Industri 4.0

Adopsi Teknologi Digital di Proyek Konstruksi: Analisis dari Perspektif Kontraktor Utama

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental yang menghambat produktivitas industri konstruksi: inefisiensi kronis dalam proses logistik. Kegagalan dalam mengelola aliran material—yang termanifestasi dalam bentuk keterlambatan, pemborosan, dan pembengkakan biaya—telah mendorong perusahaan kontraktor utama untuk mengadopsi teknologi digital sebagai solusi. Meskipun potensi teknologi digital untuk meningkatkan komunikasi, otomatisasi, dan analisis data telah diakui secara luas, proses adopsinya di lingkungan konstruksi yang terfragmentasi dan berbasis proyek sering kali bersifat sporadis dan tidak terstruktur.  

Kerangka teoretis yang dibangun oleh Gholami menyoroti adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) yang signifikan: riset yang ada cenderung berfokus pada adopsi dari perspektif perusahaan (firm-level), sementara dinamika di level proyek (project-level)—di mana teknologi sebenarnya diuji dan digunakan—kurang mendapat perhatian. Hal ini menjadi krusial karena sifat proses adopsi yang tidak pasti dan berkesinambungan sering kali berbenturan dengan sifat proyek konstruksi yang berjangka waktu terbatas.

Dengan berlandaskan pada teori adopsi teknologi (investigasi, keputusan, implementasi) dan manajemen rantai pasokan, penelitian ini merumuskan tiga pertanyaan penelitian esensial:
(1) Apa saja pendorong dan penghalang adopsi teknologi digital di level proyek?
(2) Apa saja efeknya terhadap proses logistik? dan
(3) Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari proses adopsi tersebut?  

Metodologi dan Kebaruan

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif yang mendalam, yang dilaksanakan sebagai bagian dari proyek riset yang lebih besar bertajuk "The Connected Construction Site". Penelitian ini secara spesifik menginvestigasi serangkaian uji coba percontohan (pilot tests) dari berbagai teknologi digital dalam proyek-proyek konstruksi yang sedang berjalan di Swedia. Pendekatan ini memungkinkan pengumpulan data empiris yang kaya dari konteks dunia nyata.  Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi metode, termasuk wawancara terstruktur dengan para pemangku kepentingan, kelompok diskusi terfokus (focus groups), dan observasi langsung yang disertai pengukuran kuantitatif (misalnya, jumlah panggilan telepon, waktu tunggu truk, dan jumlah langkah manajer stok per hari). Data kualitatif dari wawancara kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan analisis tematik dengan bantuan perangkat lunak NVivo. Untuk menjaga validitas, temuan-temuan dikirimkan kembali kepada para partisipan untuk divalidasi.  

Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang tajam pada perspektif level proyek, sebuah sudut pandang yang secara eksplisit diidentifikasi sebagai celah dalam literatur yang ada. Dengan membumikan analisisnya pada uji coba percontohan yang nyata, penelitian ini berhasil melampaui diskusi teoretis dan menyajikan wawasan yang praktis dan dapat ditindaklanjuti mengenai dinamika adopsi teknologi dalam organisasi temporer seperti proyek konstruksi.  

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data yang komprehensif menghasilkan serangkaian temuan yang secara langsung menjawab ketiga pertanyaan penelitian.

  1. Pendorong dan Penghalang (RQ1): Ditemukan bahwa adopsi teknologi di level proyek didorong oleh kebutuhan operasional yang konkret, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori utama: fungsi kontrol (kebutuhan akses informasi kuantitas material), visibilitas (mengetahui lokasi material yang akurat), konektivitas (menghubungkan rencana pengiriman, produksi, dan tata letak), serta koordinasi. Di sisi lain, implementasi terhambat oleh serangkaian tantangan yang signifikan, termasuk kualitas teknis yang rendah dan kompleksitas teknologi, sifat temporer dari proyek dan rantai pasokannya, otoritas manajer proyek yang dapat menghambat perubahan, serta lambatnya penerimaan di antara mitra kerja yang lebih tradisional.  

  2. Efek terhadap Proses Logistik (RQ2): Implementasi teknologi digital terbukti menghasilkan dampak positif yang terukur. Efek-efek ini mencakup perancangan ulang proses order-to-delivery dan logistik di lokasi, peningkatan efisiensi, koordinasi, lingkungan kerja, dan keselamatan, serta penurunan pemborosan waktu dan material. Salah satu temuan konseptual yang paling menarik adalah bagaimana inovasi digital (seperti kontainer pengiriman pintar) memungkinkan terjadinya decoupling—di mana lokasi konstruksi secara fisik dipisahkan dari rantai pasokan, namun secara digital tetap terintegrasi melalui sistem informasi. Hal ini memberikan fleksibilitas operasional sambil meminimalkan gangguan.  

  3. Pelajaran yang Dipetik (RQ3): Penelitian ini mengidentifikasi sebelas pelajaran penting yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok: konteks, prasyarat, dan kendala. Temuan kunci di sini adalah bahwa proses adopsi di lapangan bersifat  iteratif, di mana pelajaran yang didapat dari uji coba percontohan secara langsung membentuk keputusan implementasi akhir. Namun, ditemukan pula sebuah masalah sistemik yang persisten:
    kurangnya konsistensi dalam menerapkan teknologi yang sudah terbukti berhasil dari satu proyek ke proyek berikutnya. Adopsi sering kali bersifat ad hoc, didorong oleh inisiatif manajer proyek individual untuk memecahkan masalah lokal, dan ada kegagalan dalam mentransfer pengetahuan dan pelajaran yang didapat dari level proyek ke level perusahaan untuk adopsi skala besar.  

 

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya. Sifat studi kasus membatasi generalisasi temuan ke konteks yang lebih luas, dan diperlukan lebih banyak studi pembandingan (benchmarking) di proyek-proyek lain. Selain itu, terdapat potensi bias seleksi, karena semua partisipan berasal dari Swedia dan merupakan sukarelawan yang menunjukkan ambisi dan proaktivitas yang tinggi dalam menguji teknologi baru, yang mungkin tidak merepresentasikan industri konstruksi secara keseluruhan yang cenderung lebih resisten terhadap perubahan.  

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Terlepas dari keterbatasannya, tesis ini memberikan kontribusi signifikan dengan mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai adopsi teknologi dari perspektif level proyek. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan empat rekomendasi konkret yang ditujukan bagi perusahaan kontraktor utama untuk mengatasi masalah adopsi yang bersifat ad hoc dan tidak konsisten.  

Untuk penelitian di masa depan, penulis secara eksplisit menyarankan perlunya analisis dan validasi lebih lanjut terhadap keempat rekomendasi yang telah dirumuskan. Dengan menyediakan wawasan berbasis empiris mengenai dinamika di lapangan, karya ini meletakkan fondasi yang kuat bagi studi-studi selanjutnya yang bertujuan untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mendorong transformasi digital yang sistematis dan berskala besar di industri konstruksi.  

Sumber

Gholami, Y. (2023). Investigating Adoption of Digital Technologies in Construction Projects. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1954. Linköping University. https://doi.org/10.3384/9789180750257

Selengkapnya
Adopsi Teknologi Digital di Proyek Konstruksi: Analisis dari Perspektif Kontraktor Utama

Industri 4.0

Tinjauan Sistematis terhadap Teknologi, Desain, dan Hasil Pembelajaran

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada pengakuan bahwa kolaborasi merupakan keterampilan esensial yang dituntut di hampir semua bidang profesional, sebuah kebutuhan yang semakin dipertegas oleh meningkatnya tren kerja jarak jauh. Lingkungan pembelajaran daring, dengan segala kemajuan teknologinya, menawarkan platform yang ideal untuk membina kompetensi ini. Sejumlah kerangka teoretis yang mapan—seperti  

Computer Supported Collaborative Learning (CSCL), Community of Inquiry (CoI), dan Tiga Jenis Interaksi Moore—telah lama menjadi landasan untuk memahami berbagai aspek dari pembelajaran kolaboratif daring. Namun, tinjauan-tinjauan literatur yang ada sebelumnya cenderung berfokus pada aspek-aspek yang spesifik dan terfragmentasi.  

Masalah inti yang diidentifikasi oleh Oyarzun dan Martin adalah kurangnya sebuah tinjauan holistik yang mengintegrasikan berbagai elemen krusial dari OLC ke dalam satu kerangka kerja yang utuh. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penulis mengajukan sebuah kerangka kerja OLC yang komprehensif, yang mencakup empat pilar: teknologi kolaboratif, desain, fasilitasi, dan hasil. Dengan menggunakan kerangka ini, tujuan utama dari studi ini adalah untuk melakukan tinjauan literatur sistematis terhadap penelitian OLC yang dipublikasikan selama satu dekade (2012-2021), guna mengidentifikasi pola publikasi, tren partisipan dan konteks, serta metodologi penelitian yang dominan.  

Metodologi dan Kebaruan

Untuk mencapai tujuannya, penelitian ini mengadopsi metodologi Tinjauan Literatur Sistematis (Systematic Literature Review - SLR) yang ketat, dengan berpedoman pada protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Proses ini melibatkan dua putaran pencarian kata kunci yang luas di berbagai basis data untuk menangkap semua jenis kolaborasi yang terjadi dalam konteks pembelajaran daring. Setelah melalui proses penyaringan yang sistematis, sebanyak 63 artikel penelitian orisinal dari jurnal-jurnal peer-reviewed yang dipublikasikan antara tahun 2012 dan 2021 dipilih untuk dianalisis secara mendalam.  

Analisis data dilakukan secara kolaboratif menggunakan spreadsheet Google, dengan menerapkan proses pengkodean deduktif (berdasarkan penelitian sebelumnya) dan induktif (mengadaptasi kode selama proses analisis). Kebaruan dari karya ini terletak pada pendekatannya yang luas dan terintegrasi. Alih-alih hanya berfokus pada satu dimensi OLC, penelitian ini secara unik mensintesis temuan-temuan dari berbagai aspek—mulai dari pilihan teknologi hingga hasil afektif—ke dalam satu kerangka kerja yang koheren, sehingga menyajikan sebuah "peta" komprehensif dari lanskap penelitian OLC selama dekade terakhir.  

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis terhadap 63 artikel terpilih menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan gambaran jelas mengenai tren dalam penelitian OLC.

  1. Konteks dan Demografi Penelitian: Ditemukan bahwa sebagian besar penelitian OLC dilakukan dalam konteks pendidikan tinggi dan dalam disiplin ilmu Pendidikan (30,2%). Secara geografis, penelitian yang dilakukan di  

    Amerika Serikat (39,7%) mendominasi literatur yang ditinjau. Dari segi metodologi, ketiga pendekatan utama—kuantitatif, kualitatif, dan metode campuran—digunakan dalam proporsi yang hampir seimbang.  

  2. Teknologi Kolaboratif: Teknologi yang paling umum digunakan untuk memfasilitasi OLC adalah Learning Management Systems (LMS), papan diskusi, alat tulis kolaboratif, dan alat sinkron (misalnya, konferensi video). Temuan ini menggarisbawahi peran sentral LMS sebagai tulang punggung kursus daring, yang sering kali sudah terintegrasi dengan fungsionalitas seperti papan diskusi. Penggunaan alat sinkron yang luas juga menunjukkan pentingnya interaksi  

    real-time dalam memfasilitasi kolaborasi.  

  3. Desain Kolaborasi: Metode kolaboratif yang paling dominan adalah proyek kelompok (59,2%) dan diskusi (25,0%). Ukuran kelompok yang paling umum adalah  

    kelompok kecil, yang biasanya terdiri dari dua hingga lima mahasiswa. Dalam hal pembentukan kelompok, strategi yang paling sering digunakan adalah  

    penugasan acak (random assignment), diikuti oleh pembentukan berdasarkan kriteria tertentu dan pembentukan oleh mahasiswa sendiri.  

  4. Fasilitasi Kolaborasi: Peran instruktur dalam OLC sangat multifaset. Temuan menunjukkan bahwa instruktur paling sering mengambil peran sebagai perancang (designer) aktivitas kolaboratif, fasilitator proses, pendukung (supporter), dan evaluator hasil kerja. Hal ini menegaskan bahwa fasilitasi yang efektif melampaui sekadar pemberian tugas, tetapi juga melibatkan desain yang cermat dan dukungan aktif selama proses berlangsung.  

  5. Hasil Kolaborasi (Peluang dan Tantangan):

    • Peluang: Tiga peluang teratas yang paling sering disebut dari implementasi OLC adalah peningkatan pembelajaran (16,22%), pengembangan keterampilan komunikasi dan kolaborasi (14,86%), dan pembangunan hubungan antar pembelajar.  

    • Tantangan: Tantangan yang paling sering muncul adalah waktu (misalnya, kesulitan koordinasi jadwal), masalah teknis, serta kecemasan, ketakutan, atau stres yang dialami oleh pembelajar.  

    • Fokus Hasil: Sebagian besar penelitian yang ditinjau berfokus pada hasil kognitif dan afektif, dengan fokus yang lebih sedikit pada hasil perilaku.  

 

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Dominasi penelitian dari Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh bias karena para peneliti berbasis di AS dan hanya menganalisis artikel berbahasa Inggris, yang membatasi generalisasi temuan ke konteks global.  

Sebagai refleksi kritis, meskipun pendekatan yang luas dari tinjauan ini merupakan kekuatan utamanya, hal ini mungkin datang dengan mengorbankan kedalaman analisis pada setiap elemen. Studi ini berhasil memetakan "apa" yang diteliti dalam OLC, namun mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa "mengapa" tren-tren ini muncul atau "seberapa efektif" kombinasi teknologi, desain, dan fasilitasi yang berbeda dalam mencapai hasil pembelajaran yang spesifik.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, temuan dari tinjauan ini memiliki implikasi langsung bagi para instruktur dan desainer instruksional daring, dengan menyoroti teknologi dan metode desain yang paling umum digunakan serta tantangan yang perlu diantisipasi.  

Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara implisit dan eksplisit menyarankan beberapa arah. Terdapat kebutuhan yang jelas untuk lebih banyak penelitian OLC di luar konteks AS dan di luar disiplin ilmu Pendidikan untuk memperluas pemahaman. Selain itu, penulis menyoroti perlunya  

standardisasi terminologi terkait OLC untuk membantu para peneliti menemukan riset yang relevan dengan lebih mudah. Sebagai refleksi akhir, dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang holistik dan peta lanskap penelitian yang komprehensif, Oyarzun dan Martin telah meletakkan fondasi yang kuat bagi para peneliti dan praktisi untuk secara lebih sistematis mempelajari dan mengimplementasikan aktivitas kolaborasi daring yang efektif.  

Sumber

Oyarzun, B., & Martin, F. (2023). A systematic review of research on online learner collaboration from 2012-21: Collaboration technologies, design, facilitation, and outcomes. Online Learning, 27(1), 71-106. DOI: 10.24059/olj.v27i1.3453

Selengkapnya
Tinjauan Sistematis terhadap Teknologi, Desain, dan Hasil Pembelajaran

Industri 4.0

Persepsi Publik vs. Realitas Akademis: Tinjauan Kritis terhadap Adopsi AI di Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Di tengah maraknya diskursus mengenai AI dalam lingkungan binaan, penelitian yang secara komprehensif meninjau aplikasinya di industri konstruksi masih terbilang langka. Tesis Massimo Regona ini dirancang sebagai sebuah studi pelingkupan (scoping study) yang bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan menyediakan sebuah tinjauan holistik mengenai teknologi AI, serta peluang dan tantangan utama yang menyertainya. Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas pendekatan metodologis ganda yang unik: pertama, melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur akademis untuk membangun fondasi pemahaman berbasis bukti, dan kedua, mengeksplorasi prospek dan kendala adopsi AI di industri konstruksi Australia secara spesifik melalui analisis data media sosial. Hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai adopsi teknologi tidak cukup hanya dengan menelaah publikasi ilmiah, tetapi juga harus menangkap persepsi dan sentimen publik yang dinamis. Dengan demikian, tujuan utamanya adalah untuk memetakan peluang dan tantangan adopsi AI dari dua perspektif yang berbeda namun saling melengkapi: akademis dan publik.  

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi dua cabang yang berbeda namun saling memperkuat untuk mencapai tujuannya.

Cabang pertama adalah Tinjauan Literatur Sistematis, di mana 67 artikel jurnal ilmiah dianalisis secara mendalam untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan utama dalam adopsi AI di industri konstruksi secara global. Pendekatan ini memastikan bahwa temuan-temuan awal didasarkan pada bukti-bukti akademis yang telah terverifikasi.  

Cabang kedua, yang menjadi kebaruan utama dari penelitian ini, adalah penggunaan analisis media sosial. Secara spesifik, penulis melakukan analisis sentimen dan konten terhadap 7.906 pesan Twitter untuk mengeksplorasi prospek dan kendala adopsi teknologi AI dalam konteks industri konstruksi Australia. Pendekatan inovatif ini memungkinkan penelitian untuk melampaui batas-batas diskursus akademis dan menangkap "denyut nadi" publik dan industri secara  

real-time. Kebaruan karya ini terletak pada sintesis antara tinjauan akademis yang terstruktur dengan analisis persepsi publik yang dinamis, menjadikannya studi pertama yang mengeksplorasi adopsi AI di sektor konstruksi Australia dengan menggunakan data media sosial.  

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data dari kedua cabang metodologi menghasilkan serangkaian temuan yang saling mencerahkan.

Dari Tinjauan Literatur Sistematis, tiga temuan utama muncul:

  1. AI ditemukan sangat bermanfaat pada tahap perencanaan proyek konstruksi, di mana keberhasilan sangat bergantung pada peramalan peristiwa, risiko, dan biaya yang akurat.  

  2. Peluang terbesar dari adopsi AI adalah pengurangan waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas konstruksi yang repetitif melalui pemanfaatan big data dan perbaikan proses kerja.  

  3. Tantangan terbesar yang teridentifikasi adalah sifat industri konstruksi yang terfragmentasi, yang mengakibatkan masalah signifikan dalam akuisisi dan retensi data.  

Sementara itu, dari Analisis Sentimen dan Konten Media Sosial di Australia, ditemukan bahwa:

  1. Teknologi AI yang paling populer dan sering dibicarakan adalah Robotika, Internet-of-Things (IoT), dan Machine Learning.  

  2. Sentimen publik Australia terhadap AI di bidang konstruksi sebagian besar positif, meskipun beberapa persepsi negatif tetap ada.  

  3. Prospek AI yang paling umum dibicarakan adalah penghematan waktu, inovasi, dan digitalisasi.  

  4. Kendala AI yang paling sering diangkat adalah risiko proyek, keamanan data, dan kurangnya kapabilitas.  

Secara kontekstual, temuan-temuan ini menunjukkan adanya keselarasan yang menarik antara diskursus akademis dan publik. Baik akademisi maupun publik sama-sama mengakui potensi AI dalam efisiensi (penghematan waktu) dan inovasi. Namun, analisis media sosial memberikan nuansa yang lebih praktis pada tantangan yang ada; sementara akademisi menyoroti masalah struktural (fragmentasi industri), publik lebih fokus pada risiko yang langsung terasa seperti keamanan data dan risiko proyek.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Meskipun metodologinya inovatif, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Fokus analisis media sosial yang hanya pada konteks Australia membatasi generalisasi temuan mengenai persepsi publik ke negara lain. Selain itu, data dari satu platform media sosial (Twitter) mungkin tidak sepenuhnya mewakili seluruh spektrum opini publik atau industri.

Sebagai refleksi kritis, tesis ini berhasil memetakan "apa" (peluang dan tantangan) tetapi dapat diperdalam dengan analisis "mengapa" di balik perbedaan antara temuan akademis dan publik. Misalnya, mengapa publik lebih menyoroti keamanan data sementara literatur akademis lebih fokus pada fragmentasi data? Mengeksplorasi kesenjangan persepsi ini dapat memberikan wawasan yang lebih kaya tentang hambatan komunikasi antara pengembang teknologi dan pengguna akhir.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Implikasi dari penelitian ini bersifat praktis dan akademis. Secara praktis, temuan ini dapat menjadi panduan bagi badan pemerintah dan para pemimpin industri di Australia untuk merancang strategi implementasi AI yang lebih efektif dengan mengatasi kekhawatiran publik secara langsung.  

Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Pertama, metodologi analisis sentimen media sosial dapat direplikasi di negara-negara lain untuk membangun gambaran global tentang persepsi publik terhadap AI di bidang konstruksi. Kedua, penelitian selanjutnya dapat berfokus pada pengembangan strategi untuk mengatasi tantangan utama yang teridentifikasi, khususnya masalah fragmentasi data yang menghambat potensi penuh AI. Terakhir, studi di masa depan dapat menyelidiki dampak dari berbagai narasi publik terhadap tingkat adopsi teknologi, membantu merumuskan kampanye komunikasi yang lebih efektif untuk mendorong inovasi.

Sumber

Regona, M. (2022). Opportunities and Adoption Constraints of Artificial Intelligence in the Construction Industry: A Scoping Study..

Selengkapnya
Persepsi Publik vs. Realitas Akademis: Tinjauan Kritis terhadap Adopsi AI di Industri Konstruksi

Industri 4.0

Transformasi Metode Pengadaan Proyek Konstruksi: Menjawab Tantangan Industri Abad ke-21

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 September 2025


Pendahuluan: Mengapa Metode Pengadaan Proyek Begitu Krusial?

Dalam industri kontruksi modern, keberhasilan sebuah proyek tidak hanya bergantung pada kualitas desain atau kecanggihan teknologi, tetapi juga pada pilihan metode pengadaan proyek atau project delivery method (PDM). Keputusan ini berdampak langsung terhadap biaya, waktu, risiko, dan kualitas output proyek. Sayangnya, meski industri konstruksi telah melesat maju dalam hal digitalisasi dan keberlanjutan, perkembangan metode pengadaannya cenderung tertinggal.

Paper karya Ahmed dan El-Sayegh (2021) yang diterbitkan dalam Buildings memetakan evolusi PDM selama lebih dari satu abad, sekaligus mengidentifikasi keterbatasan dalam menyelaraskan manajemen proyek dengan realitas industri konstruksi masa kini. Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, serta memberikan nilai tambah melalui analisis tambahan, studi kasus, dan perspektif kontekstual yang lebih luas.

Evolusi Metode Pengadaan Proyek: Dari PDM 1.0 ke PDM 4.0

PDM 1.0 – Era Master Builder

Sebelum pertengahan abad ke-19, proyek konstruksi biasanya dijalankan oleh satu pihak tunggal: master builder. Model ini sederhana, minim spesialisasi, dan cocok untuk proyek-proyek kecil berskala lokal. Namun, seiring tumbuhnya kompleksitas desain dan teknologi, kebutuhan akan spesialisasi meningkat, melahirkan PDM generasi berikutnya.

PDM 2.0 – Dominasi Design-Bid-Build (DBB)

Metode tradisional DBB mulai dominan sejak 1850-an. Model ini memisahkan kontrak desain dan konstruksi. Meski memberikan kejelasan peran, model ini rawan konflik karena fragmentasi tanggung jawab. Studi menunjukkan bahwa proyek dengan metode DBB kerap mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya.

PDM 3.0 – Munculnya Alternatif: DB, CM, dan CMR

Untuk menjawab kelemahan DBB, industri memperkenalkan metode alternatif seperti Design-Build (DB), Construction Management (CM), dan Construction Management at Risk (CMR). DB menyatukan desain dan konstruksi dalam satu kontrak, memungkinkan fast-tracking. CMR menawarkan jaminan biaya maksimum dan mengurangi perubahan pesanan.

Namun, tantangan tetap muncul: masih ada fragmentasi, keterbatasan integrasi data, dan kebutuhan tinggi akan keterlibatan pemilik.

PDM 4.0 – Menuju Kolaborasi dan Integrasi Digital

PDM 4.0 lahir dari kebutuhan untuk menyatukan semua pemangku kepentingan sejak awal dengan semangat kolaboratif. Metode seperti Integrated Project Delivery (IPD), alliancing, lean construction, dan partnering menekankan pada kerja sama, kepercayaan, serta berbagi risiko dan hasil.

PDM 4.0 memiliki karakteristik:

  • Terintegrasi secara digital

  • Berfokus pada keberlanjutan

  • Berpusat pada manusia

  • Mendukung produksi massal modular
     

Transformasi ini tidak terlepas dari dorongan teknologi seperti BIM, IoT, 3D printing, hingga kecerdasan buatan.

Studi Kasus: Integrated Project Delivery di Sektor Kesehatan

Di Amerika Serikat, proyek rumah sakit St. Joseph’s di California menggunakan IPD untuk membangun fasilitas senilai USD 320 juta. Melalui keterlibatan awal semua pemangku kepentingan, penggunaan BIM, dan kontrak multipihak, proyek ini selesai lebih cepat 15% dari estimasi awal dan menghemat sekitar USD 20 juta. Ini membuktikan bahwa PDM 4.0 bukan sekadar teori, tetapi dapat memberikan dampak nyata di lapangan.

Evolusi Kriteria Pemilihan PDM: Dari Biaya ke Keberlanjutan

Selection Criteria 1.0 hingga 4.0

  • 1.0: Berdasarkan intuisi, tanpa kriteria formal.

  • 2.0: Fokus pada biaya dan efisiensi transaksi.

  • 3.0: Mulai memasukkan kualitas, kompleksitas proyek, dan kemampuan kontraktor.

  • 4.0: Menyertakan aspek keberlanjutan, teknologi mutakhir, dan kesejahteraan tenaga kerja.
     

Data literatur menunjukkan bahwa risiko (14 kutipan), kualitas (12), dan pertumbuhan jadwal (12) menjadi faktor dominan. Namun, kriteria seperti inovasi teknologi (5) dan keberlanjutan (7) masih kurang dieksplorasi, meski relevansinya meningkat seiring tren global.

Tantangan: Ketidakseimbangan Antara Teori dan Praktik

Meski keberlanjutan dan teknologi semakin diakui sebagai kriteria penting, masih banyak pemilik proyek yang belum mengintegrasikannya dalam pemilihan metode. Di sisi lain, regulasi belum cukup mendorong penyelarasan kriteria dengan perubahan zaman.

Seleksi Metode PDM: Dari Intuisi ke Kecerdasan Buatan

Metode Tradisional dan Evolusinya

  • 1.0: Intuisi, pengalaman pribadi.

  • 2.0: Weighted sum & scoring.

  • 3.0: AHP, ANP, MAUT.

  • 4.0: Artificial Neural Network (ANN), fuzzy logic, Monte Carlo simulation.
     

Namun, banyak metode ini belum mampu menangani kompleksitas proyek modern seperti integrasi multiproyek, analisis skenario waktu-biaya, dan perhitungan dampak lingkungan.

Solusi Masa Depan: Smart Decision Support System

Penulis paper menyarankan pengembangan model berbasis AI yang mampu menyaring PDM optimal secara real-time berdasarkan karakteristik proyek, preferensi pemilik, dan kriteria 4.0. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah Markov Decision Process (MDP), yang telah berhasil diterapkan di beberapa proyek manajemen konstruksi di Afrika.

Kritik dan Rekomendasi Tambahan

Kekuatan Paper

  • Kajian sistematis yang komprehensif.

  • Pemodelan evolusi dalam empat fase yang jelas.

  • Menyediakan kerangka hubungan antara PDM, kriteria, dan metode seleksi.
     

Ruang untuk Peningkatan

  • Perlu studi empiris lebih lanjut yang membandingkan efektivitas PDM 4.0 vs 3.0 secara kuantitatif.

  • Masih minim integrasi antara inovasi digital dan keberlanjutan sebagai satu kesatuan utuh.

  • Belum banyak studi yang mengeksplorasi konteks negara berkembang seperti Indonesia atau Nigeria, di mana tantangan infrastruktur dan sumber daya sangat berbeda.
     

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

  1. Regulator: Perlu mendorong penggunaan kriteria pemilihan berbasis keberlanjutan dan teknologi melalui kebijakan dan insentif.

  2. Pemilik Proyek: Disarankan untuk mulai beralih dari pendekatan tradisional ke IPD atau lean delivery, terutama untuk proyek kompleks.

  3. Konsultan & Kontraktor: Harus meningkatkan kompetensi dalam teknologi digital dan prinsip keberlanjutan agar relevan dengan metode PDM 4.0.

  4. Akademisi: Perlu menjembatani kesenjangan antara evolusi teoritis dengan praktik lapangan melalui kolaborasi riset terapan.
     

Kesimpulan: Membangun Masa Depan Industri Konstruksi dengan PDM 4.0

Industri konstruksi sedang berada di persimpangan penting. Transformasi digital dan tekanan keberlanjutan menuntut pendekatan manajemen proyek yang lebih adaptif. PDM 4.0, dengan seleksi berbasis AI dan kriteria yang relevan dengan zaman, bukan hanya sebuah opsi, melainkan kebutuhan mendesak.

Paper Ahmed dan El-Sayegh tidak hanya menyajikan kritik evolusi PDM, tetapi juga membangun fondasi penting untuk masa depan manajemen konstruksi yang lebih cerdas, kolaboratif, dan berkelanjutan.

Sumber

Ahmed, S., & El-Sayegh, S. (2021). Critical Review of the Evolution of Project Delivery Methods in the Construction Industry. Buildings, 11(1), 11. https://doi.org/10.3390/buildings11010011

Selengkapnya
Transformasi Metode Pengadaan Proyek Konstruksi: Menjawab Tantangan Industri Abad ke-21

Industri 4.0

Sistem Manajemen Pembelajaran Berbasis Online dalam Era Industri 4.0 – Realita di Perguruan Tinggi Islam

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena revolusi industri 4.0 yang mengintegrasikan media elektronik dan internet dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Model pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mendukung proses belajar jarak jauh yang mandiri. Sejumlah platform daring—seperti Zoom, Google Classroom, WhatsApp, serta Moodle dan YouTube—dipergunakan sebagai media pembelajaran virtual. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa penggunaan aplikasi daring yang sudah familiar bagi guru dan siswa dapat memotivasi keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (misalnya aplikasi yang sudah dikuasai siswa). Misalnya, mahasiswa dapat belajar dari mana saja tanpa harus hadir secara fisik, sehingga akses pembelajaran daring lebih fleksibel dan tidak memakan banyak waktu.

Namun, sejumlah kajian juga menunjukkan tantangan signifikan dalam konteks e-learning. Ketersediaan layanan internet yang tidak merata dan tidak stabil di beberapa wilayah menghambat partisipasi aktif siswa. Beberapa siswa kesulitan mengikuti kelas daring karena sinyal lemah sehingga terjadi gangguan komunikasi dan keterlambatan pengumpulan tugas. Selain itu, biaya kuota internet yang ditanggung siswa menimbulkan beban tersendiri. Dalam implementasi pembelajaran daring, video konferensi (seperti Zoom) terbukti memakan kuota lebih besar dibanding aplikasi pesan instan (WhatsApp). Meski demikian, dalam studi blended learning, penggunaan Zoom dan WhatsApp tetap dipilih karena terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa secara daring.

Secara teoritis, penggunaan platform dan media digital didukung oleh karakteristik era Industri 4.0, di mana sistem siber-fisik dan konektivitas internet memungkinkan fitur seperti sensor, perangkat pintar, dan interaksi manusia-mesin. Penelitian terdahulu menunjukkan penerapan Learning Management System (LMS) berbasis elektronik di institusi pendidikan meningkatkan pencapaian belajar dan direkomendasikan diimplementasikan untuk mencapai tujuan kurikulum. Media pembelajaran daring yang menarik (misalnya video kuliah, forum akademik) juga mendapat penerimaan tinggi oleh mahasiswa. Penelitian eksperimental lain menyimpulkan media interaktif elektronik lebih efektif dibanding media konvensional. Oleh karena itu, pemanfaatan media elektronik dalam LMS mendukung sistem pembelajaran hybrid atau blended learning. Konteks pandemi COVID-19 mempercepat adopsi sistem pembelajaran elektronik secara masif, karena kebijakan pembelajaran jarak jauh oleh pemerintah. Meskipun demikian, penelitian ini mengamati bahwa setelah pandemi, beberapa mahasiswa masih kurang siap dengan pembelajaran online: beberapa bersikap pasif atau terlambat mengumpulkan tugas, mengindikasikan kesiapan implementasi sistem daring yang belum optimal.

Dari tinjauan ini, penelitian berfokus pada persepsi mahasiswa tentang delapan platform e-learning yang digunakan di perguruan tinggi Islam di Jambi, dan mengaitkannya dengan tiga aspek penilaian: proses belajar-mengajar, kompetensi dosen, serta fasilitas dan infrastruktur. Kerangka teoritis penelitian ini berisi asumsi bahwa adopsi teknologi 4.0 dan LMS berbasis web memberikan peluang perluasan akses pembelajaran, namun juga membawa tantangan infrastruktur dan kompetensi yang perlu dianalisis secara mendalam. Tujuan penelitian jelas dirumuskan pada penggalan akhir pendahuluan: “Penelitian ini bertujuan menganalisis realitas pembelajaran berbasis online di perguruan tinggi Islam di Jambi dan menganalisis persepsi mahasiswa terhadap implementasi delapan platform LMS dalam proses pembelajaran, dilihat dari tiga aspek penilaian: aspek pembelajaran-mengajar, kompetensi dosen, dan infrastruktur”. Meski tanpa hipotesis eksplisit, struktur argumentasi penulis membangun konteks dari literatur dan observasi pendahuluan menuju pertanyaan penelitian tersebut.

Metodologi dan Kebaruan

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain survei. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di dua universitas Islam di Kota Jambi, dengan teknik purposive sampling. Kriteria responden adalah mahasiswa yang telah menjalani pembelajaran jarak jauh selama empat tahun terakhir (2019–2022) dan pernah menggunakan platform daring yang disurvei. Sampel terdiri dari 147 mahasiswa (117 di perguruan tinggi negeri, 30 di swasta). Data dikumpulkan melalui kuesioner berskala Likert yang mencakup 19 butir pertanyaan terbagi ke dalam empat kelompok: (1) penggunaan platform LMS (3 butir), (2) aspek pembelajaran-mengajar (5), (3) aspek kompetensi dosen (6), dan (4) aspek fasilitas-infrastruktur (5). Instrumen survei ini merupakan adaptasi dari studi terdahulu dan telah diuji isi. Analisis data dilakukan secara deskriptif, menghitung persentase jawaban untuk setiap pernyataan, baik frekuensi penggunaan platform maupun tingkat persetujuan terhadap pernyataan Likert.

Kebaruan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap delapan platform e-learning sekaligus dalam konteks pendidikan tinggi Islam, dengan pembobotan aspek teknologi dan akademik. Selain itu, studi ini menggabungkan penilaian persepsi mahasiswa atas penggunaannya (usage frequency) dengan preferensi dan evaluasi tiga aspek kualitas pembelajaran berbasis online. Kerangka survei yang menghubungkan delapan aplikasi populer dengan indikator pembelajaran, kompetensi dosen, dan infrastruktur jarang ditemukan dalam kajian serupa. Namun, penelitian ini tidak mengembangkan model konseptual baru maupun pengujian hipotesis statistik, melainkan murni deskriptif sesuai dengan tujuannya.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

       Penggunaan dan Preferensi Platform Daring

Hasil survei menunjukkan pola penggunaan platform LMS oleh mahasiswa. Tabel 4 mengungkap bahwa platform yang paling banyak digunakan adalah Zoom Meeting (113 responden, 76,9%), kemudian WhatsApp (93 responden, 63,3%) dan Google Classroom (88 responden, 59,9%). Platform lain seperti Google Meet (46,9%) dan YouTube (47,6%) juga cukup banyak dipakai, sedangkan platform institusi (SPIDOL-SUTHA) sekitar 30% dan Edmodo (12,9%). Penggunaan Moodle sangat rendah (1 responden, 0,7%). Paragraf hasil menyatakan bahwa mayoritas siswa memang menggunakan Zoom (hampir 77% total) sebagai platform utama, diikuti oleh penggunaan WhatsApp dan Google Classroom yang lebih dari setengah responden. Sebaliknya, Edmodo dan Moodle “sangat jarang digunakan dalam pembelajaran daring” – hanya satu mahasiswa yang memilih Moodle dalam proses pembelajaran jarak jauh. Kondisi ini konsisten dengan temuan penulis di abstrak yang menyimpulkan “Zoom, Google Classroom and Whatsapp […] were the most frequently used distance learning media”.

Selaras dengan frekuensi penggunaan, preferensi mahasiswa (tabel 5) cenderung mirip. Zoom Meeting dan Google Classroom menempati posisi teratas dengan masing-masing 44,9% responden menyatakan menyukainya. WhatsApp disukai oleh 42,2% mahasiswa, sedangkan Google Meet sekitar 30,6%. Platform berbasis video (YouTube) hanya disukai sekitar 26,5%, sementara platform institusi kampus yang khusus hanya 7,5% mahasiswa yang menganggapnya favorit. Edmodo (1,4%) dan Moodle (0,7%) merupakan platform paling tidak diminati. Narasi penulis menjelaskan bahwa tidak ada satu pun platform yang dipilih oleh mayoritas (>50%), namun Zoom dan Google Classroom berkedudukan tertinggi pada masing-masing ~45% responden. WhatsApp pun dipilih oleh lebih dari 40% karena kemudahannya dalam membentuk grup diskusi dan berbagi materi belajar, meski faktor lain (seperti keterbatasan pengiriman informasi) membuatnya tidak menjadi favorit utama. Temuan ini relevan dengan kenyataan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform yang mudah diakses dan dikenal (Zoom dan Google Classroom), sementara platform yang lebih rumit atau kurang familiar seperti Moodle diabaikan.

       Persepsi Aspek Pembelajaran Daring

Penilaian mahasiswa terhadap aspek proses pembelajaran-mengajar daring juga digambarkan secara deskriptif. Tabel 6 menunjukkan sebagian besar siswa menyatakan akses materi perkuliahan online dapat dilakukan dengan mudah: sekitar 50% memilih “Setuju” atau “Sangat Setuju” bahwa kuliah online mudah diakses. Sebagai contoh, 13,6% siswa sangat setuju dan 36,7% setuju bahwa kuliah daring dapat diakses dengan mudah. Persentase yang memilih netral relatif tinggi (38,1%), menunjukkan sebagian lain cenderung mempertimbangkan hambatan akses. Pada item kedua terkait ketepatan waktu kuliah online, sebagian besar responden memilih netral (46,3%) atau setuju (38,8% gabungan SA/A), mengindikasikan umumnya tidak ada kendala waktu yang signifikan.

Item ketiga menanyakan apakah kuliah online meningkatkan pemahaman materi. Hasilnya, 7,5% sangat setuju dan 33,3% setuju, total 41% setuju bahwa e-learning dapat mencapai sasaran belajar dan meningkatkan pemahaman, sedangkan sekitar 20% menolaknya. Artinya, hampir setengah responden cenderung melihat keberhasilan transfer pengetahuan secara daring, meski sekitar sepertiga netral dan sebagian kecil tidak sepakat. Pernyataan keempat, yang menilai kesesuaian materi daring dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS), mendapat 15,6% SA dan 49,7% A – total 65% menyetujui bahwa dosen melaksanakan pembelajaran sesuai RPS. Ini menunjukkan mahasiswa menghargai tata kelola perkuliahan daring yang terstruktur. Terakhir, perihal kemudahan pengumpulan tugas daring (misalnya tanpa perlu duplikasi fisik), sekitar 62% (SA+A) merasa sangat mudah melakukan submission tugas secara daring. Hanya sekitar 10% yang menilai adanya hambatan substansial (pilih tidak setuju), menandakan mayoritas melihat proses pengumpulan tugas telah difasilitasi secara memadai.

Secara keseluruhan, bagian pembelajaran-mengajar dinilai positif. Penulis mencatat bahwa hampir 79% mahasiswa setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kuliah daring. Lebih dari setengah mahasiswa juga menilai dosen merespons pertanyaan (51% setuju ditambah 12% sangat setuju) dan mampu menjelaskan materi kuliah secara umum. Sekitar 60% siswa menyatakan dosen aktif mendampingi jalannya kelas daring hingga selesai. Temuan ini mendukung kesimpulan penulis bahwa “responden secara umum positif terhadap aspek proses pembelajaran” dan bahwa proses pembelajaran online berjalan dengan baik walau masih perlu perbaikan untuk kasus mahasiswa yang tidak setuju.

       Persepsi Aspek Kompetensi Dosen

Penilaian terhadap kompetensi dosen juga menunjukkan kecenderungan positif. Hampir semua item kompetensi mendapatkan persentase tertinggi pada kategori “Setuju” (berkisar 46–59%). Sebagai contoh, 79% mahasiswa menyatakan setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kelas daring. Sekitar 63% setuju (dan tambahan 18% sangat setuju) bahwa dosen merespon pertanyaan serta memberikan pemahaman umum terhadap materi perkuliahan. Demikian pula, sekitar 60% menyetujui bahwa dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan menunjukkan sikap kooperatif selama pembelajaran daring. Perihal pendampingan, total 60% responden (46% setuju + 14% sangat setuju) merasakan bahwa dosen benar-benar mendampingi proses belajar hingga selesai. Persentase yang tidak setuju relatif kecil (<5%), menunjukkan mayoritas mahasiswa puas dengan kinerja pengajar dalam proses pembelajaran online. Temuan ini konsisten dengan narasi artikel bahwa “lecturers provide opportunities for students to ask questions and discuss” yang disetujui oleh hampir 80% responden. Dengan demikian, persepsi mahasiswa menunjukkan kompetensi dosen dalam pembelajaran daring dinilai memadai dan cenderung “baik” (good) secara keseluruhan.

       Persepsi Aspek Infrastruktur

Aspek fasilitas dan infrastruktur mendapatkan respons beragam. Tabel 8 mengindikasikan 62,6% (13,6% SA + 49,0% A) mahasiswa menyetujui bahwa materi pembelajaran daring tersedia dengan baik di platform online. Sekitar 29% memilih netral dan 10% merasa bahan pembelajaran tidak tersaji dengan memadai. Pada item kedua (perangkat praktikum di rumah), 9,5% sangat setuju dan 37,4% setuju – total 46,9% – merasa memiliki perangkat yang dibutuhkan, sedangkan 11,6% tidak memilikinya sama sekali. Fakta ini menegaskan bahwa sebagian mahasiswa membutuhkan ketersediaan alat dari institusi; penulis mengamati banyak yang netral karena tidak bisa menuntut penyediaan alat. Item ketiga mengonfirmasi bahwa hanya sekitar 48,3% (16,3% SA + 32% A) yang merasa data internet disediakan oleh institusi untuk pembelajaran online. Sekitar 23,8% netral dan 28% menolak pernyataan ini, sesuai kondisi bahwa subsidi kuota internet oleh kampus telah dihentikan pasca-2020. Terakhir, pada item kemudahan mengumpulkan tugas (misalnya link pengumpulan tugas), 13,6% SA dan 53,7% A (total ~67,3%) mahasiswa menyatakan proses tersebut mudah berkat fasilitas tersebut[40]. Hanya 1% yang menyatakan ketidaksetujuan, menegaskan bahwa kemudahan teknis ini telah dihadirkan oleh sebagian besar dosen.

Secara keseluruhan, mahasiswa menilai infrastruktur memadai dalam beberapa aspek (tersedianya materi online, kemudahan pengumpulan tugas), namun masih muncul tantangan pada ketersediaan perangkat praktik dan akses internet. Penulis menyoroti bahwa hanya setengah mahasiswa memiliki peralatan praktikum di rumah, dan hampir sepertiga merasa paket data harus ditanggung sendiri, menciptakan kesenjangan akses dalam pembelajaran jarak jauh. Temuan ini menunjukkan bahwa sebelum mengandalkan teknologi baru, institusi perlu menuntaskan infrastruktur dasar agar pembelajaran daring lebih merata.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Beberapa batasan metodologis penelitian perlu dicermati. Desain survei kuantitatif dengan purposive sampling mengumpulkan data persepsi dari 147 mahasiswa satu program studi (Pendidikan Bahasa Inggris) di Jambi. Metode ini memudahkan pengambilan sampel spesifik, tetapi mengurangi generalisasi hasil. Karena sampel tidak acak dan hanya mencakup jurusan tertentu, hasilnya sulit digeneralisasi ke semua mahasiswa perguruan tinggi Islam atau disiplin ilmu lain. Selain itu, instrumen berupa kuesioner Likert hanya menghasilkan data deskriptif; penulis menganalisis hasil dengan persentase tanpa melakukan uji statistik inferensial. Tidak terdapat pengujian signifikansi antara kelompok atau korelasi antar variabel (misalnya pengaruh infrastruktur terhadap kepuasan belajar), sehingga kesimpulan bersifat deskriptif dan tidak dapat membuktikan hipotesis tertentu. Hal ini menimbulkan kekurangan ilmiah karena tidak ada analisis model atau uji hipotesis yang mengukur kekuatan hubungan antar aspek.

Kerangka teori dan model konseptual studi ini juga tidak dijabarkan secara eksplisit. Walaupun penulis merujuk banyak literatur pendukung, tidak terlihat adanya model atau hipotesis terukur yang diuji. Penelitian ini lebih bersifat eksploratif-deskriptif; konsekuensinya, kontribusi pada pengembangan teori e-learning menjadi terbatas. Selain itu, validitas dan reliabilitas instrumen tidak dibahas, yang penting untuk memastikan kualitas data kuantitatif. Metode purposive sampling dapat menyebabkan bias pilihan responden yang lebih paham atau tertarik dengan teknologi, sehingga persepsi mahasiswa secara keseluruhan mungkin terdistorsi. Secara statistik, karena menggunakan data ordinal dari skala Likert, analisis deskriptif tanpa uji lebih lanjut mengabaikan variabilitas antar individu. Dengan kata lain, signifikansi perbedaan (misalnya preferensi Zoom vs. Google Meet) tidak diuji, sehingga tidak dapat diketahui apakah selisih persentase tersebut bermakna.

Meski demikian, metodologi survei kuantitatif ini sesuai dengan tujuan mengetahui persepsi umum. Penulis berhasil memetakan penggunaan platform dan menilai tiga aspek penting melalui data kuantitatif sederhana. Namun, untuk studi lanjutan, diperlukan metode campuran (misalnya wawancara pendalam) atau eksperimen intervensi untuk mengukur efektivitas nyata LMS tertentu. Secara keseluruhan, desain penelitian sudah menjawab tujuan deskriptif, tapi lebih banyak modifikasi diperlukan agar temuan dapat dijadikan dasar kebijakan atau model konseptual yang lebih kuat.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Penelitian ini menawarkan wawasan praktis dan implikasi bagi pengembangan e-learning dan pendidikan tinggi. Temuan bahwa Zoom, Google Classroom, dan WhatsApp paling banyak digunakan dan disukai menandakan kebutuhan pengembangan teknologi pembelajaran yang mudah diakses. Institusi dapat memfokuskan pelatihan dan dukungan pada platform-platform populer tersebut, sekaligus meningkatkan integrasi antara LMS kampus dengan media sosial agar pengajar lebih termotivasi menggunakan sistem yang sudah dikenal. Hasil positif pada aspek pembelajaran dan kompetensi dosen menunjukkan bahwa elemen pedagogis dan kelengkapan materi sudah memadai; penelitian selanjutnya dapat menggali bagaimana perbaikan lebih lanjut (misalnya optimasi konten multimedia atau interaksi real-time) dapat meningkatkan proses belajar daring. Temuan kendala infrastruktur (misalnya alat praktikum, kuota) menunjukkan perlunya upaya pengurangan digital divide – dapat menjadi topik riset lanjutan, misalnya mengevaluasi program subsidi atau pengembangan perangkat praktikum murah berbasis internet.

Secara ilmiah, kajian mendatang dapat membangun model konseptual yang lebih komprehensif, misalnya dengan menguji teori penerimaan teknologi (TAM) atau model belajar daring yang menghubungkan variabel motivasi, self-efficacy, dan satisfaction. Data survei yang ada menyiratkan adanya hubungan antar aspek (misalnya kualitas infrastruktur berdampak pada persepsi kemudahan belajar), namun belum dieksplorasi secara statistik. Oleh karena itu, analisis lanjutan dengan metode inferensial (uji t, ANOVA, regresi, atau SEM) dapat mengungkap faktor determinan keberhasilan e-learning. Penelitian eksperimen, misalnya memantau hasil belajar spesifik setelah pelatihan penggunaan LMS, akan menguatkan bukti empiris dan signifikansi statistik keterkaitan teknologi pendidikan.

Dalam ranah praktis dan kebijakan, hasil ini relevan dengan tren perkembangan e-learning terkini. Walaupun pandemi telah mereda, adaptasi terhadap era 4.0 mendorong pengembangan pembelajaran hibrid dan smart campus. Temuan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform sederhana mengindikasikan bahwa pengembangan LMS ke depan harus mempertimbangkan antarmuka yang intuitif dan keterpaduan dengan aplikasi mobile. Selain itu, refleksi data menunjukkan tantangan nyata: kemampuan guru dalam memanfaatkan platform, keterbatasan jaringan internet, dan masalah integritas (misalnya kecurangan ujian) masih perlu perhatian. Riset masa depan sebaiknya mengeksplorasi solusi berbasis teknologi mutakhir—misalnya penggunaan AI tutor, augmented reality (AR) dalam praktikum, atau sistem deteksi plagiarisme—untuk menanggulangi hambatan tersebut. Pada akhirnya, hasil penelitian ini menggarisbawahi bahwa kemajuan e-learning tidak hanya soal teknologi, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan manusia. Temuan positif soal penerapan e-learning selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam di era 4.0 memiliki landasan bagus untuk inovasi berkelanjutan di bidang pendidikan tinggi.

📚 Sumber Asli:

Monalisa, Mahmudah, K., Hasanah, I. A., Pratama, A., Sumardi, M. S., Putri, R., Fitria, W., Rozal, E., & Alhazzy, R. (2023). Online-based Learning Management System in the Industrial Revolution 4.0 Era: Reality in Islamic Higher Education. Journal of Education Technology, 7(2), 247–260. Universitas Pendidikan Ganesha. https://doi.org/10.23887/jet.v7i2.56612

Selengkapnya
Sistem Manajemen Pembelajaran Berbasis Online dalam Era Industri 4.0 – Realita di Perguruan Tinggi Islam

Industri 4.0

Inovasi Model Bisnis Berbasis AI di Industri Manufaktur – Studi Kasus Siemens

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 13 Agustus 2025


Sumber: Davor Androcec, AI-Driven Business Model Innovation in Manufacturing Industry: An In-Depth Look at Siemens, Aalborg University. Tautan resmi universitas

Pendahuluan

Dunia manufaktur sedang mengalami pergeseran besar akibat penerapan teknologi Artificial Intelligence (AI). AI adalah teknologi yang memungkinkan sistem komputer meniru kecerdasan manusia, seperti menganalisis data, memprediksi kejadian, atau mengambil keputusan. Di industri, AI tidak hanya menjadi alat bantu otomatisasi, tapi juga menjadi pendorong transformasi model bisnis.

Paper karya Davor Androcec ini menganalisis bagaimana Siemens AG, salah satu perusahaan manufaktur dan teknologi terbesar di dunia, memanfaatkan AI untuk mengubah model bisnisnya. Fokus utama penelitian ini ada pada tiga teknologi yang telah diimplementasikan Siemens:

  1. MindSphere IoT Platform – platform Internet of Things berbasis cloud yang menghubungkan mesin dan perangkat untuk mengumpulkan serta menganalisis data secara real-time.
  2. Predictive Maintenance – sistem pemeliharaan prediktif berbasis AI yang meminimalkan downtime dan biaya perbaikan dengan memprediksi kegagalan peralatan sebelum terjadi.
  3. Digital Twin – teknologi yang membuat representasi digital dari objek atau proses fisik, memungkinkan simulasi dan optimasi tanpa menghentikan produksi.

Penelitian ini menggunakan Innovation Impact Analysis Model (IIAM) untuk mengukur dampak inovasi, Business Model Canvas (BMC) untuk memetakan perubahan model bisnis, Cost-Benefit Analysis untuk menilai kelayakan finansial, serta Systems Thinking dan Causal Loop Diagrams (CLDs) untuk memahami hubungan dan pola antar-komponen bisnis.

Latar Belakang Siemens dan Relevansinya

Siemens berdiri sejak 1847 di Jerman dan berkembang dari perusahaan telegraf menjadi konglomerat teknologi global. Bidang usahanya meliputi energi, kesehatan, infrastruktur, dan otomasi industri. Sejak awal, Siemens punya budaya inovasi yang kuat, terlihat dari berbagai pencapaian seperti kereta listrik pertama (1881) hingga transformasi digital melalui inisiatif Vision 2020 dan Vision 2020+.

Perusahaan ini menjadi contoh ideal untuk mengkaji integrasi AI karena:

  • Memiliki portofolio teknologi luas yang mencakup otomasi, digitalisasi, dan solusi infrastruktur pintar.
  • Berinvestasi besar dalam R&D dan teknologi masa depan.
  • Menghadapi tekanan global untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan mempercepat inovasi.

Metode Penelitian dalam Paper

Penulis menggunakan pendekatan mixed methods (gabungan kualitatif dan kuantitatif). Data dikumpulkan dari:

  • Publikasi resmi Siemens
  • Laporan industri
  • Literatur akademis
  • Studi kasus penerapan teknologi AI

Analisis difokuskan pada:

  • BMC sebelum dan sesudah integrasi AI.
  • Dampak tiap teknologi (MindSphere, Predictive Maintenance, Digital Twin) terhadap komponen model bisnis.
  • Pola perubahan melalui CLDs.
  • Analisis manfaat-biaya untuk mengukur kelayakan investasi.

Transformasi Model Bisnis Siemens

1. Sebelum Integrasi AI

Sebelum AI, Siemens mengandalkan model bisnis tradisional manufaktur:

  • Produk utama: perangkat keras industri seperti sensor, aktuator, PLC, dan sistem kontrol.
  • Value proposition: kualitas tinggi, keandalan, dan kesesuaian dengan standar industri.
  • Hubungan pelanggan: interaksi reaktif (pelanggan hubungi saat ada masalah).
  • Sumber daya utama: tenaga kerja terampil, fasilitas produksi, hak paten.
  • Pendapatan: penjualan produk, kontrak layanan, pelatihan, dan lisensi perangkat lunak.
  • Biaya: produksi, R&D, dukungan pelanggan, pemasaran.

2. Sesudah Integrasi AI

AI mengubah hampir semua blok BMC:

Key Activities

  • MindSphere → menambah aktivitas pengumpulan dan analisis data sebagai bagian inti bisnis.
  • Predictive Maintenance → mengubah strategi pemeliharaan dari reaktif ke proaktif.
  • Digital Twin → memungkinkan uji coba dan optimasi proses di lingkungan virtual sebelum implementasi nyata.

Key Resources

  • Data menjadi aset utama.
  • Infrastruktur cloud (Google Cloud untuk MindSphere).
  • Model machine learning dan simulasi digital.

Key Partnerships

  • Kolaborasi dengan penyedia cloud global.
  • Kemitraan dengan universitas dan pusat riset untuk mengembangkan model AI.

Value Proposition

  • Personalisasi produk dan layanan.
  • Efisiensi operasional dan pengurangan biaya.
  • Pengurangan risiko kegagalan peralatan.

Customer Segments

  • Tetap melayani industri energi, kesehatan, infrastruktur, manufaktur berat.
  • Masuk ke pasar baru seperti smart city dan perusahaan berbasis data.

Customer Relationships

  • Beralih ke pendekatan proaktif dan berbasis data.
  • Pemantauan berkelanjutan dan saran optimasi otomatis.

Channels

  • Digitalisasi interaksi melalui MindSphere.
  • Layanan jarak jauh dan monitoring online.

Cost Structure

  • Biaya awal besar untuk pengembangan AI.
  • Penghematan dari efisiensi dan downtime rendah.

Revenue Streams

  • Model langganan (subscription) untuk MindSphere.
  • Layanan tambahan berbasis Digital Twin.
  • Kontrak pemeliharaan prediktif.

Analisis Teknologi Satu per Satu

A. MindSphere IoT Platform

Fungsi: Menghubungkan berbagai perangkat industri untuk mengumpulkan data operasional secara real-time dan menganalisisnya.
Dampak praktis:

  • Mengurangi waktu analisis masalah di pabrik.
  • Memungkinkan pemantauan dari jarak jauh.
  • Menjadi basis layanan AI lainnya seperti Digital Twin dan Predictive Maintenance.

Cost-Benefit:

  • Biaya pengembangan: €10–20 juta (estimasi).
  • Pendapatan baru: langganan dan layanan analitik.
  • Efek jangka panjang: platform ini mengumpulkan data yang makin memperkuat kemampuan AI Siemens.

B. Predictive Maintenance

Fungsi: Menggunakan data sensor dan AI untuk memprediksi kapan mesin akan rusak sehingga perawatan bisa dilakukan tepat waktu.
Dampak praktis:

  • Penurunan downtime 70–75%.
  • Penghematan biaya pemeliharaan 15–30%.
  • Peningkatan umur peralatan.

Cost-Benefit:

  • Investasi awal besar (~€150 juta).
  • ROI positif karena penghematan biaya dan peningkatan produksi.

C. Digital Twin

Fungsi: Menciptakan salinan digital dari mesin atau proses produksi.
Dampak praktis:

  • Uji coba desain dan optimasi tanpa menghentikan produksi.
  • Kustomisasi produk berdasarkan simulasi.
  • Integrasi data real-time dari MindSphere untuk akurasi tinggi.

Cost-Benefit:

  • Biaya pengembangan tinggi (bagian dari strategi €2 miliar Siemens).
  • Mengurangi biaya R&D dan mempercepat time-to-market.

Pola Perubahan Berdasarkan CLDs

CLDs menunjukkan tiga pola reinforcing loops dan beberapa balancing loops:

  1. Loop Data Collection (MindSphere) → Data → Analitik → Kepuasan Pelanggan → Adopsi Lebih Luas → Data Tambahan.
  2. Loop Efisiensi Biaya (Predictive Maintenance) → Prediksi → Perawatan Tepat Waktu → Downtime Turun → Biaya Turun → Investasi Ulang.
  3. Loop Inovasi Kustomisasi (Digital Twin) → Simulasi → Produk Sesuai Kebutuhan → Kepuasan Pelanggan → Data Balik untuk Perbaikan.

Implikasi: Sistem ini saling memperkuat, sehingga tiap teknologi tidak berdiri sendiri, tapi memberi efek sinergis.

Opini dan Kritik

Kekuatan Penelitian

  • Menggunakan banyak kerangka analisis (IIAM, BMC, CLDs, Cost-Benefit).
  • Memberi gambaran konkret perubahan model bisnis, bukan hanya teknologi.
  • Menunjukkan hubungan antar-teknologi yang membentuk ekosistem inovasi.

Kekurangan

  • Data biaya sebagian besar berupa estimasi, bukan angka resmi.
  • Tidak membandingkan strategi Siemens dengan kompetitor seperti GE atau ABB.
  • Tantangan implementasi (misal resistensi budaya perusahaan) tidak banyak dibahas.

Pelajaran untuk Industri Lain

  • Mulai dari proyek dengan dampak cepat: Predictive Maintenance sering jadi pintu masuk karena ROI cepat.
  • Bangun infrastruktur data lebih dulu: MindSphere menunjukkan bahwa AI butuh fondasi data yang kuat.
  • Gunakan simulasi untuk mengurangi risiko: Digital Twin bisa mencegah investasi gagal di lini produksi.

Kesimpulan

Integrasi AI di Siemens mengubah model bisnis dari berfokus pada perangkat keras menjadi berbasis layanan dan data. MindSphere, Predictive Maintenance, dan Digital Twin bukan hanya meningkatkan efisiensi, tapi juga menciptakan sumber pendapatan baru. Dampak jangka panjangnya adalah peningkatan kepuasan pelanggan, daya saing, dan kemampuan inovasi berkelanjutan.

Bagi industri manufaktur lain, pelajaran utamanya jelas: AI bukan sekadar teknologi, tapi strategi bisnis yang harus terintegrasi ke model bisnis secara menyeluruh. Tantangannya adalah investasi awal dan pengelolaan data, tapi manfaat jangka panjangnya sangat besar jika dijalankan dengan benar.

Selengkapnya
Inovasi Model Bisnis Berbasis AI di Industri Manufaktur – Studi Kasus Siemens
page 1 of 3 Next Last »