Latar Belakang Teoretis
Valley Kashmir, termasuk kota Srinagar, dikenal sebagai wilayah interaksi budaya kaya akibat jalur sutra yang melewatinya. Dalam konteks pembangunan perkotaan modern, pendekatan konservasi warisan kota menekankan pentingnya mempertahankan keaslian fisik bangunan bersejarah sekaligus merawat nilai budaya bagi komunitas lokal. Program Smart City pemerintah India yang diterapkan di Srinagar mengangkat dua pilar utama: Pelestarian bangunan agama bersejarah dan revitalisasi pasar tradisional kota. Pendekatan ini selaras dengan teori konserasi heritage berbasis masyarakat dan kesetaraan sosial, di mana pemugaran situs bersejarah juga berfungsi sebagai instrumen peningkatan kohesi sosial dan ekonomi lokal.
Proyek St. Luke’s Church merupakan studi unik dalam kerangka ini karena berfokus pada bangunan gereja Protestan di luar kawasan inti heritage kota. Arsitekturnya menggabungkan gaya Gothic Eropa dengan elemen lokal Kashmir, yaitu plafon khatamband khas wilayah tersebut. Pendekatan konservasi yang diterapkan menitikberatkan pada pemulihan bentuk asli dan karakter gereja tanpa menghilangkan ciri khas historisnya. Selain aspek fisik, proyek ini juga berupaya mendukung sustainable development goals melalui inklusi sosial — misalnya, memberi perhatian khusus pada komunitas Kristen minoritas di Kashmir yang populasinya kini hanya sekitar 650 orang. Dengan demikian, secara teoretis proyek ini menempatkan konservasi warisan sebagai bagian integral dari pembangunan kota inklusif, di mana keadilan sosial dan dialog antar-komunitas menjadi tujuan penting.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian studi kasus ini menggunakan metode campuran (mixed methods) dengan sumber data primer dan sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui literatur yang ada – termasuk artikel berita, presentasi resmi proyek, dan beberapa publikasi akademik tentang kota Srinagar. Observasi lapangan dilakukan dengan mengunjungi lokasi gereja sebelum dan sesudah restorasi untuk menilai kondisi fisik dan menerapkan pedoman konservasi. Selain itu, wawancara mendalam dilakukan dengan pemangku kepentingan utama: perwakilan Srinagar Smart City Ltd. (SSCL) dan pemuka masyarakat Kristen setempat. Survei kepuasan juga diadakan di kalangan jemaat gereja guna mengukur tanggapan pengguna terhadap hasil renovasi. Pendekatan metodologis ini memungkinkan peneliti mengevaluasi proses restorasi dari segi teknis maupun dampak sosial-kulturalnya.
Aspek kebaruan proyek ini mencakup beberapa hal:
-
Lokasi dan konteks unik: Berbeda dengan kebanyakan proyek heritage yang fokus di pusat sejarah (Shehr-e-khaas), gereja St. Luke’s berada di pinggiran kota dan tidak berdekatan dengan pasar warisan tradisional. Menariknya, proyek ini tetap dipilih oleh SSCL sebagai bentuk keadilan sosial terhadap minoritas Kristen.
-
Karakter arsitektural langka: Pendekatan pemugaran memulihkan dekorasi plafon khatamband yang khas Kashmir, suatu elemen langka dalam bangunan Barat.
-
Integrasi tujuan sosial dan ekonomi: Proyek tidak hanya menyasar pelestarian fisik tetapi juga memperkuat harmoni antar-agama dan menghidupkan ekonomi lokal melalui pariwisata heritage.
-
Keterlibatan komunitas: Inisiasi restorasi datang dari permintaan langsung umat Kristen setempat kepada SSCL, yang mencerminkan pendekatan bottom-up dalam konservasi kota.
Metode Pelaksanaan
Penelitian dimulai dengan analisis dokumen dan pencatatan kegiatan restorasi, diikuti pengumpulan data kuantitatif maupun kualitatif. Pendekatan ini mencakup:
-
Survei dan wawancara terstruktur dengan warga gereja dan pengurus SSCL, untuk memperoleh gambaran kepuasan dan proses pengambilan keputusan.
-
Observasi langsung atas hasil restorasi (atap, plafon, dinding, dll) guna menilai kepatuhan terhadap prinsip konservasi etis.
-
Kajian literatur pendukung terkait teori konservasi warisan, revitalisasi kota, dan implikasi sosial budaya di Kashmir.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian menunjukkan pemugaran menyeluruh pada elemen arsitektur utama gereja. Struktur skeleton-bangunan (balok-balk, tiang) dibersihkan dan dicat ulang, atap seng bergelombang (CGI) diganti, serta plafon khatamband yang rusak direkonstruksi ulang dengan pola asli. Pintu utama dan jendela-jendela yang pecah diperbarui, sementara jalur pejalan kaki di sekitar bangunan ditata ulang menggunakan batu lokal. Secara keseluruhan, intervensi fisik restorasi berhasil mengembalikan bentuk gotik gereja ke kondisi hampir aslinya tanpa menambah elemen baru yang signifikan.
Respon publik terhadap restorasi ini sangat positif. Perayaan pembukaan kembali gereja pada Natal 2021 mendapat sambutan hangat dari media lokal, masyarakat, dan wisatawan. Umat setempat memandang proyek ini sebagai simbol harmoni antar-komunitas: kasus pertama SSCL dalam mengangkat isu keadilan bagi minoritas Kristen. Secara ekonomi, proyek ini juga terbukti mendorong pariwisata agama di Srinagar. SSCL melaporkan lonjakan kunjungan turis dan pengeluaran lokal di sekitar area gereja sejak dibuka kembali. Keberhasilan St. Luke’s bahkan menjadi contoh motivasi bagi pemerintah kota untuk mempercepat proyek konservasi bangunan bersejarah lainnya.
Survei kepuasan yang dilakukan kepada jemaat menyatakan tingkat puas yang tinggi terhadap perbaikan interior gereja, terutama fitur-fitur baru seperti furnitur gereja yang dipilih oleh pastor. Namun, kepuasan terhadap keseluruhan proyek restorasi sedikit lebih rendah karena beberapa faktor yang belum selesai—misalnya gereja belum secara resmi diresmikan ulang oleh otoritas gereja dan lonceng di menara gereja belum dipasang. Mayoritas responden berharap penggunaan gereja terus berlanjut; rencananya, mereka akan menggelar ibadah sore setiap Minggu di St. Luke’s Church pasca-restorasi. Temuan ini menunjukkan bahwa dari perspektif pengguna, restorasi tidak sekadar pelestarian fisik tetapi juga pemulihan fungsi sosial-temporal gereja dalam komunitas.
Secara kualitatif, pengamatan lapangan mengindikasikan bahwa meskipun mayoritas elemen bangunan asli dipertahankan dalam proses restorasi, beberapa material asli terpaksa diganti demi keamanan struktural atau ketersediaan bahan. Dengan kata lain, mayoritas pekerjaan mengikuti etika konservasi heritage, namun ada kompromi kecil pada material tertentu. Secara keseluruhan, proyek ini terbukti berhasil mengukuhkan nilai tambah warisan gereja: bangunan tua tersebut kini kembali berfungsi sebagai situs budaya kota yang juga membantu revitalisasi sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
Ringkasan temuan utama:
-
Konservasi fisik menyeluruh: Atap seng dan plafon kayu khatamband diganti dengan desain dan bahan serupa; fasad batu dibersihkan ulang; pintu-jendela barup dipasang.
-
Harmoni sosial: Restorasi disambut sebagai perwujudan keadilan sosial antar-agama, mempererat hubungan antar komunitas Kristen dan kelompok lain.
-
Peluang ekonomi: Peningkatan kunjungan wisatawan ke situs gereja memicu pertumbuhan usaha lokal dan perhatian media nasional.
-
Kepuasan umat: Survei menunjukkan mayoritas jemaat puas dengan interior yang dipugar; kekurangan minor (seperti bel menara) tidak mengurangi apresiasi secara signifikan.
-
Keaslian material: Sebagian besar karakter asli bangunan terjaga, meski ada penyesuaian material tertentu demi keandalan struktural.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Kajian ini memiliki beberapa batasan penting. Pertama, ketersediaan data: tidak terdapat Dokumen Kerja Pelaksanaan (DPR) resmi proyek publik, sehingga sebagian besar informasi bersumber dari laporan SSCL dan media populer yang kadang kontradiktif. Informasi keadaan bangunan pra-restorasi bergantung pada dokumentasi terbatas; kunjungan lapangan pasca-restorasi menjadi sumber utama verifikasi kondisi. Kedua, metode survei: wawancara dan kuesioner penduduk hanya dilakukan saat kebaktian di gereja All Saints, dengan ukuran sampel relatif kecil. Hal ini dapat menimbulkan bias (responden umumnya bersukacita). Selain itu, penelitian ini lebih deskriptif, tanpa analisis statistik mendalam atau data keuangan terukur (misal jumlah kunjungan wisata yang spesifik).
Secara metodologis, kekuatan studi ini terletak pada kombinasi data primer (wawancara mendalam) dan observasi lapangan langsung, yang memberikan konteks kualitatif kaya mengenai nilai sosial proyek. Namun, tanpa data baseline atau kelompok kontrol, kesimpulan kuantitatif terbatas. Pendekatan ini juga sulit digeneralisasi ke wilayah lain tanpa modifikasi, karena St. Luke’s memiliki karakter demografis dan situasional yang sangat khusus. Secara kritis, sementara studi ini menggambarkan manfaat restorasi heritage bagi masyarakat kecil, riset lanjutan diperlukan untuk mengukur dampak jangka panjang: misalnya, evaluasi ekonomi kuantitatif pasca-restorasi, atau perbandingan dengan proyek konservasi serupa.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Proyek St. Luke’s Church menawarkan implikasi penting bagi penelitian dan praktik konservasi warisan perkotaan berikutnya. Pertama, studi ini memperkuat literatur mengenai konservasi inklusif, yaitu pelestarian situs bersejarah sekaligus pemberdayaan komunitas lokal dan minoritas. Arah ini relevan dalam pengembangan teori heritage management, menegaskan bahwa keberhasilan restorasi juga diukur dari pemulihan kesetaraan sosial dan kohesi komunal. Kedua, hasil kajian mendorong pengembangan keahlian (capacity building) pengrajin lokal, misalnya dengan mengempanneltinya untuk proyek lain. Rekomendasi peneliti menekankan pentingnya melibatkan khatamband artisan dalam proyek serupa agar teknik tradisional tidak hilang.
Secara praktis, temuan ini dapat dijadikan pedoman bagi kota-kota lain di India yang memiliki situs warisan minoritas. Pendekatan bottom-up dan kolaboratif SSCL dengan otoritas gereja memberi contoh model tata kelola heritage yang responsif. Misalnya, disarankan pembentukan tim kerja lintas-lembaga (pemerintah kota, komunitas agama, ahli konservasi) serta pengintegrasian situs restored ke dalam rute wisata kota. Nilai lingkungan konservasi juga ditekankan: mempertahankan bangunan eksisting mengurangi jejak karbon dibanding konstruksi baru.
Bagi riset selanjutnya, studi ini merekomendasikan evaluasi jangka panjang dampak restorasi: survei kepuasan berulang, analisis pertumbuhan ekonomi kreatif lokal, dan studi komparatif dengan proyek heritage lain. Pendekatan multidisiplin (arsitektur, ekonomi, sosiologi) dapat memperkaya pemahaman mengenai bagaimana proyek serupa dapat menstimulus pembangunan kota berkelanjutan. Lebih luas, konservasi St. Luke’s Church diharapkan menjadi referensi dalam agenda konservasi di India, terutama dalam mengintegrasikan nilai inklusi sosial dan pelestarian budaya ke dalam kebijakan pembangunan perkotaan.
Relevansi dalam Konteks India Modern
Secara keseluruhan, proyek restorasi Gereja St. Luke’s menegaskan pentingnya konservasi warisan perkotaan yang inklusif dan kontekstual di India masa kini. Sebagai salah satu cerita positif dari wilayah Kashmir yang telah lama dilanda konflik, keberhasilan ini menunjukkan bahwa pemulihan situs bersejarah dapat menjadi simbol harmoni antar-agama. Dengan dukungan kerangka Kota Pintar India, proyek ini merepresentasikan penerapan SDG 11.4 (pelestarian warisan budaya) sekaligus SDG lain terkait kesetaraan dan pembangunan ekonomi. Keberlanjutan sosial-ekonomi yang ditimbulkan – berupa landmark baru untuk orientasi warga dan peningkatan rasa bangga lokal – menambah bukti bahwa konservasi heritage berperan strategis dalam perkembangan kota. Di tengah keragaman budaya India, inisiatif serupa yang menghargai suara komunitas minoritas berpotensi memperkaya lanskap perkotaan modern. Dengan demikian, studi kasus St. Luke’s Church tidak hanya penting sebagai dokumentasi akademik, tetapi juga sebagai inspirasi praktik pelestarian warisan yang menyeluruh bagi kota-kota India lainnya.
Referensi
Dikutip dari Bab Studi Kasus C14 “St. Luke’s Church – Heritage Restoration Project” dalam SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (Jamia Millia Islamia, 2021). All citations refer to pages and lines of the source document.