Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan
Kolombia, negara dengan kekayaan air permukaan melimpah, ternyata menghadapi krisis air domestik di wilayah pedesaan dan peri-urban. Artikel ilmiah "Inefficiencies in water supply and perceptions of water use in peri-urban and rural water supply systems: case study in Cali and Restrepo, Colombia" (Callejas Moncaleano et al., 2024) menyoroti fenomena mengejutkan: keterbatasan pasokan air tidak semata akibat ketersediaan sumber, melainkan juga karena tata kelola, infrastruktur usang, dan persepsi penggunaan air.
Latar Belakang Penelitian
Meskipun Kolombia memiliki permukaan air berlimpah, hanya 40% masyarakat pedesaan yang memiliki akses ke air perpipaan (SSPD, 2019). Tingginya angka Non-Revenue Water (NRW)—antara 40–48% di wilayah urban dan tidak tersedia di pedesaan—menunjukkan adanya kebocoran masif dan ketidakefisienan sistem.
Metodologi
Studi ini dilakukan di 8 sistem air (4 pedesaan dan 4 peri-urban) di Valle del Cauca. Data dikumpulkan melalui survei lintas sektor terhadap 965 rumah tangga (respon rate 96%), observasi infrastruktur, pengukuran aliran air, dan wawancara mendalam dengan pengelola air. Estimasi penggunaan air dilakukan dengan metode self-reported water use.
Hasil Temuan Utama
1. Pola Perilaku Penggunaan Air:
2. Perbedaan Wilayah Peri-Urban vs Pedesaan:
3. Faktor Kontekstual:
4. Efisiensi Sistem Pasokan Air:
5. Kapasitas Kelembagaan:
Analisis & Implikasi
Penelitian ini menegaskan bahwa inefisiensi tidak hanya bersumber dari infrastruktur buruk, tetapi juga dari perilaku pengguna dan kelembagaan pengelola air. Menariknya, sistem di wilayah peri-urban yang lebih muda dan terdidik justru lebih efisien dalam tata kelola, meski menggunakan lebih banyak air.
Studi Kasus Kunci
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Efisiensi sistem air domestik tidak hanya soal pasokan, tapi juga manajemen, kesadaran, dan struktur sosial. Wilayah peri-urban Kolombia menjadi bukti bahwa kemajuan tata kelola bisa dicapai meskipun dengan tantangan demografi dan urbanisasi. Namun tanpa dukungan teknologi, kebijakan adaptif, dan peningkatan kapasitas SDM, inefisiensi akan terus menjadi hambatan utama dalam pencapaian SDG 6.
Sumber : Callejas Moncaleano, D.C., Pande, S., Haeffner, M., Rodríguez Sánchez, J.P., & Rietveld, L. (2024). Inefficiencies in water supply and perceptions of water use in peri-urban and rural water supply systems: case study in Cali and Restrepo, Colombia. Frontiers in Water, 6, Article 1389648.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan
Sistem panen air hujan (rainwater harvesting systems/RWHs) kerap digunakan sebagai solusi adaptif untuk menghadapi kekeringan dan ketidakpastian pasokan air. Artikel berjudul Benefits, equity, and sustainability of community rainwater harvesting structures: An assessment based on farm scale social survey oleh Alam et al. (2022) menyajikan hasil riset lapangan terhadap 492 petani di wilayah semi-kering Gujarat, India. Fokus utama studi ini adalah pada struktur check dam (CD), dengan pendekatan sosial dan psikologis berbasis model RANAS.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi:
Metodologi dan Lokasi Studi
Survei dilakukan di daerah tangkapan air Kamadhiya (1.150 km²), di wilayah semi-kering Saurashtra, Gujarat. Wilayah ini bergantung pada akuifer dangkal berbatu keras yang hanya menyimpan sedikit air dari tahun ke tahun. Sampel petani disusun secara proporsional berdasarkan ukuran lahan: marginal (<1 ha), kecil (1–2 ha), menengah (2–4 ha), dan besar (>4 ha).
Temuan Utama
Manfaat Check Dam:
Distribusi Manfaat Tidak Merata:
Keberlanjutan dan Partisipasi:
Analisis Statistik & Model RANAS:
Isu Keberlanjutan
Penelitian ini menyoroti bahwa keberlanjutan CD sangat bergantung pada rasa kepemilikan masyarakat. Minimnya partisipasi menyebabkan petani tidak merasa bertanggung jawab terhadap struktur ini. Pemerintah perlu menegakkan protokol pascaproyek, termasuk pembentukan kelompok pengguna air dan dana pemeliharaan.
Dampak Tidak Terduga
Rekomendasi Artikel
Kesimpulan
Check dam memang memberikan manfaat, terutama pada tahun basah, namun tidak cukup efektif sebagai solusi kekeringan di wilayah semi-kering dengan akuifer dangkal. Distribusi manfaat yang tidak merata dan rendahnya partisipasi masyarakat menjadi tantangan utama. Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan RWHs tidak hanya tergantung pada desain teknis, melainkan pada partisipasi sosial dan keberlanjutan institusional.
Sumber:
Alam, M.F., McClain, M.E., Sikka, A., Daniel, D., & Pande, S. (2022). Benefits, equity, and sustainability of community rainwater harvesting structures: An assessment based on farm scale social survey. Frontiers in Environmental Science, 10:1043896.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Kabut Menjadi Harapan
Di tengah krisis air global, kotakota di wilayah kering menghadapi tantangan eksistensial. Salah satunya adalah Alto Hospicio (AH), kota di gurun Atacama, Chile, yang bergantung pada akuifer purba yang terakhir terisi 10.000 tahun lalu. Artikel karya Carter et al. (2025) mengangkat pendekatan inovatif: panen kabut (fog harvesting) sebagai sumber air alternatif. Dengan menggabungkan pengamatan lapangan dan model numerik AMARU, studi ini menilai potensi kabut sebagai sumber air pelengkap untuk konsumsi manusia, irigasi ruang hijau, dan pertanian hidroponik.
Konteks SosioHidrologis: Ketimpangan dan Ketergantungan
Chile memiliki ratarata ketersediaan air 53.952 m³ per kapita per tahun, namun distribusinya timpang. Di utara, termasuk AH, ketersediaan air <1.000 m³ per kapita, jauh di bawah ambang batas kelangkaan air. AH sendiri berkembang pesat sebagai kota satelit dari Iquique, dihuni oleh kelompok berpenghasilan rendah dan migran. Pada 2023, 46 permukiman informal di AH menampung lebih dari 10.000 keluarga, sebagian besar tanpa akses air bersih. Hanya 1,6% dari permukiman ini terhubung ke jaringan air, sisanya bergantung pada truk air atau sambungan ilegal.
Mengapa Kabut? Potensi yang Terlupakan
Kabut pesisir di Chile utara, dikenal sebagai camanchaca, terbentuk dari interaksi antara arus Humboldt yang dingin dan tekanan tinggi Pasifik. Kabut ini menyelimuti wilayah antara 500–1.200 m dpl, terutama pada musim dingin dan semi. Studi ini menyoroti bahwa kabut menyumbang hingga 76% dari kejadian kelembapan atmosfer di wilayah tersebut, namun belum dimanfaatkan secara sistematis di kawasan urban.
Metodologi: Kombinasi Observasi dan Pemodelan
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama:
Standard Fog Collectors (SFC): Dua unit dipasang di AH (572 m dan 683 m dpl) untuk mengukur volume kabut selama satu tahun (2023–2024).
Model AMARU: Menggunakan data meteorologi dan satelit untuk memetakan potensi panen kabut secara spasial dan temporal.
Model ini memperkirakan volume kabut berdasarkan kandungan air cair adiabatik, kecepatan angin, dan efisiensi kolektor (25%). Validasi dilakukan dengan data dari oasis kabut Alto Patache dan pengamatan lokal.
Hasil: Potensi Nyata di Sekitar Kota
Zona dengan potensi tertinggi berada di timur laut dan tenggara AH, pada ketinggian 700–1.000 m dpl, hanya <1 km dari batas kota.
Model menunjukkan potensi panen kabut hingga 10 L/m²/hari pada puncak musim (Agustus–September), dan ratarata tahunan 2,5 L/m²/hari.
SFC di lokasi High SR mencatat puncak panen 2,5 L/m²/bulan pada Juni, dengan kabut hadir terutama pukul 00:00–09:00 saat kelembapan mencapai 100%.
Studi Kasus: Tiga Aplikasi Strategis
1. Air untuk Konsumsi Manusia
Permukiman informal menerima 300.000 L air per minggu via truk, dengan biaya tahunan USD 23.482.
Dengan potensi panen 2,5 L/m²/hari, dibutuhkan 17.000 m² jaring untuk memenuhi kebutuhan ini.
Solusi ini dapat mengurangi ketergantungan pada truk dan meningkatkan ketahanan air komunitas rentan.
2. Irigasi Ruang Hijau Kota
AH memiliki 30 hektare ruang hijau, namun irigasinya bergantung pada air bersih.
Pemerintah kota mengalokasikan 100.000 L air per tahun untuk irigasi.
Dengan 110 m² jaring panen kabut, kebutuhan ini bisa dipenuhi tanpa membebani jaringan air utama.
3. Produksi Pangan Lokal (Hidroponik)
AH dulunya pusat hortikultura, kini bergantung pada pasokan dari wilayah lain.
Hidroponik menggunakan 0,5 L/m²/hari, dan 1 m² bisa menghasilkan 3–4 kg sayuran/bulan.
Dengan 2,5 L/m²/hari, 1 m² jaring bisa mendukung 5 m² hidroponik, menghasilkan 15–20 kg sayuran/bulan.
Kualitas air kabut sangat baik, rendah padatan terlarut, cocok untuk hidroponik tanpa perlakuan tambahan.
Kritik dan Tantangan
Model AMARU dikalibrasi dengan data dari lokasi 65 km selatan, sehingga perlu validasi lebih lanjut di AH.
Variabilitas musiman tinggi: kabut hanya tersedia 6 bulan/tahun, sehingga penyimpanan air menjadi krusial.
Kualitas udara urban dapat memengaruhi kualitas air kabut—perlu studi lanjutan tentang kontaminan atmosfer.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Global
Studi ini juga membuka peluang replikasi di kotakota arid lain seperti Lima (Peru), Muscat (Oman), atau bahkan pesisir selatan Jawa yang mengalami kabut musiman.
Kesimpulan: Kabut sebagai Jalan Menuju Keadilan Air
Carter et al. (2025) menunjukkan bahwa kabut bukan sekadar fenomena atmosfer, tapi peluang nyata untuk keadilan air. Dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif, panen kabut bisa menjadi bagian dari solusi urban yang berkelanjutan, terutama bagi komunitas yang paling terdampak oleh krisis air. Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tapi juga seruan untuk membayangkan ulang masa depan kotakota kering—dengan kabut sebagai sekutu, bukan hambatan.
Sumber Artikel : Carter, V., Verbrugghe, N., LobosRoco, F., del Río, C., Albornoz, F., & Khan, A. Z. (2025). Unlocking the fog: assessing fog collection potential and need as a complementary water resource in arid urban lands—the Alto Hospicio, Chile case. Frontiers in Environmental Science, 13, 1537058. https://doi.org/10.3389/fenvs.2025.1537058
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Air, Budaya, dan Kompleksitas Tata Kelola
Air bukan sekadar sumber daya alam—ia adalah cerminan nilai, relasi sosial, dan identitas budaya. Artikel karya Heinrichs dan Rojas (2022) mengangkat pertanyaan mendasar: Sejauh mana teori dan nilai budaya telah diintegrasikan dalam riset dan praktik tata kelola air? Melalui tinjauan sistematis terhadap 52 studi lintas negara, artikel ini mengungkap dominasi pendekatan tertentu, keterbatasan implementasi nilai budaya, serta peluang untuk membangun kerangka kerja yang lebih inklusif dan kontekstual.
Dominasi Cultural Theory dan Keterbatasannya
Dari 52 studi yang dianalisis, Cultural Theory karya Mary Douglas (dengan empat kategori: egalitarian, hierarchist, individualist, fatalist) mendominasi literatur, terutama dalam konteks manajemen air. Teori ini populer karena kesederhanaannya dan kemampuannya untuk dikodekan dalam model statistik atau simulasi perilaku.
Namun, pendekatan ini cenderung statis dan homogen, kurang mampu menangkap dinamika nilai lokal atau adat yang lebih kompleks. Misalnya, dalam studi CastillaRho et al., Cultural Theory digunakan untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah di AS, Australia, dan India. Meskipun berhasil secara teknis, pendekatan ini menyederhanakan realitas sosial yang lebih beragam.
Munculnya Indigenous Knowledges dan Nilai Pluriversal
Tren baru yang muncul adalah meningkatnya penggunaan Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis, terutama di Australia. Nilainilai seperti lore, spiritualitas, heritage, dan placebased identity mulai diakui sebagai bagian penting dari tata kelola air.
Namun, artikel ini mencatat bahwa pengakuan terhadap nilai adat masih terbatas pada wacana, belum menjadi dasar pengambilan kebijakan atau desain model. Misalnya, nilai seperti country dan river sering disebut, tetapi tidak diintegrasikan dalam alat pengambilan keputusan.
Perbedaan Nilai antara Manajemen dan Tata Kelola Air
Analisis frekuensi kata menunjukkan perbedaan mencolok:
Hal ini mencerminkan bias teknokratis dalam manajemen air, yang sering mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang lebih dalam.
Asal Disiplin Teori Budaya: Dominasi Antropologi dan Lingkungan
Sebagian besar teori budaya yang digunakan berasal dari antropologi dan ilmu lingkungan. Cultural Theory dan Moral Economy of Water berasal dari antropologi, sementara Cultural Ecosystem Services dan Value Landscape Theory berasal dari lingkungan.
Namun, hanya sedikit studi yang secara eksplisit merefleksikan asalusul disipliner teori yang mereka gunakan. Ini menjadi masalah karena tanpa refleksi epistemologis, pendekatan yang digunakan bisa tidak sesuai dengan konteks sosial yang diteliti.
Implementasi Praktis: Masih Terbatas pada Statistik
Dari 52 studi, hanya 30 yang mengimplementasikan nilai budaya secara nyata, dan sebagian besar melalui:
Contoh menarik adalah studi oleh Koehler et al. yang mengaitkan nilai budaya dengan penggunaan pompa air di Afrika. Namun, pendekatan ini masih jarang dan belum menjadi arus utama.
Kritik dan Rekomendasi: Dari Teori Tunggal ke Teori Plural
Penulis mengusulkan pergeseran dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan “theories of culture” yang lebih fleksibel dan kontekstual. Salah satu alternatif yang disarankan adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang mencakup 10 nilai universal seperti selfdirection, universalism, tradition, dan benevolence.
Model ini dianggap lebih adaptif dan telah divalidasi lintas negara, sehingga cocok untuk digunakan dalam pemodelan kebijakan air yang lebih inklusif.
Opini dan Koneksi Global
Artikel ini sangat relevan dalam konteks global, terutama di negaranegara berkembang seperti Indonesia yang memiliki keragaman nilai lokal dan adat. Pendekatan yang terlalu teknokratis dalam pengelolaan air sering gagal karena tidak mempertimbangkan nilainilai komunitas.
Dengan meningkatnya tantangan seperti perubahan iklim, konflik lintas sektor, dan ketimpangan akses air, pendekatan berbasis nilai budaya yang plural dan kontekstual menjadi semakin penting.
Kesimpulan: Air sebagai Cermin Nilai Sosial
Heinrichs dan Rojas menyimpulkan bahwa air bukan hanya soal kuantitas dan kualitas, tapi juga soal nilai, relasi, dan keadilan. Untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan adil, kita perlu melampaui model teknis dan mengintegrasikan nilainilai budaya secara nyata dalam kebijakan dan praktik.
Artikel ini menjadi panggilan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik, antara sains dan budaya, antara model dan makna.
Sumber Artikel :
Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan
Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik. Banyak daerahnya terdiri dari kepulauan dan wilayah terpencil yang belum sepenuhnya terlayani oleh sistem energi nasional. Buku Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil (2019) yang disusun oleh tim UGM dan didanai GEF-SGP UNDP, menjadi kontribusi penting dalam memetakan strategi transisi energi yang tidak hanya berorientasi teknologi, tetapi juga partisipatif dan berkelanjutan.
Latar Belakang dan Tujuan
Transisi energi global menekankan pentingnya pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Indonesia sendiri menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun, ketimpangan akses energi—khususnya di wilayah terpencil—menjadi tantangan utama. Buku ini menyajikan pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas dalam perencanaan dan implementasi teknologi energi terbarukan.
Metodologi dan Wilayah Studi
Studi dilakukan di empat lokasi berbeda:
Metodologi melibatkan survei sosial dan teknis, diseminasi desain, peningkatan kapasitas, serta penyusunan proposal komunitas. Model yang diterapkan bersifat bottom-up, memberi ruang bagi masyarakat untuk menjadi subjek dalam transisi energi.
Teknologi Energi Terbarukan yang Digunakan
Teknologi yang diadopsi menyesuaikan kondisi lokasi:
Studi Kasus dan Data Kunci
Analisis dan Kritik
Pendekatan transdisiplin yang diterapkan memperlihatkan efektivitas dalam menyatukan aspek teknis dan sosial. Namun, tantangan masih ada:
Keterkaitan dengan Agenda Global
Proyek ini sejalan dengan SDG 7 (Affordable and Clean Energy) dan SDG 13 (Climate Action). Selain itu, pendekatan berbasis komunitas memperkuat inklusivitas dan keadilan sosial dalam proses transisi energi.
Nilai Tambah Artikel Ini
Kesimpulan
Transisi energi di wilayah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan. Buku ini memberikan model yang dapat menjadi rujukan nasional bahkan internasional untuk pengembangan energi terbarukan yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber:
Budiarto, R., Widhyarto, D.S., Sulaiman, M., dkk. (2019). Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil. Pusat Studi Energi UGM, GEF-SGP UNDP, Yogyakarta.
Kompetensi Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Di tengah persaingan kerja yang semakin ketat dan pesatnya perkembangan teknologi industri, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut untuk benar-benar siap terjun ke dunia kerja. Namun, angka pengangguran lulusan SMK masih tinggi—bahkan menurut data BPS tahun 2022, mencapai 24% dari total pengangguran di Indonesia. Salah satu solusi yang diharapkan mampu menjawab tantangan ini adalah program sertifikasi uji kompetensi, khususnya di bidang teknik pemesinan yang menjadi tulang punggung industri manufaktur.
Artikel ini mengupas secara kritis hasil penelitian Sugeng Priyanto, Siti Sahara, dan Hari Din Nugraha (2024) yang mengevaluasi efektivitas program sertifikasi uji kompetensi di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan model evaluasi CSE-UCLA dan metode analisis TOPSIS, sehingga hasilnya tidak hanya komprehensif, tetapi juga objektif. Resensi ini membahas temuan utama, membandingkan dengan tren industri, serta memberikan rekomendasi praktis bagi pengembangan SMK di Indonesia.
Model Evaluasi CSE-UCLA: Kerangka Lengkap untuk Menilai Program Sertifikasi
Model CSE-UCLA (Center for the Study of Evaluation – University of California, Los Angeles) adalah pendekatan evaluasi yang menilai lima aspek utama dalam program pendidikan:
Model ini dianggap sangat relevan karena mengulas seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir, sehingga dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program secara menyeluruh.
Untuk memperkuat objektivitas, penelitian ini juga menggunakan metode TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution) dalam mengolah data kualitatif dari kuesioner. Dengan metode ini, setiap aspek program dapat dinilai secara sistematis dan terukur.
Studi Kasus: Evaluasi Program Sertifikasi di Lima SMK Negeri Jakarta
Penelitian ini dilakukan di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Responden terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah (bidang kurikulum, hubungan industri, sarana prasarana), kepala program teknik pemesinan, kepala bengkel, guru produktif, dan lembaga sertifikasi profesi di sekolah. Data dikumpulkan melalui kuesioner 54 butir dengan skala Likert 1–5, kemudian dianalisis menggunakan metode TOPSIS.
Temuan Utama: Kekuatan dan Tantangan Program Sertifikasi
1. Penilaian Sistem (System Assessment)
Penilaian sistem di kelima SMK ini secara umum sudah baik. Namun, masih terdapat kelemahan pada dukungan infrastruktur dan keterlibatan dunia usaha/industri. Beberapa SMK masih kekurangan alat uji dan fasilitas pendukung, sehingga pelaksanaan uji kompetensi belum optimal. Keterlibatan industri juga belum maksimal, padahal sangat penting untuk memastikan uji kompetensi sesuai kebutuhan pasar kerja.
2. Perencanaan Program (Program Planning)
Perencanaan program sudah cukup terstruktur, terutama dalam pengelolaan SDM dan fasilitas. Namun, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih kurang. Komponen perencanaan fasilitas dan SDM mendapat penilaian sangat baik, tetapi pelatihan pengetahuan terapan untuk guru dan siswa masih perlu ditingkatkan agar sesuai dengan perkembangan teknologi industri.
3. Pelaksanaan Program (Program Implementation)
Pelaksanaan program masih menghadapi banyak tantangan. Sosialisasi program, kolaborasi dengan lembaga sertifikasi, dan penggunaan alat ukur belum merata di semua sekolah. Beberapa SMK sudah menjalin kerjasama yang baik dengan lembaga sertifikasi, namun aspek seperti sosialisasi kepada siswa dan pelatihan penggunaan alat uji masih belum optimal.
4. Perbaikan Program (Program Improvement)
Upaya perbaikan program sudah berjalan, namun belum menyeluruh. Penguatan pelatihan berkelanjutan dan peningkatan fasilitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. Beberapa aspek seperti peningkatan pelatihan dan fasilitas sudah cukup baik, tetapi masih banyak komponen lain yang perlu ditingkatkan, seperti monitoring hasil sertifikasi dan evaluasi berkelanjutan.
5. Sertifikasi (Certification)
Proses sertifikasi di SMK Negeri Jakarta masih perlu standarisasi dan peningkatan mutu. Kualitas uji kompetensi dan kesesuaian dengan standar industri masih bervariasi antar sekolah. Beberapa aspek seperti kualitas uji dan kesesuaian standar sudah baik, namun masih ada proses yang perlu diperbaiki, seperti validitas soal dan pelatihan asesor.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Studi Ini?
Kekuatan Program
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan evaluasi yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak (multi-stakeholder) menjadi kunci keberhasilan program sertifikasi. Penggunaan metode TOPSIS juga membantu mengurangi subjektivitas dalam penilaian, sehingga hasil evaluasi lebih akurat.
Kelemahan dan Tantangan
Kesenjangan fasilitas antar sekolah masih menjadi masalah utama. Tidak semua SMK memiliki alat dan infrastruktur yang memadai untuk pelaksanaan uji kompetensi. Selain itu, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih minim, padahal sangat penting di era digitalisasi industri. Kolaborasi dengan dunia usaha/industri juga masih perlu diperkuat, baik dalam penyusunan materi uji, pelaksanaan sertifikasi, maupun penilaian hasil.
Standarisasi proses dan materi uji kompetensi juga menjadi tantangan tersendiri. Belum semua SMK menerapkan standar yang sama, sehingga kualitas lulusan dan sertifikat yang diterbitkan masih bervariasi.
Studi Kasus Nyata: Dampak Sertifikasi di Dunia Kerja
Meskipun program sertifikasi sudah berjalan di banyak SMK, belum semua lulusan langsung terserap oleh industri. Salah satu penyebab utamanya adalah kesenjangan antara materi uji dengan kebutuhan industri. Selain itu, kurangnya pelatihan berbasis pengetahuan terapan dan fasilitas praktik yang belum memadai juga menjadi faktor penghambat.
Sebagai contoh, beberapa SMK di Jakarta masih harus berbagi alat uji dengan sekolah lain atau bahkan menyewa dari pihak ketiga. Hal ini tentu saja menghambat kelancaran pelaksanaan uji kompetensi dan menurunkan kepercayaan industri terhadap sertifikat yang diterbitkan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian serupa oleh Pardjono et al. (2015) di Jawa Tengah juga menemukan bahwa keterlibatan industri dan asosiasi profesi sangat menentukan kualitas sertifikasi. Sementara itu, studi oleh Suharno et al. (2020) menyoroti pentingnya link and match antara kurikulum SMK dan kebutuhan industri, yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Penggunaan model CSE-UCLA juga diaplikasikan di berbagai program pendidikan lain, seperti evaluasi program kewirausahaan di SMA IT Abu Bakar Yogyakarta. Hasilnya, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan program secara periodik terbukti meningkatkan kualitas lulusan.
Tren Industri: Sertifikasi Kompetensi di Era Industri 4.0
Industri manufaktur kini bergerak ke arah digitalisasi dan otomatisasi. Kompetensi yang dibutuhkan tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru seperti robotika, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT). Sertifikasi uji kompetensi di SMK harus menyesuaikan dengan tren ini agar lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan industri masa depan.
Beberapa SMK mulai menggandeng perusahaan besar untuk mengembangkan materi uji dan pelatihan bersama. Program magang industri yang terintegrasi dengan uji kompetensi menjadi salah satu solusi terbaik, karena siswa tidak hanya mendapatkan sertifikat, tetapi juga pengalaman kerja nyata.
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Program Sertifikasi di SMK
Opini: Menuju SMK yang Lebih Adaptif dan Kompetitif
Evaluasi program sertifikasi uji kompetensi di SMK, seperti yang dilakukan oleh Priyanto dkk., adalah langkah penting untuk memastikan lulusan benar-benar siap kerja. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah hasil evaluasi menjadi aksi nyata di lapangan. Tanpa komitmen dari semua pihak—pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat—program sertifikasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak signifikan.
Di era Industri 4.0, SMK harus bertransformasi menjadi pusat inovasi dan pelatihan berbasis kebutuhan industri. Sertifikasi uji kompetensi harus menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, bukan sekadar syarat administratif.
Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Daya Saing Lulusan SMK
Penelitian ini membuktikan bahwa program sertifikasi uji kompetensi di SMK memiliki fondasi yang cukup baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal infrastruktur, pelatihan terapan, dan kolaborasi industri. Dengan evaluasi yang objektif dan perbaikan berkelanjutan, sertifikasi dapat menjadi kunci utama meningkatkan daya saing lulusan SMK di pasar kerja nasional maupun global.
Sumber asli:
Priyanto, S., Sahara, S., & Nugraha, H. (2024). The Certification Program Evaluation for Students in Vocational Schools using The CSE UCLA Model. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran, 10(4), 1473-1484.