Mengapa Uang Saja Tidak Cukup untuk Air Bersih?
Air bersih adalah kebutuhan dasar manusia dan fondasi pembangunan berkelanjutan. Namun, di banyak negara berkembang, layanan air bersih masih jauh dari harapan meski dana infrastruktur terus digelontorkan. Apakah benar masalah utama selalu kekurangan dana? Atau ada faktor lain yang lebih menentukan? Disertasi Lerato Caroline Bapela (2017) berjudul “An Evaluation of the Relationship Between Water Infrastructure Financing and Water Provision in South Africa” membongkar mitos lama tersebut dan menawarkan sudut pandang baru yang sangat relevan, tidak hanya untuk Afrika Selatan, tapi juga negara-negara seperti Indonesia.
Artikel ini mengupas temuan utama, studi kasus, serta angka-angka penting dari penelitian Bapela, lalu mengaitkannya dengan tren global, tantangan industri, dan memberikan opini serta rekomendasi strategis yang bisa menjadi inspirasi bagi pembaca di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Latar Belakang: Krisis Air dan Dilema Investasi Infrastruktur
Afrika Selatan adalah salah satu negara di benua Afrika yang ekonominya paling maju, namun tetap menghadapi krisis air bersih yang akut. Pada 1994, dari sekitar 40 juta penduduk, 15,2 juta di antaranya belum memiliki akses air bersih. Bahkan setelah dua dekade reformasi, jutaan orang masih kekurangan layanan air layak. Pemerintah telah menggelontorkan investasi besar-besaran, terutama pada era 1970–1980, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Urbanisasi pesat dan pertumbuhan penduduk membuat infrastruktur yang ada tak mampu mengejar kebutuhan.
Fenomena ini juga terjadi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana proyek air bersih kerap gagal memenuhi ekspektasi meski dana besar sudah dialokasikan.
Metodologi: Analisis Data dan Faktor Multi-Dimensi
Bapela menggunakan data arsip nasional Afrika Selatan dari periode 1994 hingga 2014. Data yang dianalisis meliputi pendanaan infrastruktur air, tingkat layanan air, efektivitas tata kelola, korupsi, kekerasan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Analisis dilakukan dengan regresi OLS fixed effect untuk melihat hubungan antar variabel secara objektif dan mendalam.
Temuan Utama: Dana Bukan Segalanya
1. Tidak Ada Hubungan Signifikan antara Pendanaan dan Layanan Air
Salah satu temuan paling mengejutkan adalah tidak terdapat hubungan signifikan antara besaran dana infrastruktur air dan peningkatan layanan air. Hasil regresi statistik menunjukkan p-value sebesar 0,06, lebih besar dari batas signifikansi 0,05. Artinya, menambah dana saja tidak otomatis memperbaiki akses air bersih masyarakat.
2. Faktor Non-Finansial Lebih Berpengaruh
Penelitian ini justru menemukan bahwa faktor-faktor seperti korupsi, kekerasan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat jauh lebih menentukan kualitas layanan air. Beberapa angka penting dari penelitian Bapela antara lain:
- Setiap kenaikan 1% dalam akuntabilitas dapat meningkatkan layanan air hingga 124%.
- Setiap kenaikan 1% tingkat korupsi menurunkan layanan air lebih dari 4%.
- Peningkatan 1% kekerasan sosial menurunkan layanan air lebih dari 3%.
- Keterlibatan masyarakat (voice) sangat berpengaruh; setiap kenaikan 1% dapat meningkatkan layanan air hingga 249%.
3. Layanan Air Mempengaruhi Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
Analisis lanjutan menunjukkan bahwa peningkatan akses air berbanding lurus dengan penurunan kemiskinan dan peningkatan produksi pangan. Setiap kenaikan 1% layanan air, tingkat kemiskinan turun dan produksi sereal naik hingga 553%. Ini membuktikan bahwa layanan air bersih adalah katalisator utama pembangunan ekonomi dan sosial.
Studi Kasus: Afrika Selatan sebagai Cermin Negara Berkembang
Kesenjangan Investasi dan Realitas Lapangan
Pada tahun 2011, kekurangan investasi infrastruktur air di Afrika Selatan diperkirakan lebih dari R600 miliar per tahun. Meski ada peningkatan dana, layanan air tetap stagnan di banyak daerah, terutama pedesaan. Di sisi lain, praktik korupsi, birokrasi yang lemah, dan minimnya pengawasan membuat dana yang besar tidak berdampak signifikan pada layanan air.
Dampak Sosial: Protes dan Kekerasan
Kekurangan air bersih sering memicu protes sosial yang berujung pada kekerasan. Banyak warga melakukan boikot pembayaran, sambungan ilegal, hingga menggugat pemerintah secara hukum. Ini menunjukkan bahwa kegagalan layanan air bukan hanya soal teknis, tapi juga berdampak pada stabilitas sosial dan politik.
Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan Penelitian
Kelebihan Studi
- Pendekatan holistik: Tidak hanya melihat aspek keuangan, tapi juga tata kelola, sosial, dan politik.
- Model konseptual baru: Menawarkan kerangka kerja yang bisa diadaptasi negara berkembang lain.
- Relevansi global: Temuan bisa diaplikasikan di banyak negara yang menghadapi tantangan serupa.
Keterbatasan
- Data sekunder: Ketergantungan pada data pemerintah bisa memunculkan bias.
- Generalisasi: Konteks politik dan sosial tiap negara berbeda, sehingga butuh penyesuaian sebelum mengadopsi model ini.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Temuan Bapela sejalan dengan studi di Asia dan Amerika Latin yang menekankan pentingnya tata kelola, pemberantasan korupsi, dan partisipasi masyarakat dalam layanan air. Di Indonesia, banyak program air bersih gagal karena hanya fokus pada proyek fisik tanpa memperbaiki tata kelola dan transparansi.
Implikasi untuk Kebijakan dan Industri
Rekomendasi Strategis
- Fokus pada tata kelola dan akuntabilitas. Pemerintah harus memperbaiki sistem pengawasan, pelaporan, dan transparansi penggunaan dana.
- Pemberantasan korupsi. Penguatan lembaga anti-korupsi dan sanksi tegas bagi pelaku sangat penting.
- Peningkatan partisipasi masyarakat. Libatkan masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi proyek air.
- Penguatan kapasitas SDM. Tingkatkan kompetensi pegawai dan pemangku kepentingan di sektor air.
- Kolaborasi multi-sektor. Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk inovasi layanan air.
Pelajaran untuk Indonesia dan Negara Berkembang Lain
- Jangan hanya mengandalkan proyek fisik. Infrastruktur tanpa tata kelola yang baik akan gagal.
- Transparansi dan partisipasi publik harus menjadi inti setiap proyek layanan publik.
- Manfaatkan teknologi digital. Digitalisasi pelaporan dan pengawasan bisa meningkatkan transparansi dan efisiensi.
Tren Global: Dari Infrastruktur Menuju Tata Kelola
Target SDGs menekankan pentingnya akses air bersih dan sanitasi yang layak, namun juga menuntut tata kelola yang transparan dan partisipatif. Kota-kota besar di negara berkembang kini menghadapi tantangan serupa, sehingga pembelajaran dari Afrika Selatan sangat relevan untuk kota-kota di Indonesia, India, dan Afrika. Teknologi digital seperti big data, IoT, dan aplikasi pelaporan masyarakat mulai diadopsi untuk meningkatkan akuntabilitas dan layanan.
Opini dan Kritik: Menembus Mitos “Uang adalah Segalanya”
Penelitian ini membongkar mitos bahwa dana besar otomatis menghasilkan layanan air yang baik. Fakta di lapangan membuktikan, tanpa tata kelola yang baik, dana hanya akan menjadi “bensin” bagi korupsi dan inefisiensi. Studi ini menegaskan pentingnya pendekatan holistik: infrastruktur, tata kelola, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus berjalan bersama.
Namun, penelitian ini juga perlu dilengkapi dengan data primer dan pendekatan kualitatif untuk memahami dinamika sosial dan politik di balik angka-angka statistik. Adaptasi model ke konteks lokal sangat penting agar rekomendasi benar-benar bisa diimplementasikan.
Kesimpulan: Paradigma Baru Pembangunan Layanan Air Bersih
Studi Bapela menegaskan bahwa pembiayaan infrastruktur hanyalah salah satu bagian dari ekosistem layanan air bersih. Keberhasilan layanan air sangat ditentukan oleh tata kelola, akuntabilitas, pemberantasan korupsi, dan partisipasi masyarakat. Negara berkembang seperti Indonesia dapat mengambil pelajaran penting: investasi besar harus diimbangi dengan reformasi tata kelola dan pemberdayaan masyarakat jika ingin mencapai target layanan air berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.
Sumber
Lerato Caroline Bapela. (2017). "An Evaluation of the Relationship Between Water Infrastructure Financing and Water Provision in South Africa". Doctoral Thesis, University of Limpopo.