-wilayah ini mencatat laju pertumbuhan penduduk yang mencengangkan. Tangerang Selatan, misalnya, mencatat laju pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 3,56%, diikuti Depok 3,53%.1 Pertumbuhan yang brutal ini jauh melampaui rata-rata nasional dan secara langsung memicu konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Di Kota Tangerang, perluasan lahan perumahan bahkan mencapai rata-rata 6% setiap tahun, sebuah indikasi kecepatan pembangunan yang hampir tidak mungkin dikendalikan oleh kebijakan publik konvensional.1
Realitas ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah standar keberlanjutan yang ada saat ini masih relevan? Selama beberapa dekade, wacana keberlanjutan global berpegangan pada konsep Triple Bottom Line (TBL), yang hanya mencakup pilar Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.1 Namun, laju pertumbuhan yang brutal dan masalah sosial yang timbul di suburban Jakarta membuktikan bahwa kerangka kerja klasik ini telah gagal menangkap kompleksitas kebutuhan spesifik urban modern. Penelitian ekstensif terbaru, yang melibatkan ratusan rumah tangga di kawasan penyangga Jakarta, hadir untuk mendobrak paradigma lama, mengusulkan dan memvalidasi model enam pilar—menambahkan Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola—sebagai peta jalan baru menuju Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang benar-benar akurat dan terukur.1
Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup: Menguak Batasan Konsep Klasik
Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Abad ke-20
Konsep pembangunan berkelanjutan secara historis merujuk pada definisi World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan masa depan.1 Konsep ini diperkuat oleh TBL yang diperkenalkan Elkington (1997). Meskipun TBL menjadi referensi utama dalam banyak penelitian empiris, para akademisi mengakui bahwa konsep ini memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus-kasus spesifik di tingkat regional, lokal, dan sektoral.1 Area perumahan, sebagai sektor vital, memerlukan alat ukur yang jauh lebih cermat.
Di Indonesia, defisit kebijakan ini sangat nyata. Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis Prosedur Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi keberlanjutan, standar tersebut tidak memasukkan dimensi sosial dan ekonomi modern, menjadikannya tumpul di hadapan realitas urban kontemporer.1
Kegagalan penerapan prinsip keberlanjutan di sektor perumahan terbukti telah menciptakan konsekuensi negatif yang signifikan. Pembangunan kawasan hunian, terutama oleh sektor swasta, telah mengubah strategi mata pencaharian masyarakat lokal, menekan modal sosial, dan menyebabkan segregasi permukiman serta ketidaksetaraan pendapatan yang tajam.1 Dalam konteks ini, keberlanjutan tidak lagi sekadar tentang konservasi, tetapi harus diposisikan sebagai alat mitigasi untuk memperbaiki disfungsi sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh ekspansi urban yang tidak terencana.
Profil Populasi yang Mendorong Perubahan Paradigma
Latar belakang populasi di kawasan suburban Jakarta adalah kunci untuk memahami mengapa kerangka keberlanjutan harus diperluas. Penelitian ini menggunakan pendekatan ‘suara warga’ (citizen-led) dengan mengamati 332 rumah tangga yang tersebar di empat kota studi.1
Analisis demografi menunjukkan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan spasial di kawasan urban/suburban dicirikan oleh dominasi populasi kelas menengah.1 Kelompok usia produktif mendominasi, dengan 52% hingga 58% dari total populasi di keempat kota berada dalam rentang usia 15–44 tahun. Selain usia, tingkat pendidikan penduduk juga tergolong tinggi; 40% responden memegang gelar Diploma atau Sarjana.1
Populusi kelas menengah ini, yang sering disebut commanding middle class, memiliki tuntutan yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Mereka bukan hanya membutuhkan akses ke kebutuhan dasar; mereka menuntut fasilitas infrastruktur yang canggih, konektivitas digital yang premium, dan lingkungan yang aman. Keberlanjutan di mata mereka diartikan sebagai kualitas hidup yang terjamin oleh layanan dan tata kelola yang responsif. Tuntutan kelas menengah inilah yang membenarkan mengapa pilar-pilar tambahan seperti Infrastruktur dan Teknologi mutlak harus diintegrasikan ke dalam model SRA, karena kebutuhan mereka melampaui cakupan TBL klasik.1
Inovasi Enam Pilar SRA: Menjawab Tuntutan Infrastruktur dan Era Disrupsi Teknologi
Penelitian ini mengusulkan kerangka keberlanjutan enam dimensi yang terdiri dari Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1 Penambahan tiga pilar baru ini dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan tata ruang yang kompleks serta tuntutan masyarakat suburban urban yang dinamis.
Infrastruktur: Prasyarat Kehidupan Komuter
Argumen utama penambahan Infrastruktur didasarkan pada kenyataan bahwa situasi area hunian di suburban sangat berbeda dengan area pedesaan. Populasi kelas menengah yang memiliki mobilitas tinggi dan gaya hidup serba cepat (fast-paced) membutuhkan kualitas infrastruktur yang tinggi dan aksesibel untuk mendukung seluruh aktivitas mereka.1 Infrastruktur—mulai dari jalan, penerangan, hingga drainase—berfungsi sebagai tulang punggung yang menjamin kelancaran konektivitas bagi para komuter ini. Tanpa standar infrastruktur yang kuat, janji keberlanjutan urban akan runtuh.1
Teknologi: Jembatan Partisipasi dan Efisiensi
Dalam era disrupsi, peran Teknologi menjadi semakin krusial. Teknologi di sini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga mesin yang menerjemahkan pemahaman kita menjadi desain dan fungsi yang meningkatkan keberlanjutan global dan urban. Kota dengan struktur sosial dan ekonomi yang kompleks memerlukan respons terintegrasi terhadap masalah yang timbul.1
Teknologi memungkinkan tata kelola kota menjadi lebih partisipatif, memberikan sarana bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara cepat dan efisien. Dalam konteks SRA, teknologi menjamin bahwa kawasan hunian tidak terisolasi secara digital dan mampu mengadaptasi solusi cerdas untuk masalah keamanan dan layanan.1
Tata Kelola (Governance): Komitmen Kredibel dan Regulasi
Pilar Tata Kelola ditambahkan karena konsep keberlanjutan dianggap belum tuntas apabila mengecualikan aspek spasial, perilaku manusia, dan hak kepemilikan. Tata kelola memastikan adanya intervensi non-pasar (pemerintah) yang diperlukan untuk mengawasi sektor perumahan swasta.1
Pemerintah daerah memiliki peran vital untuk memastikan bahwa kebijakan mereka—melalui akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan visi strategis—berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Pilar Tata Kelola bertindak sebagai mekanisme kontrol publik, memastikan bahwa pembangunan kawasan hunian, yang sering didominasi oleh pengembang besar, tetap selaras dengan kepentingan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Menyingkap 36 Kriteria Emas: Hasil Validasi ‘Suara Warga’ Suburban
Penelitian ini pada awalnya merumuskan 51 indikator potensial. Setelah melalui proses penyaringan yang ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dalam Structural Equation Modeling (SEM), studi ini berhasil memvalidasi dan menghasilkan 36 indikator SRA yang valid dan andal.1 Indikator-indikator ini tidak hanya menjadi daftar variabel, melainkan sebuah model yang terbukti secara statistik sebagai struktur dan sistem yang saling berhubungan untuk meningkatkan SRA.
Kekuatan Statistik: Model yang Kokoh dan Terintegrasi
Keandalan model ini terbukti melalui evaluasi kecocokan model (goodness-of-fit) yang mencapai hasil yang luar biasa setelah dilakukan modifikasi. Sebagai perbandingan, nilai Root of Mean Square Error of Approximation (RMSEA)—yang mengukur tingkat kesalahan—berhasil diturunkan secara drastis menjadi hanya 0.020, jauh di bawah ambang batas penerimaan yang disarankan 0.08. Sementara itu, indeks kecocokan model lainnya, seperti Comparative Fit Index (CFI) dan Tucker-Lewis Index (TLI), mencapai angka yang mendekati kesempurnaan, yaitu 0.994 dan 0.992.1 Hasil ini memberikan otoritas ilmiah tertinggi, memastikan bahwa kerangka enam pilar (E-S-E-I-T-G) benar-benar mengukur apa yang dimaksud dengan keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Jakarta.
Pergeseran Prioritas Warga: Kisah di Balik Data 36 Indikator
Analisis faktor pemuatan (loading factor) mengungkapkan prioritas nyata masyarakat suburban, yang menuntut pergeseran fokus kebijakan:
Kritik Realistis dan Opini: Tantangan Mengubah Konsep Menjadi Kebijakan Konkret
Meskipun model enam pilar ini menawarkan kerangka kerja yang solid secara statistik untuk kebijakan di Indonesia, terdapat beberapa keterbatasan metodologi dan tantangan implementasi yang perlu diakui secara realistis
Keterbatasan Metodologi Penelitian
Penelitian ini, seperti halnya studi empiris di lapangan, menghadapi keterbatasan dalam teknik pengambilan sampel. Studi ini menggunakan nonprobability sampling (sampel nonprobabilitas). Alasan penggunaan teknik ini adalah karena tidak tersedianya daftar lengkap anggota populasi yang akan dijadikan sampel.1 Keterbatasan ini berpotensi menghasilkan sampel yang kurang representatif dibandingkan populasi keseluruhan.
Kegagalan dalam menyediakan data demografi yang lengkap oleh otoritas lokal ini justru menyoroti kelemahan substansial dalam pilar Tata Kelola itu sendiri. Diperlukan upaya mendasar dari pemerintah daerah untuk menyediakan data yang komprehensif agar penelitian di masa depan dapat menggunakan probability sampling dan menghasilkan estimasi yang lebih baik.1
Hambatan Implementasi dan Konflik Kepentingan
Kritik realistis selanjutnya menyangkut kompleksitas mengubah indikator yang valid menjadi kebijakan konkret. Beberapa indikator yang dihasilkan, meskipun penting, sulit dioperasionalkan di tingkat kebijakan. Misalnya, indikator di pilar Sosial seperti "desain kegiatan yang memperkuat koneksi sosial" atau standar ketat dalam pilar Tata Kelola seperti "sertifikasi berkelanjutan wajib" membutuhkan alokasi biaya tinggi dan restrukturisasi birokrasi yang kompleks.1
Penerapan kriteria yang ketat, seperti kewajiban sertifikasi berkelanjutan untuk pengembang, kemungkinan besar akan menghadapi resistensi signifikan dari sektor properti swasta yang mendominasi kawasan suburban.1 Keberhasilan model SRA ini pada akhirnya bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemimpin lokal untuk menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi properti dengan kepentingan publik jangka panjang, memastikan bahwa kemajuan ekonomi properti tidak mengorbankan keadilan sosial dan daya dukung lingkungan.
Dampak Nyata dan Masa Depan Hunian: Mengisi Kekosongan Standar Nasional
Model Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki relevansi kebijakan yang sangat tinggi, terutama bagi Indonesia. Saat ini, kebijakan perumahan nasional masih fokus pada akses perumahan yang layak dan terjangkau, tetapi belum serius memperhatikan bagaimana area hunian memenuhi prinsip keberlanjutan.1
Blueprint Kebijakan untuk Indonesia
Model 36 indikator ini berfungsi sebagai blueprint kebijakan, memberikan peta jalan yang jelas bagi pemerintah daerah Suburban Metropolitan Jakarta dan seluruh Indonesia. Model ini dapat digunakan untuk memperkuat atau bahkan menggantikan standar yang sudah ada, seperti SNI 03-1733-2004, yang dinilai usang dan tidak inklusif terhadap dimensi sosial dan ekonomi modern.1
Penambahan parameter Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola merupakan ide novelty yang dapat diperluas ke studi keberlanjutan regional dan sektoral lainnya di masa depan. Kerangka kerja ini secara eksplisit merespons tantangan masyarakat komuter kelas menengah dan kebutuhan tata kelola yang transparan dan kredibel.1
Dengan memprioritaskan investasi pada kriteria yang paling sensitif, seperti ketersediaan jaringan internet berkualitas tinggi, fasilitas keamanan (CCTV), akses mudah ke fasilitas publik, dan efisiensi konservasi air, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas hidup warganya secara signifikan. Model SRA ini menawarkan standar baru yang terbukti secara empiris mampu mengukur keberlanjutan dalam konteks urban-suburban yang kompleks.
Pernyataan Dampak Nyata dan Proyeksi
Jika model enam pilar ini diadopsi sebagai kerangka kerja wajib untuk perizinan dan sertifikasi kawasan hunian baru di seluruh hinterland Jakarta, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh urban sprawl yang tidak terkontrol hingga 20-30% dalam kurun waktu lima tahun pertama implementasi—mengubah kota-kota penyangga menjadi kawasan yang secara inheren lebih adil, aman, dan tangguh, serta meningkatkan nilai investasi properti yang berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, & Arya Hadi Dharmawan. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development, 9(3), 82–102.
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 September 2025
Mengapa Integrasi DRR dan Urban Planning Jadi Isu Strategis?
Perkembangan kota yang pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah meningkatkan kerentanan kawasan urban terhadap bencana. Tidak hanya banjir, kekeringan, dan kebakaran, tetapi juga bencana sosial seperti epidemi dan kecelakaan industri kini diakui sebagai ancaman nyata bagi kota-kota besar dunia, termasuk Afrika Selatan.
Dalam konteks ini, integrasi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) ke dalam kurikulum perencanaan kota dan wilayah (Urban and Regional Planning/UP) menjadi sangat krusial. Artikel karya Koen, Coetzee, Kruger, dan Puren (2024) membedah secara kritis status integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan di universitas Afrika Selatan, mengungkap tantangan, peluang, dan rekomendasi strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang lain, termasuk Indonesia.
Latar Belakang: Urbanisasi, Risiko Bencana, dan Kesenjangan Kompetensi
Fakta dan Tren Global
Relevansi Integrasi DRR dalam Pendidikan Perencana Kota
Kerangka Teori dan Kebijakan: Kenapa DRR Harus Masuk Kurikulum UP?
Perspektif Akademik
Perspektif Kebijakan
Studi Kasus: Implementasi Integrasi DRR di Universitas Afrika Selatan
Metodologi Penelitian
Temuan Kunci
1. Kesadaran dan Komitmen Tinggi
2. Praktik Integrasi di Kurikulum
3. Studi Kasus Modul dan Materi
4. Tantangan Utama Integrasi
5. Dampak Integrasi yang Terbatas
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan Global
Kelebihan Studi
Keterbatasan
Perbandingan dengan Negara Lain
Implikasi dan Rekomendasi Strategis
1. Reformasi Kurikulum dan Materi Ajar
2. Penguatan Kapasitas Dosen dan Institusi
3. Kolaborasi Lintas Sektor dan Disiplin
4. Digitalisasi dan Inovasi Pembelajaran
5. Advokasi dan Pengakuan Profesi
Studi Angka dan Fakta: Potret Integrasi DRR di Perguruan Tinggi
Opini dan Kritik: Integrasi DRR, Momentum Reformasi atau Formalitas?
Integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota bukan sekadar tuntutan kebijakan, tapi kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Namun, jika hanya dilakukan setengah hati—sekadar menambah satu-dua topik dalam modul—manfaatnya akan sangat terbatas. Reformasi kurikulum harus dilakukan secara menyeluruh, didukung pelatihan dosen, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah minimnya komitmen institusi dan pemerintah untuk menyediakan sumber daya dan insentif bagi pengembangan kurikulum DRR. Selain itu, penguatan jejaring antara universitas, industri, dan lembaga DRR masih sangat diperlukan untuk memastikan lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan nyata di lapangan.
Tren Masa Depan: Kompetensi DRR sebagai Standar Baru Perencana Kota
Kesimpulan: Menuju Kota Tangguh Lewat Kurikulum Perencanaan Adaptif
Studi Koen dkk. menegaskan bahwa integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota adalah fondasi utama membangun kota tangguh dan berkelanjutan. Tantangan integrasi memang besar mulai dari keterbatasan waktu, dana, hingga kapasitas dosen namun peluang reformasi juga terbuka lebar.
Dengan komitmen bersama, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran, universitas dapat menjadi motor penggerak transformasi kompetensi perencana kota masa depan. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Afrika Selatan: investasi pada pendidikan DRR adalah investasi pada masa depan kota yang lebih aman, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Sumber
Koen T, Coetzee C, Kruger L, Puren K. (2024). Assessing the integration between disaster risk reduction and urban and regional planning curricula at tertiary institutions in South Africa. J transdiscipl res S Afr. 20(1), a1451.
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Megaproject bukanlah proyek biasa. Dengan anggaran yang sering melebihi 1 miliar dolar AS, masa pelaksanaan hingga lebih dari satu dekade, dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta, megaproject menjadi medan uji paling ekstrem dalam manajemen proyek. Seperti ditunjukkan oleh Sanchez-Cazorla et al. (2017), karakteristik megaproject — mulai dari ketidakpastian, ambiguitas, dinamika sosial-politik, hingga antarmuka teknis — membuat pengelolaan risikonya lebih penting dan jauh lebih kompleks dibanding proyek skala kecil-menengah.
Tujuan Penelitian: Mengisi Kesenjangan Pengetahuan
Penelitian ini bertujuan menyusun tinjauan sistematis tentang manajemen risiko dalam megaproject, dengan fokus utama pada fase identifikasi risiko. Penulis menyusun:
Kerangka Teori: Mengapa Identifikasi Risiko Itu Kritis?
Manajemen risiko, menurut Project Management Institute (2013), merupakan proses sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons risiko. Dalam konteks megaproject, proses ini menjadi kunci keberhasilan, karena keterlambatan, pembengkakan biaya, dan konflik kepentingan dapat menyebabkan proyek gagal total — bahkan hingga merugikan negara atau instansi pengelola.
Identifikasi risiko menjadi fase paling krusial. Tanpa identifikasi, risiko tidak bisa ditangani. Bahkan, semakin dini risiko dikenali, semakin rendah biaya dan upaya mitigasi yang dibutuhkan (Fukayama et al., 2008).
Metodologi: Tinjauan Literatur Sistematis
Proses Penelitian
Tim penulis menggunakan pendekatan systematic literature review dengan lima tahap:
Statistik Bibliometrik
Temuan Utama: Kategori Risiko dalam Megaproject
Penulis menyusun sembilan kategori risiko utama sebagai panduan praktis:
1. Risiko Desain
Terkait pemilihan metode pelaksanaan, studi kelayakan, dan akuisisi lahan. Risiko ini lazim di tahap awal dan dapat berdampak sistemik ke seluruh siklus proyek.
2. Risiko Legal dan Politik
Misalnya, perubahan regulasi, pembatalan izin, atau intervensi pemerintah. Sebagai contoh, proyek di Turki yang dianalisis oleh Owens et al. (2012) menunjukkan betapa cepatnya lingkungan regulasi bisa berubah.
3. Risiko Kontraktual
Melibatkan ketidakjelasan isi kontrak, renegosiasi sepihak, atau konflik antar pihak dalam PPP (Public–Private Partnership). Contoh muncul dalam proyek jalan tol di Brasil.
Kategori paling dominan (43,37%) dalam literatur. Mencakup keterlambatan, kesalahan teknis, atau kegagalan spesifikasi teknis. Salah satu studi menarik berasal dari Heathrow Terminal 5, yang mengalami penundaan karena kesalahan perencanaan teknis.
5. Risiko Operasional dan Pemeliharaan
Biasanya muncul pasca konstruksi, seperti kesalahan manajemen fasilitas, inefisiensi operasional, atau ketidaksesuaian performa.
6. Risiko Tenaga Kerja
Meliputi pelatihan, keselamatan kerja, dan tantangan komunikasi lintas budaya — terutama relevan dalam proyek internasional dengan tenaga kerja multinasional.
7. Risiko Sosial dan Konsumen
Dibagi menjadi:
8. Risiko Finansial dan Ekonomi
Termasuk devaluasi mata uang, inflasi, masalah likuiditas, atau kesalahan prediksi pendapatan jangka panjang.
9. Force Majeure
Bencana alam, perang, atau terorisme yang tidak dapat dikendalikan dan berdampak sistemik terhadap jadwal dan anggaran.
Studi Kasus: Heathrow Terminal 5 dan Gideon’s Gang
Studi pada proyek Terminal 5 di Heathrow menunjukkan kompleksitas manajemen risiko di lingkungan berisiko tinggi. Isu desain dan konstruksi menjadi hambatan utama, ditambah tekanan publik yang kuat karena pengaruh media. Sementara proyek "Gideon’s Gang" (sebuah inisiatif infrastruktur lingkungan) menunjukkan pentingnya keterlibatan masyarakat sejak dini untuk menghindari risiko reputasi dan resistensi sosial.
Kelemahan dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Penelitian ini mengakui keterbatasan berikut:
Penulis merekomendasikan penelitian lebih lanjut dalam:
Implikasi Praktis: Panduan bagi Manajer Proyek
Bagi praktisi, artikel ini menyediakan peta risiko yang komprehensif dan aplikatif untuk tahap identifikasi risiko awal. Dalam praktik, daftar risiko dan klasifikasinya dapat digunakan untuk:
Kesimpulan: Identifikasi Risiko sebagai Pondasi Kesuksesan Megaproject
Melalui tinjauan literatur yang sistematis, Sanchez-Cazorla dan tim memberikan kontribusi penting dalam memahami dan mengkategorikan risiko megaproject. Penelitian ini menjadi dasar kuat untuk menyusun strategi manajemen risiko sejak tahap paling awal, yaitu identifikasi. Dalam konteks industri yang semakin sarat proyek berskala besar — seperti infrastruktur IKN, proyek kereta cepat, atau pembangkit energi terbarukan — pendekatan ini menjadi semakin relevan dan mendesak untuk diterapkan.
Sumber Asli:
Sanchez-Cazorla, A., Alfalla-Luque, R., & Irimia-Diéguez, A. (2017). Risk Identification in Megaprojects as a Crucial Phase of Risk Management: A Literature Review. Project Management Journal, 47(6), 75–93. DOI: 10.1177/875697281604700606.
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam era perubahan iklim dan urbanisasi yang kian pesat, kebutuhan akan sistem pendukung keputusan berbasis risiko dalam perencanaan tata ruang menjadi semakin penting. Artikel bertajuk “Integrating Risk Assessment into Spatial Planning: RiskOTe Decision Support System” oleh Nelson Mileu dan Margarida Queirós memaparkan bagaimana sistem pendukung keputusan spasial (SDSS) yang dikembangkan melalui RiskOTe dapat membantu perencana kota memahami, menganalisis, dan menanggapi risiko bencana secara lebih sistematis. Dengan menggunakan studi kasus di kota Oeiras, Portugal, artikel ini menggabungkan pendekatan kuantitatif dan spasial untuk mengintegrasikan risiko ke dalam kebijakan tata guna lahan, menghasilkan wawasan berharga yang sangat relevan bagi banyak kota yang rentan terhadap risiko alam dan teknologi.
Tantangan dalam Perencanaan Spasial dan Peran Risiko
Artikel ini dibuka dengan latar belakang meningkatnya relevansi sistem pendukung keputusan (DSS) dalam manajemen risiko bencana, terutama karena dampak bencana alam yang semakin besar terhadap komunitas dan ekonomi global. Ditekankan bahwa meskipun pemetaan risiko telah menjadi alat yang umum, cara penggunaannya dalam proses perencanaan ruang belum optimal. Inilah celah yang coba diisi oleh RiskOTe SDSS, sebuah sistem pendukung keputusan berbasis spasial yang dirancang untuk membantu pengambil kebijakan memahami kompleksitas hubungan antara bahaya, kerentanan, dan konsekuensi risiko.
Arsitektur dan Metodologi RiskOTe
RiskOTe dibangun berdasarkan kerangka penilaian risiko semi-kuantitatif yang memadukan indeks bahaya dan indeks konsekuensi. Rumus dasar yang digunakan adalah:
Risk = Hazard × Consequences
Komponen konsekuensi ini mencakup empat dimensi kerentanan utama—fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan—yang masing-masing dihitung dengan indeks tersendiri. Misalnya, indeks kerentanan sosial dihitung menggunakan formula yang mempertimbangkan rasio usia, gender, status pengangguran, kewarganegaraan, dan struktur keluarga. Demikian pula, indeks fisik mempertimbangkan populasi, bangunan, dan infrastruktur.
Data untuk model ini berasal dari database lokal dan sensus penduduk tahun 2011, yang kemudian dianalisis melalui sistem berbasis PostgreSQL dan PostGIS dengan antarmuka visual berbasis HTML5, JavaScript, dan pustaka GIS seperti OpenLayers dan GeoExt.
Studi Kasus: Kota Oeiras
Untuk menguji RiskOTe, penulis menggunakan kota Oeiras—sebuah kawasan metropolitan di pinggiran Lisbon—sebagai laboratorium nyata. Kota ini memiliki 172.120 penduduk dan karakteristik urbanisasi yang tinggi, serta ancaman multi-risiko seperti banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor.
Skenario Pertama: Evaluasi Dasar
Skenario awal menggunakan bobot default dan memetakan daerah di paroki Porto Salvo. Risiko utama adalah kebakaran semak dengan nilai indeks bahaya 2.89 dan konsekuensi rendah (0.92). Sistem menyimpulkan bahwa risiko keseluruhan adalah "rendah", dengan rekomendasi bahwa pembangunan diizinkan, tetapi masyarakat perlu sadar terhadap bahaya yang ada. Hanya tiga infrastruktur jalan lokal yang terpapar, dan waktu respons ke rumah sakit sekitar 13–14 menit serta ke stasiun pemadam kebakaran 6–7 menit.
Skenario Kedua: Dampak Peningkatan Kerentanan
Skenario ini mensimulasikan pembangunan baru yang menambah 70 penduduk dan 10 bangunan, tanpa mengubah bobot atau lokasi. Hasilnya menunjukkan peningkatan indeks konsekuensi menjadi 1.59 dan peningkatan level risiko menjadi "sedang". Meskipun demikian, model tetap merekomendasikan pembangunan dengan syarat adanya demonstrasi kondisi keamanan dan langkah mitigasi.
Skenario Ketiga: Area Perkotaan Rentan Banjir
Skenario ini diterapkan di pusat kota Oeiras, dekat sungai Laje dan stasiun kereta. Daerah tersebut memiliki indeks bahaya banjir sebesar 2.98 dan indeks konsekuensi sebesar 1.26, menghasilkan klasifikasi risiko “sedang”. Rekomendasi tetap sama: pembangunan diizinkan dengan catatan harus ada langkah mitigasi yang jelas.
Evaluasi Model dan Keterbatasan
Hasil skenario menunjukkan bahwa RiskOTe cenderung tidak terlalu restriktif terhadap perubahan tata guna lahan kecuali kedua komponen—bahaya dan konsekuensi—bernilai tinggi secara bersamaan. Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual daripada sistem konvensional yang biasanya berbasis larangan absolut.
Namun, artikel ini juga dengan jujur menyoroti sejumlah keterbatasan. Pertama adalah kesulitan memperoleh data moneter atau nilai strategis untuk semua elemen yang terekspos. Kedua, penggabungan indeks kerentanan yang sangat kompleks dapat menimbulkan persoalan dalam pembobotan dan perbandingan. Ketiga, unit analisis terkecil yang digunakan adalah blok statistik, yang menimbulkan isu klasik seperti modifiable areal unit problem (MAUP). Keempat, keterbatasan dalam memperhitungkan dinamika populasi harian dan musiman juga menambah tantangan dalam akurasi penilaian risiko.
Nilai Tambah dan Implikasi Industri
Keunggulan utama RiskOTe adalah pada fleksibilitasnya. Model ini tidak hanya menyediakan perhitungan risiko, tetapi juga dilengkapi alat perbandingan skenario dan visualisasi berbasis web yang mudah diakses tanpa memerlukan keahlian GIS tingkat lanjut. Bagi pemerintah kota, alat ini memungkinkan proses perencanaan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kondisi lokal.
Dalam konteks tren global, RiskOTe sangat relevan mengingat kebutuhan akan integrasi antara tata ruang dan manajemen risiko semakin mendesak, terutama pasca-pandemi dan di tengah ancaman perubahan iklim. Kota-kota yang berkembang cepat, seperti Jakarta, Manila, atau Lagos, dapat sangat diuntungkan dari penerapan sistem serupa yang disesuaikan dengan data lokal.
Sebagai catatan tambahan, langkah ke depan yang direkomendasikan penulis adalah memigrasikan sistem sepenuhnya ke platform open-source seperti Python dan GitHub, sehingga dapat digunakan oleh lebih banyak pemerintah daerah.
Kesimpulan
RiskOTe SDSS merupakan inovasi penting dalam bidang perencanaan tata ruang berbasis risiko. Dengan pendekatan semi-kuantitatif yang menggabungkan analisis bahaya, kerentanan, dan eksposur, sistem ini menghadirkan platform yang tidak hanya informatif tetapi juga strategis. Meski terdapat keterbatasan data dan metodologi, fleksibilitas sistem memungkinkan penyesuaian lebih lanjut. Implementasinya di kota Oeiras membuktikan bahwa pengambilan keputusan dalam transformasi penggunaan lahan dapat dilakukan secara lebih cermat dan berbasis bukti. Bagi perencana kota dan pembuat kebijakan, RiskOTe bisa menjadi contoh konkret bagaimana teknologi dapat menjembatani antara analisis spasial dan tindakan nyata dalam pengelolaan risiko perkotaan.
Sumber artikel asli:
Mileu, N., & Queirós, M. (2018). Integrating Risk Assessment into Spatial Planning: RiskOTe Decision Support System. International Journal of Geo-Information, 7(5), 184.
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) merupakan elemen fundamental dalam pengelolaan pembangunan daerah. Kabupaten Nias Barat yang mengalami pertumbuhan pesat menghadapi tantangan dalam mengakomodasi perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Paper "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat" oleh Faahakhododo Zai dan Wanapri Pangaribuan membahas urgensi revisi RTRW guna memastikan perencanaan ruang yang selaras dengan dinamika perubahan wilayah dan regulasi terbaru.
1. Perubahan Batas Wilayah dan Dampaknya
Kabupaten Nias Barat mengalami perubahan batas wilayah administratif antara tahun 2014 hingga 2021. Data menunjukkan:
Perubahan batas ini berdampak langsung pada pola pemanfaatan ruang, termasuk penyesuaian kawasan lindung dan kawasan budidaya.
2. Ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang Eksisting dengan RTRW 2014
Kajian ini menemukan adanya perbedaan signifikan antara kondisi penggunaan lahan aktual dengan perencanaan RTRW 2014:
Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa RTRW perlu diperbarui untuk mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
3. Perencanaan Pola Ruang Kabupaten Nias Barat
Dalam konsep revisi RTRW, terdapat dua zona utama:
Rencana ini bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.
4. Sistem Jaringan Infrastruktur dan Transportasi
Dalam revisi RTRW, sistem jaringan infrastruktur dikembangkan untuk meningkatkan konektivitas wilayah:
Analisis dan Kritik
1. Pentingnya Integrasi Data Terkini dalam Perencanaan RTRW
Ketidaksesuaian antara RTRW 2014 dan kondisi eksisting menunjukkan bahwa pembaruan RTRW harus berbasis data terbaru. Penggunaan teknologi seperti citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat meningkatkan akurasi dalam perencanaan tata ruang.
2. Keterlibatan Masyarakat dalam Revisi RTRW
Perencanaan tata ruang yang efektif memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Kajian ini menyoroti bahwa aspirasi masyarakat belum sepenuhnya tercermin dalam RTRW sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme konsultasi publik yang lebih inklusif dalam revisi RTRW.
3. Penguatan Regulasi dan Pengawasan Pemanfaatan Ruang
Kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan RTRW menyebabkan ketidaksesuaian dalam pemanfaatan lahan. Untuk mengatasi hal ini, disarankan:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Revisi RTRW Kabupaten Nias Barat menjadi langkah strategis dalam menghadapi dinamika pertumbuhan wilayah. Beberapa kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:
Sebagai rekomendasi, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:
Dengan penerapan strategi ini, Kabupaten Nias Barat dapat mengelola pertumbuhan wilayah secara lebih efektif, mencegah konflik tata ruang, dan menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Faahakhododo Zai, Wanapri Pangaribuan. "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat." Jurnal Insinyur Profesional, Volume 2, No. 3, Mei 2023, Hal 74-82.