Air Bersih

Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Keberlanjutan PAMSIMAS Penting untuk Masa Depan Air Bersih Indonesia?

Akses air minum layak dan sanitasi aman adalah fondasi kesehatan dan kemajuan desa. Namun, tantangan besar masih membayangi Indonesia, terutama di wilayah pedesaan yang sering tertinggal dalam hal infrastruktur dan pengelolaan air bersih. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) hadir sejak 2006 sebagai salah satu inisiatif terbesar di dunia untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga 2022, PAMSIMAS telah menjangkau lebih dari 25,6 juta penduduk di lebih dari 37.000 desa di 37 provinsi1.

Namun, pertanyaan besarnya: apakah sistem air bersih yang dibangun benar-benar berfungsi dan bertahan lama? Artikel ini merangkum temuan riset terbaru tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberfungsian (functionality) PAMSIMAS, lengkap dengan data, studi kasus, dan refleksi kritis untuk masa depan air bersih desa yang lebih berkelanjutan.

Gambaran Umum: Capaian dan Tantangan PAMSIMAS

Statistik Kunci PAMSIMAS

  • Jumlah proyek: 28.936 sistem PAMSIMAS di 33 provinsi (data 2020)2.
  • Status fungsional: 85,4% berfungsi penuh, 9,1% sebagian, 5,5% tidak berfungsi.
  • Wilayah tertinggi tidak berfungsi: Kalimantan (8,6%), Sulawesi (8,5%).
  • Wilayah terbaik: Bali (100% sistem berfungsi penuh), Lampung (97%).
  • Rata-rata penerima manfaat per desa: 510 jiwa (median), dengan variasi antar wilayah.
  • Jenis sambungan: 83,9% sambungan rumah tangga, 16,1% sambungan komunal.

Tantangan Utama

  • Kesenjangan geografis: Wilayah timur Indonesia lebih rentan terhadap kegagalan sistem.
  • Kondisi keuangan pengelola desa: Hanya 62% rata-rata desa yang memiliki kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan)1.
  • Partisipasi perempuan: Rata-rata hanya 25% anggota pengelola air desa adalah perempuan, jauh di bawah target 40% yang diamanatkan PAMSIMAS.
  • Risiko iklim: Drought (kekeringan) dan kenaikan muka air laut mengancam lebih dari 12.000 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa1.

Studi Kasus: Kinerja dan Risiko Sistem Air Bersih Desa

1. Fungsi Sistem di Berbagai Provinsi

Analisis data nasional menunjukkan 15 provinsi memiliki proporsi sistem berfungsi penuh di bawah 87%. Bali menjadi satu-satunya provinsi dengan 100% sistem berfungsi. Di sisi lain, Kalimantan dan Sulawesi mencatat tingkat kegagalan tertinggi, menandakan perlunya perhatian khusus untuk wilayah ini1.

2. Dampak Risiko Iklim

  • Kekeringan: 13 provinsi dikategorikan berisiko tinggi kekeringan, mengancam lebih dari 12.500 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa.
  • Kenaikan muka air laut: 15 provinsi berisiko tinggi banjir rob, berdampak pada 14.500 sistem dan 67 juta penduduk desa.
  • Kualitas air: Lima provinsi memiliki kurang dari 25% sumber air yang bebas kontaminasi feses, mengancam kesehatan masyarakat secara luas.

3. Kondisi Keuangan Pengelola Air Desa

Hanya enam provinsi yang masuk kategori rendah risiko keuangan (lebih dari 84% desa memiliki keuangan sehat). Sebaliknya, lebih dari 15.000 sistem PAMSIMAS berada di provinsi dengan risiko keuangan tinggi, melayani sekitar 43 juta penduduk desa1.

Analisis Faktor Penentu Keberfungsian Sistem PAMSIMAS

1. Manajemen dan Tata Kelola

  • Desa dengan manajemen pengelola air (BPSPAMS/KPSPAMS) yang baik (memiliki daftar aset, pembukuan, rencana kerja, dan kemitraan) jauh lebih mungkin memiliki sistem yang berfungsi penuh.
  • Kombinasi manajemen kuat, kondisi keuangan sehat, dan sambungan rumah tangga meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh hingga 98% (baseline 87%)2.

2. Sistem Pembayaran dan Tarif Air

  • Tidak adanya sistem pembayaran air meningkatkan risiko sistem tidak berfungsi hingga 20 kali lipat dibandingkan desa yang menerapkan tarif2.
  • Sistem komunal lebih sering tidak menarik iuran dibandingkan sambungan rumah tangga (38,9% vs 3,5%).

3. Jenis Sambungan

  • Sambungan rumah tangga jauh lebih andal: hanya 0,6% yang tidak berfungsi, dibandingkan 31,1% pada sambungan komunal.

4. Partisipasi Perempuan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan air desa berkorelasi positif dengan keberfungsian sistem.
  • Hanya 32,5% desa yang memenuhi target minimal 40% perempuan di pengelola air desa, menandakan perlunya penguatan aspek gender.

5. Partisipasi Masyarakat

  • Menariknya, tingginya partisipasi masyarakat awal justru berkorelasi dengan sistem yang tidak berfungsi. Hal ini diduga karena euforia awal tidak selalu berlanjut menjadi kepemilikan dan tanggung jawab jangka panjang2.

6. Investasi Per Kapita

  • Investasi per kapita yang tinggi (umumnya di wilayah terpencil dan rumah tersebar) justru berkorelasi negatif dengan keberfungsian sistem. Hal ini menandakan perlunya studi kelayakan ekonomi yang lebih matang sebelum membangun sistem di wilayah-wilayah ini.

Studi Kasus: Dampak Kombinasi Faktor pada Keberfungsian Sistem

Skenario optimis dari model Bayesian menunjukkan bahwa kombinasi tiga faktor utama—manajemen baik, kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan), serta sambungan rumah tangga—dapat meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh dari 87% menjadi 98%2. Sebaliknya, sistem tanpa pembayaran dan hanya sambungan komunal memiliki peluang kegagalan hingga 23%.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

1. Perkuat Tata Kelola dan Monitoring

  • Perlu penguatan kapasitas dan monitoring pengelola air desa (BPSPAMS/KPSPAMS), termasuk pelatihan manajemen dan pelaporan keuangan.
  • Pengumpulan data dan update sistem secara berkala harus menjadi standar, agar pemerintah pusat dapat memantau dan mengintervensi lebih cepat.

2. Wajibkan Sistem Pembayaran Air

  • Sistem tanpa iuran terbukti tidak berkelanjutan. Pemerintah dan fasilitator desa harus memastikan setiap sistem air menerapkan tarif yang realistis dan adil.

3. Dorong Sambungan Rumah Tangga

  • Sambungan rumah tangga lebih berkelanjutan daripada sistem komunal. Perlu insentif dan kemudahan agar masyarakat mau berinvestasi pada sambungan pribadi.

4. Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

  • Target minimal 40% perempuan di pengelola air desa harus ditegakkan dan dikawal, karena terbukti meningkatkan keberfungsian sistem.

5. Studi Kelayakan Ekonomi di Wilayah Tertinggal

  • Untuk wilayah dengan rumah tersebar dan akses sulit, perlu pendekatan investasi berbeda agar tidak membebani masyarakat dan meminimalisir kegagalan sistem.

6. Antisipasi Risiko Iklim

  • Daerah rawan kekeringan dan kenaikan air laut harus menjadi prioritas adaptasi, misalnya dengan diversifikasi sumber air, perlindungan sumber air, dan teknologi tahan iklim.

Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global

Penelitian terkait di Afrika menunjukkan pola serupa: sistem air desa yang dikelola komunitas sering gagal jika tidak ada pembayaran, manajemen lemah, atau investasi tidak efisien. Namun, Indonesia punya keunikan dalam skala program dan tantangan geografis. Negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman PAMSIMAS dalam mengintegrasikan aspek gender, monitoring nasional, serta adaptasi terhadap risiko iklim.

Tantangan dan Peluang Masa Depan

  • Data dan monitoring: Masih banyak data yang tidak lengkap, terutama dari wilayah terpencil. Perlu inovasi digital untuk pelaporan berbasis aplikasi.
  • Keadilan sosial: Desa dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung lebih rentan kegagalan sistem. Subsidi silang dan bantuan teknis perlu diprioritaskan.
  • Kesiapan menghadapi perubahan iklim: PAMSIMAS generasi baru harus lebih responsif terhadap risiko iklim dan inklusi sosial (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion/GEDSI).

Kesimpulan: Menuju Sistem Air Bersih Desa yang Tangguh dan Inklusif

Keberhasilan PAMSIMAS tidak hanya diukur dari jumlah sistem yang dibangun, tetapi dari berapa banyak yang benar-benar berfungsi dan bertahan lama. Kunci keberlanjutan ada pada tata kelola yang baik, sistem pembayaran yang adil, keterlibatan perempuan, serta adaptasi terhadap risiko iklim dan sosial. Dengan pembenahan di titik-titik kritis ini, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam penyediaan air bersih desa yang tangguh dan inklusif.

Sumber artikel:
D. Daniel, Trimo Pamudji Al Djono, Widya Prihesti Iswarani. (2023). Factors related to the functionality of community-based rural water supply and sanitation program in Indonesia. Geography and Sustainability, 4, 29–38.

Selengkapnya
Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Air Bersih

Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Akses air minum bersih adalah hak dasar, namun pada 2020, sekitar 387 juta orang di Afrika Sub-Sahara (SSA) masih belum memilikinya. Bahkan, 38% penduduk Kenya dan 55% penduduk Siaya County—wilayah studi utama dalam paper ini—masih bergantung pada sumber air yang tidak layak. Target SDG 6 “air bersih untuk semua” diprediksi sulit tercapai pada 2030, dengan 1,6 miliar orang di dunia tetap tanpa akses air aman jika tren saat ini berlanjut1.

Permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan air, tapi pada kegagalan proyek air minum untuk beroperasi secara berkelanjutan. Antara 30–60% sistem air di pedesaan SSA rusak atau tidak berfungsi setelah dibangun. Ironisnya, banyak proyek air hanya dinilai dari keberadaan infrastrukturnya, bukan dari fungsionalitas atau kualitas layanan. Akibatnya, ratusan juta dolar terbuang setiap tahun untuk membangun atau memperbaiki proyek yang gagal, menciptakan lingkaran setan kegagalan dan pemborosan dana pembangunan1.

Keterbatasan Pendekatan Lama: Fragmentasi dan Siloed Thinking

Literatur selama ini cenderung membahas kegagalan proyek air minum dari sudut pandang sempit—misal hanya aspek teknis, ekonomi, atau sosial saja. Pendekatan ini menutupi akar masalah dan mengabaikan keterlibatan multi-pemangku kepentingan lintas level, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga global. Padahal, proyek air minum adalah sistem kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, ekonomi, teknologi, lingkungan, tata kelola, dan politik di berbagai level1.

Framework Holistik: Holistic Integrated Framework (HIF)

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ornit Avidar mengembangkan Holistic Integrated Framework (HIF). Framework ini dirancang untuk mengevaluasi dan merencanakan keberlanjutan proyek air minum dengan mempertimbangkan:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan dari level global, nasional, regional, hingga komunitas.
  • Lima kategori utama faktor keberlanjutan: sosial-politik, ekonomi, teknologi, lingkungan, serta perencanaan dan manajemen.
  • Analisis interaksi dan feedback loop antar faktor dan antar level, sehingga akar masalah dan hubungan sebab-akibat dapat diidentifikasi secara komprehensif.

Dimensi HIF

  1. Vertikal (Stakeholders’ Levels):
    • Meta-global (lembaga internasional, donor, tren global)
    • Macro-nasional (pemerintah pusat, kementerian, regulasi nasional)
    • Meso-regional (pemerintah daerah, perusahaan air daerah, asosiasi lokal)
    • Mikro-lokal (komunitas, proyek, pengguna, komite air, pemimpin lokal)
  2. Horizontal (Faktor Keberlanjutan):
    • Perencanaan & Manajemen: Keterlibatan dalam desain, pengumpulan data, O&M, pelatihan, transparansi, exit strategy.
    • Sosial & Politik: Dinamika komunitas, budaya, sejarah, gender, partisipasi, pemberdayaan, kepercayaan, konflik.
    • Ekonomi & Pendanaan: Sumber dana, tarif, kemampuan dan kemauan membayar, keberlanjutan finansial, pendapatan lokal.
    • Teknologi: Kesesuaian teknologi, ketersediaan suku cadang, pelatihan, inovasi, biaya operasional.
    • Lingkungan: Konservasi, kualitas dan kuantitas air, perubahan iklim, dampak ekologis, keamanan air.

Framework ini juga merekomendasikan penilaian pada setiap tahap proyek: perencanaan, implementasi, pasca-implementasi, dan evaluasi.

Studi Kasus: Proyek Sidindi Malanga-African Development Bank (SM-ADB) di Siaya, Kenya

Gambaran Proyek

SM-ADB merupakan proyek flagship senilai $20 juta, bertujuan meningkatkan cakupan air bersih di Siaya County dari 25% menjadi lebih dari 50% populasi (sekitar 1 juta jiwa). Proyek ini didanai African Development Bank (ADB) dan pemerintah Kenya, serta dioperasikan oleh Siaya-Bondo Water and Sanitation Company (SIBO)1.

Secara teknis, proyek ini menggunakan sistem distribusi gravitasi yang ramah lingkungan dan hemat listrik, dengan target produksi air 24.200 m³/hari (peningkatan signifikan dari kapasitas awal 5.200 m³/hari). Namun, pada 2019, realisasi produksi hanya 7.760 m³/hari—jauh di bawah target.

Permasalahan Teknis dan Permukaan

  • Instalasi turbin air yang tidak sesuai (tidak cocok untuk air berlumpur dari Sungai Yala) menyebabkan kerusakan fasilitas.
  • 47% pipa air tidak aktif; dua dari sepuluh fasilitas utama tidak berfungsi.
  • Banyak pipa bocor atau rusak akibat kualitas pekerjaan kontraktor yang buruk.

Namun, analisis HIF menunjukkan bahwa masalah teknis hanyalah “puncak gunung es”.

Analisis Holistik: Akar Masalah dan Feedback Loop

  1. Meta-Global:
    • African Development Bank sebagai donor utama menentukan prioritas proyek (misal, fokus pada cakupan air di kota kecil), sehingga banyak komunitas pedesaan di sekitar proyek justru tidak terlayani.
    • Kontraktor asal Tiongkok memenangkan tender, namun hasil pekerjaannya buruk, memperparah masalah teknis.
    • Kurangnya supervisi dan akuntabilitas dari donor dan lembaga global.
  2. Macro-Nasional:
    • Pemerintah Kenya mengadopsi sistem devolusi (desentralisasi), namun proyek flagship tetap dikendalikan pusat, sehingga pemerintah daerah dan operator lokal tidak punya kuasa penuh.
    • Kebijakan dan pendanaan nasional tidak sinkron dengan kebutuhan daerah.
  3. Meso-Regional:
    • Pemerintah daerah (Siaya County) tidak bisa mengawasi atau mengintervensi proyek, meski bertanggung jawab kepada masyarakat.
    • SIBO sebagai operator hanya penerima proyek, tidak terlibat dalam implementasi, sehingga tidak siap mengelola fasilitas baru.
  4. Mikro-Lokal:
    • Masyarakat kecewa karena akses air tetap terbatas, banyak yang menolak membayar atau bahkan merusak infrastruktur.
    • Ketidakpercayaan dan demoralisasi muncul karena kegagalan proyek sebelumnya, memperkuat lingkaran setan kegagalan.

Feedback Loops yang Teridentifikasi

  • Lingkaran ekonomi: Proyek gagal menghasilkan pendapatan, sehingga tidak mampu membiayai perbaikan atau ekspansi, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan memperburuk keuangan perusahaan.
  • Lingkaran akuntabilitas: Banyaknya aktor pada berbagai level menyebabkan kebingungan tanggung jawab, sehingga tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab saat proyek gagal.
  • Lingkaran kemiskinan: Masyarakat miskin tidak mampu membayar air, perusahaan air kekurangan dana, sehingga layanan memburuk dan masyarakat makin miskin.
  • Lingkaran demoralisasi: Kegagalan berulang membuat masyarakat kehilangan harapan dan enggan berpartisipasi dalam proyek baru.

Pelajaran Penting dari Studi Kasus

  1. Kegagalan proyek air minum di SSA bukan sekadar masalah teknis, tapi hasil interaksi kompleks berbagai faktor lintas level.
  2. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan—dari donor global hingga komunitas lokal.
  3. Desain proyek harus mempertimbangkan konteks lokal, baik dari sisi teknologi, sosial-budaya, maupun ekonomi.
  4. Akuntabilitas dan supervisi harus jelas di semua level, agar tidak terjadi “no one is responsible” ketika proyek bermasalah.
  5. Feedback loop negatif harus diidentifikasi dan diputus, misal dengan memperkuat kapasitas operator lokal, memperbaiki sistem pendanaan, dan membangun kepercayaan masyarakat.

Nilai Tambah Framework HIF untuk Praktisi dan Peneliti

Framework HIF menawarkan alat analisis dan perencanaan yang lebih komprehensif dibanding pendekatan konvensional yang fragmentaris. Dengan memetakan semua aktor dan faktor, serta menganalisis interaksi dan feedback loop, HIF membantu:

  • Mengidentifikasi akar masalah yang tersembunyi di balik isu teknis.
  • Merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, misal dengan memperkuat kapasitas pengelola lokal, memperbaiki tata kelola, atau mengadaptasi teknologi.
  • Menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, sehingga investasi pembangunan tidak terbuang sia-sia.
  • Meningkatkan peluang tercapainya SDG 6 dan “Water for All” di Afrika Sub-Sahara dan negara berkembang lain.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Framework HIF sangat relevan untuk konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek air minum pedesaan. Namun, implementasi HIF membutuhkan sumber daya, waktu, dan komitmen lintas sektor yang besar. Tantangan lain adalah resistensi birokrasi dan budaya organisasi yang masih sering bekerja dalam silo. Meski begitu, pendekatan holistik seperti HIF penting untuk menghindari kegagalan proyek yang berulang.

Studi lain di Ghana dan Kenya juga menegaskan pentingnya partisipasi komunitas dan rasa kepemilikan dalam keberlanjutan proyek air minum. Namun, partisipasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh tata kelola yang baik, pendanaan berkelanjutan, dan teknologi yang sesuai2. HIF melengkapi temuan tersebut dengan menekankan pentingnya analisis multi-level dan multi-faktor.

Implikasi untuk Industri, Pemerintah, dan Donor

  • Donor internasional: Harus memastikan keterlibatan dan penguatan kapasitas aktor lokal, bukan sekadar transfer dana dan teknologi.
  • Pemerintah nasional dan daerah: Perlu memperjelas pembagian tugas, memperkuat supervisi, dan memastikan proyek sesuai kebutuhan lokal.
  • Operator air dan komunitas: Didorong untuk aktif dalam perencanaan, pemeliharaan, dan evaluasi proyek, serta membangun kepercayaan dan rasa kepemilikan bersama.

Kesimpulan

Keberlanjutan proyek air minum di pedesaan Afrika Sub-Sahara sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua faktor dan pemangku kepentingan lintas level. Framework HIF yang dikembangkan dalam studi ini menawarkan alat penting untuk mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan memutus lingkaran kegagalan proyek air minum. Dengan komitmen dan kolaborasi nyata, target “Water for All” bukanlah mimpi yang mustahil.

Sumber asli:
Ornit Avidar. (2024). A holistic framework for evaluating and planning sustainable rural drinking water projects in sub-Saharan Africa. Journal of Rural Studies, 107, 103243.

Selengkapnya
Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Air Bersih

Hak Atas Air Bersih sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Air Bersih, Hak Asasi, dan Tantangan Global

Air bersih bukan hanya kebutuhan dasar, melainkan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang bermartabat. Dalam konteks global, pengakuan atas hak ini semakin menguat seiring krisis air bersih yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Paper “Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” oleh Fachriza Cakrafaksi Limuris (Jurnal Jentera, 2021) mengupas secara mendalam posisi strategis hak atas air bersih dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta tantangan implementasinya di Indonesia12.

Hak Atas Air Bersih dalam Perspektif HAM Internasional

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Turunannya

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948 menjadi tonggak utama pengakuan hak-hak dasar manusia di seluruh dunia. Pasal 25 UDHR menegaskan setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan. Meskipun air bersih tidak disebutkan secara eksplisit, hak ini diakui sebagai komponen vital dari standar hidup yang layak134.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966 memperkuat hal ini melalui Pasal 11 dan 12, yang menegaskan hak atas standar hidup layak dan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Komentar Umum No. 15 Komite PBB (2003) secara eksplisit menyatakan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia yang tak terpisahkan dari hak atas standar hidup layak dan kesehatan123.

Resolusi PBB 2010: Pengakuan Global

Pada 28 Juli 2010, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 64/292 yang secara tegas mengakui hak atas air minum yang aman dan bersih serta sanitasi sebagai hak asasi manusia. Negara-negara diminta menyediakan sumber daya, transfer teknologi, dan kerja sama internasional untuk memastikan akses air bersih dan sanitasi bagi semua orang, terutama di negara berkembang13.

Dimensi Hak Atas Air: Kebebasan dan Kepemilikan Hak

Paper ini menguraikan dua dimensi utama hak atas air:

  • Kebebasan: Jaminan akses non-diskriminatif terhadap air minum yang aman dan sanitasi, serta perlindungan dari gangguan atau pemutusan akses secara sewenang-wenang.
  • Kepemilikan Hak: Hak atas sistem pasokan air dan manajemen yang adil, hak untuk mendapatkan air dalam jumlah memadai, hak atas akses air di tahanan, serta hak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan air di tingkat nasional dan lokal12.

Standar Minimum Hak Atas Air

Menurut Komentar Umum No. 15 dan Fact Sheet No. 35 PBB, unsur-unsur hak atas air meliputi:

  • Kecukupan: WHO merekomendasikan 50-100 liter air per orang per hari untuk kebutuhan dasar. Akses minimum 20-25 liter per hari dianggap tidak memadai untuk kesehatan optimal.
  • Keamanan: Air harus bebas dari mikroba, parasit, zat kimia, dan bahaya radiologi. Kualitas air juga harus dapat diterima secara estetis (tidak berbau, berwarna, atau berasa).
  • Akses Fisik: Fasilitas air dan sanitasi harus mudah dijangkau, aman, dan memperhatikan kelompok rentan seperti perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
  • Keterjangkauan: Biaya air tidak boleh menghalangi akses, terutama bagi kelompok miskin. Rumah tangga tidak boleh dibebani biaya air secara tidak proporsional12.

Krisis Air Bersih: Fakta Global dan Nasional

Data dan Tren Global

  • Hanya 0,5% air dunia yang tersedia bagi manusia dan ekosistem; sisanya berupa air beku di kutub1.
  • 70% air tawar dunia digunakan untuk pertanian.
  • Pada 2010, kebutuhan pangan global naik 70%, menyebabkan kebutuhan air pertanian melonjak 19%.
  • Lebih dari 1 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses air layak, dan jumlah ini terus bertambah, terutama di wilayah perkotaan13.

Tantangan di Indonesia

  • Peningkatan populasi dan urbanisasi memperbesar tekanan pada sumber air.
  • Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menurunkan kelestarian dan kualitas air.
  • Pencemaran air oleh limbah domestik, industri, dan pertanian menjadi penyebab utama krisis air bersih di banyak wilayah14.
  • Sungai-sungai di kota besar seperti Jakarta mengalami pencemaran berat, mengancam kesehatan masyarakat dan ekosistem.

Studi Kasus: Implementasi Hak Atas Air di Indonesia

Swastanisasi Air dan Akses Publik

Pengelolaan air di Indonesia pernah didominasi swasta, terutama di kota-kota besar. Namun, pengalaman menunjukkan swastanisasi seringkali tidak meningkatkan akses air bersih secara adil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 menegaskan negara harus tetap menjadi pengelola utama sumber daya air demi kemakmuran rakyat1.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2019: Titik Balik Regulasi

UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air menjadi tonggak baru perlindungan hak atas air di Indonesia. UU ini mengatur:

  • Prioritas utama: Hak rakyat atas air untuk kebutuhan pokok sehari-hari (60 liter/orang/hari).
  • Prioritas kedua: Air untuk pertanian rakyat.
  • Prioritas ketiga: Air untuk kebutuhan usaha yang menunjang kebutuhan pokok1.
  • Konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air menjadi tiga pilar utama pengelolaan sumber daya air.

UU ini juga menegaskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengelolaan air serta perlindungan masyarakat adat dalam konservasi air.

Studi Lapangan: Krisis Air di Daerah Perkotaan dan Pedesaan

Penelitian di berbagai daerah seperti Jakarta, Lampung, dan kawasan pedesaan menunjukkan:

  • Kota besar: Pencemaran sungai dan air tanah oleh limbah domestik dan industri menyebabkan air tidak layak konsumsi. Banyak warga miskin kota bergantung pada air galon atau sumur dangkal yang kualitasnya tidak terjamin.
  • Pedesaan: Akses air bersih masih mengandalkan air tanah dan mata air yang rentan terhadap pencemaran dan perubahan iklim. Infrastruktur air bersih belum merata, terutama di wilayah terpencil14.

Analisis Kritis: Tantangan Implementasi dan Keadilan Sosial

Hambatan Struktural

  • Keterbatasan Infrastruktur: Banyak daerah belum memiliki jaringan air bersih yang memadai.
  • Keterbatasan Anggaran: Investasi pemerintah untuk air bersih masih jauh dari kebutuhan.
  • Ketimpangan Akses: Kelompok miskin dan marginal sering menjadi korban utama krisis air14.

Dimensi Keadilan dan Partisipasi

  • Hak atas air bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga keadilan dalam distribusi, keterjangkauan harga, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  • Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air, termasuk dengan memastikan tidak ada diskriminasi, pemutusan akses sewenang-wenang, atau privatisasi yang merugikan publik123.

Integrasi dengan Agenda Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Pengelolaan air harus selaras dengan pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan pengendalian pencemaran.
  • Konservasi sumber air, pengendalian limbah, dan edukasi masyarakat menjadi kunci pencegahan krisis air di masa depan.

Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis

  1. Penguatan Regulasi dan Implementasi UU SDA: Segera terbitkan peraturan pelaksana yang mendukung UU No. 17/2019 agar perlindungan hak atas air benar-benar terwujud di lapangan.
  2. Investasi Infrastruktur Air Bersih: Prioritaskan anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan air bersih, terutama di daerah tertinggal dan kawasan rawan bencana.
  3. Pengendalian Pencemaran dan Konservasi: Perkuat penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan dorong program konservasi sumber air berbasis masyarakat.
  4. Keterlibatan Masyarakat dan Transparansi: Libatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan pengelolaan air, serta buka akses informasi publik terkait kualitas dan distribusi air.
  5. Perlindungan Kelompok Rentan: Pastikan kelompok miskin, perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas menjadi prioritas dalam kebijakan air bersih dan sanitasi.

Koneksi dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs: Hak atas air bersih sangat terkait dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan SDG 10 (Reduced Inequalities).
  • ESG: Perusahaan nasional dan multinasional kini dituntut memperhatikan aspek hak asasi dan lingkungan dalam rantai pasok air.
  • Inovasi Teknologi: Digitalisasi monitoring kualitas air, smart metering, dan solusi berbasis komunitas semakin penting untuk memperluas akses dan efisiensi pengelolaan air.

Opini dan Perbandingan dengan Studi Lain

Paper ini memperkuat temuan global bahwa hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang tak bisa ditawar. Namun, tantangan terbesar di Indonesia adalah implementasi—mulai dari regulasi, pendanaan, hingga pengawasan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang relatif kuat, namun butuh political will dan kolaborasi lintas sektor agar hak ini benar-benar dirasakan seluruh rakyat.

Air Bersih, Hak Asasi yang Wajib Dipenuhi Negara

Hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang fundamental dan jembatan menuju hak-hak lain. Indonesia sudah berada di jalur yang benar dengan ratifikasi konvensi internasional dan pengesahan UU No. 17/2019. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Prioritas ke depan adalah memperkuat regulasi, investasi infrastruktur, pengendalian pencemaran, serta memastikan keadilan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, hak atas air bersih tidak hanya menjadi norma hukum, tetapi juga realitas yang dirasakan setiap warga negara.

Sumber Asli Artikel

Fachriza Cakrafaksi Limuris. Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jurnal Jentera Volume 4, No. 2 Desember 2021, hlm. 515–532.

Selengkapnya
Hak Atas Air Bersih sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia

Air Bersih

Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Danau Eğirdir, yang terletak di bagian barat daya Turki, merupakan danau air tawar terbesar kedua di negara tersebut dan sumber utama air minum bagi wilayah sekitarnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dampak perubahan iklim, khususnya kekeringan yang berkepanjangan, serta aktivitas manusia seperti irigasi pertanian yang intensif, telah menyebabkan penurunan signifikan pada level air danau ini. Paper oleh Meltem Kacikoc dan kolega (2025) mengkaji secara mendalam perubahan level air Danau Eğirdir dalam kondisi aliran normal dan kekeringan, serta mengevaluasi berbagai alternatif mitigasi guna menjaga keamanan pasokan air di wilayah tersebut.

Studi Kasus: Penurunan Level Air dan Dampak Kekeringan

Kondisi Geografis dan Hidrologis Danau Eğirdir

Danau Eğirdir berada di provinsi Isparta, di bagian hulu DAS Antalya, dengan luas sekitar 460 km² dan kedalaman yang relatif dangkal. Level air operasional yang ditetapkan oleh otoritas berada di kisaran 914,62 mASL (minimum) hingga 918,96 mASL (maksimum), dengan volume penyimpanan antara 2.099 hingga 4.001 juta m³. Danau ini menerima aliran utama dari beberapa sungai dan saluran derivasi, serta menjadi sumber air irigasi utama untuk berbagai dataran pertanian di sekitarnya.

Penurunan Level Air dan Faktor Penyebab

Data historis menunjukkan penurunan volume air danau yang signifikan sejak 1990-an, dengan anomali aliran tahunan terendah terjadi pada tahun 2001 (-44%) dan 2021 (-50%). Penurunan ini terutama disebabkan oleh kekeringan hidrologis yang berkepanjangan dan peningkatan konsumsi air, terutama untuk irigasi pertanian. Evaporasi dari permukaan danau mencapai 347 juta m³ per tahun, hampir setara dengan volume air yang diambil untuk irigasi sebesar 301 juta m³ per tahun, sehingga tekanan terhadap keseimbangan air danau sangat besar.

Indeks Kekeringan dan Krisis Air

Indeks Water Depletion Index (WDI) yang dihitung menunjukkan bahwa Danau Eğirdir mengalami kekurangan air yang terus-menerus sejak 1990-an, dengan tingkat kekeringan yang meningkat menjadi sangat parah pada tahun 2001. Setelah 2007, meskipun curah hujan relatif lebih tinggi, konsumsi air yang meningkat drastis menyebabkan kekeringan yang parah berlanjut hingga beberapa tahun terakhir.

Metodologi: Pemodelan Hidrologi dan Simulasi Manajemen Air

Penelitian ini menggunakan perangkat lunak AQUATOOL+ dengan modul EVALHID untuk simulasi aliran hujan-limpasan dan SIMGES untuk manajemen air dan simulasi level danau. Tiga model hidrologi diuji: GR2M, Témez, dan HBV, dengan model HBV menunjukkan performa terbaik pada sebagian besar titik kalibrasi, sedangkan GR2M unggul pada satu titik. Kalibrasi model dilakukan dengan data dari 1990 hingga 2014, dan validasi menggunakan data level air dari 2016 hingga 2021 menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik (NSE 0,84 dan PBIAS 0,0002%).

Proyeksi Level Air dan Skenario Kekeringan

Penelitian ini menyusun dua skenario utama:

  • Skenario 1 (Normal): Menggunakan data aliran rata-rata dari 1990-2021 untuk memproyeksikan level air hingga 2050.
  • Skenario 2 (Kekeringan): Menggunakan periode kekeringan referensi selama 3 tahun (tahun 2001) untuk simulasi penurunan level air.

Tanpa tindakan mitigasi, skenario normal memprediksi penurunan level air di bawah ambang kritis (914,74 mASL) setelah tahun 2038, sedangkan skenario kekeringan memperkirakan penurunan terjadi lebih cepat, yaitu setelah tahun 2028. Penurunan ini berpotensi menyebabkan danau terbelah menjadi dua bagian fisik di area Kemer Boğazı, yang akan berdampak serius pada ekosistem dan ketersediaan air.

Alternatif Mitigasi: Pendekatan Terpadu untuk Keamanan Air

Berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan dan kebijakan nasional, tiga alternatif mitigasi dikembangkan dan diuji:

  1. Alternatif 1: Pembatasan irigasi defisit sebesar 30%, rehabilitasi sistem irigasi menjadi sistem pipa tertutup dan irigasi tetes, serta pemanfaatan air limbah terolah untuk irigasi.
  2. Alternatif 2: Pembatasan irigasi defisit sebesar 50% dengan langkah-langkah serupa.
  3. Alternatif 3: Pembatasan irigasi defisit 50% hanya diterapkan selama tahun 2025-2026, disertai rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar ke danau melalui saluran derivasi tambahan.

Efektivitas Alternatif Mitigasi

Simulasi menunjukkan ketiga alternatif mampu mencegah penurunan level air di bawah ambang kritis dalam kedua skenario. Namun, Alternatif 3 dipilih sebagai solusi optimal karena mampu menjaga level air dalam batas aman dengan pembatasan irigasi yang minimal dan dampak sosial ekonomi yang lebih rendah.

Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global

Penelitian ini menonjolkan pentingnya pendekatan adaptif dan mitigasi berbasis data dalam menghadapi dampak perubahan iklim pada sumber daya air tawar. Penggunaan teknologi irigasi efisien seperti irigasi tetes dan pemanfaatan air limbah terolah sejalan dengan tren global dalam konservasi air dan peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian.

Selain itu, keterlibatan aktif pemangku kepentingan lokal dalam pengembangan strategi mitigasi menunjukkan pentingnya pendekatan partisipatif untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya air. Kondisi keterbatasan data yang dihadapi di daerah pedesaan seperti sekitar Danau Eğirdir juga menjadi tantangan yang relevan bagi banyak wilayah lain di negara berkembang.

Kritik dan Rekomendasi

Meskipun model hidrologi yang digunakan telah menunjukkan hasil yang memuaskan, keterbatasan data meteorologi, khususnya tidak adanya data salju dan salju leleh, menjadi sumber ketidakpastian yang perlu diatasi pada penelitian lanjutan. Penambahan data ini dapat memperbaiki akurasi prediksi dan perencanaan pengelolaan air.

Selain itu, implementasi teknologi irigasi dan penggunaan air limbah terolah memerlukan dukungan kebijakan, insentif, dan pelatihan teknis agar dapat diterapkan secara luas dan efektif, terutama di wilayah dengan keterbatasan sumber daya.

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan menguji berbagai alternatif mitigasi untuk menjaga keamanan air Danau Eğirdir di tengah tekanan perubahan iklim dan aktivitas manusia. Dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan manajemen air berbasis AQUATOOL+, ditemukan bahwa tanpa intervensi, danau berisiko mengalami penurunan level air yang kritis dan terbelah menjadi dua bagian fisik.

Alternatif mitigasi terpadu yang menggabungkan pembatasan irigasi, rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar terbukti efektif dalam menjaga level air danau dalam batas aman. Implementasi strategi ini telah diterima dan mulai diberlakukan oleh otoritas Turki sejak Juni 2024.

Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi pengelolaan sumber daya air di daerah dengan data terbatas dan menghadapi tantangan perubahan iklim, serta menjadi referensi bagi pengembangan kebijakan dan praktik konservasi air di wilayah serupa.

Sumber Artikel

Meltem Kacikoc, Buket Mesta, Yakup Karaaslan, "Evaluating changes in water levels during periods of normal flow and drought with a specific emphasis on water withdrawal," Journal of Water and Climate Change, 2025.

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim

Air Bersih

Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Air bersih merupakan kebutuhan primer yang sangat vital bagi kehidupan manusia, tidak hanya untuk konsumsi langsung seperti minum dan memasak, tetapi juga untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, serta untuk kebutuhan pertanian dan industri. Di daerah semi-arid seperti Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), penyediaan air bersih menjadi tantangan besar karena curah hujan yang rendah dan evaporasi yang tinggi. Kelurahan Bakunase II, sebagai bagian dari Kota Kupang, menghadapi masalah ketersediaan air bersih yang semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas pembangunan. Paper oleh Lomi, Messakh, dan Tamelan (2021) ini mengkaji potensi sumber mata air Oelnaisanam sebagai solusi penyediaan air bersih bagi masyarakat setempat, termasuk pola konsumsi, proyeksi kebutuhan, dan strategi pemenuhannya12.

Potensi dan Pemanfaatan Mata Air Oelnaisanam

Mata air Oelnaisanam merupakan salah satu sumber air tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kelurahan Bakunase II untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian. Berdasarkan pengamatan lapangan selama dua hari, kapasitas pemanfaatan air dari mata air ini untuk pengambilan air tangki mencapai 1.195.000 liter (1195 m³) dengan rata-rata pengambilan 6,92 liter/detik. Pengambilan langsung oleh masyarakat dengan ember dan jerigen berkapasitas kecil mencapai 785 liter selama dua hari, dengan laju pengambilan rata-rata 0,0045 liter/detik. Selain itu, untuk kebutuhan pertanian, air dipompa dengan kapasitas motor air 450 liter/menit selama 7 jam per hari, menghasilkan konsumsi sekitar 4 liter/detik atau total 378 m³ selama dua hari pengamatan1.

Data ini menunjukkan bahwa mata air Oelnaisanam masih mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan pertanian di sekitar wilayah tersebut, dengan total pengambilan air bersih gabungan mencapai 1.574 m³ selama dua hari pengamatan, atau sekitar 18,22 liter/detik secara rata-rata1.

Pola Konsumsi Air Bersih Masyarakat Kelurahan Bakunase II

Hasil survei terhadap 30 responden menunjukkan pola konsumsi air bersih rata-rata per orang per hari sebesar 75 liter, yang masih jauh di bawah standar kebutuhan air bersih untuk kota besar yaitu 150-175 liter/orang/hari. Rincian konsumsi harian meliputi:

  • Minum: 5 liter
  • Memasak: 6 liter
  • Mencuci: 13 liter
  • Mandi: 25 liter
  • Kebutuhan lain-lain: 25 liter

Pola ini mencerminkan keterbatasan akses dan ketersediaan air bersih yang memaksa masyarakat untuk menghemat penggunaan air, serta masih adanya ketergantungan pada pembelian air tangki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari1.

Proyeksi Kebutuhan Air Bersih 2020-2030

Pertumbuhan penduduk Kelurahan Bakunase II yang cukup signifikan mempengaruhi kebutuhan air bersih. Berdasarkan metode Least Square, jumlah penduduk diproyeksikan meningkat dari 5.898 jiwa pada tahun 2020 menjadi 6.770 jiwa pada tahun 2030. Dengan asumsi kebutuhan air bersih per kapita meningkat dan pelayanan air bersih mencapai 100%, kebutuhan air bersih domestik diperkirakan naik dari 3,74 liter/detik pada 2020 menjadi 4,84 liter/detik pada 20301.

Proyeksi ini menegaskan perlunya strategi pengelolaan air yang efektif untuk menjamin ketersediaan air bersih yang cukup bagi masyarakat, terutama mengingat kondisi iklim semi-arid yang membatasi sumber air alami.

Strategi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih

Penelitian ini merekomendasikan beberapa strategi penting untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kelurahan Bakunase II selama dekade mendatang, antara lain:

  1. Pemanfaatan Sumber Mata Air Lain: Mengoptimalkan potensi mata air lain di wilayah tersebut untuk menambah pasokan air bersih.
  2. Pelestarian dan Pengelolaan Mata Air Oelnaisanam: Melakukan perawatan rutin, pembersihan, dan reboisasi di sekitar mata air guna menjaga kualitas dan kuantitas air.
  3. Pengendalian Pemanfaatan untuk Pertanian: Mengatur waktu dan volume pemakaian air untuk pertanian agar tidak mengganggu pasokan air domestik.
  4. Pembangunan Infrastruktur Distribusi: Menyediakan jaringan perpipaan yang dapat mendistribusikan air bersih langsung ke rumah-rumah warga, mengurangi ketergantungan pada pembelian air tangki.
  5. Pengembangan Sistem Pemanenan Air Hujan: Membangun waduk atau embung sebagai penampungan air hujan untuk menambah cadangan air selama musim kemarau.
  6. Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memelihara sumber mata air serta menghemat penggunaan air1.

Studi Kasus: Pengambilan Air Tangki dan Dampaknya

Pengambilan air tangki dari mata air Oelnaisanam menjadi solusi sementara bagi masyarakat yang jarak rumahnya cukup jauh dari sumber mata air atau yang tidak memiliki akses jaringan perpipaan. Selama dua hari pengamatan, terdapat 10 tangki air berkapasitas 5.000 liter yang melakukan pengambilan sebanyak minimal 10 kali per tangki, menghasilkan total pengambilan sekitar 615.000 liter per hari atau rata-rata 6,92 liter/detik1.

Namun, ketergantungan pada air tangki ini menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat dan tidak menjamin kontinuitas pasokan air bersih. Oleh karena itu, pembangunan jaringan perpipaan menjadi solusi jangka panjang yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Analisis dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini menonjolkan pentingnya pemanfaatan sumber mata air lokal sebagai solusi penyediaan air bersih di daerah semi-arid yang memiliki keterbatasan sumber air permukaan. Hal ini sejalan dengan studi lain yang menekankan pendekatan berbasis sumber daya lokal dan konservasi air sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk3.

Namun, dibandingkan dengan penelitian yang mengusulkan teknologi desalinasi atau pengolahan air limbah, pendekatan ini lebih sederhana dan ekonomis, sangat cocok untuk daerah dengan keterbatasan dana dan infrastruktur seperti Kelurahan Bakunase II. Kelemahan utama adalah ketergantungan pada kondisi alam yang dapat berubah dan perlunya pengelolaan yang baik agar sumber mata air tidak cepat habis atau tercemar.

Kesimpulan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif mengenai potensi dan pemanfaatan mata air Oelnaisanam sebagai sumber air bersih utama bagi masyarakat Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang. Dengan pola konsumsi saat ini yang masih di bawah standar, dan proyeksi kebutuhan yang meningkat, diperlukan strategi terpadu yang meliputi pemanfaatan sumber air alternatif, konservasi sumber mata air, pembangunan infrastruktur distribusi, serta peningkatan kesadaran masyarakat.

Pemanfaatan mata air Oelnaisanam saat ini mampu memenuhi kebutuhan air bersih domestik dan pertanian dengan kapasitas rata-rata 18,22 liter/detik. Namun, untuk menjamin ketersediaan air bersih yang berkelanjutan dan merata, pembangunan jaringan perpipaan dan sistem pemanenan air hujan menjadi langkah strategis yang perlu segera direalisasikan.

Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini merekomendasikan perlunya studi lanjutan yang lebih mendalam, terutama dalam hal perhitungan debit air secara akurat dan desain jaringan perpipaan yang efektif untuk distribusi air bersih ke seluruh masyarakat. Selain itu, kajian tentang dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari pemanfaatan mata air juga penting untuk memastikan keberlanjutan sumber daya air di wilayah ini1.

Sumber Artikel:
Richard Albertho Lomi, Jakobis J. Messakh, dan Paul G. Tamelan, "Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang," Jurnal Batakarang, Vol. 2, No. 1, Edisi Juni 2021, ISSN 2747-0512.

Selengkapnya
Pemanfaatan Air Bersih untuk Kebutuhan Rumah Tangga dari Mata Air Oelnaisanam di Kelurahan Bakunase II, Kota Kupang

Air Bersih

Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Ketersediaan air bersih menjadi isu krusial di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan urban yang mengalami pertumbuhan pesat dan perubahan fungsi lahan. Kota Bogor, yang dikenal sebagai "kota hujan", justru menghadapi tantangan air bersih akibat keterbatasan air tanah dan kualitas air yang menurun. Paper karya Budiman Budiman, Renea Shinta Aminda, dan Syaiful Syaiful dari Universitas Ibn Khaldun Bogor ini menawarkan solusi konkret melalui pemanfaatan air hujan dengan sistem filtrasi sederhana, khususnya di Perumahan Taman Pagelaran Ciomas Bogor1.

Artikel ini akan mengupas tuntas gagasan, metodologi, hasil, serta relevansi penelitian tersebut dalam konteks kebutuhan air bersih nasional, tren urban sustainability, dan potensi replikasi di wilayah lain.

Mengapa Air Hujan? Menjawab Kebutuhan dan Konservasi

Konteks Permasalahan

  • Banyak daerah di Indonesia kekurangan air bersih karena kuantitas dan kualitas air tanah yang rendah.
  • Urbanisasi mengurangi ruang terbuka hijau (RTH), memperparah limpasan air hujan dan menurunkan resapan air tanah.
  • Pengelolaan air yang kurang baik menyebabkan air hujan terbuang sia-sia sebagai limpasan, bahkan berkontribusi pada banjir1.

Solusi yang Ditawarkan

  • Memanfaatkan air hujan sebagai sumber air alternatif untuk kebutuhan harian dan mengurangi ketergantungan pada PDAM.
  • Menggunakan alat filtrasi sederhana agar air hujan yang digunakan memenuhi standar kualitas air bersih sesuai PP RI No. 82 Tahun 2001 dan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air1.

Sistem Panen Air Hujan: Komponen dan Standar Kualitas

Komponen Sistem Panen Air Hujan (Rainwater Harvesting System)

Menurut Efrilianita (2018), sistem panen air hujan terdiri dari lima komponen utama1:

  1. Permukaan Daerah Tangkapan: Atap bangunan sebagai area penangkapan air hujan.
  2. Talang dan Pipa Downspout: Mengalirkan air dari atap ke penampungan. Ukuran talang minimal 3-5 inch, pipa 3-8 inch.
  3. Saringan Daun & First Flush Diverters: Menyaring kotoran dan air hujan pertama yang membawa kontaminan.
  4. Tangki Penampungan: Volume disesuaikan dengan kebutuhan dan curah hujan setempat.
  5. Pemurnian dan Penyaringan: Proses akhir untuk menjamin air layak konsumsi, terutama jika digunakan sebagai air minum.

Klasifikasi Mutu Air

Berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001, air dibagi menjadi empat kelas, mulai dari air baku minum (kelas 1) hingga air untuk irigasi (kelas 4). Sistem filtrasi sederhana bertujuan meningkatkan kualitas air hujan agar minimal mencapai kelas 2, bahkan dapat digunakan untuk air minum setelah proses filtrasi lanjutan1.

Studi Kasus: Implementasi di Taman Pagelaran Ciomas Bogor

Desain dan Proses Pembuatan Alat Filtrasi

Bahan-bahan:

  • Botol bekas 1500 ml & 2000 ml
  • Pasir silika (2 kg)
  • Zeolit (1 kg)
  • Karbon aktif (1 kg)
  • Spons/kapas
  • Ember, cutter, tali, gunting, tang

Susunan Media Filtrasi:

  1. Kapas/spons (paling bawah)
  2. Karbon aktif
  3. Pasir silika
  4. Zeolit (paling atas)

Fungsi Setiap Media:

  • Pasir silika: Menyaring lumpur dan partikel kasar.
  • Zeolit: Menyerap logam berat dan kapur.
  • Karbon aktif: Menghilangkan bau dan menyerap zat organik.
  • Kapas/spons: Menyaring partikel halus dan memperjelas air1.

Proses Pembuatan:

  • Semua bahan dicuci bersih, lalu disusun berlapis dalam botol yang sudah dipotong.
  • Air hujan yang tertampung di toren dialirkan ke alat filtrasi ini sebelum digunakan1.

Biaya Pembuatan

  • Estimasi biaya total: Rp40.000,-
    • Pasir silika 2 kg: Rp12.000,-
    • Zeolit 1 kg: Rp5.000,-
    • Kapas: Rp8.000,-
    • Karbon aktif 1 kg: Rp15.000,-
  • Bahan mudah didapat, alat dapat dibuat sendiri oleh masyarakat tanpa keahlian khusus1.

Hasil Uji Coba: Efektivitas Filtrasi

Pengujian Sampel Air

  • Sampel air keruh sebanyak 1 liter dimasukkan ke alat filtrasi.
  • Setelah melalui proses penyaringan, air berubah menjadi jernih dan tidak berbau.
  • Zeolit efektif menyaring partikel besar seperti tanah dan lumut, pasir dan kapas menyaring partikel halus, karbon aktif menghilangkan bau dan zat organik.
  • Semakin tebal lapisan media, semakin baik hasil filtrasi1.

Kapasitas Penampungan

  • Volume bak penampungan yang digunakan: 10 m³.
  • Dengan curah hujan tinggi di Bogor, sistem ini mampu menampung air dalam jumlah besar untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari1.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Penelitian

  • Praktis dan Ekonomis: Alat filtrasi sederhana ini sangat murah dan mudah diaplikasikan, cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Replikasi Mudah: Dapat diterapkan di berbagai wilayah dengan sedikit modifikasi sesuai kebutuhan lokal.
  • Dampak Lingkungan Positif: Mengurangi limpasan air hujan, membantu konservasi air tanah, dan meminimalisir risiko banjir1.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Skala: Alat ini ideal untuk kebutuhan rumah tangga, namun untuk skala komunitas besar perlu desain lebih besar dan sistem pemeliharaan yang baik.
  • Kualitas Air: Untuk konsumsi langsung (air minum), filtrasi sederhana ini perlu dilengkapi dengan desinfeksi (misal, klorinasi atau UV) untuk membunuh mikroorganisme patogen.
  • Kesadaran dan Edukasi: Diperlukan edukasi berkelanjutan agar masyarakat rutin memelihara alat filtrasi dan memahami pentingnya pemanfaatan air hujan.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Penelitian Novia et al. (2019) juga membuktikan efektivitas sistem filtrasi sederhana berbasis media lokal untuk air baku, namun menekankan pentingnya monitoring kualitas air secara berkala.
  • Di negara-negara seperti Australia dan India, sistem rainwater harvesting telah menjadi bagian dari regulasi bangunan baru, menunjukkan tren global pengelolaan air berkelanjutan yang bisa diadopsi di Indonesia.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urban Sustainability

Urban Water Management

  • Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya menghadapi masalah serupa: penurunan muka air tanah, banjir, dan kekurangan air bersih.
  • Implementasi sistem panen air hujan dan filtrasi sederhana dapat menjadi solusi jangka menengah untuk mengurangi beban PDAM dan meningkatkan ketahanan air di perkotaan.

Potensi Integrasi dengan Smart City

  • Sistem monitoring kualitas air berbasis IoT dapat diintegrasikan pada penampungan air hujan untuk memastikan keamanan air secara real-time.
  • Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau subsidi alat filtrasi untuk mendorong adopsi lebih luas.

Studi Kasus Lanjutan: Simulasi Potensi Penghematan

Simulasi Penghematan Biaya Air

Misal, satu rumah tangga di Bogor dengan kebutuhan air 200 liter/hari dapat memenuhi 50% kebutuhan dari air hujan selama musim hujan (6 bulan/tahun).

  • Kebutuhan air selama 6 bulan: 200 liter x 30 hari x 6 bulan = 36.000 liter (36 m³)
  • Jika 50% dipenuhi dari air hujan: 18 m³
  • Tarif PDAM rata-rata: Rp4.000/m³
  • Penghematan: 18 m³ x Rp4.000 = Rp72.000/6 bulan

Dengan biaya alat Rp40.000, investasi kembali (ROI) tercapai dalam waktu kurang dari 6 bulan, belum termasuk manfaat lingkungan dan pengurangan risiko banjir1.

Kesimpulan: Solusi Sederhana, Dampak Besar

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan dengan alat filtrasi sederhana adalah solusi murah, efektif, dan mudah diaplikasikan untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan urban. Dengan biaya rendah dan bahan yang mudah didapat, masyarakat dapat mandiri memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus berkontribusi pada konservasi lingkungan.

Agar manfaatnya optimal, diperlukan:

  • Edukasi berkelanjutan tentang pemeliharaan alat dan pentingnya pemanfaatan air hujan.
  • Dukungan kebijakan dari pemerintah daerah, misal insentif alat filtrasi atau integrasi dalam peraturan bangunan.
  • Pengembangan sistem filtrasi lanjutan untuk air minum, serta monitoring kualitas air secara rutin.

Dengan replikasi dan inovasi berkelanjutan, sistem ini berpotensi menjadi bagian penting dari strategi pengelolaan air berkelanjutan di Indonesia.

Sumber Asli Artikel

Budiman Budiman, Renea Shinta Aminda, Syaiful Syaiful. "Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor." Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia. Diterbitkan: 21 Februari 2023.

Selengkapnya
Pemanfaatan Air Hujan Bersih dan Layak Menggunakan Alat Filtrasi Sederhana di Taman Pagelaran Ciomas Bogor
page 1 of 2 Next Last »