Infrastruktur

Kebijakan Publik atas Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics (Frontiers in Built Environment, 2021)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur skala besar, mulai dari proyek strategis nasional hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tantangan besar berupa perubahan iklim, bencana alam, dan degradasi lingkungan membuat kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh (resilient) dan berkelanjutan (sustainable) semakin mendesak.

Artikel ini menekankan dua hal utama:

  • Infrastruktur berkelanjutan berfokus pada efisiensi sumber daya, rendah karbon, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

  • Infrastruktur tangguh menekankan kemampuan sistem untuk beradaptasi, merespons, dan pulih dari guncangan seperti bencana alam, pandemi, atau krisis energi.

Implikasi kebijakan bagi Indonesia sangat signifikan. Tanpa integrasi aspek ketangguhan dan keberlanjutan, infrastruktur yang dibangun berisiko gagal menghadapi krisis di masa depan. Hal ini sejalan dengan artikel Bangunan Hijau, bahwa proyek infrastruktur tidak boleh hanya menargetkan output fisik, tetapi juga kualitas dan daya tahan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Lingkungan: Infrastruktur berkelanjutan mengurangi emisi karbon, meningkatkan efisiensi energi, serta mendorong penggunaan material ramah lingkungan.

  • Ekonomi: Infrastruktur tangguh memperpanjang umur investasi, mengurangi kerugian akibat bencana, dan menciptakan pasar baru untuk teknologi hijau.

  • Sosial: Akses infrastruktur yang andal meningkatkan kualitas hidup, memperluas konektivitas, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Hambatan

  • Pendanaan terbatas: Infrastruktur hijau dan tangguh membutuhkan biaya awal besar. Skema pembiayaan inovatif seperti green bond masih jarang digunakan.

  • Kapasitas SDM: Masih kurangnya insinyur dan perencana dengan kompetensi di bidang sustainability dan resilience.

  • Fragmentasi regulasi: Aturan tentang lingkungan, tata ruang, dan pembangunan infrastruktur seringkali tumpang tindih.

  • Kurangnya data dan teknologi: Minimnya pemanfaatan teknologi digital seperti digital twin dan BIM membuat perencanaan risiko belum optimal.

Peluang

  • Agenda global: Paris Agreement, SDGs, dan kerangka kerja Sendai mendorong aliran dana internasional untuk proyek infrastruktur hijau.

  • Teknologi baru: IoT, AI, dan predictive modelling dapat membantu perencanaan dan manajemen risiko infrastruktur.

  • Keterlibatan sektor swasta: Skema public-private partnership (PPP) bisa mempercepat pembangunan dengan standar ketangguhan yang lebih tinggi.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Integrasi Standar Ketahanan Iklim dalam Regulasi Nasional

Kementerian PUPR dan lembaga terkait perlu menetapkan standar teknis wajib yang memasukkan parameter ketangguhan terhadap bencana dan adaptasi iklim.

2. Insentif untuk Infrastruktur Hijau dan Rendah Karbon

Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, subsidi, atau skema green financing untuk proyek infrastruktur yang memenuhi kriteria keberlanjutan.

3. Penguatan Kapasitas SDM dan Pendidikan Teknik

Universitas dan lembaga pelatihan perlu memasukkan kurikulum khusus mengenai infrastruktur tangguh dan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan digital twin dan BIM.

4. Penerapan Teknologi Digital untuk Perencanaan Risiko

Pemanfaatan AI, sensor IoT, dan sistem peringatan dini perlu diwajibkan pada proyek strategis untuk meningkatkan kemampuan adaptasi infrastruktur.

5. Skema Pembiayaan Inovatif

Dorong penggunaan green bond dan climate fund untuk membiayai proyek infrastruktur besar, sekaligus melibatkan swasta melalui PPP dengan standar lingkungan ketat.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Tanpa kebijakan publik yang kuat, pembangunan infrastruktur berisiko hanya mengejar kuantitas tanpa kualitas. Beberapa risiko utama:

  • Infrastruktur rentan rusak akibat bencana, menimbulkan kerugian ekonomi besar.

  • Biaya perawatan meningkat tajam karena desain tidak memperhitungkan ketangguhan jangka panjang.

  • Indonesia kehilangan peluang menarik investasi hijau global karena tidak memenuhi standar internasional.

Penutup

Artikel Resilient and Sustainable Infrastructure Systems menegaskan bahwa keberlanjutan dan ketangguhan harus dipandang sebagai satu kesatuan. Untuk Indonesia, integrasi kedua konsep ini adalah kunci menuju visi 2045 sebagai negara maju dengan infrastruktur yang andal, ramah lingkungan, dan tangguh menghadapi krisis.

Sumber 
Ostadtaghizadeh, A., et al. (2021). Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics. Frontiers in Built Environment. DOI: 10.3389/fbuil.2021.635978.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics (Frontiers in Built Environment, 2021)

Infrastruktur

Analisis Kritis Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan di Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, UNJ

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Tulisan karya Fajar Widianto, Lenggogeni, dan Henita Rahmayanti (2020) mengangkat sebuah anomali yang signifikan dalam konteks manajemen aset: degradasi dini pada infrastruktur yang relatif baru. Latar belakang masalah berpusat pada Gedung K. H. Hasjim Asj'arie di Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang mulai beroperasi pada Februari 2017. Meskipun usianya baru beberapa tahun, observasi awal menemukan serangkaian kerusakan yang mencakup komponen arsitektural, mekanikal, dan elektrikal. Kerusakan spesifik yang diidentifikasi antara lain plafon yang rusak akibat rembesan air, pompa booster yang tidak berfungsi otomatis, kaca jendela pecah, lampu mati, pintu kamar mandi rusak, hingga panel fasad (Alumunium Composite Panel) yang terlepas.

Kondisi ini menjadi problematis karena bertentangan dengan ekspektasi laik fungsi sebuah bangunan modern. Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas perbandingan antara kondisi faktual (Das Sein) dengan dua kerangka normatif (Das Sollen): (1) Standar Operasional Prosedur (SOP) internal yang dimiliki oleh pihak pengelola, PT. Tondi Gemilang Cahaya Timur (TGCT), dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 24/PRT/M/2008 sebagai standar nasional. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antara praktik pemeliharaan di lapangan dengan prosedur yang seharusnya, baik menurut standar internal maupun regulasi pemerintah. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis tingkat kesesuaian pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan gedung tersebut terhadap kedua kerangka acuan tersebut.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif asosiatif, sebuah pendekatan yang dirancang untuk menjelaskan dan mengukur kesenjangan antara fakta dan standar ideal. Metodologi ini diperkuat dengan studi literatur dan survei lapangan.
Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi melalui tiga teknik:
(1) Observasi, untuk mengamati secara langsung kondisi fisik bangunan dan kegiatan pemeliharaan; (2) Dokumentasi, untuk merekam bukti visual kerusakan melalui fotografi; dan (3) Wawancara terstruktur, yang dilakukan dengan pihak-pihak kunci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pengelolaan gedung, termasuk Building Manager, teknisi, serta perwakilan dari UNJ.

Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan mendalam pada sebuah studi kasus tunggal. Sementara banyak studi membahas manajemen pemeliharaan secara umum, karya ini memberikan audit mikro yang mendetail terhadap sebuah fasilitas pendidikan tinggi milik negara. Teknik analisis data yang digunakan adalah perbandingan sistematis menggunakan tabel checklist. Peneliti membandingkan SOP milik pengelola dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008, serta membandingkan SOP tersebut dengan implementasi aktual di lapangan. Tingkat kesesuaian kemudian dikuantifikasi dalam bentuk persentase, memberikan sebuah ukuran objektif atas kinerja manajemen pemeliharaan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Hasil penelitian menyajikan sebuah gambaran yang kompleks. Di satu sisi, wawancara mengonfirmasi adanya sistem manajemen formal: UNJ memiliki kontrak berdurasi satu tahun dengan PT. TGCT, yang memiliki struktur staf (termasuk Building Manager, teknisi, dan housekeeping), program kerja terjadwal (harian, mingguan, bulanan, tahunan), dan SOP tertulis. Pihak pengelola juga menyatakan mengetahui keberadaan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.

Namun, di sisi lain, data observasi dan dokumentasi menunjukkan kegagalan sistemik. Bukti kerusakan fisik yang terdokumentasi—mulai dari plafon bocor hingga pompa yang harus dioperasikan manual—secara langsung membantah efektivitas sistem yang ada. Temuan kunci dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan berlapis:

  1. Kesenjangan antara SOP dan Regulasi: Ditemukan bahwa SOP yang dimiliki pengelola tidak sepenuhnya sesuai dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.

  2. Kesenjangan antara Praktik dan SOP: Ditemukan pula bahwa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di lapangan tidak sepenuhnya mematuhi SOP internal perusahaan itu sendiri.

Secara interpretatif, pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan disimpulkan "masih sangat minimal" dan hanya mencakup "hal-hal sederhana". Menariknya, pihak manajemen memberikan justifikasi bahwa perbedaan antara SOP mereka dan Permen PU sengaja dilakukan karena regulasi tersebut dianggap "kurang detail", sehingga SOP mereka dimaksudkan untuk "melengkapi". Kontekstualisasi ini sangat penting, karena ia mengubah narasi dari sekadar kelalaian menjadi potensi adanya perbedaan interpretasi standar antara regulator dan operator lapangan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis. Keterbatasan utama yang diakui secara eksplisit oleh penulis adalah pengecualian analisis komponen struktural. Evaluasi struktur tidak dilakukan karena keterbatasan biaya, waktu, dan sifat pengujian yang sebagian besar merusak (destructive), serta tidak tercakup dalam kontrak kerja pengelola. Hal ini menyisakan sebuah area buta yang signifikan dalam penilaian keandalan gedung secara keseluruhan.

Secara kritis, meskipun penelitian ini berhasil mengidentifikasi adanya kesenjangan, analisis mengenai akar penyebabnya (root cause) dapat diperdalam. Paper ini menyimpulkan bahwa pemeliharaan kurang maksimal, namun tidak mengeksplorasi lebih jauh faktor-faktor penyebabnya, seperti apakah keterbatasan anggaran dari pihak UNJ, kurangnya SDM terampil di pihak kontraktor, atau kelemahan dalam klausul kontrak dan mekanisme pengawasan menjadi pemicu utama. Asumsi bahwa SOP pengelola yang "melengkapi" Permen PU adalah sebuah klaim yang perlu diuji secara kritis: apakah ini merupakan bentuk inovasi prosedural yang valid atau sebuah dalih untuk menyederhanakan pekerjaan?

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Temuan dari studi ini memiliki implikasi penting bagi praktik manajemen fasilitas di sektor publik dan arah penelitian di masa depan. Secara praktis, hasil ini memberikan argumen kuat bagi pemilik aset seperti universitas negeri untuk memperketat mekanisme pengawasan terhadap kontraktor pemeliharaan dan memastikan bahwa kontrak kerja secara eksplisit menuntut kepatuhan terhadap standar nasional.

Untuk penelitian selanjutnya, studi ini membuka beberapa jalur. Pertama, penelitian lanjutan dapat berfokus pada analisis biaya-manfaat dari model pemeliharaan yang berbeda (misalnya, in-house vs. outsourced) di lingkungan institusi pendidikan. Kedua, studi longitudinal yang melacak kondisi gedung dan biaya pemeliharaan selama beberapa siklus kontrak akan memberikan data yang lebih kaya tentang efektivitas jangka panjang. Terakhir, penelitian yang secara spesifik menganalisis isi dan kualitas SOP dari berbagai penyedia jasa pemeliharaan dapat menghasilkan wawasan tentang bagaimana standar nasional diterjemahkan—atau salah diterjemahkan—ke dalam praktik operasional. Sebagai refleksi akhir, karya ini secara efektif menunjukkan bahwa keberadaan sistem manajemen di atas kertas tidak menjamin keandalan fisik sebuah bangunan; implementasi yang disiplin dan pengawasan yang ketat adalah kunci yang sesungguhnya.

Sumber

Widianto, F., Lenggogeni, & Rahmayanti, H. (2020). Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, Kampus A, UNJ. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 378-392.

Selengkapnya
Analisis Kritis Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan di Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, UNJ

Infrastruktur

Evolusi Standar Infrastruktur Pendidikan Vokasi: Analisis Komparatif Regulasi Sarana Prasarana SMK DPIB

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Tulisan karya Pelagia Lia Andarista, R. Eka Murtinugraha, dan M. Agphin Ramadhan (2020) ini berangkat dari sebuah problem fundamental dalam sistem pendidikan vokasi di Indonesia: kesenjangan mutu yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmemadaian sarana dan prasarana. Penulis menggarisbawahi data empiris yang menunjukkan tingkat kerusakan ruang kelas SMK yang signifikan di berbagai provinsi, termasuk di ibu kota. Kondisi ini secara langsung menghambat efektivitas proses pembelajaran dan berpotensi menghasilkan lulusan yang tidak kompeten, sebuah kontradiksi tajam dengan visi nasional untuk revitalisasi SMK.

Kerangka teoretis studi ini dibangun di atas perbandingan dua pilar regulasi utama yang mengatur standar infrastruktur SMK, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 40 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 34 Tahun 2018. Pergeseran regulasi ini diposisikan sebagai respons terhadap dinamika perkembangan teknologi, kurikulum, dan kebutuhan dunia kerja yang menuntut penyesuaian standar. Studi ini secara spesifik memfokuskan analisisnya pada Kompetensi Keahlian Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan (DPIB), sebuah spesialisasi yang relatif baru dan menuntut fasilitas praktik yang modern. Hipotesis implisit yang mendasari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan substansial antara kedua peraturan tersebut, dan pemahaman mendalam atas perbedaan ini merupakan prasyarat bagi institusi pendidikan untuk melakukan adaptasi strategis demi peningkatan mutu.

Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi kepustakaan (literature review) sebagai pendekatan utamanya. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen terhadap sumber-sumber primer, yaitu naskah lengkap Permendiknas No. 40 Tahun 2008 dan Permendikbud No. 34 Tahun 2018, serta didukung oleh literatur sekunder seperti jurnal dan artikel ilmiah yang relevan. Analisis data bersifat deskriptif-komparatif, di mana ketentuan-ketentuan spesifik dari kedua peraturan tersebut disandingkan secara sistematis untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan mendeskripsikan perbedaannya.

Kebaruan penelitian ini terletak pada fokusnya yang tajam dan aplikatif. Meskipun kajian tentang pentingnya sarana prasarana telah banyak dilakukan, karya ini memberikan kontribusi unik dengan menyajikan analisis perbandingan head-to-head antara dua kerangka hukum yang fundamental bagi satu kompetensi keahlian yang spesifik (DPIB). Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berfungsi sebagai panduan praktis yang menerjemahkan bahasa regulasi yang kompleks menjadi peta jalan yang jelas bagi para pengelola SMK untuk memahami lanskap standar yang baru dan merencanakan penyesuaian yang diperlukan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis komparatif antara kedua peraturan mengungkapkan adanya evolusi standar yang signifikan, yang mencerminkan pergeseran paradigma dalam pendidikan vokasi.

Pertama, pada level prasarana atau infrastruktur fisik, terjadi perubahan mendasar. Nama kompetensi keahlian itu sendiri berevolusi dari "Teknik Gambar Bangunan" menjadi "Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan (DPIB)", yang diikuti oleh perluasan fungsi ruang praktik untuk mencakup pemahaman konstruksi jalan dan jembatan. Secara kuantitatif, standar luas minimum ruang praktik justru mengalami efisiensi, berkurang dari 176 m² untuk 32 siswa (rasio 5,5 m²/siswa) menjadi 150 m² untuk 36 siswa (rasio 4,17 m²/siswa). Regulasi 2018 juga mengubah tata ruang, dari pemisahan tegas antara ruang gambar manual dan komputer menjadi penggabungan ruang "desain masinal dan komputer" serta penambahan ruang baru untuk "perencanaan dan pembuatan model/maket". Perubahan ini mengindikasikan pergeseran menuju alur kerja yang lebih terintegrasi dan berorientasi pada proyek, meniru praktik industri modern.

Kedua, pada level sarana atau peralatan, regulasi 2018 menunjukkan peningkatan spesifisitas dan modernisasi yang drastis. Standar perabot tidak lagi bersifat umum (misalnya "meja gambar"), melainkan dirinci menjadi "meja kerja", "meja alat", dan "meja persiapan" dengan rasio yang jelas per siswa. Peningkatan paling signifikan terlihat pada penambahan standar yang sebelumnya tidak ada dalam regulasi 2008, yaitu kewajiban penyediaan peralatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk setiap siswa. Penambahan ini merupakan sebuah lompatan kualitatif yang menempatkan budaya keselamatan kerja sebagai komponen inti dalam proses pembelajaran, bukan lagi sebagai aspek periferal. Selain itu, standar utilitas seperti jumlah kotak kontak listrik minimum juga ditingkatkan, menandakan pengakuan atas meningkatnya ketergantungan pada perangkat elektronik dalam praktik DPIB modern.

Secara interpretatif, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa standar baru tidak hanya memperbarui daftar peralatan, tetapi juga mentransformasi filosofi ruang belajar vokasi. Ruang praktik kini dirancang sebagai simulasi lingkungan kerja profesional yang menekankan integrasi teknologi, manajemen proyek (terlihat dari adanya "papan kemajuan siswa"), dan, yang terpenting, budaya keselamatan yang berstandar industri.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Sebagai sebuah studi kepustakaan, keterbatasan utama penelitian ini adalah absennya data empiris dari lapangan. Analisis berfokus pada das Sollen (apa yang seharusnya menurut peraturan) tanpa mengukur das Sein (bagaimana kondisi aktual di sekolah). Studi ini tidak menyelidiki sejauh mana SMK telah mematuhi standar baru, tantangan finansial dan logistik yang mereka hadapi dalam proses adaptasi, atau dampak dari fasilitas yang diperbarui terhadap kompetensi lulusan.

Refleksi kritis juga dapat diarahkan pada asumsi bahwa standar baru secara otomatis lebih superior. Misalnya, apakah penurunan rasio luas ruang per siswa, meskipun diimbangi dengan peralatan yang lebih modern, berpotensi menciptakan lingkungan belajar yang lebih padat dan kurang kondusif? Paper ini tidak mengeksplorasi potensi trade-off atau konsekuensi yang tidak diinginkan dari perubahan standar tersebut. Analisis lebih lanjut mengenai justifikasi di balik setiap perubahan—apakah didasarkan pada masukan industri yang komprehensif atau pertimbangan efisiensi anggaran—akan memperkaya diskusi.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Temuan dari studi ini membuka berbagai jalan untuk penelitian lanjutan. Riset empiris di masa depan dapat melakukan survei skala luas untuk memetakan tingkat kepatuhan SMK terhadap Permendikbud 2018, mengidentifikasi kesenjangan fasilitas, dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat implementasi. Studi longitudinal juga dapat dirancang untuk mengukur secara kuantitatif dampak peningkatan sarana prasarana terhadap hasil belajar siswa, tingkat kelulusan uji kompetensi, dan keterserapan lulusan di dunia kerja.

Dari perspektif kebijakan dan praktik, penelitian ini berfungsi sebagai pengingat mendesak bagi pengelola sekolah untuk segera melakukan audit fasilitas dan menyusun rencana strategis untuk pemenuhan standar. Bagi pemerintah dan pembuat kebijakan, temuan ini menyoroti perlunya dukungan finansial dan teknis yang terstruktur untuk membantu sekolah-sekolah dalam melakukan transisi. Tanpa intervensi yang terencana, pemberlakuan standar yang lebih tinggi berisiko memperlebar kesenjangan kualitas antara sekolah yang memiliki sumber daya yang cukup dan yang tidak. Pada akhirnya, studi ini menegaskan bahwa investasi pada infrastruktur fisik adalah investasi langsung pada kualitas sumber daya manusia vokasi di masa depan.

Sumber

Andarista, P. L., Murtinugraha, R. E., & Ramadhan, M. A. (2020). Standar Sarana Prasarana SMK Kompetensi Keahlian Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 349-360.

Selengkapnya
Evolusi Standar Infrastruktur Pendidikan Vokasi: Analisis Komparatif Regulasi Sarana Prasarana SMK DPIB

Infrastruktur

Audit Infrastruktur Publik: Analisis Kebutuhan Evaluasi Pasar Rakyat Tambun Selatan

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Tulisan karya Noval Abdurohim Hafish, Anisah, dan Prihantono (2020) mengangkat sebuah isu krusial yang menghubungkan kualitas infrastruktur publik dengan vitalitas ekonomi lokal. Latar belakang masalah berpusat pada kondisi Pasar Rakyat Tambun Selatan, sebuah entitas komersial bersejarah yang kini menghadapi penurunan jumlah pengunjung secara signifikan. Penulis mengidentifikasi masalah utama pada kondisi fisik pasar yang tidak terawat, kotor, tidak kondusif, dan secara visual tidak menarik, di mana fasilitas banyak yang rusak dan sirkulasi terganggu oleh penggunaan koridor sebagai area berdagang. Kondisi ini menciptakan ketidaknyamanan yang mendorong konsumen beralih ke pasar modern.

Kerangka teoretis penelitian ini secara tegas berlabuh pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 8152-2015 tentang Pasar Rakyat. Regulasi ini berfungsi sebagai tolok ukur ideal (das Sollen) yang mendefinisikan kriteria pasar yang bersih, sehat, dan terstandar, dengan penekanan pada aksesibilitas universal dan sirkulasi yang terjamin. Dengan menyandingkan kondisi aktual pasar (das Sein) dengan standar normatif ini, penulis merumuskan tujuan penelitian yang jelas: mengevaluasi ketersediaan sarana, prasarana, dan utilitas umum serta kesesuaian bangunan pasar terhadap kriteria SNI tersebut. Hipotesis implisit yang terbangun adalah bahwa ketidaksesuaian fasilitas pasar dengan SNI 8152-2015 merupakan faktor kontributif terhadap penurunan daya saing dan citra negatif pasar di mata publik.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini dirancang dengan metode deskriptif yang mengintegrasikan pendekatan kuantitatif untuk pengolahan data dan pendekatan kualitatif untuk analisis deskriptif. Alur metodologisnya sistematis, dimulai dari pengumpulan data melalui tiga jalur: survei kuesioner yang disebar kepada pedagang, wawancara mendalam dengan pengelola pasar, dan observasi langsung di lokasi. Populasi penelitian didefinisikan secara jelas, mencakup 735 pedagang dan 12 pengelola. Penentuan sampel dilakukan secara cermat menggunakan rumus Slovin untuk menghasilkan 88 responden pedagang yang dipilih melalui Proportional Random Sampling, dan satu orang kepala pengelola pasar dipilih secara Purposive Sampling untuk memastikan kedalaman informasi.

Kebaruan studi ini terletak pada penerapan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product), khususnya pada komponen evaluasi masukan (input evaluation). Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk secara terstruktur menilai sumber daya yang ada, alternatif yang tersedia, serta rencana dan strategi pengelolaan pasar terhadap tujuan yang ditetapkan oleh SNI. Dengan memfokuskan evaluasi pada aspek-aspek spesifik seperti penataan ruang dagang, konstruksi, koridor, ventilasi, pencahayaan, area parkir, jaringan air bersih, toilet, pengelolaan sampah, drainase, sistem pemadam kebakaran, ruang ibadah, area bongkar muat, dan ruang disinfektan, penelitian ini menawarkan sebuah kerangka audit yang komprehensif dan dapat direplikasi untuk fasilitas publik sejenis.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Perlu dicatat bahwa paper ini disajikan dalam format proposal penelitian, sehingga belum memaparkan hasil analisis data empiris secara lengkap. "Temuan" yang disajikan lebih bersifat sebagai justifikasi kebutuhan penelitian yang didasarkan pada observasi awal dan data sekunder, seperti grafik penurunan jumlah pengunjung. Observasi awal yang dilakukan penulis mengonfirmasi adanya kondisi pasar yang tidak terawat, kotor, dan tidak menarik secara visual, di mana lorong dan koridor pasar dialihfungsikan sebagai tempat jual beli. Temuan ini secara kontekstual sejalan dengan literatur yang dikutip, yang menyatakan bahwa pasar tradisional sering kali memiliki citra negatif (kumuh, sesak, becek) akibat manajemen pengelola yang kurang optimal.

Meskipun data kuantitatif dari kuesioner dan wawancara belum dianalisis, kerangka kerja penelitian telah menetapkan dengan jelas apa yang akan diukur. Evaluasi akan menghasilkan kesimpulan mengenai apakah ketersediaan sarana prasarana dan utilitas umum di Pasar Rakyat Tambun Selatan telah sesuai dengan kriteria SNI 8152-2015 atau tidak. Dengan demikian, kontribusi utama dari bagian ini adalah pemetaan masalah yang sistematis dan penyajian kerangka evaluasi yang solid, yang jika diimplementasikan, akan menghasilkan data konkret mengenai tingkat kesenjangan antara kondisi ideal dan realitas di lapangan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan paling fundamental dari tulisan ini adalah statusnya sebagai proposal, yang berarti belum ada penyajian dan interpretasi data primer. Klaim mengenai penyebab penurunan pengunjung yang dikaitkan dengan kondisi fasilitas masih bersifat dugaan yang perlu dibuktikan melalui analisis data yang akan dikumpulkan. Dari segi metodologi, meskipun pemilihan sampel sudah menggunakan teknik statistik yang valid, potensi bias dalam jawaban kuesioner (misalnya, pedagang memberikan jawaban yang dianggap "aman") tetap ada dan perlu diantisipasi dalam analisis.

Secara kritis, model evaluasi CIPP yang hanya difokuskan pada komponen "input" sudah tepat untuk sebuah studi evaluasi awal atau analisis kebutuhan. Namun, untuk mendapatkan gambaran yang holistik, penelitian lanjutan idealnya juga perlu mencakup evaluasi "proses" (bagaimana manajemen pasar berjalan sehari-hari) dan "produk" (dampak kondisi pasar terhadap pendapatan pedagang dan kepuasan pengunjung). Asumsi bahwa pemenuhan standar SNI akan secara langsung menyelesaikan masalah penurunan pengunjung juga perlu diuji, karena faktor lain seperti persaingan harga, kelengkapan barang, dan perubahan perilaku belanja konsumen juga memainkan peran penting.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Implikasi paling langsung dari penelitian ini adalah urgensi untuk melaksanakan pengumpulan dan analisis data yang telah dirancang. Setelah data terkumpul, hasil evaluasi ini akan memberikan kontribusi empiris yang berharga bagi literatur tentang manajemen fasilitas publik dan revitalisasi pasar tradisional di Indonesia. Penelitian di masa depan dapat menggunakan kerangka kerja ini untuk melakukan studi komparatif antara beberapa pasar rakyat, mengidentifikasi praktik terbaik dalam pengelolaan, dan mengukur dampak intervensi (misalnya, renovasi) terhadap kinerja pasar.

Dari perspektif kebijakan dan praktik, hasil penelitian ini akan menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah daerah Kabupaten Bekasi dan pengelola pasar untuk merumuskan rekomendasi teknis yang spesifik dan terukur. Data evaluasi dapat digunakan untuk memprioritaskan alokasi anggaran perbaikan, merancang ulang tata letak pasar, dan meningkatkan standar operasional pemeliharaan. Sebagai refleksi akhir, studi ini sangat relevan dengan upaya nasional untuk modernisasi pasar rakyat. Dengan menyediakan sebuah metodologi evaluasi yang sistematis dan berbasis standar, penelitian ini tidak hanya mendiagnosis masalah di satu lokasi, tetapi juga menawarkan sebuah model yang dapat diadopsi untuk meningkatkan kualitas dan daya saing pasar rakyat di seluruh Indonesia.

Sumber

Hafish, N. A., Anisah, & Prihantono. (2020). Evaluasi Sarana Prasarana dan Utilitas Umum Pasar Sesuai SNI 8152-2015 Tentang Pasar Rakyat (Pada Pasar Rakyat Tambun Selatan). Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 214-219.

Selengkapnya
Audit Infrastruktur Publik: Analisis Kebutuhan Evaluasi Pasar Rakyat Tambun Selatan

Infrastruktur

Analisis Konseptual Manajemen Pemeliharaan Gedung

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Tulisan karya Yospita Sari (2020) ini berangkat dari sebuah premis fundamental: pemeliharaan dan perawatan adalah kunci untuk memastikan sebuah bangunan gedung dapat berfungsi sesuai umur rencananya. Masalah utama yang diangkat adalah rendahnya kesadaran pemilik, pengguna, dan pengelola di Indonesia akan pentingnya pemeliharaan, yang berujung pada berbagai insiden seperti keruntuhan gedung dan kebakaran. Studi ini menyoroti kontras antara fenomena kegagalan bangunan yang kerap terjadi dengan studi kasus Gedung Perum BULOG, sebuah bangunan berusia lebih dari 45 tahun yang masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik.

Kerangka teoretis penelitian ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 24/PRT/M/2008, yang membedakan antara pemeliharaan (kegiatan preventif untuk menjaga keandalan dan laik fungsi) dan perawatan (kegiatan kuratif untuk memperbaiki atau mengganti komponen yang rusak). Konsep manajemen dan biaya juga diperkenalkan sebagai elemen sentral dalam mencapai tujuan pemeliharaan. Dengan menggunakan Gedung BULOG sebagai contoh ideal, penelitian ini secara implisit berhipotesis bahwa keberhasilan pemeliharaan jangka panjang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan hasil dari sebuah sistem manajemen yang terstruktur dan didukung oleh alokasi sumber daya yang memadai. Tujuannya adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi pada terpelihara dan terawatnya sebuah bangunan gedung melalui tinjauan literatur.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan (literature review). Data dihimpun dari berbagai sumber sekunder, termasuk jurnal ilmiah, buku, laporan penelitian, dan peraturan pemerintah yang relevan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), yang didefinisikan sebagai pembahasan mendalam terhadap informasi tertulis untuk mengidentifikasi karakteristik dan menarik kesimpulan secara sistematis.

Kebaruan dari studi ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada sintesis pengetahuan yang ada untuk membangun sebuah kerangka konseptual tentang manajemen pemeliharaan. Dengan menempatkan studi kasus (meskipun hanya sebagai ilustrasi) di samping tinjauan teoretis, penelitian ini memberikan sebuah narasi yang menghubungkan prinsip-prinsip manajemen dengan hasil fisik yang nyata, sehingga menawarkan wawasan yang aplikatif bagi para praktisi pengelolaan gedung.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Sebagai sebuah studi literatur, temuan yang disajikan merupakan sintesis dari berbagai sumber yang ada mengenai elemen-elemen kunci dalam manajemen pemeliharaan:

  1. Manajemen Pemeliharaan: Ditemukan bahwa manajemen adalah titik sentral dalam keberhasilan pemeliharaan. Manajemen yang efektif harus mampu menjawab pertanyaan fundamental: apa yang harus dirawat, bagaimana, kapan, dengan biaya berapa, dan oleh siapa. Literatur mengidentifikasi berbagai permasalahan umum yang muncul akibat manajemen yang buruk, seperti penyalahgunaan fungsi bangunan dan perubahan struktur yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Struktur organisasi pemeliharaan (besar, sedang, atau kecil) harus disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas fasilitas yang dikelola.
  2. Kebijakan dan Pengambilan Keputusan: Kebijakan pemeliharaan berfungsi sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya (manusia, material, dan uang). Pengambilan keputusan untuk melakukan perawatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain usia bangunan, ketersediaan anggaran, tingkat urgensi, ketersediaan sumber daya, serta pertimbangan sosial dan lingkungan. Ketersediaan sumber daya dan biaya diidentifikasi sebagai faktor utama yang paling mempengaruhi keputusan.
  3. Prioritas Kegiatan: Untuk mengelola sumber daya yang terbatas secara efektif, kegiatan pemeliharaan perlu diprioritaskan. Literatur mengklasifikasikan prioritas ke dalam empat tingkatan: (a) Kondisi darurat (misalnya, pipa bocor), (b) Urgensi (misalnya, alarm kebakaran tidak berfungsi), (c) Prioritas rutin (pekerjaan harian), dan (d) Prioritas yang dapat ditunda (misalnya, pengecatan ulang).
  4. Kendala dalam Pelaksanaan: Kendala yang paling umum dihadapi dalam praktik pemeliharaan adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, keterbatasan anggaran, dan peralatan yang tidak memadai. Studi lain yang dirujuk menunjukkan bahwa banyak praktik pemeliharaan di lapangan tidak sesuai dengan frekuensi yang direkomendasikan oleh Permen PU, sering kali karena keterbatasan dana.

Secara interpretatif, temuan-temuan ini menegaskan bahwa pemeliharaan gedung yang berhasil bukanlah sekadar serangkaian tindakan teknis, melainkan sebuah sistem manajemen yang terintegrasi, di mana kebijakan yang jelas, prioritas yang logis, dan sumber daya yang memadai dikelola secara terstruktur.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis. Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang murni studi kepustakaan. Meskipun Gedung BULOG digunakan sebagai titik awal dan contoh keberhasilan, penelitian ini tidak menyajikan data primer apa pun dari lokasi tersebut. Kesimpulan mengenai praktik manajemen di Gedung BULOG bersifat inferensial, didasarkan pada asumsi bahwa kondisinya yang baik pasti merupakan hasil dari penerapan prinsip-prinsip yang ditemukan dalam literatur. Tanpa wawancara dengan pengelola, analisis dokumen SOP, atau observasi langsung di Gedung BULOG, studi ini tetap berada pada level konseptual.

Selain itu, karena hanya mengandalkan analisis isi dari sumber-sumber yang ada, penelitian ini tidak dapat mengeksplorasi nuansa atau faktor-faktor kontekstual yang mungkin unik untuk setiap bangunan. Asumsi bahwa sebuah kerangka manajemen tunggal dapat diterapkan secara universal tanpa modifikasi mungkin terlalu menyederhanakan kompleksitas masalah di lapangan.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

 Temuan konseptual dari studi ini memberikan landasan yang kuat untuk penelitian empiris di masa depan. Langkah selanjutnya yang paling logis adalah melakukan studi kasus mendalam di Gedung BULOG untuk memverifikasi secara langsung apakah prinsip-prinsip manajemen yang diidentifikasi dalam literatur memang diterapkan di sana. Penelitian semacam itu dapat menggunakan metode wawancara, analisis dokumen, dan observasi untuk membangun model "praktik terbaik" yang berbasis bukti.

Dari segi praktis, kerangka kerja yang disajikan (mencakup manajemen, kebijakan, prioritas, dan kesadaran akan kendala) dapat berfungsi sebagai daftar periksa diagnostik bagi pengelola gedung lain untuk mengevaluasi dan meningkatkan sistem pemeliharaan mereka. Sebagai refleksi akhir, penelitian ini menegaskan kembali bahwa degradasi bangunan sering kali bukan masalah teknis semata, melainkan gejala dari kegagalan sistem manajemen. Oleh karena itu, investasi dalam membangun kapabilitas manajerial sama pentingnya dengan investasi dalam perbaikan fisik itu sendiri.

Sumber

Sari, Y. (2020). Studi Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 116-126.

Selengkapnya
Analisis Konseptual Manajemen Pemeliharaan Gedung
« First Previous page 2 of 2