Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Pekerja Jadi Isu Penting?
Produktivitas dalam sektor konstruksi bukan sekadar hitung-hitungan teknis, melainkan indikator vital efisiensi, mutu hasil bangunan, dan kecepatan penyelesaian proyek. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode M. Nurrakhmad Arsyad dalam Jurnal Media Konstruksi Vol. 9 No. 2 (2024), mengangkat persoalan ini secara spesifik. Fokus penelitian mereka adalah membandingkan produktivitas aktual tukang dan pekerja dalam pemasangan dinding bata ringan dengan standar produktivitas versi Permen PUPR No. 1 Tahun 2022.
Penelitian dilakukan pada proyek pembangunan rumah susun STAIN Kendari Kampus II dan menjadi salah satu studi penting yang menyandingkan praktik di lapangan dengan ketentuan formal pemerintah.
Apa Itu Produktivitas dalam Konstruksi?
Secara umum, produktivitas kerja diartikan sebagai rasio antara output (volume pekerjaan selesai) terhadap input (tenaga kerja dan waktu). Di sektor konstruksi, produktivitas sering kali diukur dalam satuan Bh/OH (buah per orang per hari), di mana "buah" merujuk pada luasan atau jumlah elemen bangunan yang selesai dikerjakan.
Permen PUPR No. 1 Tahun 2022 menetapkan nilai standar produktivitas untuk pekerjaan pasangan bata ringan sebesar 96 Bh/OH. Angka ini menjadi tolok ukur untuk mengevaluasi apakah pelaksanaan pekerjaan di lapangan sudah efisien atau belum.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Observasi Lapangan dan Perbandingan Kuantitatif
Penelitian ini bersifat survei lapangan, dilakukan selama 14 hari kerja di proyek rumah susun STAIN Kendari. Tim peneliti mengamati langsung volume pekerjaan yang diselesaikan setiap harinya oleh tim berisi 2 tukang dan 2 pekerja. Hasil pengamatan kemudian dihitung menggunakan rumus:
Produktivitas = Volume Pekerjaan / Jumlah Tenaga Kerja
Sebagai data pembanding, peneliti menggunakan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) dari PUPR No. 1 Tahun 2022.
Apa Penyebab Produktivitas Rendah?
Peneliti mengidentifikasi empat faktor utama yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas di lapangan:
1. Jumlah Tenaga Kerja yang Terbatas
Meski proyek berjalan, hanya ada 2 tukang dan 2 pekerja per hari. Sistem overlaping dalam pengerjaan (menumpuk beberapa pekerjaan sekaligus di lokasi yang sama) juga memperparah efisiensi kerja.
2. Teknik Pemasangan Bata Ringan yang Rumit
Bata ringan perlu dipotong secara presisi agar cocok dengan dimensi ruangan. Proses ini memakan waktu, terutama jika tidak menggunakan alat bantu pemotong modern.
3. Disiplin Kerja Rendah
Peneliti mencatat adanya waktu kerja yang terbuang karena tukang lebih banyak mengobrol atau menganggur di jam kerja. Ini jelas menurunkan efektivitas jam kerja aktual.
4. Jarak Material Terlalu Jauh
Jika bata ringan disimpan jauh dari area kerja, waktu dan energi tukang akan habis hanya untuk mengangkut material, bukan untuk membangun.
Analisis Kritis: Kelebihan dan Kekurangan Penelitian
Kelebihan:
Menggunakan data aktual selama 14 hari berturut-turut, bukan sekadar estimasi.
Membandingkan langsung hasil lapangan dengan standar resmi PUPR.
Menggabungkan pendekatan kuantitatif (perhitungan Bh/OH) dan kualitatif (observasi dan wawancara).
Kekurangan:
Jumlah responden terbatas hanya pada satu proyek dan satu tim kerja.
Tidak mempertimbangkan variabel cuaca, jenis dinding (interior vs eksterior), atau pengaruh alat bantu kerja.
Penelitian belum mengusulkan solusi konkrit berbasis teknologi atau manajemen sumber daya.
Studi Pembanding: Bagaimana Negara Lain Mengelola Produktivitas?
Di Singapura, penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan manajemen berbasis sensor telah meningkatkan produktivitas pekerja hingga 30% (Lau et al., 2019). Mereka juga mewajibkan pelatihan modular setiap tahun untuk pekerja konstruksi.
Sementara itu, di Jepang, pekerja konstruksi bekerja dalam sistem rotasi shift yang fleksibel untuk menjaga stamina dan fokus. Hal ini berdampak pada produktivitas yang stabil dan minim human error.
Implikasi Praktis: Kenapa Temuan Ini Penting untuk Kontraktor dan Pemerintah?
Jika produktivitas tukang tidak dikontrol:
Durasi proyek akan molor
Biaya tenaga kerja membengkak
Kualitas pekerjaan menurun akibat kelelahan dan terburu-buru
Dengan memahami gap antara standar dan realita, kontraktor dapat:
Menyusun jadwal kerja yang lebih realistis
Melatih ulang tukang dalam teknik pemasangan bata ringan modern
Mengoptimalkan distribusi logistik material
Rekomendasi untuk Proyek Selanjutnya
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, berikut rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas tukang dalam proyek dinding bata ringan:
Pelatihan teknis rutin tentang pemasangan bata ringan (terutama potong presisi)
Manajemen waktu kerja: hindari waktu kosong dan tingkatkan pengawasan onsite
Penempatan material lebih strategis agar waktu tempuh lebih efisien
Penambahan tenaga kerja saat volume kerja tinggi
Penggunaan alat bantu pemotong bata agar pengerjaan lebih presisi dan cepat
Kesimpulan: Antara Idealitas Standar dan Realita Lapangan
Penelitian ini memperlihatkan realita penting: meskipun pemerintah telah menetapkan standar produktivitas melalui Permen PUPR No. 1 Tahun 2022, implementasinya di lapangan belum optimal. Rata-rata produktivitas di proyek rumah susun STAIN Kendari hanya mencapai 49 Bh/OH, atau setengah dari standar nasional.
Artinya, terdapat ruang besar untuk perbaikan teknis, manajerial, dan SDM agar proyek-proyek serupa dapat lebih efisien dan tepat waktu. Jika tidak, proyek infrastruktur akan terus terhambat oleh masalah klasik: banyak tukang, sedikit hasil.
Referensi Sumber Asli
Artikel ini dapat diakses di:
Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, La Ode M. Nurrakhmad Arsyad. (2024). Produktivitas Pekerja Konstruksi pada Pekerjaan Dinding Bata Ringan Berdasarkan PUPR No. 1 Tahun 2022. Jurnal Media Konstruksi, Vol. 9, No. 2, hlm. 131–140.
Tautan resmi: https://medkons.uho.ac.id/index.php/journal
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Anisa pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Waktu Proyek Menjadi Taruhan Besar di Dunia Konstruksi?
Industri konstruksi di Indonesia terus menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai konstruksi bangunan meningkat sebesar 201% dalam satu dekade terakhir dan naik 61% hanya dalam lima tahun terakhir. Dengan peningkatan permintaan ini, tekanan terhadap efektivitas waktu dan kualitas proyek semakin besar. Dalam konteks ini, metode Design and Build (Desain dan Bangun) dipandang sebagai pendekatan ideal yang menyatukan proses perancangan dan pelaksanaan konstruksi dalam satu paket terintegrasi.
Namun, apakah benar metode ini menjamin proyek selesai tepat waktu dan sesuai standar? Penelitian yang dilakukan oleh Ade Achmad Al-Fath dkk. dari Universitas Pelita Harapan terhadap proyek-proyek PT ABC justru membongkar realitas yang lebih kompleks. Meski menjanjikan efisiensi, metode desain dan bangun tetap menyimpan potensi risiko signifikan yang berpengaruh terhadap waktu penyelesaian proyek.
Apa Itu Metode Design and Build?
Metode design and build adalah sistem pengadaan proyek di mana satu entitas (biasanya kontraktor) bertanggung jawab atas proses desain sekaligus pelaksanaan konstruksi. Ini berbeda dari metode tradisional design-bid-build yang memisahkan tahapan desain dan pelaksanaan dalam dua kontrak berbeda.
Keunggulan:
Satu tanggung jawab (minim konflik antara desainer dan kontraktor)
Waktu pengerjaan lebih cepat karena proses tender dilakukan sekali
Biaya lebih pasti sejak awal kontrak
Kekurangan:
Transfer risiko lebih besar ke kontraktor
Bila tidak dikelola baik, kualitas dan waktu bisa terganggu
Risiko dominan tersembunyi di balik “efisiensi” semu
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi risiko-risiko dalam metode design and build yang mempengaruhi waktu pengerjaan proyek.
Menilai risiko mana yang paling signifikan dari sisi dampak dan frekuensi.
Memberikan rekomendasi tindakan mitigasi risiko berdasarkan analisis empiris.
Metode yang digunakan:
Kuesioner terhadap 79 responden dari PT ABC
Uji validitas dan reliabilitas
Analisis regresi berganda
Uji korelasi Pearson dan analisis faktor
Validasi oleh pakar industri
Risiko Utama: Internal vs Eksternal
Dari 35 variabel risiko yang diteliti, hanya dua kategori besar yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan proyek:
A. Risiko Internal (H3)
Berasal dari kemampuan manajemen internal kontraktor dan Project Manager (PM):
Kemampuan manajemen kapasitas dan kontrol kualitas kontraktor (X17)
Kepemimpinan, organisasi, dan motivasi tim oleh PM (X31)
Risiko ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki kendali penuh, tanpa keahlian dalam mengelola sumber daya dan tim, keunggulan metode desain dan bangun akan sia-sia.
B. Risiko Eksternal
Datang dari pihak luar seperti subkontraktor:
Kelalaian dan keterlambatan subkontraktor (X20)
Pekerjaan yang tidak sesuai kesepakatan (X22)
Kasus nyata seperti proyek EPC Security LNG Donggi-Senoro dan Transmart Cilegon yang mengalami keterlambatan disebabkan oleh dua risiko ini.
Studi Statistik: Bukti Empiris Keterkaitan Risiko dan Waktu
Temuan Kunci:
Tujuh variabel risiko berhubungan negatif signifikan terhadap waktu proyek.
Dua faktor utama ditemukan melalui analisis faktor (rotasi Varimax):
Dimensi Eksternal: X20 & X22
Dimensi Internal: X17 & X31
Hasil Regresi Berganda:
Model regresi menunjukkan Adjusted R² sebesar 85,4% → mengindikasikan bahwa mayoritas variasi keterlambatan proyek dapat dijelaskan oleh dua dimensi risiko tersebut.
Semua variabel signifikan pada uji T dan F (p < 0.05)
Artinya, manajemen risiko tidak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Ia adalah inti keberhasilan implementasi metode desain dan bangun.
Perbandingan dengan Penelitian Terkait
Penelitian ini sejalan dengan temuan Hale et al. (2009) yang menyatakan bahwa design and build memang unggul dari segi waktu, namun hanya jika manajemen risiko dilakukan dengan matang. Berbeda dengan studi Chen et al. (2016) yang menyoroti efisiensi biaya, fokus utama dari penelitian ini lebih pada dimensi waktu sebagai indikator keberhasilan.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Rekomendasi:
Seleksi subkontraktor berbasis rekam jejak → bukan sekadar harga
PM harus dilibatkan sejak awal hingga akhir proyek
Pelatihan intensif untuk kontraktor terkait manajemen risiko proyek terpadu
Dampak Positif Jika Diterapkan:
Mengurangi risiko project overrun hingga 30%
Meningkatkan kepercayaan klien terhadap efisiensi metode design and build
Menciptakan sinergi berkelanjutan antara stakeholder internal dan eksternal
Studi Kasus Nyata: Proyek MRT Jakarta
Proyek MRT Jakarta fase 1 menggunakan pendekatan mirip design and build untuk beberapa paket pengerjaan. Meski secara umum proyek ini dinilai berhasil, sempat terjadi keterlambatan di beberapa titik akibat miskomunikasi antar subkontraktor dan ketidakcocokan dalam pelaksanaan desain. Ini mencerminkan realitas yang ditemukan dalam studi PT ABC — bahwa manajemen risiko eksternal harus ditangani dengan serius, bahkan dalam proyek besar berskala nasional.
Kesimpulan: Metode Desain dan Bangun Bukan Jaminan Tanpa Risiko
Meski secara teori metode design and build menawarkan efisiensi luar biasa dalam waktu dan biaya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tanpa manajemen risiko yang baik, justru risiko keterlambatan meningkat.
Dua akar risiko utama:
Faktor eksternal (subkontraktor)
Faktor internal (kemampuan manajemen kontraktor dan PM)
Dengan tingkat pengaruh lebih dari 85% terhadap kinerja waktu proyek, kedua faktor ini seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan dan eksekusi proyek berbasis design and build.
Sumber
Penelitian utama:
Ade Achmad Al-Fath, Yunan Hanun, Manlian Ronald. A. Simanjuntak. (2019). Analysis of Design and Build Risk on the Completion Time of the Project in Building by PT ABC. International Journal of Education and Research. Vol. 7 No. 12. Link resmi
Penelitian pendukung:
Chen, Q., et al. (2016). Time and Cost Performance of Design and Build Projects. Journal of Engineering Construction Management.
Hale, D. R., et al. (2009). Empirical Comparison of Design and Build and Design Bid Build Project Delivery Methods. Journal of Construction Engineering and Management.