Perubahan Iklim

Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Perubahan Iklim dan Peran Pengelolaan DAS Terintegrasi

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, ketersediaan air, energi, dan kesehatan lingkungan. Hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan, dan hujan ekstrem. Dalam konteks ini, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Paper berjudul "Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review" oleh Tyas Mutiara Basuki dan rekan (2022) memberikan tinjauan mendalam mengenai upaya Indonesia dalam mengelola DAS secara terintegrasi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi perbaikan untuk mendukung target nasional dan komitmen internasional seperti Paris Agreement.

Konsep dan Realitas Pengelolaan DAS Terintegrasi di Indonesia

Regulasi dan Kebijakan Pendukung

Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan DAS, termasuk Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (diubah dengan UU No. 17/2019), UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Regulasi ini menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, transparansi, dan integrasi lintas sektor serta wilayah administratif.

Namun, kompleksitas regulasi yang sektoral dan tumpang tindih menyebabkan lemahnya sinkronisasi dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, kewenangan pengelolaan DAS yang dialihkan ke tingkat provinsi belum diikuti dengan mekanisme koordinasi yang efektif, sehingga implementasi di lapangan masih terbatas.

Institusi dan Tata Kelola

Pengelolaan DAS melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga masyarakat lokal. Keterlibatan multi-institusi ini menimbulkan tantangan koordinasi, terutama karena batas wilayah DAS yang tidak sesuai dengan batas administratif. Studi menunjukkan bahwa kurangnya mekanisme integrasi dan sanksi tegas atas pengelolaan sumber daya yang buruk memperburuk kondisi DAS.

Contoh nyata adalah pengelolaan DAS Bribin yang terhambat oleh pergeseran kewenangan dan keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat masih minim karena pendekatan yang cenderung top-down dan kurang transparan.

Perencanaan, Implementasi, dan Monitoring-Evaluasi Pengelolaan DAS

Perencanaan

Perencanaan pengelolaan DAS di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2013 yang mengatur proses identifikasi masalah, penetapan tujuan, dan penyusunan program. Namun, dalam praktiknya, rencana pengelolaan DAS yang telah disahkan oleh gubernur seringkali tidak menjadi acuan bagi sektor lain karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah seperti RPJP dan RPJM.

Implementasi

Kegiatan pengelolaan DAS fokus pada konservasi tanah dan air melalui tindakan mekanis dan vegetatif, seperti rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Contoh keberhasilan implementasi dapat dilihat di DAS Cidanau, di mana sektor industri di hilir memberikan insentif kepada petani di hulu untuk menjaga vegetasi, sehingga keberlanjutan DAS terjamin.

Namun, tantangan besar adalah tingginya erosi di daerah hulu akibat praktik pertanian intensif di lahan miring dan kurangnya penerapan konservasi tanah yang tepat. Di daerah hilir, masalah utama adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.

Monitoring dan Evaluasi (MONEV)

MONEV sangat penting untuk mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan DAS, termasuk dampaknya terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kriteria MONEV meliputi aspek lahan, kualitas dan kuantitas air, sosial ekonomi, investasi, dan pemanfaatan ruang.

Sayangnya, hasil MONEV sering tidak digunakan untuk memperbaiki perencanaan karena kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Monitoring juga masih didominasi oleh sektor kehutanan dan belum melibatkan semua pihak secara terpadu.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS di Indonesia

Dampak Biophysical

Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi yang menyebabkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kejadian ekstrim. Studi memprediksi penurunan hasil panen padi hingga 12,1% secara nasional pada 2040-2050, serta peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan.

Banjir di Indonesia meningkat signifikan, dengan 1518 kejadian banjir pada 2020 yang menyebabkan 132 kematian dan mengungsikan lebih dari 780 ribu orang. Kekeringan juga berdampak pada produktivitas pertanian dan memicu kebakaran hutan yang luas, seperti pada periode El Niño 1997/98 yang membakar 11,7 juta hektar lahan.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi sangat besar, misalnya banjir di Jakarta dan Solo yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kekeringan mempengaruhi pendapatan petani dan ketahanan pangan, dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah di beberapa desa.

Selain itu, perubahan iklim memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, dan stres. Konflik sosial juga berpotensi meningkat akibat persaingan sumber daya air yang semakin terbatas.

Strategi Perbaikan Pengelolaan DAS Terintegrasi untuk Mitigasi dan Adaptasi

Perencanaan Adaptif dan Terintegrasi

Perencanaan pengelolaan DAS harus bersifat adaptif, melibatkan data berkualitas tinggi dari teknologi GIS dan remote sensing, serta partisipasi luas dari pemangku kepentingan. Penggunaan model mikro DAS (micro watershed model) dengan skala sekitar 1000-5000 hektar memudahkan koordinasi dan partisipasi masyarakat.

Implementasi Berbasis Partisipasi dan Teknologi

Paradigma pengelolaan harus bergeser ke arah kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat, menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down. Teknologi konservasi tanah dan air seperti agroforestri, bio-pore infiltration, dan sistem drainase ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal.

Agroforestri terbukti efektif meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan menyerap karbon, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui diversifikasi tanaman.

Peningkatan Monitoring dan Evaluasi

MONEV harus dilakukan secara terpadu dengan indikator sederhana namun representatif, seperti tutupan vegetasi permanen, kualitas dan kuantitas air, serta indeks pembangunan manusia sebagai indikator sosial ekonomi. Data hasil monitoring harus dipublikasikan secara transparan melalui platform daring agar dapat diakses oleh semua pihak.

Penguatan Aspek Sosial dan Kelembagaan

Pengelolaan DAS harus mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang masih relevan, seperti sistem penanaman tradisional dan norma sosial pengelolaan sumber daya. Desa sebagai unit pembangunan harus diberdayakan melalui program-program seperti ProKlim dan SDGs Desa untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.

Koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lintas negara (untuk DAS transboundary), harus diperkuat dengan regulasi yang jelas dan mekanisme insentif serta sanksi yang efektif.

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Luas rehabilitasi DAS di Indonesia mencapai 395.168 hektar pada 2019, dengan penyerapan karbon sekitar 771.653 ton CO2e.
  • Di DAS Cidanau, integrasi sektor industri dan petani upstream berhasil menjaga keberlanjutan sumber daya air melalui pembayaran jasa lingkungan.
  • Data bencana 2020 mencatat 1518 kejadian banjir dengan 132 korban jiwa dan 782.054 pengungsi.
  • Penurunan hasil panen padi diperkirakan mencapai 12,1% secara nasional pada 2040-2050, dengan defisit beras mencapai 90 juta ton pada 2050.
  • Kerugian ekonomi akibat banjir di beberapa daerah mencapai miliaran rupiah setiap tahun, misalnya banjir Jakarta 2002 mencapai IDR 6,7 miliar.

Opini dan Perbandingan dengan Tren Global

Pengelolaan DAS terintegrasi sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat relevan dengan tren global yang menekankan pendekatan lanskap dan ekosistem. Namun, tantangan klasik seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya partisipasi masyarakat juga dialami banyak negara berkembang.

Perbaikan integrasi data dan teknologi informasi serta pemberdayaan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan. Pendekatan mikro DAS yang responsif terhadap kondisi lokal sejalan dengan praktik terbaik di beberapa negara seperti India dan Ethiopia.

Namun, Indonesia perlu memperkuat aspek kelembagaan dan hukum agar rencana pengelolaan DAS tidak hanya menjadi dokumen formal, melainkan pedoman yang diikuti seluruh sektor.

Kesimpulan

Pengelolaan DAS terintegrasi di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, air, dan lingkungan. Meskipun regulasi dan kebijakan sudah cukup lengkap, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala koordinasi, partisipasi, dan integrasi data.

Perbaikan strategi harus dimulai dari perencanaan adaptif yang melibatkan teknologi modern dan kearifan lokal, implementasi berbasis kolaborasi dan teknologi konservasi, serta monitoring-evaluasi yang transparan dan terpadu. Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan desa menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan pengelolaan DAS.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih efektif mencapai target NDC dan Paris Agreement, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Sumber Artikel :

Basuki, T. M., Nugroho, H. Y. S. H., Indrajaya, Y., Pramono, I. B., Nugroho, N. P., Supangat, A. B., Indrawati, D. R., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Purwanto, et al. (2022). Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review. Sustainability, 14(16), 9997.

Selengkapnya
Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif

Perubahan Iklim

Adaptive Co-Management untuk Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Barents: Resensi Mendalam dan Relevansi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengelola Kompleksitas Perubahan Iklim dengan Adaptive Co-Management

Perubahan iklim menghadirkan tantangan besar bagi kawasan-kawasan sensitif seperti Kawasan Barents, yang meliputi wilayah utara Finlandia, Norwegia, Rusia, dan Swedia. Dampak perubahan iklim seperti mencairnya permafrost, perubahan pola cuaca, dan naiknya permukaan laut berpotensi mengganggu ekosistem, mata pencaharian masyarakat lokal, serta infrastruktur penting. Dalam konteks ini, Ryan Plummer dan Julia Baird (2013) menawarkan pendekatan adaptive co-management (ACM) sebagai strategi tata kelola yang responsif dan kolaboratif untuk menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas perubahan iklim di Barents.

Resensi ini akan membahas konsep ACM, studi kasus penerapannya di Niagara, Kanada, serta pertimbangan penting untuk mengimplementasikannya di Barents. Selain itu, artikel ini memberikan analisis kritis dan menghubungkan dengan tren global agar relevan dan menarik bagi pembaca lintas disiplin.

Adaptive Co-Management: Konsep dan Karakteristik Utama

Adaptive co-management merupakan gabungan dari dua tradisi pengelolaan sumber daya alam: pengelolaan kolaboratif (co-management) dan pengelolaan adaptif (adaptive management). Pendekatan ini menekankan:

  • Pluralisme dan komunikasi: Melibatkan berbagai aktor dari berbagai level sosial dan sektor untuk membangun pemahaman bersama melalui dialog dan negosiasi. Konflik dianggap sebagai peluang untuk pembelajaran.
  • Pengambilan keputusan dan kewenangan bersama: Kekuasaan dan tanggung jawab dibagi di antara para aktor, dengan pengakuan terhadap berbagai sumber pengetahuan.
  • Keterhubungan lintas skala: Jaringan aktor yang terhubung secara horizontal dan vertikal, dari komunitas lokal hingga tingkat nasional, dengan mempertahankan otonomi masing-masing.
  • Pembelajaran dan adaptasi: Kebijakan dan tindakan dianggap sebagai eksperimen yang dievaluasi secara kolektif untuk pembelajaran berkelanjutan, termasuk perubahan nilai dan tata kelola.

ACM bukanlah proses linear, melainkan siklus dinamis yang terus berkembang, di mana aktor bergerak dari tahap awal yang terpisah menuju kolaborasi yang lebih erat dan aksi bersama yang adaptif.

Studi Kasus Niagara, Kanada: Penerapan ACM dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Wilayah Niagara di Kanada, dikenal dengan keindahan Niagara Falls dan statusnya sebagai UNESCO Biosphere Reserve, merupakan sistem sosial-ekologis yang kompleks dengan populasi sekitar 425.000 jiwa. Ekonomi lokal bertumpu pada manufaktur, pertanian, dan pariwisata yang menyumbang pengeluaran wisatawan sebesar $2,3 miliar per tahun.

Dalam menghadapi perubahan iklim yang berpotensi mengganggu sektor-sektor ini, sebuah inisiatif ACM dimulai ketika perencana wilayah Niagara menghubungi peneliti untuk mengembangkan rencana adaptasi iklim. Langkah awal adalah melakukan inventarisasi sosial-ekologis dengan mewawancarai 38 individu dari 33 organisasi untuk memahami aktivitas dan nilai yang ada terkait perubahan iklim.

Selanjutnya, serangkaian empat workshop interaktif digelar untuk berbagi informasi tentang proyeksi iklim dan dampaknya, serta memperkuat interaksi antar peserta. Proses ini menghasilkan pembentukan Niagara Climate Change Network, sebuah jaringan kolaboratif yang menyusun piagam perubahan iklim dan membentuk komite pengarah untuk menggerakkan aksi bersama.

Pelajaran penting dari Niagara adalah bahwa kolaborasi lintas sektor dapat memperkuat pemahaman dan aksi adaptasi, meskipun hasil jangka panjang dari proses ini masih dalam evaluasi. Keberhasilan ini menekankan pentingnya dialog, pembelajaran sosial, dan komitmen jangka panjang dalam ACM.

Pertimbangan Kunci untuk Mengimplementasikan ACM di Kawasan Barents

Kawasan Barents yang luas dan kaya sumber daya alam dihuni oleh sekitar 5,3 juta orang, dengan sekitar 7% penduduknya bergantung pada perburuan, perikanan, peternakan rusa, dan kehutanan. Dampak perubahan iklim di kawasan ini meliputi perubahan suhu, mencairnya permafrost, dan gangguan ekosistem laut serta darat. Selain itu, tekanan dari eksploitasi minyak, gas, dan mineral menambah kompleksitas tata kelola.

Tiga pertimbangan utama dalam menerapkan ACM di Barents adalah:

  1. Memiliki ekspektasi yang realistis terhadap ACM
    Meskipun ACM diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sosial-ekologis dan orientasi keberlanjutan, pengalaman menunjukkan hasilnya bervariasi. Ada kasus di mana ACM tidak meningkatkan kepatuhan, memperburuk konflik, atau bahkan memperkuat marginalisasi kelompok tertentu. ACM bukan solusi ajaib dan tidak selalu cocok di semua konteks. Contohnya, kebijakan Uni Eropa yang mengharuskan fasilitas pemotongan hewan tertentu telah memaksa peternak rusa di Barents melakukan perjalanan lebih jauh, menunjukkan bagaimana kebijakan tingkat tinggi dapat menimbulkan tantangan di tingkat lokal.
  2. Menyesuaikan ACM dengan konteks lokal untuk meningkatkan adaptabilitas
    Tidak ada formula tunggal untuk ACM; pendekatan harus disesuaikan dengan karakteristik sosial, budaya, dan ekologis setempat. Misalnya, peternakan rusa di Barents sangat terkait erat dengan ekosistem lokal dan budaya masyarakat adat Sami. Perubahan iklim dan kebijakan yang tidak sensitif dapat menimbulkan disonansi antara pengetahuan tradisional dan kondisi baru, serta menimbulkan stres mental dan kekhawatiran akan masa depan.
  3. Memusatkan perhatian pada kondisi pendukung keberhasilan ACM
    Keberhasilan ACM dipengaruhi oleh sejumlah kondisi, seperti sistem sumber daya yang jelas, skala pengelolaan yang sesuai, entitas sosial dengan kepentingan bersama, hak kepemilikan yang jelas, akses ke alat manajemen yang adaptif, komitmen jangka panjang, sumber daya dan pelatihan, kepemimpinan yang kuat, pengakuan terhadap berbagai jenis pengetahuan, serta dukungan kebijakan di berbagai level pemerintahan. Memperkuat dan membangun kondisi-kondisi ini sangat penting untuk meningkatkan peluang keberhasilan ACM di Barents.

Studi Kasus dan Data Penting dari Kawasan Barents dan Niagara

Di Barents, sekitar 7% penduduk bergantung pada mata pencaharian tradisional seperti peternakan rusa, perikanan, dan kehutanan. Perubahan kebijakan Uni Eropa terkait fasilitas pemotongan hewan memaksa peternak rusa melakukan perjalanan lebih jauh, menambah beban ekonomi dan sosial. Kasus komunitas Pomor di pesisir Laut Putih menunjukkan bagaimana kebijakan federal yang mendorong industrialisasi dan pariwisata dapat mengancam praktik perikanan berkelanjutan tradisional.

Di Niagara, 38 individu dari 33 organisasi terlibat dalam inventarisasi sosial-ekologis yang menjadi dasar pembentukan jaringan adaptasi iklim. Dengan 30 juta wisatawan per tahun dan ekonomi senilai $2,3 miliar, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga ACM menjadi pendekatan yang relevan untuk mengelola risiko tersebut.

Analisis Kritis dan Hubungan dengan Tren Global

Adaptive co-management bukan solusi universal. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa tanpa sensitivitas terhadap konteks sosial-politik dan etika, ACM bisa menjadi sekadar "hiasan" yang menyembunyikan masalah kekuasaan dan ketidakadilan yang sudah ada. ACM juga sering efektif pada skala lokal atau regional, tetapi dapat tertindas oleh kebijakan dan kekuatan di tingkat nasional atau internasional.

Namun, ACM memiliki keunggulan dibandingkan model pengelolaan tradisional yang kaku, karena menggabungkan kolaborasi lintas sektor dan pembelajaran adaptif. Tren global dalam tata kelola sumber daya alam dan adaptasi iklim semakin mengarah pada model tata kelola hibrid dan multi-level yang melibatkan masyarakat adat dan lokal sebagai aktor kunci.

Industri dan kebijakan global juga mulai mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dan inovasi sosial yang menekankan kolaborasi, pembelajaran, dan adaptasi berkelanjutan—sejalan dengan prinsip ACM.

Rekomendasi untuk Implementasi ACM di Barents dan Wilayah Serupa

  • Mulai dengan dialog dan inventarisasi sosial-ekologis untuk memahami aktor, nilai, dan jaringan yang ada serta membangun kepercayaan.
  • Kembangkan jaringan dan identitas bersama yang dapat menjadi motor aksi adaptasi, seperti yang terlihat di Niagara.
  • Pastikan dukungan kebijakan dan sumber daya dari tingkat lokal hingga nasional agar kolaborasi dapat berjalan efektif.
  • Lakukan evaluasi dan adaptasi berkelanjutan untuk menyesuaikan strategi dengan dinamika sosial-ekologis yang terus berubah.

Adaptive co-management menawarkan kerangka tata kelola yang fleksibel, partisipatif, dan adaptif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di kawasan kompleks seperti Barents. Keberhasilannya bergantung pada ekspektasi yang realistis, penyesuaian dengan konteks lokal, dan pemenuhan kondisi pendukung yang telah terbukti. ACM bukan solusi instan, melainkan proses jangka panjang yang menuntut komitmen dan kolaborasi lintas sektor.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan komunitas lokal, ACM layak dijadikan pendekatan utama dalam adaptasi perubahan iklim, dengan penyesuaian yang cermat agar sesuai dengan karakteristik unik setiap wilayah.

Sumber Artikel :

Plummer, R., & Baird, J. (2013). Adaptive Co-Management for Climate Change Adaptation: Considerations for the Barents Region. Sustainability, 5(2), 629-642.

Selengkapnya
Adaptive Co-Management untuk Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Barents: Resensi Mendalam dan Relevansi Global

Perubahan Global

Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Pasir, Fondasi Tak Terlihat yang Kini Terancam

Pasir dan kerikil adalah bahan dasar tak tergantikan dalam pembangunan dunia modern—mulai dari beton, kaca, hingga elektronik. Namun, laporan “Sand and Sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources” yang diterbitkan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019, mengungkapkan bahwa konsumsi pasir global telah melonjak tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun atau sekitar 18 kg per orang per hari. Ironisnya, di balik peran vitalnya, pasir merupakan salah satu sumber daya yang paling tidak diatur dan paling rentan terhadap eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial1.

Artikel ini akan mengupas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data dan studi kasus utama, membandingkan dengan tren global, serta menawarkan analisis dan rekomendasi bagi pembaca industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

 Skala Permasalahan: Pasir sebagai Krisis Sumber Daya Abad ke-21

Lonjakan Permintaan dan Konsumsi

  • Konsumsi pasir global: 40–50 miliar ton per tahun, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, terutama di Asia1.
  • China dan India: Menyumbang 67% produksi agregat global. China sendiri mengonsumsi 14,3 ton agregat per kapita per tahun, jauh di atas rata-rata dunia1.
  • Korelasi dengan semen: Untuk setiap 1 ton semen, digunakan 6–10 ton agregat (pasir dan kerikil). Dengan produksi semen global mencapai 4,1 miliar ton (2017), diperkirakan kebutuhan agregat untuk beton saja mencapai 28,7–32,8 miliar ton1.

Keterbatasan Data dan Pengawasan

  • Tidak ada sistem pemantauan global yang komprehensif untuk ekstraksi pasir, meski dampaknya sangat luas1.
  • Sebagian besar pasir dikonsumsi secara regional karena biaya transportasi tinggi, sehingga pengawasan dan penegakan hukum sering kali lemah di tingkat lokal.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Dari Erosi hingga Konflik Sosial

Dampak Lingkungan

  • Erosi sungai dan pesisir: Ekstraksi pasir dari sungai dan pantai menyebabkan erosi, hilangnya habitat, dan menurunnya kualitas air. Di banyak sungai besar dunia, 50–95% sedimen alami tidak lagi mencapai laut karena penambangan dan pembangunan bendungan1.
  • Kehancuran ekosistem: Penambangan pasir di kawasan sensitif mengancam spesies langka, seperti penyu dan lumba-lumba air tawar, serta menghancurkan habitat ikan dan burung air1.
  • Dampak pada pertanian dan infrastruktur: Erosi sungai menyebabkan hilangnya lahan pertanian, penurunan muka air tanah, dan kerusakan struktur seperti jembatan dan dinding penahan1.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Risiko keselamatan: Banyak pekerja penambangan pasir menghadapi risiko tenggelam, longsor, dan kecelakaan fatal lainnya.
  • Sand mafia: Di India, Maroko, dan negara lain, penambangan pasir ilegal dikuasai kelompok kriminal terorganisir, memicu kekerasan dan korupsi1.
  • Konflik dengan masyarakat lokal: Komunitas yang terdampak sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan hanya memperoleh manfaat ekonomi jangka pendek, sementara menanggung kerugian jangka panjang1.

Studi Kasus Kunci: Dampak Nyata di Lapangan

A. Singapura: Raksasa Impor Pasir Dunia

  • Ekspansi wilayah: Dalam 45 tahun, luas Singapura bertambah 23% (137 km²) melalui reklamasi lahan dengan pasir impor1.
  • Impor pasir: 517 juta ton pasir diimpor selama 20 tahun terakhir, terutama dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Namun, data ekspor-impor tidak sinkron, menunjukkan adanya perdagangan ilegal sekitar 120 juta ton1.
  • Dampak regional: Penambangan pasir untuk kebutuhan Singapura menyebabkan erosi pantai di Indonesia dan Vietnam, serta memicu ketegangan diplomatik1.

B. Braamspunt, Suriname: Konflik Konservasi dan Ekonomi

  • Ekstraksi pasir di kawasan konservasi: Pantai Braamspunt, habitat penting penyu langka, menjadi lokasi penambangan pasir legal dan ilegal meski sudah ada zona konservasi1.
  • Kebijakan tumpang tindih: Izin penambangan diberikan tanpa konsultasi kementerian lingkungan, dan tanpa analisis dampak lingkungan yang wajib1.
  • Aksi masyarakat sipil: LSM lokal berupaya menekan pemerintah agar perlindungan tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi juga di lapangan1.

C. Maroko: Sand Mafia dan Erosi Pantai

  • Penambangan ilegal: Sekitar 10 juta m³ pasir per tahun diambil secara ilegal dari pantai, mengubah lanskap dan mengancam industri pariwisata1.
  • Kerusakan ekonomi: Erosi pantai akibat penambangan pasir mengancam hotel dan infrastruktur wisata, ironi karena pasir digunakan untuk membangun fasilitas tersebut1.

Tantangan Tata Kelola: Fragmentasi, Kurangnya Data, dan Lemahnya Penegakan

Fragmentasi Regulasi

  • Di banyak negara, penambangan pasir diatur secara nasional atau regional, namun implementasi dan pengawasan sering kali lemah karena keterbatasan sumber daya dan korupsi1.
  • Banyak negara telah melarang penambangan pasir di sungai, danau, atau pantai, tetapi penegakan hukum sering tidak efektif.

Peran Aktor Global

  • Hanya sekitar 5% agregat yang diperdagangkan lintas negara, tetapi negara-negara seperti Singapura, UEA, dan Arab Saudi menjadi indikator tren masa depan bagi negara dengan sumber daya terbatas1.
  • Lima perusahaan besar dunia (misal: Sibelco, Holcim, Heidelberg, CRH, Chinese Harbour & Construction Ltd.) menguasai rantai pasok utama, namun ribuan operasi kecil dan informal sulit diawasi1.

Solusi dan Inovasi: Menuju Tata Kelola Pasir yang Berkelanjutan

A. Mengurangi Konsumsi Pasir Alam

  • Perencanaan kota kompak: Mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan memperpanjang umur bangunan melalui perawatan dan adaptasi ulang1.
  • Green infrastructure: Menggantikan infrastruktur beton dengan solusi hijau seperti permeable pavement yang mengurangi kebutuhan pasir sekaligus mengatasi banjir kota1.
  • Studi kasus: Permeable Pavement
    • Digunakan di kota-kota baru di China dan India untuk mengurangi limpasan air dan kebutuhan pasir dalam pembangunan jalan dan trotoar1.
    • Beton permeabel mengurangi kebutuhan pasir hingga 100% pada beberapa desain1.

B. Substitusi dan Daur Ulang Material

  • Agregat daur ulang: Negara seperti Jerman telah mendaur ulang 87% limbah agregat konstruksi, mengurangi tekanan pada sumber daya primer1.
  • Material alternatif: Penggunaan fly ash, slag baja, limbah plastik, kulit kelapa sawit, dan material limbah lainnya sebagai pengganti pasir telah diujicoba di India, Malaysia, China, dan Australia1.
  • Studi kasus: Waste-to-Energy di China
    • Pabrik waste-to-energy terbesar di Shenzhen akan mengolah 5.000 ton sampah per hari, menghasilkan abu dasar yang dapat digunakan sebagai agregat pengganti pasir dalam konstruksi1.

C. Standar dan Praktik Terbaik

  • Adopsi standar internasional: Konvensi seperti Ramsar, UNCLOS, dan berbagai perjanjian regional dapat diadaptasi untuk mengatur ekstraksi pasir1.
  • Praktik industri: Di Inggris, pajak agregat dan pelaporan transparan telah mendorong praktik penambangan yang lebih bertanggung jawab dan restorasi lahan pasca-ekstraksi1.
  • Studi kasus: Restorasi tambang di Eropa
    • Proyek “Life in Quarries” di Belgia berhasil meningkatkan keanekaragaman hayati dengan mengelola tambang sebagai habitat sementara bagi burung langka1.

Rekomendasi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Tata Kelola Pasir Berkelanjutan

A. Penguatan Standar dan Penegakan

  • Setiap negara perlu memiliki kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk perizinan dan pengawasan penambangan pasir, dengan memperhatikan konteks lokal1.
  • Adaptasi pengalaman Eropa dalam pengelolaan agregat dapat menjadi acuan, namun harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi setempat.

B. Investasi dalam Pemantauan dan Data

  • Pengumpulan data dasar tentang ekstraksi, konsumsi, dan dampak pasir harus menjadi prioritas. Sistem pemantauan nasional dan regional perlu diperkuat, termasuk pelacakan rantai pasok1.
  • Studi sedimentasi di DAS dan pesisir sangat penting untuk menentukan kuota ekstraksi yang berkelanjutan.

C. Dialog dan Transparansi Multi-Pihak

  • Semua aktor—pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan komunitas lokal—harus dilibatkan dalam dialog transparan dan akuntabel untuk merumuskan kebijakan dan solusi bersama1.
  • Integrasi sektor pasir ke dalam inisiatif transparansi ekstraktif global seperti Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dapat menjadi langkah awal.

Kritik dan Perbandingan dengan Tren Global

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data dan transparansi: Tanpa data yang akurat, kebijakan sering reaktif dan tidak efektif.
  • Dominasi aktor informal: Ribuan operasi kecil dan sand mafia sulit dijangkau oleh regulasi formal.
  • Perubahan perilaku lambat: Masyarakat dan industri masih memandang pasir sebagai sumber daya tak terbatas.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Penelitian Gavriletea (2017) dan Beiser (2018) menguatkan temuan UNEP tentang dampak destruktif penambangan pasir dan perlunya tata kelola lintas sektor.
  • Studi WWF (2018) menyoroti dampak penambangan pasir di Mekong dan Asia Tenggara, sejalan dengan kasus Singapura dan Vietnam dalam laporan ini.

Konteks Industri dan Tren Masa Depan

  • Circular economy: Industri konstruksi global mulai beralih ke prinsip ekonomi sirkular, mendaur ulang limbah dan mencari material alternatif.
  • Teknologi material: Inovasi seperti beton hijau, agregat dari limbah plastik, dan penggunaan fly ash semakin berkembang, namun adopsi massal masih terbatas oleh biaya dan standar teknik.
  • Urbanisasi berkelanjutan: Kota-kota di China, India, dan Afrika menjadi laboratorium penting untuk solusi pengelolaan pasir yang inovatif.

Paradigma Baru untuk Sumber Daya Tak Terbarukan

Laporan UNEP 2019 menegaskan bahwa krisis pasir adalah salah satu tantangan keberlanjutan terbesar abad ini. Solusi teknis sudah tersedia—mulai dari perencanaan kota kompak, substitusi material, hingga praktik industri terbaik—namun tantangan utama terletak pada tata kelola, transparansi, dan perubahan paradigma bahwa pasir bukanlah sumber daya tak terbatas1.

Masa depan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola sumber daya dasar seperti pasir secara bertanggung jawab, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berinovasi dalam kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Jika tidak, kita akan menghadapi konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar kekurangan bahan bangunan.

Sumber Artikel :

UNEP 2019. Sand and sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources. GRID-Geneva, United Nations Environment Programme, Geneva, Switzerland.

Selengkapnya
Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Krisis Air

Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air Perlu Berbasis Dialog dan Kolaborasi

Tantangan lingkungan seperti kelangkaan air, degradasi lahan, dan perubahan iklim menuntut lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Diperlukan pendekatan yang memberdayakan masyarakat untuk berpikir dan bertindak bersama. Dalam konteks ini, artikel karya Carolin Seiferth, Maria Tengö, dan Erik Andersson menawarkan perspektif menarik melalui studi kasus di Pulau Öland, Swedia, yang menunjukkan bagaimana proses ko-produksi pengetahuan dapat mendorong aksi kolektif untuk mengatasi persoalan tata kelola air.

Artikel ini menekankan bahwa aksi kolektif yang inklusif dan efektif memerlukan desain proses yang disengaja dan partisipatif, khususnya ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks dan saling terkait dalam sistem sosial-ekologis.

Latar Belakang: Krisis Air di Öland dan Warisan Tata Kelola

Pulau Öland, pulau terbesar kedua di Swedia, menghadapi masalah kekeringan serius sejak 2016. Ciri geografisnya yang datar dan tanah tipis membuat air cepat mengalir dan tidak tertahan. Perubahan iklim memperburuk kondisi ini dengan frekuensi kekeringan yang meningkat, mempengaruhi pertanian, biodiversitas, dan pariwisata. Sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, Öland mengalami transformasi besar berupa pengeringan lahan basah untuk pertanian, yang menyebabkan penurunan 90% luas lahan basah dan melemahkan daya tampung air tanah.

Sistem legal yang usang—termasuk kewajiban drainase oleh kelompok pemilik lahan (drainage enterprises)—menjadi hambatan utama dalam upaya restorasi lahan basah dan konservasi air.

Tujuan dan Pendekatan Studi: Ko-Produksi Pengetahuan Tiga Arah

Penelitian ini mengembangkan rangkaian lokakarya berbasis dialog yang dirancang untuk menyatukan beragam pemangku kepentingan dan memfasilitasi aksi kolektif. Proses ini berlandaskan pada integrasi tiga jenis pengetahuan:

  1. Pengetahuan sistemik (systems knowledge): Pemahaman tentang kondisi dan penyebab masalah.
  2. Pengetahuan sasaran (target knowledge): Visi kolektif tentang masa depan yang diinginkan.
  3. Pengetahuan operasional (operational knowledge): Cara-cara dan strategi untuk mencapai perubahan.

Dengan menggunakan kerangka ini, peneliti membangun proses iteratif yang memperkuat keterlibatan aktor dalam memahami dan mengatasi masalah kekeringan di Öland.

Metodologi: Lokakarya Tiga Tahap dan Pendekatan Berbasis Tempat

Sebanyak 17 peserta dari berbagai latar belakang—petani, nelayan rekreasi, organisasi lingkungan, otoritas lokal, dan akademisi—ikut serta dalam tiga rangkaian lokakarya antara November 2022 dan Maret 2023. Proses ini terdiri dari:

  • Lokakarya 1: Pemetaan sistem sosial-ekologis dan diskusi visual lewat “mood board” tentang asosiasi pribadi dengan air.
  • Lokakarya 2: Kunjungan lapangan ke tiga lokasi penting di lanskap Öland untuk menggali pengalaman dan narasi berbasis tempat.
  • Lokakarya 3: Pemikiran skenario (Three Horizons) dan pengembangan strategi perubahan kolektif.

Hasil Utama: Empat Strategi Kolektif untuk Tata Kelola Air

1. Restorasi Fungsi Alami Lanskap Air

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kembali level air tanah ke kondisi pra-1880 dengan menghidupkan kembali lahan basah. Restorasi ini akan mendukung pertanian berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air minum.

Hambatan utama:

  • Sistem birokrasi dan regulasi lama yang sulit diubah.
  • Tidak ada kompensasi finansial bagi pemilik lahan yang menyisihkan lahannya untuk manfaat ekosistem.

Solusi yang diusulkan:

  • Pilot project restorasi di lahan non-produktif,
  • Pendanaan jangka panjang,
  • Kolaborasi antara pemilik lahan, LRF, dan otoritas lokal,
  • Inovasi teknis seperti biochar, sistem irigasi cerdas, dan pengelolaan drainase fleksibel.

2. Edukasi dan Kesadaran Publik tentang Air

Melalui pameran permanen di Museum Öland, kunjungan sekolah, eksperimen interaktif, dan narasi budaya, strategi ini bertujuan menumbuhkan literasi air di masyarakat.

Beberapa ide kreatif:

  • Teater bertema “makhluk air”,
  • Serial artikel di surat kabar lokal,
  • Pelibatan universitas dan sekolah tinggi rakyat.

Tantangan:

  • Logistik dan biaya untuk mobilisasi siswa,
  • Kebutuhan koordinasi lintas sektor (pendidikan, media, pariwisata).

3. Reformasi Drainase: Menuju Sistem yang Fleksibel

Pendekatan ini menantang sistem drainase warisan abad ke-19, yang saat ini mempersulit adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebutuhan retensi air.

Usulan perubahan:

  • Membuka ruang bagi adaptasi lokal,
  • Evaluasi internal oleh kelompok kerja lintas aktor (pemilik lahan, pemerintah lokal),
  • Digitalisasi peta drainase untuk efisiensi,
  • Pelibatan Water Council dan lembaga pendamping pertanian.

Jika berhasil, Öland bisa menjadi model nasional untuk adaptasi iklim.

4. Petani Sebagai Inovator dan Inspirator

Strategi ini menjadikan petani sebagai sumber inspirasi dan pusat eksperimen. Melalui “open farms”, petani akan berbagi praktik pengelolaan air dan diuji coba sistem baru seperti:

  • Varietas tanaman tahan kekeringan,
  • Rotasi tanaman adaptif,
  • Penggunaan air limbah terolah untuk irigasi.

Inisiatif ini juga mempertimbangkan tren diet generasi masa depan, mendukung pertanian kecil, dan mendorong kolaborasi antara petani, universitas, dan lembaga negara.

Perubahan Persepsi Aktor: Dari Umum ke Strategis

Perbandingan antara awal dan akhir lokakarya menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara peserta memandang masalah dan solusi:

  • Awalnya, isu difokuskan pada teknis seperti penyimpanan air, irigasi, atau lahan kering.
  • Seiring waktu, muncul pemahaman tentang politik air, pentingnya nilai budaya, dan syarat perubahan kelembagaan.

Persepsi solusi juga makin matang. Jika di awal solusi masih “teknis”, pada akhirnya aktor mengusulkan strategi sistemik yang melibatkan berbagai aktor dan nilai sosial.

Kekuatan Desain Proses: Dari Pengetahuan Terisolasi ke Aksi Kolektif

Penelitian ini menunjukkan bahwa desain lokakarya yang bertahap dan interaktif:

  • Memampukan aktor menyuarakan pengetahuan yang sebelumnya diam (tacit knowledge),
  • Menyatukan persepsi yang berbeda ke dalam narasi kolektif,
  • Mendorong keterlibatan emosional dan afektif yang mengarah pada agensi kolektif.

Strategi seperti ‘place-based encounter’ dan ‘Three Horizons thinking’ menciptakan ruang aman bagi dialog, refleksi, dan penyusunan visi bersama.

Kritik dan Refleksi

Meskipun pendekatan ini sangat kuat, artikel ini juga mencatat beberapa keterbatasan:

  • Tidak ada dokumentasi audio-visual untuk mendalami dinamika diskusi.
  • Sektor pariwisata tidak terwakili langsung, padahal memiliki tekanan besar pada sistem air.
  • Proses sangat tergantung pada fasilitator dan aktor kunci; keberlanjutan strategi membutuhkan penguatan kelembagaan.

Relevansi Global: Pelajaran bagi Dunia yang Kekurangan Air

Meskipun studi ini berlokasi di Swedia, pelajarannya relevan bagi banyak wilayah—terutama di Global South—yang menghadapi tantangan air serupa. Indonesia, misalnya, memiliki konteks serupa di pulau-pulau kecil, pesisir yang rentan kekeringan, dan masyarakat adat dengan nilai lokal yang belum banyak terintegrasi ke kebijakan air.

Ko-produksi pengetahuan berbasis dialog dapat menjadi pendekatan kunci untuk:

  • Menyusun tata kelola air lintas sektor dan komunitas,
  • Menjembatani antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik,
  • Membangun solusi berbasis nilai dan pengetahuan lokal.

Dari Dialog Menuju Transformasi Sosial-Ekologis

Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tetapi juga panduan praktis untuk mengatasi kompleksitas tata kelola sumber daya alam. Dalam dunia yang terfragmentasi, proses berbasis dialog dan kolaborasi bukanlah tambahan opsional, tetapi kebutuhan mutlak untuk mencapai keberlanjutan.

Dengan mengedepankan pengetahuan sistemik, sasaran, dan operasional, serta merancang proses yang mendalam dan inklusif, tata kelola air bisa menjadi gerakan sosial yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar urusan teknis pemerintahan.

Sumber Artikel :

Seiferth, C., Tengö, M., & Andersson, E. (2024). Designing for collective action: a knowledge co‑production process to address water governance challenges on the island of Öland, Sweden. Sustainability Science, 19, 1623–1640. 

Selengkapnya
Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia

Perubahan Global

Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air dan Skala sebagai Isu Kunci Tata Kelola Lingkungan Global

Air merupakan sumber daya yang lintas batas, baik secara geografis maupun kelembagaan. Dalam konteks krisis iklim dan urbanisasi cepat, air tak hanya menjadi "emas biru" yang kian langka, tetapi juga menjadi pusat perdebatan tata kelola lintas skala (multilevel governance). Artikel oleh Timothy Moss dan Jens Newig (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam membingkai tantangan "skala" dalam tata kelola air modern. Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah air tidak bisa ditangani hanya pada satu tingkat pemerintahan—baik lokal maupun global—melainkan membutuhkan pendekatan lintas-skala dan lintas-aktor.

Apa Itu Masalah Skala? Memahami Dimensi Biogeofisik dan Kelembagaan

Skala dalam tata kelola lingkungan memiliki dua dimensi utama:

  1. Dimensi Biogeofisik (Hydrological scale) – seperti DAS (Daerah Aliran Sungai), danau, atau cekungan air tanah.
  2. Dimensi Institusional/Politik – seperti desa, kota, negara bagian, atau level supranasional (misalnya Uni Eropa).

Masalah muncul ketika kedua dimensi ini tidak saling "fit". Misalnya, batas administratif tidak selalu sesuai dengan batas ekosistem air. Hal ini memicu berbagai masalah:

  • Misfit scalar: Ketika sistem kelembagaan tidak sejalan dengan proses ekologi (misalnya, DAS yang membentang lintas wilayah administratif).
  • Vertical interplay: Ketegangan antara kebijakan pusat dan lokal.
  • Rescaling: Perubahan level tata kelola, baik karena desentralisasi (ke bawah) atau integrasi regional (ke atas).
  • Up/downscaling: Generalisasi kebijakan dari satu skala ke skala lain, yang seringkali tidak kontekstual.

Tata Kelola Air Multilevel: Kompleksitas Tak Terelakkan

Pengelolaan air kini tidak lagi menjadi ranah satu aktor tunggal. Dalam era "governance", keterlibatan banyak pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga organisasi supranasional—menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tata kelola air menjadi arena yang sangat sensitif terhadap dinamika skala.

Studi Kasus: Water Framework Directive (WFD) Uni Eropa

WFD mensyaratkan pengelolaan air berdasarkan DAS, bukan batas negara atau provinsi. Ini menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan, di mana aktor-aktor yang mampu beroperasi lintas skala (misalnya LSM besar atau birokrasi pusat) cenderung lebih dominan dibanding komunitas lokal.

Dilema Demokrasi dalam Tata Kelola Air

Artikel ini menyoroti dilema mendasar dalam tata kelola multilevel: antara partisipasi warga (input legitimacy) dan efektivitas kebijakan (output legitimacy).

  • Semakin tinggi level pengambilan keputusan, semakin sulit bagi warga biasa untuk berpartisipasi secara langsung.
  • Semakin rendah level (lokal), efektivitas dalam mengatasi isu kompleks seperti polusi lintas batas atau perubahan iklim juga menurun.

Robert Dahl (1994) menyebut ini sebagai “dilema demokrasi antara partisipasi warga dan efektivitas sistem.”

Sudut Pandang Disipliner: Beragam, Tapi Saling Melengkapi

Artikel ini memperkenalkan pendekatan interdisipliner terhadap masalah skala dalam tata kelola air. Beberapa pendekatan yang dibahas antara lain:

  1. Pendekatan Federalisme Ekonomi (Benson & Jordan)
    Menekankan distribusi fungsi pemerintahan dan pembiayaan antar skala. Mereka membedakan tiga jenis "spillovers":
    • Pollution spillover (contoh: limbah yang meresap ke wilayah tetangga),
    • Competitive spillover (contoh: kompetisi antar wilayah untuk investasi yang melemahkan standar lingkungan),
    • Preservation spillover (contoh: wisatawan dari kota lain yang memanfaatkan keindahan alam wilayah tertentu tanpa berkontribusi langsung pada pelestariannya).
  2. Ekonomi Biaya Transaksi (Roggero & Fritsch)
    Mengkaji efisiensi rescaling dalam pengelolaan Lagoon Venice, Italia, dengan mempertimbangkan biaya koordinasi antarlembaga pada berbagai level.
  3. Deliberatif-Partisipatif (Dore & Lebel)
    Melalui studi tentang Mekong, mereka mendorong deliberasi sebagai jalan tengah untuk mengatasi kompleksitas skala sambil meningkatkan legitimasi.
  4. Pendekatan Geografi Kritis (Thiel, Vreugdenhil dkk.)
    Menjelaskan bagaimana skala merupakan produk sosial-politik yang dinegosiasikan, bukan sesuatu yang alami. Skala adalah alat kekuasaan.

Studi Kasus dan Temuan Kunci:

1. Mekong River (Asia Tenggara) – Dore & Lebel

Dalam pengelolaan Sungai Mekong, skala dipolitisasi oleh berbagai aktor. Negara bagian, LSM, dan lembaga internasional masing-masing "memainkan" skala yang sesuai kepentingan mereka:

  • Negara nasional cenderung mengutamakan skala administratif,
  • LSM menggunakan skala ekosistem untuk mendorong pelestarian,
  • Investor memainkan skala ekonomi (wilayah industri atau turisme).

Temuan penting: Partisipasi tidak cukup; aktor juga harus memiliki kapasitas lintas-skala agar benar-benar berpengaruh.

2. Algarve, Portugal – Thiel

Pemerintah pusat menggunakan dana Uni Eropa dan argumen krisis air untuk merebut kembali kontrol dari pemerintah lokal. Dengan dalih krisis, terjadi "upscaling" kekuasaan. Tujuannya? Melayani kepentingan turisme dan agribisnis skala besar.

3. The Netherlands – Vreugdenhil et al.

Dalam upaya restorasi floodplain, ditemukan bahwa perbedaan pemahaman tentang "skala yang relevan" (ekologis vs administratif) memicu konflik antar aktor. Para peneliti mengusulkan "mapping perbedaan skalar" untuk mengidentifikasi titik benturan sejak awal.

Menantang Kebijakan Konvensional: Apakah Skala DAS Selalu Ideal?

Pendekatan river basin management telah menjadi paradigma dominan. Namun, artikel ini mempertanyakan keabsahan universal dari pendekatan ini:

  • Dalam kasus EU WFD, Moss menunjukkan bahwa pemaksaan pengelolaan berdasarkan DAS bisa mengabaikan konteks lokal.
  • Benson & Jordan membandingkan pendekatan terpusat UE dengan desentralisasi di Australia. Kesimpulan: tidak ada satu model skala yang cocok untuk semua situasi.
  • Dalam banyak kasus, DAS sebagai unit pengelolaan bisa menciptakan masalah baru jika tidak diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan dan partisipasi sejati.

Skala sebagai Produk Politik: Siapa Diuntungkan, Siapa Tersingkir?

Skala bukan sekadar unit spasial. Dalam banyak kasus, skala dikonstruksi untuk melayani kekuasaan. Beberapa temuan menarik:

  • Aktor besar (negara, perusahaan) lebih mampu melakukan "scale jumping" untuk mendapatkan pengaruh.
  • Skala bisa digunakan untuk melegitimasi intervensi eksternal—misalnya, Uni Eropa mengintervensi lokalitas atas nama koordinasi lintas batas.
  • Skala sering dijadikan "pembungkus" narasi—misalnya, "masalah ini terlalu besar untuk lokal, perlu pengelolaan global".

Implikasi Praktis dan Rekomendasi:

Untuk Peneliti:

  • Gunakan pendekatan lintas skala dan interdisipliner dalam studi kebijakan air.
  • Hindari asumsi bahwa "skala DAS" selalu solusi terbaik.

Untuk Pengambil Kebijakan:

  • Akui bahwa skala bersifat dinamis dan dapat dinegosiasikan.
  • Rancang kebijakan dengan mempertimbangkan konflik skalar dan potensi manipulasi kekuasaan.
  • Perkuat kemampuan komunitas lokal agar dapat berpartisipasi secara bermakna lintas skala.

Untuk Aktivis Lingkungan:

  • Kuasai narasi dan peta skala untuk mengadvokasi kebijakan.
  • Bangun koalisi lintas level: dari komunitas lokal hingga forum internasional.

Kesimpulan: Skala Bukan Masalah Teknis, Tapi Politik

Artikel ini berhasil membongkar mitos teknokratis dalam pengelolaan air. Masalah skala bukan soal teknis belaka, melainkan medan perebutan kekuasaan, legitimasi, dan efisiensi. Dalam era tata kelola lingkungan yang semakin kompleks dan saling terhubung, memahami dinamika skala menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.

Bukan lagi pertanyaan “di level mana keputusan harus dibuat?”, melainkan “siapa yang mengontrol skala, dan untuk tujuan siapa?”.

Sumber Artikel:

Moss, T., & Newig, J. (2010). Multilevel Water Governance and Problems of Scale: Setting the Stage for a Broader Debate. Environmental Management, 46, 1–6. DOI: 10.1007/s00267-010-9531-1

Selengkapnya
Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Perubahan Global

Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Planet dalam Titik Kritis

Ketika dunia memperingati 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), kita justru dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan: enam dari sembilan batas planet telah dilampaui. Laporan khusus dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), bertajuk “Stepping Back from the Precipice”, menyampaikan pesan yang tegas: kita tidak bisa menunda transformasi dalam cara kita mengelola lahan.

Lahan bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi kehidupan. Ia menopang iklim, menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, menyediakan pangan, dan mendukung budaya. Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, pertanian intensif, dan urbanisasi telah mendorong sistem bumi ke arah titik kritis yang berisiko memicu keruntuhan ekologis.

Kerangka Batas Planet: Sinyal Bahaya Global

Konsep planetary boundaries yang dipelopori oleh Johan Rockström dkk. mengidentifikasi sembilan proses penting dalam sistem bumi yang memiliki ambang batas aman. Jika terlampaui, risiko terjadinya perubahan besar yang tak dapat dipulihkan meningkat drastis.

Dari sembilan batas ini, tujuh sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan:

  • Perubahan sistem lahan
  • Perubahan iklim
  • Gangguan integritas biosfer
  • Perubahan air tawar
  • Aliran biogeokimia (nitrogen dan fosfor)
  • Entitas baru (polutan sintetis)
  • Beban aerosol atmosfer

Fakta mengejutkan: enam dari sembilan batas telah dilampaui, termasuk batas untuk perubahan sistem lahan, integritas biosfer, dan aliran nitrogen. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, umat manusia telah mengguncang stabilitas bumi yang dibangun selama 11.700 tahun era Holosen.

Skala Kerusakan: Dari Amazon hingga Sawah Subur

Laporan PIK menunjukkan bahwa hanya 60% dari tutupan hutan global yang masih tersisa – jauh di bawah ambang batas 75% yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim global. Dalam beberapa dekade terakhir:

  • 90% deforestasi disebabkan oleh ekspansi pertanian
  • Savana dan padang rumput kehilangan fungsinya karena konversi lahan
  • Daerah kering (drylands) mengalami desertifikasi permanen akibat overgrazing dan kekeringan

Sebagai contoh, hutan Amazon mengalami deforestasi begitu parah hingga memicu umpan balik yang mempercepat pengeringan kawasan tersebut. Studi menyebutkan potensi tipping point yang bisa mengubah kawasan ini dari penyerap karbon menjadi sumber emisi.

Biaya Nyata: Triliunan Dolar dan Krisis Pangan

Nilai kerugian dari degradasi lahan tidak main-main. Menurut inisiatif Economics of Land Degradation (ELD), kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan mencapai antara USD 6,3 hingga 10,6 triliun per tahun.

Kehilangan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial:

  • Penurunan produktivitas pertanian
  • Krisis air dan kekeringan
  • Konflik lahan dan migrasi ekologis
  • Ketimpangan sosial akibat akses lahan yang tidak merata

Dimensi Sosial-Ekonomi: Siapa yang Paling Rentan?

Transformasi lahan sering terjadi tanpa memperhatikan dimensi keadilan. Laporan PIK menyoroti kelompok paling terdampak:

  • Petani kecil yang kehilangan akses tanah subur
  • Komunitas adat yang tergeser oleh ekspansi agribisnis
  • Perempuan yang tidak memiliki hak atas lahan
  • Masyarakat urban yang terancam oleh banjir akibat betonisasi lahan hijau

Ketidakadilan distribusi manfaat dan beban ini memperparah risiko sosial, memperdalam ketimpangan, dan menghambat partisipasi publik dalam restorasi lahan.

Transformasi Nyata: Strategi Keluar dari Jurang Krisis

Laporan PIK menyarankan enam pendekatan transformatif untuk menjaga keberlanjutan sistem lahan:

1. Produktivitas dan Kesehatan Tanah

Intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) diperlukan untuk meningkatkan hasil tanpa merusak tanah. Teknologi organik, rotasi tanaman, dan agroekologi terbukti memperbaiki produktivitas sekaligus menjaga kualitas tanah.

2. Restorasi Ekosistem

Contoh sukses datang dari program “Green Great Wall” di Afrika dan restorasi hutan mangrove di Asia Tenggara yang tidak hanya menahan abrasi tetapi juga memperbaiki perikanan pesisir.

3. Manajemen Air Berbasis Ekosistem

Dengan 18% daratan dunia kini mengalami kekeringan ekstrem (indikator blue water) dan 15,8% menghadapi kehilangan kelembaban tanah (green water), diperlukan pendekatan berbasis ekohidrologi dan efisiensi irigasi.

4. Solusi Digital

Pemanfaatan AI, big data, dan remote sensing dalam pemetaan degradasi lahan dan pengambilan keputusan berbasis bukti semakin krusial.

5. Integrasi Rantai Pasok

Kebijakan lahan tidak bisa dipisahkan dari konsumsi global. Praktik produksi kedelai di Amerika Selatan, misalnya, terkait erat dengan permintaan pakan di Eropa dan Asia. Transparansi rantai pasok dan jejak karbon produk pertanian perlu ditingkatkan.

6. Perbaikan Tata Kelola

Laporan menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah, transparansi, dan insentif fiskal untuk restorasi. Subsidi yang justru mendorong deforestasi perlu direformasi.

Studi Kasus Inspiratif: Harapan dari Berbagai Belahan Dunia

• Ethiopia: Regreening Highlands

Melalui community-led watershed management, lebih dari 3 juta hektar lahan berhasil direstorasi. Peningkatan tutupan vegetasi berdampak positif pada air tanah dan ketahanan pangan.

• Brasil: Pembatasan Legal Amazon

Meskipun mendapat tekanan dari ekspansi pertanian, beberapa wilayah di Brasil berhasil menurunkan deforestasi melalui sistem monitoring berbasis satelit, penegakan hukum, dan insentif bagi petani kecil.

• India: Digital Soil Health Cards

Program ini meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan memperbaiki hasil panen di lebih dari 140 juta petani.

Pendekatan Adil: Transformasi Tidak Bisa Seragam

Laporan PIK menegaskan pentingnya prinsip keadilan dan inklusivitas dalam aksi transformatif. Tidak semua negara, komunitas, atau individu memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis fair share, pengurangan jejak ekologis negara maju, dan dukungan keuangan internasional menjadi sangat penting.

Rekomendasi Kebijakan: Dari Ilmiah ke Implementasi

  1. Integrasikan batas planet dalam kebijakan nasional dan lokal.
  2. Berikan prioritas pendanaan untuk restorasi dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
  3. Bangun mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat akar rumput.
  4. Reformasi sistem subsidi pertanian dan kehutanan agar sejalan dengan keberlanjutan.
  5. Gunakan kerangka kerja batas planet sebagai alat pengambilan keputusan dalam perdagangan, investasi, dan infrastruktur.

Penutup: Kita Masih Bisa Melangkah Mundur

Laporan PIK memberikan kita peta jalan untuk menghindari bencana ekologi yang sedang mengintai. Dengan pengelolaan lahan yang berkeadilan, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, kita masih memiliki peluang untuk melangkah mundur dari jurang.

Masa depan tidak ditentukan oleh ketidakpastian, tetapi oleh pilihan. Dan pilihan itu harus dimulai dari bagaimana kita memperlakukan lahan—penyangga kehidupan kita di planet ini.

Sumber Artikel:

Tomalka, J., Hunecke, C., Murken, L., Heckmann, T., Cronauer, C., Becker, R., Collignon, Q., Collins-Sowah, P., Crawford, M., Gloy, N., Hampf, A., Lotze-Campen, H., Malevolti, G., Maskell, G., Müller, C., Popp, A., Vodounhessi, M., Gornott, C., Rockström, J. (2024). Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries. Potsdam, Germany: Potsdam Institute for Climate Impact Research.

Selengkapnya
Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi
« First Previous page 64 of 1.104 Next Last »