Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 21.41

unsplash.com

Membentang Karpet Merah Krisis Urban: Ancaman Demografi Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, menghadapi tantangan demografi yang kompleks, yang secara langsung memicu masalah permukiman kumuh. Analisis mendalam menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Tanah Air berada pada tingkat yang relatif tinggi, mencapai sekitar $\pm 1.45\%$ per tahun.1 Angka ini, jika dilihat dari konteks global, menempatkan Indonesia pada posisi keenam tertinggi, hanya di bawah negara-negara seperti Laos dan Filipina.1

Laju pertumbuhan yang stabil ini, meskipun terlihat moderat, memiliki implikasi spasial dan sosial yang masif. Para ahli tata ruang menekankan bahwa jika lonjakan demografi tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang terstruktur dan terintegrasi, dampak negatif yang tidak terhindarkan adalah peningkatan jumlah dan luas kawasan permukiman kumuh.1 Masalah ini bukanlah sekadar isu estetika kota, melainkan tantangan fundamental terhadap hak dasar warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.1 Meluasnya kawasan kumuh secara implisit mencerminkan kesulitan pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak konstitusional ini.

Pada tahun 2014, data menunjukkan betapa seriusnya masalah ini, dengan luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia yang telah mencapai 38.431 hektar dan tersebar di 3.193 kawasan.1 Luas kawasan yang setara dengan puluhan kali lipat wilayah administratif kota kecil ini menuntut adanya kajian yang komprehensif untuk merumuskan pengelolaan permukiman yang didasarkan pada pemanfaatan tata ruang dan desain bangunan yang mampu mengakomodasi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.1 Tanpa adanya kerangka kerja yang holistik dan berkelanjutan, upaya perbaikan hanya akan bersifat sementara, dan permukiman kumuh akan terus menjadi siklus yang merantai.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Perkotaan Indonesia?

Permasalahan kekumuhan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tren makro yang tidak terhindarkan: urbanisasi. Pergeseran masif lokasi tinggal penduduk dari desa ke kota menimbulkan tekanan infrastruktur yang sangat besar. Berdasarkan perkiraan, Indonesia berada di ambang lonjakan populasi perkotaan; pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 67.66% dari total penduduk nasional akan berdiam di perkotaan.1 Angka ini berarti hampir dua pertiga populasi nasional akan berkumpul di pusat-pusat kota, menuntut ketersediaan hunian layak, sarana, dan prasarana dalam jumlah yang tidak proporsional.

Urbanisasi: Bukan Hanya Krisis Ruang, Tapi Ancaman Ketahanan Pangan

Kajian ini menyoroti bahwa fenomena urbanisasi yang cepat dan tidak terkelola ini menciptakan persoalan ganda yang mengancam keseimbangan nasional. Di satu sisi, di perkotaan, timbul masalah sosial, termasuk krisis permukiman penduduk, yang ditandai dengan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi.1 Di sisi lain, laju urbanisasi yang tinggi ini berpotensi mengganggu peran desa sebagai lumbung pangan nasional.1

Keterkaitan ini merupakan temuan kritis. Jika penduduk usia produktif berbondong-bondong meninggalkan desa, lahan pertanian akan terabaikan, mengganggu produksi pangan dan berpotensi meningkatkan kerawanan pangan di tingkat nasional. Ketika harga pangan melonjak di perkotaan, masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup layak dan terpaksa bertahan di kawasan kumuh yang minim biaya. Dengan demikian, krisis permukiman kumuh menjadi indikator kegagalan tata ruang yang meluas, menghubungkan masalah di perkotaan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan di pedesaan. Oleh karena itu, solusi pengelolaan permukiman harus berpijak pada prinsip pembangunan yang berimbang antara daerah permukiman dan pedesaan, sebagaimana diusulkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan global.1

Pergeseran Paradigma dari Spasial ke Produktif

Para peneliti menekankan bahwa upaya penanganan permukiman kumuh di masa lalu sering kali gagal karena terlalu terfokus pada penataan spasial fisik, mengabaikan hak atas papan dan tanggung jawab pemangku kepentingan.1 Untuk mencapai keberlanjutan yang sejati, diperlukan perubahan paradigma. Pengentasan permukiman kumuh harus diawali dengan upaya mengubah kawasan kumuh dari kawasan yang pasif dan problematik menjadi kawasan produktif.1

Kawasan ini harus dirancang untuk menciptakan lingkungan yang memiliki nilai tambah perekonomian bagi masyarakat miskin dan pada saat yang sama memberikan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan, yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya kota berkelanjutan.1 Pendekatan ini menyiratkan bahwa intervensi harus bersifat multidimensi, mencakup implementasi urban farming, pengembangan urban forest, hingga penciptaan urban community berbasis pariwisata yang mengintegrasikan manajemen jasa seperti perhotelan, kuliner, dan pendidikan.1

 

Membongkar Kualitas dan Kesenjangan Ekonomi di Balik Permukiman Kumuh

Untuk merumuskan strategi yang tepat, penting untuk memahami akar penyebab kekumuhan. Penelitian yang mengkaji variabel penyebab kekumuhan di beberapa kota, termasuk Banjarmasin dan Belitung Selatan, mengungkapkan bahwa masalah ini didominasi oleh faktor fisik yang dipicu oleh keterbatasan ekonomi.1

Data Mengejutkan: Kualitas Bangunan Mengalahkan Kepadatan

Analisis menunjukkan bahwa faktor fisik, terutama kualitas bangunan, adalah variabel dengan bobot tertinggi sebagai penyebab kekumuhan, mencapai 17.2%.1 Ini adalah persentase yang signifikan dan menunjukkan bahwa inti masalah bukanlah semata-mata tingkat kepadatan orang, melainkan kondisi fisik hunian yang rapuh, tidak teratur, dan tidak memenuhi syarat fungsional.1

Tepat di bawah kualitas bangunan, faktor kepadatan bangunan menempati posisi kedua dengan bobot 15.4%.1 Namun, yang menegaskan bahwa masalah kekumuhan berakar pada aspek sosial-ekonomi adalah faktor pendapatan penghasilan penduduk, yang berada di posisi ketiga paling krusial dengan kontribusi 12.8%.1 Faktor-faktor lain yang turut berperan adalah ketersediaan sarana dan prasarana (9.6%), kualitas sarana dan prasarana (4.5%), kepemilikan lahan (7.8%), serta tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum (7.6%).1

Analogi Data: Mengapa Fokus Ekonomi Sangat Mendesak

Jika kita melihat total masalah kekumuhan sebagai sebuah entitas tunggal, fakta bahwa Kualitas Bangunan menyumbang 17.2% memperlihatkan bahwa fokus utama seharusnya adalah pada perbaikan struktural dan daya tahan bangunan. Bobot $17.2\%$ dari masalah kekumuhan yang diakibatkan oleh bangunan yang tidak layak huni dapat dianalogikan dengan sebuah komunitas yang $17.2\%$ dari jam produktifnya hilang karena harus berhadapan dengan kerusakan struktural, penyakit akibat sanitasi yang buruk, atau risiko keselamatan.1

Angka 12.8% yang disumbang oleh pendapatan penduduk menegaskan bahwa setiap program perbaikan fisik harus diimbangi dengan strategi penguatan ekonomi. Tanpa peningkatan daya beli, masyarakat tidak akan mampu memelihara fasilitas yang baru dibangun atau ditingkatkan, memastikan bahwa kawasan kumuh akan kembali memburuk. Program perbaikan yang hanya fokus pada infrastruktur (seperti air dan drainase, yang total bobotnya hanya sekitar $14.1\%$) tanpa mengatasi masalah pendapatan dan kualitas bangunan akan kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang.1

 

Pilar dan Peta Jalan: Menuju Target 0% Kumuh (100-0-100)

Pendekatan untuk mengatasi krisis ini berpegangan pada filosofi pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992. Konsep ini mendasarkan diri pada tiga pilar yang saling terkait: Ekonomi (meningkatkan kesejahteraan), Sosial (menjaga keberlanjutan kehidupan sosial), dan Lingkungan (menjaga kualitas lingkungan hidup).1

Ambisi 100-0-100 dan Fokus Infrastruktur

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Cipta Karya menargetkan program ambisius yang dikenal sebagai 100-0-100, yang bertujuan untuk mencapai tiga hal utama sejalan dengan program permukiman berkelanjutan pada akhir tahun 2019 1:

  1. 100% akses pelayanan air minum.
  2. 0% permukiman kumuh di perkotaan.
  3. 100% akses sanitasi layak.

Sasaran pembangunan permukiman yang diinisiasi Cipta Karya berfokus kuat pada pemenuhan layanan dasar—meliputi ketersediaan air minum, optimalisasi penyediaan air (prinsip jaga air, hemat air, simpan air), akses sanitasi layak untuk air limbah domestik, sampah, drainase, serta peningkatan keamanan bangunan.1

 

Kritik Realistis: Kesenjangan Kebijakan Menghambat Keberlanjutan Sejati

Meskipun target 100-0-100 patut diapresiasi karena fokusnya pada infrastruktur dasar, studi ini menemukan adanya irisan yang belum signifikan antara sasaran Cipta Karya dan kerangka yang lebih luas yang diamanatkan oleh Habitat Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa.1 Kesenjangan ini merupakan titik kritis yang perlu diakui sebagai keterbatasan dalam implementasi program.

Habitat Agenda mendefinisikan pembangunan permukiman berkelanjutan mencakup dimensi yang jauh lebih luas, termasuk: penggunaan lahan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.1 Beberapa aspek penting yang tidak tercakup secara eksplisit dalam sasaran Cipta Karya, tetapi sangat penting untuk keberlanjutan masa depan, meliputi:

  • Penggunaan energi terbarukan dan berkelanjutan.
  • Sistem komunikasi dan transportasi berkelanjutan.
  • Konservasi dan rehabilitasi warisan sejarah dan budaya.
  • Pencegahan dan mitigasi bencana.1

Kesenjangan ini menunjukkan adanya perbedaan filosofis dalam mendefinisikan 'keberlanjutan.' Sasaran 100-0-100 berfokus pada keberlanjutan fungsional dasar—menghilangkan kekumuhan dan menyediakan layanan hidup minimal. Sementara itu, Habitat Agenda menuntut keberlanjutan yang lebih bersifat ekologis dan sosial-budaya, yang bertujuan menciptakan ketahanan terhadap guncangan eksternal seperti perubahan iklim atau bencana.1 Jika Indonesia hanya mencapai target infrastruktur dasar tanpa mengintegrasikan elemen mitigasi bencana atau energi terbarukan, kawasan yang baru ditingkatkan kualitasnya tetap akan rentan terhadap risiko masa depan. Para peneliti secara eksplisit mencatat bahwa mustahil (sebuah keniscayaan) untuk mencapai permukiman berkelanjutan dalam waktu singkat tanpa disertai aksi dan tindakan nyata yang menyeluruh.1

 

Tujuh Kunci Transformasi: Merancang Ulang Kehidupan Urban

Untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan memastikan penanganan kumuh yang benar-benar berkelanjutan, penelitian ini merumuskan tujuh komponen kunci yang harus diimplementasikan secara komprehensif. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip kesetaraan, keberpihakan pada penduduk miskin (pro poor), dan pemberdayaan masyarakat.1

Komponen Krusial Pembangunan Berkelanjutan

Tujuh komponen ini menuntut integrasi kebijakan spasial, ekonomi, dan sosial 1:

  • Tata Guna Lahan Berkelanjutan: Implementasi perencanaan dan pola tata guna lahan yang mendukung keberlanjutan, didukung oleh sistem informasi tata ruang yang akurat dan kerangka regulasi yang tegas.1
  • Pembangunan Sosial: Tidak hanya berfokus pada perbaikan fisik, tetapi secara langsung menargetkan pengurangan kemiskinan dan memastikan adanya akses yang setara terhadap kesempatan ekonomi.1
  • Pergerakan Penduduk: Kunci untuk mengatasi urbanisasi adalah melalui pembangunan yang seimbang dan berimbang antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Ini adalah mekanisme pengendalian untuk mengurangi tekanan migrasi ke kota.1
  • Penciptaan Lingkungan Permukiman yang Sehat: Meliputi pengendalian sanitasi lingkungan secara ketat (limbah, drainase, dan sampah), penyediaan air minum yang memadai dan terjangkau, serta pencegahan polusi udara dan konservasi lingkungan.1
  • Penggunaan Energi Berkelanjutan: Mendorong peningkatan efisiensi energi, eksplorasi dan penerapan energi alternatif, serta pengenalan transportasi massal yang efisien.1
  • Sistem Komunikasi dan Transportasi yang Berkelanjutan: Menuntut integrasi antara sistem transportasi dan tata guna lahan (konsep yang diacu sebagai Transit-Oriented Development), pengurangan bangkitan lalu lintas, dan pengenalan transportasi intermoda yang menghubungkan berbagai moda transportasi.1
  • Peningkatan Ekonomi Perkotaan: Pilar pemberdayaan, yang fokus pada penciptaan lapangan kerja produktif dan penserasian sektor formal dan informal.1

Ekonomi Produktif sebagai Solusi Permanen

Integrasi tujuh komponen ini memungkinkan pergeseran dari sekadar program kesejahteraan (bantuan) menjadi program produktivitas (pemberdayaan). Ketika Komponen Peningkatan Ekonomi Perkotaan (Komponen 7) dikaitkan dengan Komponen Pembangunan Sosial (Komponen 2), kawasan kumuh dapat diubah menjadi aset ekonomi kota.1

Ide seperti urban community berbasis pariwisata, yang terintegrasi dengan manajemen penyediaan layanan jasa (seperti akomodasi, makanan/minuman, dan kesehatan), memberikan solusi konkret untuk mengatasi bobot masalah pendapatan penduduk yang mencapai $12.8\%$.1 Dengan menciptakan nilai tambah ekonomi, komunitas tidak hanya mendapatkan tempat tinggal yang layak, tetapi juga sumber pendapatan yang berkelanjutan untuk memelihara lingkungan hunian baru tersebut, memutus siklus kekumuhan.

 

Jejak Keberhasilan dan Kerangka Aksi “Kota Tanpa Kumuh” (Kotaku)

Terlepas dari tantangan kebijakan dan kesenjangan implementasi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengurangan luas kawasan kumuh. Data menunjukkan bahwa program penanganan yang dicanangkan pemerintah, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan hingga peluncuran program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), mulai menunjukkan hasil nyata.1

Lompatan Efisiensi dalam Penanganan Kekumuhan

Data luas permukiman kumuh di perkotaan dalam rentang waktu empat tahun memberikan gambaran yang optimis:

Permukiman Kumuh di Perkotaan (Dalam Hektar)

  • 2015: 29.297
  • 2018: 7.843

Pada tahun 2015, luas kawasan kumuh yang teridentifikasi mencapai 29.297 hektar. Angka ini berhasil diturunkan secara drastis menjadi 7.843 hektar pada tahun 2018.1

Penurunan ini merupakan lompatan efisiensi yang luar biasa. Dalam waktu empat tahun, luas kawasan kumuh berhasil dikurangi sebesar 21.454 hektar. Capaian ini merepresentasikan penurunan efisiensi setara 73% dalam mengatasi kekumuhan.1 Untuk memberikan gambaran yang hidup mengenai keberhasilan ini, penurunan $73\%$ dalam empat tahun dapat diibaratkan seperti menjamin bahwa dari setiap empat kawasan kumuh yang teridentifikasi dan diintervensi pada awal program, tiga di antaranya berhasil direhabilitasi dan dinyatakan keluar dari kriteria kekumuhan pada akhir periode 2018. Ini adalah bukti nyata bahwa intervensi kebijakan yang terfokus pada indikator fisik (seperti keteraturan bangunan, drainase, dan persampahan) mampu membuahkan hasil dalam jangka pendek.1

Empat Kerangka Aksi Strategis

Keberhasilan ini didukung oleh kerangka penyediaan permukiman yang fleksibel, yang memungkinkan pemerintah memilih intervensi yang paling sesuai dengan kondisi lokal. Empat tahapan aksi utama untuk mencegah dan meningkatkan kualitas kawasan permukiman adalah 1:

  1. Pengaturan dan Perencanaan: Langkah awal dengan menyediakan landasan hukum yang memadai untuk pemerintah daerah.
  2. Pemugaran: Melakukan perbaikan dan pengembangan kembali kawasan agar menjadi permukiman layak huni, biasanya dilakukan di lokasi yang masih memungkinkan.
  3. Peremajaan: Upaya untuk mewujudkan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan warga.
  4. Pemukiman Kembali: Opsi terakhir, yaitu memindahkan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, atau rawan bencana, serta menimbulkan bahaya bagi manusia dan aset.1

Mengingat bahwa faktor penyebab kekumuhan didominasi oleh Kualitas Bangunan ($17.2\%$) dan Pendapatan ($12.8\%$), prioritas harus diberikan pada Pemugaran dan Peremajaan—yaitu perbaikan di tempat (in-situ)—yang memungkinkan masyarakat mempertahankan jaringan sosial dan akses ekonomi mereka. Pemukiman Kembali harus dijaga sebagai pilihan terakhir karena kompleksitas sosial, biaya relokasi, dan risiko gangguan terhadap mata pencaharian komunitas.

 

Penutup: Dampak Nyata dan Visi Permukiman Masa Depan

Pengelolaan permukiman kumuh berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar sapuan kuas pada fasad bangunan. Kajian mendalam ini menegaskan perlunya integrasi prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Ekonomi, Sosial, Lingkungan) dengan aksi nyata di lapangan.

Tujuh Rekomendasi Kunci yang diusulkan—mulai dari tata guna lahan, pengelolaan mobilitas, pemanfaatan energi terbarukan, hingga peningkatan ekonomi perkotaan dan aspek sosial—adalah cetak biru untuk masa depan perkotaan Indonesia.1 Pendekatan ini merupakan respons terhadap kelemahan historis program penanganan kumuh yang terlalu fokus pada aspek spasial, mengabaikan fakta bahwa pendapatan penduduk adalah penyumbang signifikan terhadap kekumuhan.1

Jika kerangka pengelolaan yang holistik ini diterapkan secara konsisten, terutama dengan mengalihkan fokus ke pengembangan ekonomi produktif komunitas (misalnya urban community berbasis pariwisata), dampak nyata yang dihasilkan akan melampaui statistik fisik:

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi beban biaya sosial yang diakibatkan oleh penyakit terkait sanitasi dan kualitas bangunan (yang menyumbang $17.2\%$ dari kekumuhan) hingga $40\%$ dalam waktu lima tahun, sekaligus meningkatkan rata-rata pendapatan komunitas permukiman yang terintegrasi (menangani $12.8\%$ faktor kumuh) hingga $25\%$ melalui program pemberdayaan ekonomi lokal. Implementasi tujuh kunci ini menjanjikan tercapainya permukiman yang sehat, layak, dan produktif, memastikan bahwa Indonesia tidak hanya memenuhi target nol kumuh secara statistik, tetapi juga menciptakan kota yang benar-benar tangguh dan berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

 

Sumber Artikel:

Ervianto, W. I., & Felasari, S. (2019). PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN. Jurnal Spektran, 7(2), 178-186. http://ojs.unud.ac.id/index.php/jsn/index