Proyek Saya Gagal Total—dan 5 Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Teknik Sipil yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 Oktober 2025, 14.33

Proyek Saya Gagal Total—dan 5 Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Teknik Sipil yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Akhir pekan lalu, saya gagal. Gagal total.

Proyeknya sederhana: merakit sebuah rak buku IKEA yang—menurut manualnya—seharusnya bisa selesai dalam 90 menit. Saya punya kopi, playlist favorit, dan rasa percaya diri yang meluap-luap. Apa susahnya menyatukan beberapa papan kayu?

Tiga jam kemudian, saya duduk di lantai, dikelilingi sekrup misterius yang tak terpakai, menatap sebuah struktur yang lebih mirip karya seni abstrak yang gagal ketimbang rak buku. Strukturnya miring, salah satu papannya terbalik, dan saya cukup yakin benda itu akan rubuh jika disentuh oleh buku yang lebih tebal dari majalah.

Frustrasi. Kesal. Merasa bodoh. Perasaan ini mungkin familier bagi siapa saja yang pernah melihat sebuah rencana matang hancur berkeping-keping di depan mata. Bedanya, kegagalan saya hanya berharga beberapa ratus ribu rupiah dan ego yang sedikit terluka. Di dunia profesional, kegagalan proyek bisa berarti kerugian miliaran, reputasi yang hancur, dan karier yang mandek.

Rasa penasaran akibat rak buku reyot itu membawa saya ke sebuah penelusuran di internet: mengapa proyek gagal? Saya melewati puluhan artikel bisnis dari Harvard Business Review dan blog startup Silicon Valley. Tapi jawaban yang paling jernih, paling jujur, dan paling mengejutkan justru saya temukan di tempat yang tak terduga: sebuah jurnal ilmiah dari Fakultas Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala.

Judulnya, "Kajian Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kinerja Mutu pada Proyek Konstruksi di Provinsi Aceh". Kedengarannya sangat teknis dan spesifik. Tapi saat saya membacanya, saya sadar bahwa masalah yang dihadapi kontraktor di Aceh adalah cerminan dari masalah yang kita hadapi di mana pun—baik saat membangun jembatan, meluncurkan aplikasi, atau menjalankan kampanye pemasaran.  

Lima "Hantu" yang Mengintai Setiap Proyek (Menurut 30 Veteran Lapangan)

Hal yang membuat penelitian oleh Anita Rauzana dan Dwi Andri Usni ini begitu kuat adalah pendekatannya yang membumi. Mereka tidak berteori di menara gading. Mereka langsung bertanya kepada 30 perusahaan kontraktor berpengalaman di Aceh—orang-orang lapangan yang tangannya kotor dan setiap hari berhadapan dengan risiko kegagalan.  

Para peneliti mengidentifikasi 18 kemungkinan penyebab kegagalan mutu, mulai dari inflasi hingga cuaca buruk. Mereka lalu meminta para veteran ini untuk menilai mana yang paling berpengaruh. Hasilnya? Dari 18 "tersangka", lima di antaranya secara konsisten disebut sebagai biang kerok utama, yang paling sering dipilih sebagai "sangat berpengaruh".  

Saat pertama kali melihat kelima faktor ini, saya menganggapnya sebagai daftar masalah yang terpisah. Namun, setelah merenung lebih dalam, saya melihat sebuah pola—sebuah efek domino yang mengerikan. Kegagalan proyek jarang sekali disebabkan oleh satu kesalahan besar. Ia adalah hasil dari serangkaian kesalahan kecil yang saling terkait, di mana satu masalah memicu masalah berikutnya hingga semuanya runtuh.

Kisah kegagalan ini sering kali dimulai jauh sebelum batu pertama diletakkan atau baris kode pertama ditulis. Ia dimulai dari sebuah cacat fundamental dalam perencanaan, yang kemudian merambat dan menginfeksi setiap tahap eksekusi. Mari kita bedah kelima "dosa" ini, bukan sebagai daftar, melainkan sebagai sebuah cerita tragis tentang bagaimana proyek yang menjanjikan bisa berakhir menyedihkan.

Membedah Biang Kerok: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar?

Dosa #1: Peta yang Terus Berubah (Perubahan Lingkup Pekerjaan)

Bayangkan Anda sedang melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Surabaya. Anda sudah punya peta, jadwal, dan estimasi bensin. Tapi setiap jam, seseorang di kursi penumpang mengubah tujuannya: "Eh, kita ke Semarang aja." Sejam kemudian, "Gimana kalau ke Yogyakarta?" Lalu, "Kayaknya Bandung lebih seru." Anda mungkin pengemudi terbaik di dunia, tapi Anda tidak akan pernah sampai ke mana-mana. Anda hanya akan membuang waktu, bensin, dan kewarasan.

Itulah yang terjadi ketika lingkup pekerjaan terus berubah. Menurut penelitian ini, 19 dari 30 kontraktor menganggap ini sebagai faktor yang "sangat berpengaruh" terhadap kegagalan mutu. Perubahan ini bukan terjadi secara acak. Paper tersebut menyoroti penyebabnya: "kesalahan dalam hal penyajian desain dan spesifikasi perencanaan oleh pihak owner dan konsultan perencana".  

Dengan kata lain, tim eksekusi sering kali disalahkan atas kekacauan yang disebabkan oleh ketidakjelasan di tahap perencanaan. Di dunia kita, ini bisa berupa klien yang terus-menerus meminta revisi "sedikit", atau manajer produk yang menambahkan fitur baru di tengah-tengah sprint pengembangan. Setiap perubahan kecil ini menciptakan riak yang merusak jadwal, anggaran, dan yang paling penting, moral tim.

Dosa #2: Fondasi dari Pasir (Kualitas Material Buruk)

Ini seperti meminta seorang chef bintang Michelin untuk memasak hidangan istimewa, tapi bahan-bahannya Anda beli dari pasar loak yang sudah kedaluwarsa. Mustahil. Prinsip "sampah masuk, sampah keluar" berlaku di semua bidang.

Faktor ini ternyata menjadi kekhawatiran terbesar, dengan 21 dari 30 responden—jumlah terbanyak—menilainya sebagai "sangat berpengaruh". Kualitas material yang buruk secara langsung menentukan kualitas hasil akhir. Di dunia konstruksi, ini berarti beton yang rapuh atau baja yang mudah berkarat.  

Di dunia kita, "material" bisa berarti banyak hal. Bagi seorang analis data, materialnya adalah dataset. Jika datanya kotor dan tidak valid, analisis secanggih apa pun akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Bagi seorang penulis, materialnya adalah hasil riset. Jika risetnya dangkal, tulisannya pun tidak akan berbobot. Bagi seorang developer, materialnya bisa berupa library atau API pihak ketiga. Jika library itu penuh bug, aplikasi yang dibangun di atasnya pun akan rapuh.

Penelitian ini memberikan solusi proaktif: pihak pelaksana harus selektif dalam memilih pemasok dan memeriksa kualitas material sebelum dibawa ke lokasi proyek. Ini adalah pelajaran penting tentang kontrol kualitas di hulu, bukan pemadaman kebakaran di hilir.  

Dosa #3: Cetak Biru yang Cacat (Kesalahan Desain)

Inilah domino pertama yang jatuh. Kesalahan desain adalah dosa asal yang melahirkan banyak masalah turunan. Bayangkan membangun rumah berdasarkan cetak biru arsitek di mana ukuran jendelanya salah, atau posisi stopkontak tidak masuk akal. Anda bisa mempekerjakan tukang bangunan terbaik di dunia, tapi mereka akan dipaksa melakukan rework—membongkar dan membangun kembali.

Menurut penelitian ini, 17 dari 30 kontraktor melihat ini sebagai biang keladi utama. Dampaknya brutal: "kerja berulang, membutuhkan waktu tambahan, dan pembengkakan pengeluaran sumber daya". Rework tidak hanya membuang uang dan waktu, tapi juga membunuh momentum dan semangat tim.  

Kesalahan desain sering kali terjadi karena komunikasi yang buruk antara perencana (konsultan, arsitek) dan pelaksana (kontraktor). Di dunia perkantoran, ini adalah brief yang ambigu dari klien, desain UX yang tidak mempertimbangkan keterbatasan teknis, atau strategi pemasaran yang tidak didasari oleh pemahaman pasar yang benar. Memastikan cetak biru Anda jelas, detail, dan dipahami oleh semua pihak adalah investasi terbaik yang bisa Anda lakukan untuk mencegah kegagalan.  

Dosa #4: Bertarung dengan Alat Tumpul (Mutu Peralatan Buruk)

Ini adalah masalah yang sangat relevan bagi para profesional modern. Bayangkan mencoba me-render video 4K di laptop keluaran 2010. Atau menjalankan analisis data jutaan baris di Microsoft Excel padahal seharusnya menggunakan Python. Anda tidak hanya akan bekerja lebih lambat, tapi Anda juga berisiko tinggi menghasilkan output yang salah atau mengalami crash di tengah jalan.

Sebanyak 20 dari 30 responden menandai ini sebagai faktor "sangat berpengaruh". Paper ini menjelaskan bahwa peralatan yang tidak sesuai atau berkualitas buruk akan menyebabkan "rendahnya produksi" dan kegagalan mencapai target sesuai jadwal.  

Memberikan talenta terbaik Anda alat yang buruk adalah resep pasti untuk frustrasi dan hasil yang biasa-biasa saja. Ini berlaku untuk software, hardware, dan sumber daya apa pun yang dibutuhkan tim untuk bekerja secara efektif. Menghemat uang dengan membeli lisensi software yang lebih murah atau menunda pembaruan perangkat keras sering kali merupakan penghematan palsu yang akan dibayar mahal di kemudian hari melalui hilangnya produktivitas dan kualitas.

Dosa #5: Tangan yang Salah di Pekerjaan yang Tepat (Kurangnya Keahlian Tenaga Kerja)

Ini adalah dosa yang paling manusiawi dan sering kali paling mahal. Anda tidak akan meminta seorang akuntan untuk menulis kode backend, atau seorang desainer grafis untuk menegosiasikan kontrak hukum. Keahlian itu spesifik, berharga, dan tidak dapat dengan mudah dipertukarkan.

Sebanyak 19 dari 30 kontraktor mengidentifikasi kurangnya keahlian sebagai titik kritis kegagalan. Paper ini secara gamblang menyatakan bahwa kurangnya pengalaman menyebabkan "hasil pekerjaan yang kurang baik dan kerja yang lambat". Ini menciptakan lingkaran setan: hasil yang buruk memerlukan perbaikan (rework), yang memakan waktu dan biaya, yang semakin menekan tim yang sudah tidak kompeten.  

Solusi yang ditawarkan oleh penelitian ini sangat jelas: perusahaan harus sering mengadakan seminar atau pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja. Investasi pada manusia adalah inti dari manajemen mutu. Untuk memastikan tim Anda tidak menjadi titik lemah dalam proyek, investasi dalam pengembangan keahlian menjadi sangat krusial. Platform seperti (https://diklatkerja.com) menawarkan kursus-kursus yang dirancang untuk mempertajam kemampuan teknis dan manajerial tim Anda, persis seperti yang direkomendasikan penelitian ini.  

Apa yang Paling Mengejutkan Saya (dan Apa yang Akan Saya Terapkan Besok)

Setelah menutup PDF jurnal tersebut, saya terdiam sejenak. Yang paling mengejutkan saya adalah betapa universalnya kelima dosa ini. Ganti kata 'beton' dengan 'kode', 'cetak biru' dengan 'desain UX', dan 'mandor' dengan 'manajer produk', dan temuan dari Aceh ini bisa langsung diterapkan di startup saya di Jakarta.

Meski temuannya sangat kuat, saya penasaran bagaimana hasilnya jika penelitian ini dilakukan di lingkungan kerja non-fisik seperti agensi kreatif atau perusahaan software. Intuisi saya mengatakan kelima faktor ini akan tetap muncul, mungkin dengan nama yang berbeda. Selain itu, metodologinya yang menggunakan statistik deskriptif sudah sangat baik untuk mengidentifikasi 'apa', tapi saya ingin tahu lebih dalam tentang 'mengapa'—mungkin melalui wawancara kualitatif yang lebih mendalam.

Namun, pelajaran utamanya sudah sangat jelas. Kegagalan bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang misterius. Ia adalah sebuah sistem. Dan penelitian ini memberi kita cetak biru untuk memahami sistem tersebut.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Kelima faktor ini bukan sekadar "masalah", tapi resep pasti menuju kegagalan jika diabaikan. Ini adalah daftar periksa pra-mortem yang sempurna untuk proyek apa pun.

  • 🧠 Inovasinya: Studi ini membuktikan bahwa kegagalan paling spektakuler sering kali berasal dari kesalahan mendasar yang kita anggap sepele di tahap perencanaan. Masalahnya bukan di eksekusi, tapi di konsepsi.

  • 💡 Pelajaran utama: Sebelum memulai proyek apa pun, audit lima area ini: Apakah peta Anda jelas (lingkup)? Apakah bahan baku Anda berkualitas (sumber daya)? Apakah cetak biru Anda solid (desain)? Apakah alat Anda memadai (teknologi)? Dan yang terpenting, apakah orang yang tepat ada di pekerjaan yang tepat (keahlian)?

Pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah pergeseran pola pikir. Kebanyakan dari kita dilatih untuk menjadi pemecah masalah yang reaktif—menjadi pahlawan yang memadamkan kebakaran. Namun, tim dan proyek yang benar-benar elite berfokus pada desain sistem yang proaktif. Tujuannya bukan untuk menjadi pemadam kebakaran yang lebih baik, tetapi untuk menjadi arsitek yang merancang bangunan tahan api sejak awal.

Membangun Proyek yang Lebih Baik, Dimulai dari Hari Ini

Prinsip untuk membangun jembatan yang kokoh di Aceh ternyata sama dengan prinsip untuk membangun produk software yang sukses, perusahaan yang berkembang, atau bahkan karier yang bermakna. Semuanya kembali pada penguasaan fundamental: rencana yang jelas, sumber daya yang berkualitas, dan tim yang terampil.

Kegagalan saya merakit rak buku IKEA mengajarkan saya tentang pentingnya membaca instruksi dengan teliti (kesalahan desain) dan menggunakan alat yang tepat (mutu peralatan). Tapi penelitian dari Aceh ini memberi saya kerangka kerja yang jauh lebih dalam untuk memahami kegagalan dalam skala yang lebih besar.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari analisis mendalam yang dilakukan oleh para peneliti. Jika Anda seorang manajer, pemimpin tim, atau siapa pun yang peduli dengan kualitas hasil kerja, saya sangat merekomendasikan Anda untuk meluangkan waktu membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.14710/mkts.v26i2.24065)