Pembangunan & Infrastruktur

Dampak Pembangunan Jalan Tol terhadap Proyek Jalan Lokal di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan tol nasional di wilayah Jakarta–Bandung memiliki efek langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan proyek jalan lokal. Temuan ini sangat penting karena menegaskan bahwa investasi jalan tol tidak hanya memengaruhi arus lalu lintas, tetapi juga mendorong pembangunan infrastruktur lokal di sekitarnya. Pemerintah daerah perlu memahami dinamika ini agar kebijakan transportasi tidak berjalan terpisah antara tingkat nasional dan lokal.

Studi ini juga menyoroti bagaimana pembangunan jalan tol memicu urbanisasi, perubahan penggunaan lahan, dan pertumbuhan penduduk di area sekitar, yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan akan jaringan jalan lokal baru. Oleh karena itu, sinkronisasi antara perencanaan jalan tol nasional dan perencanaan jalan lokal menjadi kebutuhan mendesak dalam konteks desentralisasi pemerintahan di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif dari proyek jalan tol adalah peningkatan konektivitas wilayah, efisiensi waktu perjalanan, dan percepatan urbanisasi. Namun, dampak negatif muncul dalam bentuk tekanan terhadap jaringan jalan lokal yang belum siap menghadapi peningkatan volume lalu lintas.

Hambatan utama yang ditemukan:

  • Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

  • Keterbatasan data proyek lokal, serta minimnya kapasitas analisis kebijakan berbasis spasial di tingkat lokal.

Di sisi lain, peluang besar muncul untuk menciptakan perencanaan transportasi terpadu—menggabungkan data pembangunan jalan tol, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi kota—sehingga pembangunan jalan lokal dapat diarahkan secara efisien dan berkelanjutan.

Untuk mendukung penguatan kapasitas ini, artikel seperti Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial dapat membekali aparatur daerah dengan kemampuan analisis spasial dan manajemen aset infrastruktur yang dibutuhkan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasi Perencanaan Jalan Tol dan Lokal: Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki sistem informasi terhubung untuk menyelaraskan proyek tol dengan kebutuhan jalan lokal.

  2. Analisis Dampak Induksi (Induced Supply): Studi kelayakan jalan tol perlu memasukkan pengaruh terhadap kebutuhan jalan lokal, bukan hanya analisis permintaan (demand).

  3. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah: Latih dinas pekerjaan umum daerah dalam pemodelan spasial dan analisis transportasi berbasis data.

  4. Insentif untuk Kolaborasi Multilevel: Berikan mekanisme insentif bagi daerah yang berhasil menyinkronkan proyeknya dengan jaringan nasional.

  5. Pengawasan dan Evaluasi Periodik: Evaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan jalan tol terhadap jaringan lokal setiap lima tahun.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan sering kali hanya berfokus pada proyek besar tanpa memperhitungkan efek berantai di tingkat lokal. Jika koordinasi antarlembaga tetap lemah, pembangunan jalan tol berpotensi menimbulkan ketimpangan akses dan memperburuk kemacetan di daerah penyangga. Selain itu, keputusan investasi yang tidak didasarkan pada analisis manfaat-biaya menyeluruh dapat mengakibatkan alokasi anggaran yang tidak efisien.

Penutup

Pembangunan jalan tol di Indonesia tidak boleh dilihat hanya sebagai proyek transportasi berskala nasional, melainkan sebagai katalisator pembangunan daerah. Hasil penelitian ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur memerlukan koordinasi lintas level pemerintahan agar manfaat ekonominya dapat dirasakan secara merata. Dengan pendekatan berbasis data dan kebijakan yang terintegrasi, pembangunan jalan dapat menjadi instrumen efektif untuk mendorong pertumbuhan wilayah yang berkelanjutan.

Sumber

Andani, I. G. A., La Paix Puello, L., & Geurs, K. (2019). Effects of Toll Road Construction on Local Road Projects in Indonesia. The Journal of Transport and Land Use, 12(1), 179–199.

Selengkapnya
Dampak Pembangunan Jalan Tol terhadap Proyek Jalan Lokal di Indonesia

Pembangunan & Infrastruktur

Masa Depan Kota Kita Dibangun di Atas Ilusi yang Berbahaya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Bayangkan seorang dokter sedang meninjau rekam medis pasien yang mengaku sehat walafiat. Pasien itu rutin berolahraga, makan dengan baik, dan tidak punya keluhan apa pun. Namun, hasil laboratorium di layar monitor menceritakan kisah yang sama sekali berbeda: penanda-penanda kritis berada di level yang berbahaya, dan sebuah krisis sistemik yang tersembunyi sedang berkembang.

Pasien ini adalah infrastruktur kita. Dan orang-orang yang merasa infrastruktur kita sehat adalah, yang mengkhawatirkan, para dokter generasi berikutnya—calon insinyur sipil dan manajer konstruksi kita.

Kesenjangan yang kuat inilah yang menjadi subjek dari sebuah paper penelitian yang menarik, dan sejujurnya meresahkan, yang baru saja saya baca, ditulis oleh Saeed Rokooei dan rekan-rekannya. Paper ini bukan sekadar kumpulan data; ini adalah jendela menuju pola pikir para perancang masa depan kota-kota kita, dan apa yang terlihat di baliknya menuntut perhatian kita segera.

Mengintip Isi Pikiran Para Pembangun Ahli Masa Depan

Sebelum kita menyelami hasil yang mengejutkan, mari kita apresiasi bagaimana para peneliti mengungkapnya. Mereka tidak sekadar mengajukan pertanyaan sederhana; mereka melakukan survei yang cermat terhadap 382 mahasiswa Teknik Sipil dan Konstruksi (Civil Engineering and Construction - CEC) di 15 universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Tujuan mereka adalah untuk memahami model mental para mahasiswa ini tentang dunia—"persepsi" mereka. Mengapa? Karena apa yang kita yakini menentukan bagaimana kita bertindak. Seorang insinyur yang percaya sebuah jembatan dalam kondisi "cukup baik" akan membuat keputusan yang sangat berbeda dari insinyur yang tahu jembatan itu di ambang kegagalan. Karena itu, studi ini bukan hanya latihan akademis; ini adalah gambaran penting tentang masa depan lingkungan binaan kita.

Pilihan untuk meneliti persepsi alih-alih sekadar pengetahuan adalah kekuatan metodologis utama dari penelitian ini. Tes pengetahuan akan bertanya, "Berapa nilai rapor bendungan di AS?" Tes persepsi bertanya, "Menurut Anda, berapa nilainya?" Yang pertama mengukur ingatan. Yang kedua mengukur keyakinan, yang merupakan prediktor perilaku yang jauh lebih kuat.

Ilusi Besar Infrastruktur: Kisah Dua Rapor yang Bertolak Belakang

Bagian inilah yang menjadi inti dari analisis, menyajikan data paling mengejutkan dari paper ini sebagai serangkaian wahyu.

Pertama, Masalah Bahasa: Apakah Kita Sepakat tentang Arti "Aman"?

Para peneliti memulai dari hal mendasar: apa sebenarnya arti "resiliensi" atau ketahanan? Mereka memecahnya menjadi empat tindakan utama, berdasarkan klasifikasi National Institute of Standards and Technology (NIST), dan meminta mahasiswa untuk menilai pentingnya masing-masing dalam skala 5 poin.

  • Pencegahan (Prevention): Bersiap untuk bahaya yang diantisipasi. (Skor Mahasiswa: 4,32)

  • Mitigasi (Mitigation): Beradaptasi dengan kondisi yang berubah. (Skor Mahasiswa: 4,08)

  • Respons (Response): Bereaksi terhadap gangguan tak terduga. (Skor Mahasiswa: 4,12)

  • Pemulihan (Recovery): Bertahan dan pulih dengan cepat. (Skor Mahasiswa: 4,10)

Sekilas, skor ini terlihat tinggi. Tapi detailnya yang penting. Preferensi yang jelas untuk "Pencegahan" di atas tiga lainnya mengungkapkan bias yang halus namun mendalam. Ini menunjukkan pola pikir yang berfokus pada membangun benteng, daripada merencanakan apa yang terjadi ketika benteng itu tak terhindarkan ditembus.

Mahasiswa tampaknya memiliki definisi buku teks tentang resiliensi tetapi kurang pemahaman sistemik yang mendalam. Mereka lebih menyukai dunia pencegahan yang bersih dan dapat dihitung (beton yang lebih kuat, tanggul yang lebih tinggi) daripada dunia mitigasi, respons, dan pemulihan yang rumit dan berpusat pada manusia. Ini menunjukkan pendidikan mereka sangat condong ke arah pemecahan masalah teknis, membuat mereka kurang siap untuk pemikiran tingkat sistem yang holistik yang dibutuhkan oleh resiliensi sejati. Implikasinya adalah mereka mungkin merancang infrastruktur yang secara teknis kuat tetapi secara sosial rapuh.

Guncangan Rapor: Memberi Nilai 'B-' pada Siswa Bernilai 'F'

Inilah bagian dari paper yang membuat saya benar-benar terperangah. Para peneliti meminta mahasiswa untuk memberi nilai pada kondisi berbagai sektor infrastruktur di AS, menggunakan skala A-F yang kita kenal. Mereka kemudian membandingkan nilai rata-rata dari mahasiswa dengan nilai resmi yang dinilai oleh para ahli dari American Society of Civil Engineers (ASCE) Infrastructure Report Card. Hasilnya adalah jurang persepsi-realitas yang begitu lebar hingga menakutkan.

Mesin Pemulihan Tak Terlihat yang Gagal Dilihat Mahasiswa

Bagian terakhir dari ilusi ini berkaitan dengan apa yang sebenarnya membuat sebuah komunitas pulih dari bencana. Ketika diminta untuk menilai pentingnya berbagai faktor, mahasiswa dengan benar mengidentifikasi infrastruktur "keras" seperti jalur vital (listrik, air) sebagai hal yang krusial (skor 4,4 dari 5). Tetapi skor mereka untuk faktor-faktor sosio-ekonomi—infrastruktur "lunak" yang menggerakkan pemulihan—sangat rendah.

  • 🚀 Hasil yang mengejutkan: Faktor-faktor seperti jalur vital dan infrastruktur kritis dinilai sangat tinggi, menunjukkan pemahaman akan pentingnya perangkat keras.

  • 🧠 Titik buta yang terungkap: Faktor-faktor ekonomi dinilai jauh lebih rendah, menunjukkan kesenjangan dalam memahami mesin pemulihan yang sebenarnya.

    • Pekerjaan (Employment): 2,9 dari 5

    • Ukuran Bisnis (Business Size): 2,84 dari 5

    • Modal Perumahan (Housing Capital): 2,83 dari 5

    • Nilai Properti (Property Value): 2,79 dari 5 (yang terendah dari semua faktor)

  • 💡 Pelajaran penting: Resiliensi bukan hanya tentang beton dan baja; ini tentang kemampuan ekonomi dan sosial sebuah komunitas untuk bangkit kembali.

Ini mengungkapkan titik buta yang fundamental. Mereka melihat resiliensi sebagai tantangan teknis murni, gagal memahami bahwa kemampuan sebuah komunitas untuk bangkit kembali terkait erat dengan vitalitas ekonomi dan tatanan sosialnya. Pendidikan mereka yang berpusat pada teknik melatih mereka untuk melihat dunia dalam kerangka sistem fisik, meminggirkan sistem ekonomi dan sosial yang sama pentingnya, jika tidak lebih, untuk resiliensi jangka panjang.

Tapi Inilah Plot Twist yang Memberi Saya Harapan

Setelah berhalaman-halaman data yang mengkhawatirkan, paper ini berbelok, dan di sinilah ceritanya menjadi sangat menarik. Terlepas dari kesenjangan pengetahuan dan persepsi mereka yang keliru, para mahasiswa ini tidak apatis. Faktanya, mereka haus akan pengetahuan ini. Data menunjukkan adanya permintaan yang kuat dan belum dimanfaatkan untuk pendidikan resiliensi.

  • 🚀 Permintaan yang Luar Biasa: 94% mahasiswa yang mengejutkan melaporkan bahwa mereka tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang resiliensi komunitas dan infrastruktur.

  • 🧠 Kesenjangan Kurikulum yang Nyata: Sebagian besar mahasiswa—di semua tingkat (dari mahasiswa baru hingga pascasarjana)—percaya bahwa mereka tidak menerima informasi yang cukup tentang topik ini dalam program akademik mereka. Faktanya, hanya sekitar seperlima yang merasa mereka menerima cukup informasi.

  • 💡 Jalur Karier Masa Depan: Lebih dari 45% mahasiswa menyatakan bahwa mereka bersedia belajar lebih banyak tentang resiliensi sebagai jalur karier yang memungkinkan, dengan angka yang bahkan lebih tinggi di kalangan mahasiswa pascasarjana.

Inilah paradoks sentral yang penuh harapan dari paper ini. Para mahasiswa secara bersamaan tidak menyadari skala sebenarnya dari masalah dan sangat ingin menjadi bagian dari solusi. Ini bukan sikap apatis; ini adalah sebuah kekosongan yang menunggu untuk diisi.

Mereka menangkap semangat zaman. Mereka mendengar tentang perubahan iklim, melihat berita tentang badai dan banjir, dan merasakan bahwa "resiliensi" itu penting, bahkan jika pendidikan formal mereka belum memberi mereka kerangka kerja atau data terperinci untuk memahaminya secara mendalam. Ini berarti masalahnya bukan pada mahasiswa; masalahnya ada pada kurikulum. Permintaan ada di sana, tetapi pasokan pendidikan tertinggal.

Cara Kita Mulai Membangun Masa Depan yang Lebih Cerdas dan Aman—Hari Ini

Studi ini bukanlah dakwaan terhadap mahasiswa; ini adalah undangan bagi para pendidik, administrator, dan komunitas profesional. Paper ini diakhiri dengan menguraikan peluang yang jelas untuk berinvestasi dalam pendidikan resiliensi: pembicara tamu, lokakarya, kurikulum yang diperbarui, dan bahkan mata kuliah atau konsentrasi khusus.

Namun, perubahan akademik berjalan lambat. Bagi para mahasiswa dan profesional yang merasakan keinginan 94% untuk belajar sekarang, menunggu bukanlah pilihan. Di sinilah pengembangan profesional yang terarah menjadi penting. Menutup kesenjangan antara minat umum dan keahlian khusus memerlukan pembelajaran terfokus pada topik-topik yang sering diabaikan oleh gelar tradisional.

Misalnya, sebuah kursus tentang (https://www.diklatkerja.com/course/category/manajemen-konstruksi-dan-infrastruktur/) secara langsung mengatasi kelemahan yang diidentifikasi oleh studi ini—bergerak melampaui pencegahan sederhana menuju perencanaan proaktif dan strategi mitigasi yang kompleks yang mendefinisikan resiliensi sejati. Solusinya adalah pendekatan dua cabang: reformasi akademik jangka panjang dan pelatihan profesional jangka pendek yang mudah diakses untuk memberdayakan generasi saat ini.

Giliran Anda Meletakkan Batu Pertama

Rokooei dan rekan-rekannya telah melakukan lebih dari sekadar menerbitkan sebuah paper; mereka telah memberi kita cetak biru masalah dan rambu yang jelas menuju solusi. Kita memiliki generasi pembangun masa depan yang optimistis hingga keliru, buta terhadap beberapa faktor ekonomi dan sosial paling kritis dalam pemulihan, namun sangat ingin belajar.

Mereka berdiri siap, menunggu alat dan pengetahuan untuk membangun dunia yang lebih aman dan lebih tangguh. Ilusi yang mereka pegang saat ini berbahaya, tetapi kesediaan mereka untuk menghancurkannya adalah tanda paling penuh harapan yang bisa kita minta. Pertanyaannya bukan lagi apa masalahnya, tetapi siapa yang akan melangkah untuk menyelesaikannya.

Jika penelusuran mendalam ke dalam psikologi para pembangun masa depan kita ini telah memicu minat Anda, saya sangat mendorong Anda untuk membaca penelitian aslinya. Ini adalah sebuah mahakarya tentang bagaimana mengajukan pertanyaan yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak nyaman tetapi esensial.

(https://doi.org/10.1061/(ASCE)EI.2643-9115.0000056)

Selengkapnya
Masa Depan Kota Kita Dibangun di Atas Ilusi yang Berbahaya
page 1 of 1