Perencanaan tata ruang wilayah

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Keberlanjutan Kawasan Suburban Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Ketika Konsep Lama Keberlanjutan Gagal Membendung Ledakan Suburban

Kawasan penyangga (hinterland) Metropolitan Jakarta—termasuk Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi mesin pertumbuhan dan sekaligus zona krisis keberlanjutan. Kota-kota ini menanggung beban spill-over effects (efek limpahan) yang masif dari ibu kota, baik itu dalam bentuk dampak ekonomi, sosial, spasial, maupun lingkungan.1 Ledakan populasi dan pembangunan perumahan yang tak terhindarkan telah menguji batas-batas kerangka perencanaan kota tradisional.

Dalam kurun waktu delapan tahun, antara 2010 hingga 2018, wilayah-wilayah ini mencatat laju pertumbuhan penduduk yang mencengangkan. Tangerang Selatan, misalnya, mencatat laju pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 3,56%, diikuti Depok 3,53%.1 Pertumbuhan yang brutal ini jauh melampaui rata-rata nasional dan secara langsung memicu konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Di Kota Tangerang, perluasan lahan perumahan bahkan mencapai rata-rata 6% setiap tahun, sebuah indikasi kecepatan pembangunan yang hampir tidak mungkin dikendalikan oleh kebijakan publik konvensional.1

Realitas ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah standar keberlanjutan yang ada saat ini masih relevan? Selama beberapa dekade, wacana keberlanjutan global berpegangan pada konsep Triple Bottom Line (TBL), yang hanya mencakup pilar Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.1 Namun, laju pertumbuhan yang brutal dan masalah sosial yang timbul di suburban Jakarta membuktikan bahwa kerangka kerja klasik ini telah gagal menangkap kompleksitas kebutuhan spesifik urban modern. Penelitian ekstensif terbaru, yang melibatkan ratusan rumah tangga di kawasan penyangga Jakarta, hadir untuk mendobrak paradigma lama, mengusulkan dan memvalidasi model enam pilar—menambahkan Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola—sebagai peta jalan baru menuju Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang benar-benar akurat dan terukur.1

 

Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup: Menguak Batasan Konsep Klasik

Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Abad ke-20

Konsep pembangunan berkelanjutan secara historis merujuk pada definisi World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan masa depan.1 Konsep ini diperkuat oleh TBL yang diperkenalkan Elkington (1997). Meskipun TBL menjadi referensi utama dalam banyak penelitian empiris, para akademisi mengakui bahwa konsep ini memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus-kasus spesifik di tingkat regional, lokal, dan sektoral.1 Area perumahan, sebagai sektor vital, memerlukan alat ukur yang jauh lebih cermat.

Di Indonesia, defisit kebijakan ini sangat nyata. Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis Prosedur Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi keberlanjutan, standar tersebut tidak memasukkan dimensi sosial dan ekonomi modern, menjadikannya tumpul di hadapan realitas urban kontemporer.1

Kegagalan penerapan prinsip keberlanjutan di sektor perumahan terbukti telah menciptakan konsekuensi negatif yang signifikan. Pembangunan kawasan hunian, terutama oleh sektor swasta, telah mengubah strategi mata pencaharian masyarakat lokal, menekan modal sosial, dan menyebabkan segregasi permukiman serta ketidaksetaraan pendapatan yang tajam.1 Dalam konteks ini, keberlanjutan tidak lagi sekadar tentang konservasi, tetapi harus diposisikan sebagai alat mitigasi untuk memperbaiki disfungsi sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh ekspansi urban yang tidak terencana.

Profil Populasi yang Mendorong Perubahan Paradigma

Latar belakang populasi di kawasan suburban Jakarta adalah kunci untuk memahami mengapa kerangka keberlanjutan harus diperluas. Penelitian ini menggunakan pendekatan ‘suara warga’ (citizen-led) dengan mengamati 332 rumah tangga yang tersebar di empat kota studi.1

Analisis demografi menunjukkan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan spasial di kawasan urban/suburban dicirikan oleh dominasi populasi kelas menengah.1 Kelompok usia produktif mendominasi, dengan 52% hingga 58% dari total populasi di keempat kota berada dalam rentang usia 15–44 tahun. Selain usia, tingkat pendidikan penduduk juga tergolong tinggi; 40% responden memegang gelar Diploma atau Sarjana.1

Populusi kelas menengah ini, yang sering disebut commanding middle class, memiliki tuntutan yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Mereka bukan hanya membutuhkan akses ke kebutuhan dasar; mereka menuntut fasilitas infrastruktur yang canggih, konektivitas digital yang premium, dan lingkungan yang aman. Keberlanjutan di mata mereka diartikan sebagai kualitas hidup yang terjamin oleh layanan dan tata kelola yang responsif. Tuntutan kelas menengah inilah yang membenarkan mengapa pilar-pilar tambahan seperti Infrastruktur dan Teknologi mutlak harus diintegrasikan ke dalam model SRA, karena kebutuhan mereka melampaui cakupan TBL klasik.1

 

Inovasi Enam Pilar SRA: Menjawab Tuntutan Infrastruktur dan Era Disrupsi Teknologi

Penelitian ini mengusulkan kerangka keberlanjutan enam dimensi yang terdiri dari Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1 Penambahan tiga pilar baru ini dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan tata ruang yang kompleks serta tuntutan masyarakat suburban urban yang dinamis.

Infrastruktur: Prasyarat Kehidupan Komuter

Argumen utama penambahan Infrastruktur didasarkan pada kenyataan bahwa situasi area hunian di suburban sangat berbeda dengan area pedesaan. Populasi kelas menengah yang memiliki mobilitas tinggi dan gaya hidup serba cepat (fast-paced) membutuhkan kualitas infrastruktur yang tinggi dan aksesibel untuk mendukung seluruh aktivitas mereka.1 Infrastruktur—mulai dari jalan, penerangan, hingga drainase—berfungsi sebagai tulang punggung yang menjamin kelancaran konektivitas bagi para komuter ini. Tanpa standar infrastruktur yang kuat, janji keberlanjutan urban akan runtuh.1

Teknologi: Jembatan Partisipasi dan Efisiensi

Dalam era disrupsi, peran Teknologi menjadi semakin krusial. Teknologi di sini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga mesin yang menerjemahkan pemahaman kita menjadi desain dan fungsi yang meningkatkan keberlanjutan global dan urban. Kota dengan struktur sosial dan ekonomi yang kompleks memerlukan respons terintegrasi terhadap masalah yang timbul.1

Teknologi memungkinkan tata kelola kota menjadi lebih partisipatif, memberikan sarana bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara cepat dan efisien. Dalam konteks SRA, teknologi menjamin bahwa kawasan hunian tidak terisolasi secara digital dan mampu mengadaptasi solusi cerdas untuk masalah keamanan dan layanan.1

Tata Kelola (Governance): Komitmen Kredibel dan Regulasi

Pilar Tata Kelola ditambahkan karena konsep keberlanjutan dianggap belum tuntas apabila mengecualikan aspek spasial, perilaku manusia, dan hak kepemilikan. Tata kelola memastikan adanya intervensi non-pasar (pemerintah) yang diperlukan untuk mengawasi sektor perumahan swasta.1

Pemerintah daerah memiliki peran vital untuk memastikan bahwa kebijakan mereka—melalui akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan visi strategis—berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Pilar Tata Kelola bertindak sebagai mekanisme kontrol publik, memastikan bahwa pembangunan kawasan hunian, yang sering didominasi oleh pengembang besar, tetap selaras dengan kepentingan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang lebih luas.

 

Menyingkap 36 Kriteria Emas: Hasil Validasi ‘Suara Warga’ Suburban

Penelitian ini pada awalnya merumuskan 51 indikator potensial. Setelah melalui proses penyaringan yang ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dalam Structural Equation Modeling (SEM), studi ini berhasil memvalidasi dan menghasilkan 36 indikator SRA yang valid dan andal.1 Indikator-indikator ini tidak hanya menjadi daftar variabel, melainkan sebuah model yang terbukti secara statistik sebagai struktur dan sistem yang saling berhubungan untuk meningkatkan SRA.

Kekuatan Statistik: Model yang Kokoh dan Terintegrasi

Keandalan model ini terbukti melalui evaluasi kecocokan model (goodness-of-fit) yang mencapai hasil yang luar biasa setelah dilakukan modifikasi. Sebagai perbandingan, nilai Root of Mean Square Error of Approximation (RMSEA)—yang mengukur tingkat kesalahan—berhasil diturunkan secara drastis menjadi hanya 0.020, jauh di bawah ambang batas penerimaan yang disarankan 0.08. Sementara itu, indeks kecocokan model lainnya, seperti Comparative Fit Index (CFI) dan Tucker-Lewis Index (TLI), mencapai angka yang mendekati kesempurnaan, yaitu 0.994 dan 0.992.1 Hasil ini memberikan otoritas ilmiah tertinggi, memastikan bahwa kerangka enam pilar (E-S-E-I-T-G) benar-benar mengukur apa yang dimaksud dengan keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Jakarta.

Pergeseran Prioritas Warga: Kisah di Balik Data 36 Indikator

Analisis faktor pemuatan (loading factor) mengungkapkan prioritas nyata masyarakat suburban, yang menuntut pergeseran fokus kebijakan:

  • Pilar Ekonomi: Prioritas Akses dan Nilai
    • Berbeda dengan fokus tradisional pada produksi, keberlanjutan ekonomi di suburban Jakarta sangat ditentukan oleh konsumsi dan aksesibilitas. Indikator terkuat dalam pilar ini adalah Akses ke fasilitas publik (seperti rumah sakit, mal, dan pusat olahraga), yang memiliki faktor pemuatan tertinggi sebesar 0.850 di antara semua kriteria Ekonomi yang divalidasi.1
    • Hal ini menegaskan bahwa nilai ekonomi suatu kawasan hunian sangat bergantung pada amenities dan kedekatannya dengan pusat layanan. Indikator lain yang divalidasi, seperti Harga perumahan yang terjangkau dan Nilai investasi lokasi, juga merupakan faktor yang kuat.1
  • Pilar Sosial: Keamanan Menggantikan Partisipasi Komunal
    • Hasil validasi menunjukkan pergeseran prioritas sosial yang dramatis. Kriteria yang paling kuat adalah Keamanan (seperti mitigasi kriminalitas), Kesehatan, dan Keramahtamahan warga.1
    • Secara mengejutkan, indikator sosial yang sering dianggap tradisional, seperti "Partisipasi Sosial Warga" dan "Adopsi Nilai Budaya Lokal", memiliki faktor pemuatan yang sangat rendah dan akhirnya tereliminasi dari model.1 Temuan ini menyiratkan bahwa gaya hidup komuter dan perumahan gated community (komplek berpagar) telah menyebabkan masyarakat kelas menengah suburban memprioritaskan keamanan privat dan kesehatan pribadi di atas kegiatan sosial komunal atau gotong royong tradisional, yang kini telah memudar dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pilar Lingkungan: Konservasi Sumber Daya Kritis
    • Masyarakat suburban menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap ketersediaan sumber daya lingkungan. Kriteria yang paling menonjol adalah Pelestarian ekologis dan keanekaragaman hayati dan Efisiensi penggunaan air tanah, keduanya mencatat faktor pemuatan yang sangat tinggi (di atas 0.82).1 Hal ini menyoroti kekhawatiran publik terhadap ketersediaan air bersih dan kualitas lingkungan, menuntut kebijakan konservasi yang ketat terhadap sumber daya alam yang terancam oleh pembangunan perumahan yang masif.
  • Pilar Infrastruktur & Teknologi: Tuntutan Keterhubungan Digital dan Keamanan Canggih
    • Di pilar Teknologi, ketersediaan jaringan internet dan kecepatannya adalah kriteria yang mendapat tingkat kepentingan tertinggi dari responden.1 Selain itu, fasilitas keamanan berbasis teknologi seperti kamera CCTV dan Penjaga Keamanan menjadi sangat penting.
    • Dalam Infrastruktur fisik, Penerangan Jalan dan Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas merupakan prioritas utama.1 Tuntutan kolektif terhadap CCTV dan internet cepat adalah ciri khas kawasan hunian modern yang mengintegrasikan keamanan fisik dengan kebutuhan koneksi global yang tak terhindarkan, sebuah manifestasi dari Sustainable Digital Gated Community.
  • Pilar Tata Kelola: Kredibilitas Pemerintah adalah Kunci Utama
    • Temuan yang paling mencolok dan memiliki faktor pemuatan tertinggi di seluruh model berkaitan dengan Tata Kelola. Kriteria Komitmen kredibel dari pemerintah daerah (proaktif dalam pengawasan dan sosialisasi program) mencetak nilai tertinggi, yaitu 0.918, diikuti oleh Partisipasi dalam proses perencanaan sebesar 0.911.1
    • Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat percaya bahwa keberlanjutan SRA sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan dan komitmen institusi pemerintah. Indikator lain yang kuat mencakup Visi pemimpin lokal tentang kawasan hunian dan kebutuhan akan Sertifikasi untuk sistem berkelanjutan bagi pengembang perumahan.1

 

Kritik Realistis dan Opini: Tantangan Mengubah Konsep Menjadi Kebijakan Konkret

Meskipun model enam pilar ini menawarkan kerangka kerja yang solid secara statistik untuk kebijakan di Indonesia, terdapat beberapa keterbatasan metodologi dan tantangan implementasi yang perlu diakui secara realistis

Keterbatasan Metodologi Penelitian

Penelitian ini, seperti halnya studi empiris di lapangan, menghadapi keterbatasan dalam teknik pengambilan sampel. Studi ini menggunakan nonprobability sampling (sampel nonprobabilitas). Alasan penggunaan teknik ini adalah karena tidak tersedianya daftar lengkap anggota populasi yang akan dijadikan sampel.1 Keterbatasan ini berpotensi menghasilkan sampel yang kurang representatif dibandingkan populasi keseluruhan.

Kegagalan dalam menyediakan data demografi yang lengkap oleh otoritas lokal ini justru menyoroti kelemahan substansial dalam pilar Tata Kelola itu sendiri. Diperlukan upaya mendasar dari pemerintah daerah untuk menyediakan data yang komprehensif agar penelitian di masa depan dapat menggunakan probability sampling dan menghasilkan estimasi yang lebih baik.1

Hambatan Implementasi dan Konflik Kepentingan

Kritik realistis selanjutnya menyangkut kompleksitas mengubah indikator yang valid menjadi kebijakan konkret. Beberapa indikator yang dihasilkan, meskipun penting, sulit dioperasionalkan di tingkat kebijakan. Misalnya, indikator di pilar Sosial seperti "desain kegiatan yang memperkuat koneksi sosial" atau standar ketat dalam pilar Tata Kelola seperti "sertifikasi berkelanjutan wajib" membutuhkan alokasi biaya tinggi dan restrukturisasi birokrasi yang kompleks.1

Penerapan kriteria yang ketat, seperti kewajiban sertifikasi berkelanjutan untuk pengembang, kemungkinan besar akan menghadapi resistensi signifikan dari sektor properti swasta yang mendominasi kawasan suburban.1 Keberhasilan model SRA ini pada akhirnya bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemimpin lokal untuk menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi properti dengan kepentingan publik jangka panjang, memastikan bahwa kemajuan ekonomi properti tidak mengorbankan keadilan sosial dan daya dukung lingkungan.

 

Dampak Nyata dan Masa Depan Hunian: Mengisi Kekosongan Standar Nasional

Model Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki relevansi kebijakan yang sangat tinggi, terutama bagi Indonesia. Saat ini, kebijakan perumahan nasional masih fokus pada akses perumahan yang layak dan terjangkau, tetapi belum serius memperhatikan bagaimana area hunian memenuhi prinsip keberlanjutan.1

Blueprint Kebijakan untuk Indonesia

Model 36 indikator ini berfungsi sebagai blueprint kebijakan, memberikan peta jalan yang jelas bagi pemerintah daerah Suburban Metropolitan Jakarta dan seluruh Indonesia. Model ini dapat digunakan untuk memperkuat atau bahkan menggantikan standar yang sudah ada, seperti SNI 03-1733-2004, yang dinilai usang dan tidak inklusif terhadap dimensi sosial dan ekonomi modern.1

Penambahan parameter Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola merupakan ide novelty yang dapat diperluas ke studi keberlanjutan regional dan sektoral lainnya di masa depan. Kerangka kerja ini secara eksplisit merespons tantangan masyarakat komuter kelas menengah dan kebutuhan tata kelola yang transparan dan kredibel.1

Dengan memprioritaskan investasi pada kriteria yang paling sensitif, seperti ketersediaan jaringan internet berkualitas tinggi, fasilitas keamanan (CCTV), akses mudah ke fasilitas publik, dan efisiensi konservasi air, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas hidup warganya secara signifikan. Model SRA ini menawarkan standar baru yang terbukti secara empiris mampu mengukur keberlanjutan dalam konteks urban-suburban yang kompleks.

Pernyataan Dampak Nyata dan Proyeksi

Jika model enam pilar ini diadopsi sebagai kerangka kerja wajib untuk perizinan dan sertifikasi kawasan hunian baru di seluruh hinterland Jakarta, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh urban sprawl yang tidak terkontrol hingga 20-30% dalam kurun waktu lima tahun pertama implementasi—mengubah kota-kota penyangga menjadi kawasan yang secara inheren lebih adil, aman, dan tangguh, serta meningkatkan nilai investasi properti yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, & Arya Hadi Dharmawan. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development, 9(3), 82–102.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Keberlanjutan Kawasan Suburban Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Perencanaan tata ruang wilayah

Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dalam Kurikulum Perencanaan Kota: Evaluasi, Tantangan, dan Masa Depan di Afrika Selatan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 September 2025


Mengapa Integrasi DRR dan Urban Planning Jadi Isu Strategis?

Perkembangan kota yang pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah meningkatkan kerentanan kawasan urban terhadap bencana. Tidak hanya banjir, kekeringan, dan kebakaran, tetapi juga bencana sosial seperti epidemi dan kecelakaan industri kini diakui sebagai ancaman nyata bagi kota-kota besar dunia, termasuk Afrika Selatan.

Dalam konteks ini, integrasi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) ke dalam kurikulum perencanaan kota dan wilayah (Urban and Regional Planning/UP) menjadi sangat krusial. Artikel karya Koen, Coetzee, Kruger, dan Puren (2024) membedah secara kritis status integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan di universitas Afrika Selatan, mengungkap tantangan, peluang, dan rekomendasi strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

Latar Belakang: Urbanisasi, Risiko Bencana, dan Kesenjangan Kompetensi

Fakta dan Tren Global

  • Urbanisasi dan perubahan iklim memperbesar paparan risiko bencana di kawasan perkotaan.
  • Infrastruktur yang padat dan pertumbuhan permukiman informal memperparah dampak bencana.
  • Banyak komunitas urban yang kekurangan modal sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menghadapi bencana secara mandiri.

Relevansi Integrasi DRR dalam Pendidikan Perencana Kota

  • Integrasi DRR dalam UP diyakini mampu mencetak perencana kota yang lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
  • Banyak solusi pembangunan kota gagal karena pendekatan sektoral dan minim kolaborasi lintas disiplin.
  • Integrasi ini telah menjadi agenda global sejak awal 2000-an, didorong oleh dokumen seperti SDGs (khususnya SDG 11 tentang kota berkelanjutan) dan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction.

Kerangka Teori dan Kebijakan: Kenapa DRR Harus Masuk Kurikulum UP?

Perspektif Akademik

  • Urban planning memiliki peran strategis dalam mengatasi penyebab utama risiko bencana: tata ruang, degradasi lingkungan, tata kelola yang lemah, dan ketimpangan sosial.
  • Integrasi DRR membantu perencana kota memahami dan mengelola risiko, bukan sekadar merespons bencana setelah terjadi.
  • Praktik baik: penataan ulang fungsi lahan, penguatan standar bangunan, dan pengurangan paparan masyarakat terhadap zona rawan.

Perspektif Kebijakan

  • SDGs menekankan pengurangan korban dan kerugian ekonomi akibat bencana, terutama bagi kelompok rentan.
  • Sendai Framework mendorong integrasi DRR dalam jalur pendidikan dan pengembangan profesional, serta penegakan aturan tata ruang berbasis risiko.
  • Kebijakan nasional Afrika Selatan (SPLUMA) dan National Disaster Management Framework menuntut integrasi DRR dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.

Studi Kasus: Implementasi Integrasi DRR di Universitas Afrika Selatan

Metodologi Penelitian

  • Studi ini menggunakan desain eksploratori kualitatif dengan survei daring kepada 18 dosen dari 11 universitas yang menawarkan program perencanaan kota dan wilayah.
  • Kriteria partisipan: dosen yang telah mengintegrasikan aspek DRR dalam modul yang diajarkan.
  • Analisis dilakukan dengan thematic analysis untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang integrasi DRR dalam kurikulum.

Temuan Kunci

1. Kesadaran dan Komitmen Tinggi

  • Seluruh partisipan sepakat bahwa DRR sangat relevan untuk calon perencana kota.
  • Mayoritas menilai perencana kota berperan vital dalam menata permukiman, infrastruktur, dan tata ruang agar lebih tahan bencana.
  • DRR dianggap penting untuk membangun kota yang adaptif terhadap perubahan iklim dan bencana masa depan.

2. Praktik Integrasi di Kurikulum

  • DRR telah diintegrasikan dalam beberapa modul, seperti sustainable development, environmental planning, spatial planning, flood planning, urban design, hingga city safety.
  • Namun, tidak ada satu pun universitas yang memiliki mata kuliah khusus DRR. Integrasi hanya terjadi pada 1–2 modul, dengan porsi materi DRR rata-rata hanya 5%–20% dari total konten modul.
  • Integrasi lebih banyak terjadi di tingkat pascasarjana, sehingga sebagian besar mahasiswa S1 tidak mendapat paparan cukup tentang DRR.

3. Studi Kasus Modul dan Materi

  • Di University E, mahasiswa belajar memantau floodplain, pengelolaan limbah, hingga analisis kontur untuk mencegah banjir.
  • Di University F, kelas Urban Infrastructure membahas kegagalan infrastruktur dan respons komunitas, sedangkan kelas Metropolitan Planning mengulas peran pemerintah lokal dalam manajemen bencana.
  • University H mengintegrasikan DRR pada tiga modul di tingkat S1 dan S2, namun tetap hanya 50% dari konten modul yang membahas DRR.

4. Tantangan Utama Integrasi

  • Keterbatasan waktu dan ruang dalam kurikulum: Kurikulum sudah penuh, sulit menambah materi baru tanpa mengorbankan konten lain.
  • Keterbatasan dana dan SDM: Minimnya anggaran menghambat perekrutan dosen dengan keahlian DRR.
  • Kurangnya pemahaman dan pelatihan: Banyak dosen spesialis di bidang tertentu enggan atau kesulitan memperluas kompetensi ke DRR.
  • Minimnya materi dan best practice: Kurangnya bahan ajar dan contoh nyata integrasi DRR dalam perencanaan kota.

5. Dampak Integrasi yang Terbatas

  • Paparan mahasiswa tentang DRR masih sangat terbatas, terutama di jenjang S1.
  • Hanya sebagian kecil lulusan yang benar-benar memahami dan mampu menerapkan prinsip DRR dalam praktik profesional.
  • Potensi besar untuk memperluas integrasi, namun butuh strategi nasional dan dukungan institusi.

Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan Global

Kelebihan Studi

  • Memberikan gambaran nyata tentang status integrasi DRR dalam pendidikan perencana kota di Afrika Selatan.
  • Mengungkap tantangan struktural dan kultural yang juga dialami banyak negara berkembang.
  • Menawarkan dasar untuk reformasi kurikulum dan kebijakan pendidikan perencana kota.

Keterbatasan

  • Studi berbasis self-report dari dosen, sehingga ada potensi bias persepsi.
  • Tidak membahas secara mendalam dampak integrasi DRR terhadap outcome lulusan di dunia kerja.
  • Belum mengeksplorasi inovasi digital atau kolaborasi dengan industri dalam pengembangan materi DRR.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • Di India, hanya sedikit universitas yang mengintegrasikan DRR dalam kurikulum perencanaan, meski risiko bencana sangat tinggi.
  • Di Australia dan Jepang, integrasi DRR lebih maju, didorong kolaborasi antara universitas, pemerintah, dan sektor swasta.
  • Di Indonesia, tantangan serupa muncul: kurikulum perencanaan kota masih minim materi DRR, padahal risiko bencana sangat tinggi.

Implikasi dan Rekomendasi Strategis

1. Reformasi Kurikulum dan Materi Ajar

  • DRR harus menjadi bagian inti, bukan sekadar tambahan, dalam kurikulum perencanaan kota dan wilayah.
  • Pengembangan modul khusus DRR, baik teori maupun praktik, di semua jenjang pendidikan.
  • Integrasi studi kasus lokal dan global, simulasi, serta proyek lapangan untuk memperkuat pemahaman aplikatif.

2. Penguatan Kapasitas Dosen dan Institusi

  • Pelatihan intensif bagi dosen tentang konsep, metode, dan aplikasi DRR dalam perencanaan kota.
  • Kerja sama dengan praktisi, lembaga DRR, dan industri untuk pengembangan materi dan magang mahasiswa.
  • Penambahan anggaran untuk rekrutmen dosen ahli DRR dan pengembangan bahan ajar.

3. Kolaborasi Lintas Sektor dan Disiplin

  • Pembentukan kelompok kerja lintas disiplin (climate task group) yang menggabungkan keahlian iklim, perencanaan, dan DRR.
  • Kolaborasi antara universitas, pemerintah daerah, dan lembaga internasional untuk pengembangan kurikulum dan riset bersama.
  • Integrasi DRR dalam kebijakan tata ruang, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan lingkungan.

4. Digitalisasi dan Inovasi Pembelajaran

  • Pengembangan platform daring untuk pelatihan dan simulasi DRR berbasis kasus nyata.
  • Pemanfaatan data spasial, GIS, dan teknologi digital untuk pembelajaran dan penelitian risiko bencana.
  • Penguatan literasi digital mahasiswa dan dosen untuk mendukung pembelajaran adaptif.

5. Advokasi dan Pengakuan Profesi

  • Mendorong asosiasi perencana kota untuk menjadikan kompetensi DRR sebagai syarat sertifikasi profesional.
  • Kampanye kesadaran tentang pentingnya DRR di kalangan mahasiswa, dosen, dan pemangku kepentingan industri.

Studi Angka dan Fakta: Potret Integrasi DRR di Perguruan Tinggi

  • Dari 11 universitas yang disurvei, rata-rata hanya 1–2 modul yang mengintegrasikan DRR, dengan porsi materi 5%–20% per modul.
  • Tidak ada universitas yang memiliki mata kuliah khusus DRR.
  • Integrasi lebih banyak terjadi di tingkat pascasarjana, sehingga sebagian besar mahasiswa S1 tidak terpapar DRR.
  • Tantangan utama: keterbatasan waktu, dana, SDM, dan materi ajar.

Opini dan Kritik: Integrasi DRR, Momentum Reformasi atau Formalitas?

Integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota bukan sekadar tuntutan kebijakan, tapi kebutuhan strategis di era bencana kompleks dan perubahan iklim. Namun, jika hanya dilakukan setengah hati—sekadar menambah satu-dua topik dalam modul—manfaatnya akan sangat terbatas. Reformasi kurikulum harus dilakukan secara menyeluruh, didukung pelatihan dosen, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran.

Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah minimnya komitmen institusi dan pemerintah untuk menyediakan sumber daya dan insentif bagi pengembangan kurikulum DRR. Selain itu, penguatan jejaring antara universitas, industri, dan lembaga DRR masih sangat diperlukan untuk memastikan lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan nyata di lapangan.

Tren Masa Depan: Kompetensi DRR sebagai Standar Baru Perencana Kota

  • Digitalisasi dan Big Data: Penguasaan teknologi GIS, analisis risiko spasial, dan pemodelan bencana akan menjadi syarat wajib perencana kota modern.
  • Kolaborasi Global: Mobilitas tenaga kerja dan harmonisasi standar kompetensi DRR di tingkat regional dan internasional akan membuka peluang karier baru.
  • Lifelong Learning: Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan tentang DRR harus menjadi bagian dari pengembangan profesional perencana kota.
  • Pendekatan Komunitas: Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan mitigasi bencana semakin diakui sebagai kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan.

Kesimpulan: Menuju Kota Tangguh Lewat Kurikulum Perencanaan Adaptif

Studi Koen dkk. menegaskan bahwa integrasi DRR dalam kurikulum perencanaan kota adalah fondasi utama membangun kota tangguh dan berkelanjutan. Tantangan integrasi memang besar mulai dari keterbatasan waktu, dana, hingga kapasitas dosen namun peluang reformasi juga terbuka lebar.

Dengan komitmen bersama, kolaborasi lintas sektor, dan inovasi pembelajaran, universitas dapat menjadi motor penggerak transformasi kompetensi perencana kota masa depan. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Afrika Selatan: investasi pada pendidikan DRR adalah investasi pada masa depan kota yang lebih aman, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Sumber

Koen T, Coetzee C, Kruger L, Puren K. (2024). Assessing the integration between disaster risk reduction and urban and regional planning curricula at tertiary institutions in South Africa. J transdiscipl res S Afr. 20(1), a1451.

Selengkapnya
Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dalam Kurikulum Perencanaan Kota: Evaluasi, Tantangan, dan Masa Depan di Afrika Selatan

Perencanaan tata ruang wilayah

​​​​​​​Mengurai Risiko Megaproject: Menata Strategi Sejak Tahap Identifikasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Megaproject bukanlah proyek biasa. Dengan anggaran yang sering melebihi 1 miliar dolar AS, masa pelaksanaan hingga lebih dari satu dekade, dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta, megaproject menjadi medan uji paling ekstrem dalam manajemen proyek. Seperti ditunjukkan oleh Sanchez-Cazorla et al. (2017), karakteristik megaproject — mulai dari ketidakpastian, ambiguitas, dinamika sosial-politik, hingga antarmuka teknis — membuat pengelolaan risikonya lebih penting dan jauh lebih kompleks dibanding proyek skala kecil-menengah.

Tujuan Penelitian: Mengisi Kesenjangan Pengetahuan

Penelitian ini bertujuan menyusun tinjauan sistematis tentang manajemen risiko dalam megaproject, dengan fokus utama pada fase identifikasi risiko. Penulis menyusun:

  1. Analisis bibliometrik dari 83 artikel terpilih.
  2. Klasifikasi risiko ke dalam sembilan kategori utama.
  3. Pemetaan celah penelitian dan potensi praktik lanjutan dalam risk management megaproject.

Kerangka Teori: Mengapa Identifikasi Risiko Itu Kritis?

Manajemen risiko, menurut Project Management Institute (2013), merupakan proses sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons risiko. Dalam konteks megaproject, proses ini menjadi kunci keberhasilan, karena keterlambatan, pembengkakan biaya, dan konflik kepentingan dapat menyebabkan proyek gagal total — bahkan hingga merugikan negara atau instansi pengelola.

Identifikasi risiko menjadi fase paling krusial. Tanpa identifikasi, risiko tidak bisa ditangani. Bahkan, semakin dini risiko dikenali, semakin rendah biaya dan upaya mitigasi yang dibutuhkan (Fukayama et al., 2008).

Metodologi: Tinjauan Literatur Sistematis

Proses Penelitian

Tim penulis menggunakan pendekatan systematic literature review dengan lima tahap:

  1. Menentukan topik dan periode (2000–2013).
  2. Memilih basis data (WoK, Scopus, ABI/Inform).
  3. Melakukan pencarian dengan kata kunci seperti “risk” + “megaproject”.
  4. Mengolah dan membersihkan hasil pencarian (365 artikel menjadi 83 artikel terpilih).
  5. Menganalisis menggunakan ATLAS.ti dan Excel.

Statistik Bibliometrik

  • Jumlah Artikel: 83 referensi, dengan 79,52% berasal dari jurnal dan sisanya prosiding konferensi.
  • Jurnal Dominan: International Journal of Project Management (12%).
  • Metode Populer: Studi kasus (41%), model/simulasi (29%), dan artikel konseptual (36%).
  • Fokus Proyek: Paling banyak pada sektor jalan dan rel (masing-masing 9 artikel), diikuti gedung, energi, dan kilang.
  • Lokasi Studi: Eropa (16 artikel) dan Amerika Utara (9 artikel) menjadi area dominan.

Temuan Utama: Kategori Risiko dalam Megaproject

Penulis menyusun sembilan kategori risiko utama sebagai panduan praktis:

1. Risiko Desain

Terkait pemilihan metode pelaksanaan, studi kelayakan, dan akuisisi lahan. Risiko ini lazim di tahap awal dan dapat berdampak sistemik ke seluruh siklus proyek.

2. Risiko Legal dan Politik

Misalnya, perubahan regulasi, pembatalan izin, atau intervensi pemerintah. Sebagai contoh, proyek di Turki yang dianalisis oleh Owens et al. (2012) menunjukkan betapa cepatnya lingkungan regulasi bisa berubah.

3. Risiko Kontraktual

Melibatkan ketidakjelasan isi kontrak, renegosiasi sepihak, atau konflik antar pihak dalam PPP (Public–Private Partnership). Contoh muncul dalam proyek jalan tol di Brasil.

4. Risiko Konstruksi

Kategori paling dominan (43,37%) dalam literatur. Mencakup keterlambatan, kesalahan teknis, atau kegagalan spesifikasi teknis. Salah satu studi menarik berasal dari Heathrow Terminal 5, yang mengalami penundaan karena kesalahan perencanaan teknis.

5. Risiko Operasional dan Pemeliharaan

Biasanya muncul pasca konstruksi, seperti kesalahan manajemen fasilitas, inefisiensi operasional, atau ketidaksesuaian performa.

6. Risiko Tenaga Kerja

Meliputi pelatihan, keselamatan kerja, dan tantangan komunikasi lintas budaya — terutama relevan dalam proyek internasional dengan tenaga kerja multinasional.

7. Risiko Sosial dan Konsumen

Dibagi menjadi:

  • Risiko Permintaan: Fluktuasi volume pengguna.
  • Risiko Pasar: Perubahan preferensi pengguna atau munculnya pesaing.
  • Dampak Sosial: Penolakan masyarakat lokal (NIMBY).
  • Lingkungan: Risiko pencemaran, deforestasi, dan lain-lain.
  • Reputasi: Citra buruk akibat pemberitaan negatif.

8. Risiko Finansial dan Ekonomi

Termasuk devaluasi mata uang, inflasi, masalah likuiditas, atau kesalahan prediksi pendapatan jangka panjang.

9. Force Majeure

Bencana alam, perang, atau terorisme yang tidak dapat dikendalikan dan berdampak sistemik terhadap jadwal dan anggaran.

Studi Kasus: Heathrow Terminal 5 dan Gideon’s Gang

Studi pada proyek Terminal 5 di Heathrow menunjukkan kompleksitas manajemen risiko di lingkungan berisiko tinggi. Isu desain dan konstruksi menjadi hambatan utama, ditambah tekanan publik yang kuat karena pengaruh media. Sementara proyek "Gideon’s Gang" (sebuah inisiatif infrastruktur lingkungan) menunjukkan pentingnya keterlibatan masyarakat sejak dini untuk menghindari risiko reputasi dan resistensi sosial.

Kelemahan dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan

Penelitian ini mengakui keterbatasan berikut:

  • Kurangnya Studi Longitudinal: Mayoritas artikel bersifat cross-sectional.
  • Minimnya Statistik Empiris: Hanya 18% artikel menggunakan analisis statistik.
  • Dominasi Studi Konstruksi: Risiko sosial, finansial, dan politik kurang dijelajahi secara mendalam.
  • Ketiadaan Standarisasi Model: Tidak ditemukan satu pun model risiko yang disepakati bersama di bidang megaproject.

Penulis merekomendasikan penelitian lebih lanjut dalam:

  • Analisis lintas sektor (misalnya: transportasi vs energi).
  • Studi longitudinal untuk melihat evolusi risiko.
  • Pengembangan alat kuantitatif berbasis big data dan AI untuk prediksi risiko secara dinamis.

Implikasi Praktis: Panduan bagi Manajer Proyek

Bagi praktisi, artikel ini menyediakan peta risiko yang komprehensif dan aplikatif untuk tahap identifikasi risiko awal. Dalam praktik, daftar risiko dan klasifikasinya dapat digunakan untuk:

  • Membuat Checklist Risiko: Sebagai bagian dari due diligence proyek.
  • Menyesuaikan Strategi Mitigasi: Sesuai dengan jenis risiko dominan pada setiap fase proyek.
  • Mengalokasikan Sumber Daya Mitigasi: Berdasarkan kategori risiko dan kemungkinan dampaknya.

Kesimpulan: Identifikasi Risiko sebagai Pondasi Kesuksesan Megaproject

Melalui tinjauan literatur yang sistematis, Sanchez-Cazorla dan tim memberikan kontribusi penting dalam memahami dan mengkategorikan risiko megaproject. Penelitian ini menjadi dasar kuat untuk menyusun strategi manajemen risiko sejak tahap paling awal, yaitu identifikasi. Dalam konteks industri yang semakin sarat proyek berskala besar — seperti infrastruktur IKN, proyek kereta cepat, atau pembangkit energi terbarukan — pendekatan ini menjadi semakin relevan dan mendesak untuk diterapkan.

Sumber Asli:

Sanchez-Cazorla, A., Alfalla-Luque, R., & Irimia-Diéguez, A. (2017). Risk Identification in Megaprojects as a Crucial Phase of Risk Management: A Literature Review. Project Management Journal, 47(6), 75–93. DOI: 10.1177/875697281604700606.

 

Selengkapnya
​​​​​​​Mengurai Risiko Megaproject: Menata Strategi Sejak Tahap Identifikasi

Perencanaan tata ruang wilayah

Meningkatkan Perencanaan Tata Ruang melalui Integrasi Penilaian Risiko—Studi Kasus RiskOTe SDSS di Oeiras, Portugal

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Dalam era perubahan iklim dan urbanisasi yang kian pesat, kebutuhan akan sistem pendukung keputusan berbasis risiko dalam perencanaan tata ruang menjadi semakin penting. Artikel bertajuk “Integrating Risk Assessment into Spatial Planning: RiskOTe Decision Support System” oleh Nelson Mileu dan Margarida Queirós memaparkan bagaimana sistem pendukung keputusan spasial (SDSS) yang dikembangkan melalui RiskOTe dapat membantu perencana kota memahami, menganalisis, dan menanggapi risiko bencana secara lebih sistematis. Dengan menggunakan studi kasus di kota Oeiras, Portugal, artikel ini menggabungkan pendekatan kuantitatif dan spasial untuk mengintegrasikan risiko ke dalam kebijakan tata guna lahan, menghasilkan wawasan berharga yang sangat relevan bagi banyak kota yang rentan terhadap risiko alam dan teknologi.

Tantangan dalam Perencanaan Spasial dan Peran Risiko

Artikel ini dibuka dengan latar belakang meningkatnya relevansi sistem pendukung keputusan (DSS) dalam manajemen risiko bencana, terutama karena dampak bencana alam yang semakin besar terhadap komunitas dan ekonomi global. Ditekankan bahwa meskipun pemetaan risiko telah menjadi alat yang umum, cara penggunaannya dalam proses perencanaan ruang belum optimal. Inilah celah yang coba diisi oleh RiskOTe SDSS, sebuah sistem pendukung keputusan berbasis spasial yang dirancang untuk membantu pengambil kebijakan memahami kompleksitas hubungan antara bahaya, kerentanan, dan konsekuensi risiko.

Arsitektur dan Metodologi RiskOTe

RiskOTe dibangun berdasarkan kerangka penilaian risiko semi-kuantitatif yang memadukan indeks bahaya dan indeks konsekuensi. Rumus dasar yang digunakan adalah:

Risk = Hazard × Consequences

Komponen konsekuensi ini mencakup empat dimensi kerentanan utama—fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan—yang masing-masing dihitung dengan indeks tersendiri. Misalnya, indeks kerentanan sosial dihitung menggunakan formula yang mempertimbangkan rasio usia, gender, status pengangguran, kewarganegaraan, dan struktur keluarga. Demikian pula, indeks fisik mempertimbangkan populasi, bangunan, dan infrastruktur.

Data untuk model ini berasal dari database lokal dan sensus penduduk tahun 2011, yang kemudian dianalisis melalui sistem berbasis PostgreSQL dan PostGIS dengan antarmuka visual berbasis HTML5, JavaScript, dan pustaka GIS seperti OpenLayers dan GeoExt.

Studi Kasus: Kota Oeiras

Untuk menguji RiskOTe, penulis menggunakan kota Oeiras—sebuah kawasan metropolitan di pinggiran Lisbon—sebagai laboratorium nyata. Kota ini memiliki 172.120 penduduk dan karakteristik urbanisasi yang tinggi, serta ancaman multi-risiko seperti banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor.

Skenario Pertama: Evaluasi Dasar

Skenario awal menggunakan bobot default dan memetakan daerah di paroki Porto Salvo. Risiko utama adalah kebakaran semak dengan nilai indeks bahaya 2.89 dan konsekuensi rendah (0.92). Sistem menyimpulkan bahwa risiko keseluruhan adalah "rendah", dengan rekomendasi bahwa pembangunan diizinkan, tetapi masyarakat perlu sadar terhadap bahaya yang ada. Hanya tiga infrastruktur jalan lokal yang terpapar, dan waktu respons ke rumah sakit sekitar 13–14 menit serta ke stasiun pemadam kebakaran 6–7 menit.

Skenario Kedua: Dampak Peningkatan Kerentanan

Skenario ini mensimulasikan pembangunan baru yang menambah 70 penduduk dan 10 bangunan, tanpa mengubah bobot atau lokasi. Hasilnya menunjukkan peningkatan indeks konsekuensi menjadi 1.59 dan peningkatan level risiko menjadi "sedang". Meskipun demikian, model tetap merekomendasikan pembangunan dengan syarat adanya demonstrasi kondisi keamanan dan langkah mitigasi.

Skenario Ketiga: Area Perkotaan Rentan Banjir

Skenario ini diterapkan di pusat kota Oeiras, dekat sungai Laje dan stasiun kereta. Daerah tersebut memiliki indeks bahaya banjir sebesar 2.98 dan indeks konsekuensi sebesar 1.26, menghasilkan klasifikasi risiko “sedang”. Rekomendasi tetap sama: pembangunan diizinkan dengan catatan harus ada langkah mitigasi yang jelas.

Evaluasi Model dan Keterbatasan

Hasil skenario menunjukkan bahwa RiskOTe cenderung tidak terlalu restriktif terhadap perubahan tata guna lahan kecuali kedua komponen—bahaya dan konsekuensi—bernilai tinggi secara bersamaan. Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual daripada sistem konvensional yang biasanya berbasis larangan absolut.

Namun, artikel ini juga dengan jujur menyoroti sejumlah keterbatasan. Pertama adalah kesulitan memperoleh data moneter atau nilai strategis untuk semua elemen yang terekspos. Kedua, penggabungan indeks kerentanan yang sangat kompleks dapat menimbulkan persoalan dalam pembobotan dan perbandingan. Ketiga, unit analisis terkecil yang digunakan adalah blok statistik, yang menimbulkan isu klasik seperti modifiable areal unit problem (MAUP). Keempat, keterbatasan dalam memperhitungkan dinamika populasi harian dan musiman juga menambah tantangan dalam akurasi penilaian risiko.

Nilai Tambah dan Implikasi Industri

Keunggulan utama RiskOTe adalah pada fleksibilitasnya. Model ini tidak hanya menyediakan perhitungan risiko, tetapi juga dilengkapi alat perbandingan skenario dan visualisasi berbasis web yang mudah diakses tanpa memerlukan keahlian GIS tingkat lanjut. Bagi pemerintah kota, alat ini memungkinkan proses perencanaan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kondisi lokal.

Dalam konteks tren global, RiskOTe sangat relevan mengingat kebutuhan akan integrasi antara tata ruang dan manajemen risiko semakin mendesak, terutama pasca-pandemi dan di tengah ancaman perubahan iklim. Kota-kota yang berkembang cepat, seperti Jakarta, Manila, atau Lagos, dapat sangat diuntungkan dari penerapan sistem serupa yang disesuaikan dengan data lokal.

Sebagai catatan tambahan, langkah ke depan yang direkomendasikan penulis adalah memigrasikan sistem sepenuhnya ke platform open-source seperti Python dan GitHub, sehingga dapat digunakan oleh lebih banyak pemerintah daerah.

Kesimpulan

RiskOTe SDSS merupakan inovasi penting dalam bidang perencanaan tata ruang berbasis risiko. Dengan pendekatan semi-kuantitatif yang menggabungkan analisis bahaya, kerentanan, dan eksposur, sistem ini menghadirkan platform yang tidak hanya informatif tetapi juga strategis. Meski terdapat keterbatasan data dan metodologi, fleksibilitas sistem memungkinkan penyesuaian lebih lanjut. Implementasinya di kota Oeiras membuktikan bahwa pengambilan keputusan dalam transformasi penggunaan lahan dapat dilakukan secara lebih cermat dan berbasis bukti. Bagi perencana kota dan pembuat kebijakan, RiskOTe bisa menjadi contoh konkret bagaimana teknologi dapat menjembatani antara analisis spasial dan tindakan nyata dalam pengelolaan risiko perkotaan.

Sumber artikel asli:
Mileu, N., & Queirós, M. (2018). Integrating Risk Assessment into Spatial Planning: RiskOTe Decision Support System. International Journal of Geo-Information, 7(5), 184.

 

Selengkapnya
Meningkatkan Perencanaan Tata Ruang melalui Integrasi Penilaian Risiko—Studi Kasus RiskOTe SDSS di Oeiras, Portugal

Perencanaan tata ruang wilayah

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) merupakan elemen fundamental dalam pengelolaan pembangunan daerah. Kabupaten Nias Barat yang mengalami pertumbuhan pesat menghadapi tantangan dalam mengakomodasi perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Paper "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat" oleh Faahakhododo Zai dan Wanapri Pangaribuan membahas urgensi revisi RTRW guna memastikan perencanaan ruang yang selaras dengan dinamika perubahan wilayah dan regulasi terbaru.

1. Perubahan Batas Wilayah dan Dampaknya

Kabupaten Nias Barat mengalami perubahan batas wilayah administratif antara tahun 2014 hingga 2021. Data menunjukkan:

  • Luas wilayah tahun 2014: 49.423,79 Ha.
  • Luas wilayah tahun 2021: 46.533,04 Ha.
  • Wilayah yang bertambah: 2.445 Ha.
  • Wilayah yang berkurang: 2.990 Ha.

Perubahan batas ini berdampak langsung pada pola pemanfaatan ruang, termasuk penyesuaian kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2. Ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang Eksisting dengan RTRW 2014

Kajian ini menemukan adanya perbedaan signifikan antara kondisi penggunaan lahan aktual dengan perencanaan RTRW 2014:

  • Permukiman: RTRW mencatat luas 187,43 Ha, sedangkan data eksisting menunjukkan 1.469,55 Ha.
  • Perkebunan: RTRW menetapkan 9.605,55 Ha, namun penggunaan lahan aktual mencapai 27.362,06 Ha.
  • Pertanian lahan kering: 14.951,16 Ha dalam RTRW, sementara hasil observasi menunjukkan 15.047,93 Ha.
  • Pertanian lahan basah: 1.143,71 Ha dalam RTRW, tetapi data eksisting mencatat 1.839,04 Ha.

Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa RTRW perlu diperbarui untuk mencerminkan kondisi nyata di lapangan.

3. Perencanaan Pola Ruang Kabupaten Nias Barat

Dalam konsep revisi RTRW, terdapat dua zona utama:

  1. Kawasan Lindung (25,3% atau 11.776,18 Ha) – mencakup hutan lindung, kawasan konservasi, dan badan air.
  2. Kawasan Budidaya (74,7% atau 34.756,88 Ha) – meliputi pemukiman, perkebunan, pertanian, dan kawasan industri.

Rencana ini bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

4. Sistem Jaringan Infrastruktur dan Transportasi

Dalam revisi RTRW, sistem jaringan infrastruktur dikembangkan untuk meningkatkan konektivitas wilayah:

  • Jaringan jalan mencakup jalan kolektor primer dan sekunder untuk mendukung mobilitas ekonomi.
  • Pengembangan energi baru seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah.
  • Sistem telekomunikasi diperkuat dengan menara BTS guna memperluas jangkauan internet dan komunikasi.
  • Jaringan sumber daya air dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan dan mitigasi banjir.

Analisis dan Kritik

1. Pentingnya Integrasi Data Terkini dalam Perencanaan RTRW

Ketidaksesuaian antara RTRW 2014 dan kondisi eksisting menunjukkan bahwa pembaruan RTRW harus berbasis data terbaru. Penggunaan teknologi seperti citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat meningkatkan akurasi dalam perencanaan tata ruang.

2. Keterlibatan Masyarakat dalam Revisi RTRW

Perencanaan tata ruang yang efektif memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Kajian ini menyoroti bahwa aspirasi masyarakat belum sepenuhnya tercermin dalam RTRW sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme konsultasi publik yang lebih inklusif dalam revisi RTRW.

3. Penguatan Regulasi dan Pengawasan Pemanfaatan Ruang

Kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan RTRW menyebabkan ketidaksesuaian dalam pemanfaatan lahan. Untuk mengatasi hal ini, disarankan:

  • Peningkatan kapasitas aparatur dalam pengawasan pemanfaatan ruang.
  • Pemberian sanksi terhadap pelanggaran tata ruang.
  • Insentif bagi pengembang yang mematuhi regulasi tata ruang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Revisi RTRW Kabupaten Nias Barat menjadi langkah strategis dalam menghadapi dinamika pertumbuhan wilayah. Beberapa kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:

  • Perubahan batas wilayah mempengaruhi pemanfaatan ruang, sehingga RTRW perlu disesuaikan.
  • Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang eksisting dengan RTRW 2014 menegaskan urgensi revisi berbasis data terbaru.
  • Pola ruang yang diusulkan (25,3% kawasan lindung dan 74,7% kawasan budidaya) bertujuan untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan lingkungan.
  • Peningkatan infrastruktur dan jaringan transportasi menjadi prioritas dalam revisi RTRW.

Sebagai rekomendasi, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Penguatan basis data spasial dengan memanfaatkan teknologi pemetaan modern.
  2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW melalui forum konsultasi publik.
  3. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum untuk menghindari pelanggaran pemanfaatan ruang.
  4. Integrasi RTRW dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan agar selaras dengan tujuan nasional dan global.

Dengan penerapan strategi ini, Kabupaten Nias Barat dapat mengelola pertumbuhan wilayah secara lebih efektif, mencegah konflik tata ruang, dan menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Faahakhododo Zai, Wanapri Pangaribuan. "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat." Jurnal Insinyur Profesional, Volume 2, No. 3, Mei 2023, Hal 74-82.

Selengkapnya
Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat
page 1 of 1