Bayangkan seorang dokter sedang meninjau rekam medis pasien yang mengaku sehat walafiat. Pasien itu rutin berolahraga, makan dengan baik, dan tidak punya keluhan apa pun. Namun, hasil laboratorium di layar monitor menceritakan kisah yang sama sekali berbeda: penanda-penanda kritis berada di level yang berbahaya, dan sebuah krisis sistemik yang tersembunyi sedang berkembang.
Pasien ini adalah infrastruktur kita. Dan orang-orang yang merasa infrastruktur kita sehat adalah, yang mengkhawatirkan, para dokter generasi berikutnya—calon insinyur sipil dan manajer konstruksi kita.
Kesenjangan yang kuat inilah yang menjadi subjek dari sebuah paper penelitian yang menarik, dan sejujurnya meresahkan, yang baru saja saya baca, ditulis oleh Saeed Rokooei dan rekan-rekannya. Paper ini bukan sekadar kumpulan data; ini adalah jendela menuju pola pikir para perancang masa depan kota-kota kita, dan apa yang terlihat di baliknya menuntut perhatian kita segera.
Mengintip Isi Pikiran Para Pembangun Ahli Masa Depan
Sebelum kita menyelami hasil yang mengejutkan, mari kita apresiasi bagaimana para peneliti mengungkapnya. Mereka tidak sekadar mengajukan pertanyaan sederhana; mereka melakukan survei yang cermat terhadap 382 mahasiswa Teknik Sipil dan Konstruksi (Civil Engineering and Construction - CEC) di 15 universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Tujuan mereka adalah untuk memahami model mental para mahasiswa ini tentang dunia—"persepsi" mereka. Mengapa? Karena apa yang kita yakini menentukan bagaimana kita bertindak. Seorang insinyur yang percaya sebuah jembatan dalam kondisi "cukup baik" akan membuat keputusan yang sangat berbeda dari insinyur yang tahu jembatan itu di ambang kegagalan. Karena itu, studi ini bukan hanya latihan akademis; ini adalah gambaran penting tentang masa depan lingkungan binaan kita.
Pilihan untuk meneliti persepsi alih-alih sekadar pengetahuan adalah kekuatan metodologis utama dari penelitian ini. Tes pengetahuan akan bertanya, "Berapa nilai rapor bendungan di AS?" Tes persepsi bertanya, "Menurut Anda, berapa nilainya?" Yang pertama mengukur ingatan. Yang kedua mengukur keyakinan, yang merupakan prediktor perilaku yang jauh lebih kuat.
Ilusi Besar Infrastruktur: Kisah Dua Rapor yang Bertolak Belakang
Bagian inilah yang menjadi inti dari analisis, menyajikan data paling mengejutkan dari paper ini sebagai serangkaian wahyu.
Pertama, Masalah Bahasa: Apakah Kita Sepakat tentang Arti "Aman"?
Para peneliti memulai dari hal mendasar: apa sebenarnya arti "resiliensi" atau ketahanan? Mereka memecahnya menjadi empat tindakan utama, berdasarkan klasifikasi National Institute of Standards and Technology (NIST), dan meminta mahasiswa untuk menilai pentingnya masing-masing dalam skala 5 poin.
-
Pencegahan (Prevention): Bersiap untuk bahaya yang diantisipasi. (Skor Mahasiswa: 4,32)
-
Mitigasi (Mitigation): Beradaptasi dengan kondisi yang berubah. (Skor Mahasiswa: 4,08)
-
Respons (Response): Bereaksi terhadap gangguan tak terduga. (Skor Mahasiswa: 4,12)
-
Pemulihan (Recovery): Bertahan dan pulih dengan cepat. (Skor Mahasiswa: 4,10)
Sekilas, skor ini terlihat tinggi. Tapi detailnya yang penting. Preferensi yang jelas untuk "Pencegahan" di atas tiga lainnya mengungkapkan bias yang halus namun mendalam. Ini menunjukkan pola pikir yang berfokus pada membangun benteng, daripada merencanakan apa yang terjadi ketika benteng itu tak terhindarkan ditembus.
Mahasiswa tampaknya memiliki definisi buku teks tentang resiliensi tetapi kurang pemahaman sistemik yang mendalam. Mereka lebih menyukai dunia pencegahan yang bersih dan dapat dihitung (beton yang lebih kuat, tanggul yang lebih tinggi) daripada dunia mitigasi, respons, dan pemulihan yang rumit dan berpusat pada manusia. Ini menunjukkan pendidikan mereka sangat condong ke arah pemecahan masalah teknis, membuat mereka kurang siap untuk pemikiran tingkat sistem yang holistik yang dibutuhkan oleh resiliensi sejati. Implikasinya adalah mereka mungkin merancang infrastruktur yang secara teknis kuat tetapi secara sosial rapuh.
Guncangan Rapor: Memberi Nilai 'B-' pada Siswa Bernilai 'F'
Inilah bagian dari paper yang membuat saya benar-benar terperangah. Para peneliti meminta mahasiswa untuk memberi nilai pada kondisi berbagai sektor infrastruktur di AS, menggunakan skala A-F yang kita kenal. Mereka kemudian membandingkan nilai rata-rata dari mahasiswa dengan nilai resmi yang dinilai oleh para ahli dari American Society of Civil Engineers (ASCE) Infrastructure Report Card. Hasilnya adalah jurang persepsi-realitas yang begitu lebar hingga menakutkan.
Mesin Pemulihan Tak Terlihat yang Gagal Dilihat Mahasiswa
Bagian terakhir dari ilusi ini berkaitan dengan apa yang sebenarnya membuat sebuah komunitas pulih dari bencana. Ketika diminta untuk menilai pentingnya berbagai faktor, mahasiswa dengan benar mengidentifikasi infrastruktur "keras" seperti jalur vital (listrik, air) sebagai hal yang krusial (skor 4,4 dari 5). Tetapi skor mereka untuk faktor-faktor sosio-ekonomi—infrastruktur "lunak" yang menggerakkan pemulihan—sangat rendah.
-
🚀 Hasil yang mengejutkan: Faktor-faktor seperti jalur vital dan infrastruktur kritis dinilai sangat tinggi, menunjukkan pemahaman akan pentingnya perangkat keras.
-
🧠Titik buta yang terungkap: Faktor-faktor ekonomi dinilai jauh lebih rendah, menunjukkan kesenjangan dalam memahami mesin pemulihan yang sebenarnya.
-
Pekerjaan (Employment): 2,9 dari 5
-
Ukuran Bisnis (Business Size): 2,84 dari 5
-
Modal Perumahan (Housing Capital): 2,83 dari 5
-
Nilai Properti (Property Value): 2,79 dari 5 (yang terendah dari semua faktor)
-
-
💡 Pelajaran penting: Resiliensi bukan hanya tentang beton dan baja; ini tentang kemampuan ekonomi dan sosial sebuah komunitas untuk bangkit kembali.
Ini mengungkapkan titik buta yang fundamental. Mereka melihat resiliensi sebagai tantangan teknis murni, gagal memahami bahwa kemampuan sebuah komunitas untuk bangkit kembali terkait erat dengan vitalitas ekonomi dan tatanan sosialnya. Pendidikan mereka yang berpusat pada teknik melatih mereka untuk melihat dunia dalam kerangka sistem fisik, meminggirkan sistem ekonomi dan sosial yang sama pentingnya, jika tidak lebih, untuk resiliensi jangka panjang.
Tapi Inilah Plot Twist yang Memberi Saya Harapan
Setelah berhalaman-halaman data yang mengkhawatirkan, paper ini berbelok, dan di sinilah ceritanya menjadi sangat menarik. Terlepas dari kesenjangan pengetahuan dan persepsi mereka yang keliru, para mahasiswa ini tidak apatis. Faktanya, mereka haus akan pengetahuan ini. Data menunjukkan adanya permintaan yang kuat dan belum dimanfaatkan untuk pendidikan resiliensi.
-
🚀 Permintaan yang Luar Biasa: 94% mahasiswa yang mengejutkan melaporkan bahwa mereka tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang resiliensi komunitas dan infrastruktur.
-
🧠Kesenjangan Kurikulum yang Nyata: Sebagian besar mahasiswa—di semua tingkat (dari mahasiswa baru hingga pascasarjana)—percaya bahwa mereka tidak menerima informasi yang cukup tentang topik ini dalam program akademik mereka. Faktanya, hanya sekitar seperlima yang merasa mereka menerima cukup informasi.
-
💡 Jalur Karier Masa Depan: Lebih dari 45% mahasiswa menyatakan bahwa mereka bersedia belajar lebih banyak tentang resiliensi sebagai jalur karier yang memungkinkan, dengan angka yang bahkan lebih tinggi di kalangan mahasiswa pascasarjana.
Inilah paradoks sentral yang penuh harapan dari paper ini. Para mahasiswa secara bersamaan tidak menyadari skala sebenarnya dari masalah dan sangat ingin menjadi bagian dari solusi. Ini bukan sikap apatis; ini adalah sebuah kekosongan yang menunggu untuk diisi.
Mereka menangkap semangat zaman. Mereka mendengar tentang perubahan iklim, melihat berita tentang badai dan banjir, dan merasakan bahwa "resiliensi" itu penting, bahkan jika pendidikan formal mereka belum memberi mereka kerangka kerja atau data terperinci untuk memahaminya secara mendalam. Ini berarti masalahnya bukan pada mahasiswa; masalahnya ada pada kurikulum. Permintaan ada di sana, tetapi pasokan pendidikan tertinggal.
Cara Kita Mulai Membangun Masa Depan yang Lebih Cerdas dan Aman—Hari Ini
Studi ini bukanlah dakwaan terhadap mahasiswa; ini adalah undangan bagi para pendidik, administrator, dan komunitas profesional. Paper ini diakhiri dengan menguraikan peluang yang jelas untuk berinvestasi dalam pendidikan resiliensi: pembicara tamu, lokakarya, kurikulum yang diperbarui, dan bahkan mata kuliah atau konsentrasi khusus.
Namun, perubahan akademik berjalan lambat. Bagi para mahasiswa dan profesional yang merasakan keinginan 94% untuk belajar sekarang, menunggu bukanlah pilihan. Di sinilah pengembangan profesional yang terarah menjadi penting. Menutup kesenjangan antara minat umum dan keahlian khusus memerlukan pembelajaran terfokus pada topik-topik yang sering diabaikan oleh gelar tradisional.
Misalnya, sebuah kursus tentang (https://www.diklatkerja.com/course/category/manajemen-konstruksi-dan-infrastruktur/) secara langsung mengatasi kelemahan yang diidentifikasi oleh studi ini—bergerak melampaui pencegahan sederhana menuju perencanaan proaktif dan strategi mitigasi yang kompleks yang mendefinisikan resiliensi sejati. Solusinya adalah pendekatan dua cabang: reformasi akademik jangka panjang dan pelatihan profesional jangka pendek yang mudah diakses untuk memberdayakan generasi saat ini.
Giliran Anda Meletakkan Batu Pertama
Rokooei dan rekan-rekannya telah melakukan lebih dari sekadar menerbitkan sebuah paper; mereka telah memberi kita cetak biru masalah dan rambu yang jelas menuju solusi. Kita memiliki generasi pembangun masa depan yang optimistis hingga keliru, buta terhadap beberapa faktor ekonomi dan sosial paling kritis dalam pemulihan, namun sangat ingin belajar.
Mereka berdiri siap, menunggu alat dan pengetahuan untuk membangun dunia yang lebih aman dan lebih tangguh. Ilusi yang mereka pegang saat ini berbahaya, tetapi kesediaan mereka untuk menghancurkannya adalah tanda paling penuh harapan yang bisa kita minta. Pertanyaannya bukan lagi apa masalahnya, tetapi siapa yang akan melangkah untuk menyelesaikannya.
Jika penelusuran mendalam ke dalam psikologi para pembangun masa depan kita ini telah memicu minat Anda, saya sangat mendorong Anda untuk membaca penelitian aslinya. Ini adalah sebuah mahakarya tentang bagaimana mengajukan pertanyaan yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak nyaman tetapi esensial.