Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian ini menyoroti pentingnya kualitas dalam proyek konstruksi jalan sebagai faktor utama dalam efisiensi anggaran publik dan keberlanjutan infrastruktur. Studi di Swedia menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dalam tahap desain, pelaksanaan, dan pengawasan berkontribusi terhadap pemborosan anggaran, keterlambatan proyek, serta rendahnya umur layanan jalan.
Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini menekankan perlunya sistem quality assurance yang kuat dan mekanisme audit independen. Swedia, melalui kebijakan Total Quality Management (TQM) dan sistem evaluasi kontraktor berbasis kinerja, berhasil menekan tingkat kegagalan proyek.
Bagi Indonesia, studi ini menjadi relevan mengingat persoalan klasik seperti jalan cepat rusak dan lemahnya pengawasan mutu. Pelatihan seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi sarana peningkatan kompetensi aparatur dan kontraktor dalam memastikan pembangunan jalan yang efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Temuan lapangan di Swedia menunjukkan beberapa dampak positif dari kebijakan peningkatan kualitas konstruksi jalan:
Penurunan biaya pemeliharaan jangka panjang hingga 30% melalui perbaikan mutu material dan kontrol desain.
Peningkatan kepuasan pengguna jalan akibat stabilitas struktur.
Terbangunnya kepercayaan antara pemerintah dan kontraktor melalui sistem evaluasi berbasis kinerja.
Hambatan yang ditemukan:
Resistensi dari kontraktor kecil terhadap standar mutu baru karena peningkatan biaya awal.
Kurangnya tenaga ahli di bidang manajemen mutu dan audit proyek.
Proses birokrasi yang panjang dalam penyesuaian regulasi kontrak publik.
Peluang besar muncul melalui penerapan digital project management systems dan Building Information Modeling (BIM) yang mampu meningkatkan transparansi dan efisiensi pelaksanaan proyek di Indonesia.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bangun Sistem Evaluasi Kinerja Kontraktor Nasional: Terapkan model seperti Swedish Transport Administration’s Contractor Assessment untuk menilai mutu pekerjaan dan kepatuhan.
Tingkatkan Kapasitas Aparatur dalam Quality Management: Adakan pelatihan berkala untuk memperkuat kompetensi teknis dan administratif.
Gunakan Teknologi Digital untuk Monitoring Proyek: Terapkan sistem digital monitoring berbasis sensor dan BIM guna meminimalkan penyimpangan proyek.
Dorong Kolaborasi Publik-Swasta dalam Inovasi Material: Libatkan universitas dan industri untuk mengembangkan bahan konstruksi yang lebih tahan lama.
Perkuat Regulasi Audit Independen dan Transparansi Proyek: Pastikan lembaga pengawas memiliki independensi penuh dalam menilai kualitas dan biaya proyek.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan peningkatan kualitas konstruksi berisiko gagal jika hanya berfokus pada aspek teknis tanpa memperhatikan tata kelola kelembagaan. Risiko utamanya meliputi:
Ketergantungan pada kontraktor besar, yang menyingkirkan pelaku usaha kecil.
Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem quality assurance.
Kurangnya transparansi publik yang dapat memunculkan potensi moral hazard.
Untuk mencegah hal ini, kebijakan mutu perlu diiringi dengan reformasi kelembagaan, pelibatan masyarakat dalam pengawasan proyek, dan sistem penghargaan bagi kontraktor yang berintegritas.
Penutup
Kualitas proyek jalan adalah indikator keberhasilan kebijakan infrastruktur nasional. Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa peningkatan mutu konstruksi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga manajemen, akuntabilitas, dan inovasi.
Dengan penerapan sistem evaluasi berbasis kinerja, pelatihan kompetensi teknis, serta integrasi teknologi dalam pengawasan proyek, Indonesia dapat menciptakan sistem pembangunan jalan yang efisien, tahan lama, dan berdaya saing tinggi.
Sumber
Swedish Transport Administration (2022). Quality of Road Construction Projects in Sweden: Analysis and Policy Lessons.
Teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Pertama, mari kita sepakati: jalanan kita saat ini bodoh. Sistem keselamatan mobil kita, secanggih apa pun, pada dasarnya reaktif. Mereka punya sensor, tapi mereka bereaksi terhadap apa yang sudah terjadi. Rem darurat otomatis baru bekerja setelah seorang anak berlari ke jalan.
Masalahnya, seperti yang dijabarkan di bagian "Motivation" paper ini, dunia tidak memberi kita kemewahan waktu.
Para peneliti menyoroti statistik suram dari World Health Organization: 27% dari 1,24 juta korban jiwa lalu lintas di seluruh dunia adalah VRU. Di Jerman, tempat penelitian ini berasal, 69% kecelakaan fatal terjadi di perkotaan, terutama di persimpangan.
Mengapa persimpangan begitu mematikan? Para peneliti menunjuk dua alasan yang sangat manusiawi:
Oklusi (Occlusions): Sederhananya, titik buta. Mobil Anda tidak bisa melihat anak yang berlari dari balik bus yang sedang parkir atau pesepeda yang terhalang truk.
Ketidakpastian (Unpredictability): Ini yang paling penting. Pejalan kaki dan pesepeda bisa "secara tiba-tiba memulai gerakan atau mengubah arah" dalam "beberapa ratus milidetik".
Sistem reaktif gagal total menghadapi dua masalah ini. Saat sensor mobil Anda akhirnya melihat anak yang keluar dari balik bus (memecahkan oklusi), Anda mungkin sudah tidak punya waktu "beberapa ratus milidetik" itu untuk bereaksi.
Di sinilah letak lompatan konseptual besar dari paper ini. Solusinya tidak bisa reaktif; ia harus prediktif. Kita tidak perlu mendeteksi gerakan pejalan kaki; kita perlu mendeteksi niat mereka untuk bergerak.
Saat Mobil, Lampu Lalu Lintas, dan Ponsel Anda Mulai Berbisik
Jadi, bagaimana cara Anda memprediksi niat? Anda tidak bisa memasang satu kamera super di setiap mobil dan berharap selesai. Masalah oklusi tetap ada.
Solusi brilian yang diusulkan paper ini adalah: "Collective Intelligence" (CI) atau Kecerdasan Kolektif.
Lupakan ide tentang satu mobil super-jenius ala Tesla yang berjuang sendirian. Bayangkan satu mobil adalah satu neuron. Sendirian, dia tidak terlalu pintar. Dia hanya bisa melihat apa yang ada tepat di depannya. Tapi paper ini mengusulkan untuk menghubungkan semua neuron di persimpangan.
Siapa "agen" dalam jaringan kecerdasan kolektif ini?
Kendaraan Cerdas: Mobil Anda, mobil di sebelah Anda, bus di depan Anda.
Infrastruktur: Ini adalah pengubah permainan. Kamera di lampu lalu lintas, pemindai laser yang dipasang di sudut jalan.
VRU Sendiri: Dan ini bagian yang paling menarik. Smartphone Anda, smartwatch Anda, atau sensor yang Anda pakai.
Tiba-tiba, masalah oklusi mulai terpecahkan. Mobil Anda tidak bisa melihat pesepeda di balik bus. Tapi, kamera di tiang lampu lalu lintas bisa melihatnya. Dan smartphone di saku si pesepeda tahu dari akselerometernya bahwa dia sedang bergerak.
Ketika semua agen ini "berbisik" satu sama lain melalui jaringan ad hoc , mereka menciptakan apa yang disebut paper ini sebagai "Global Vision" atau pandangan-dewa dari persimpangan. Tujuannya adalah untuk "memperluas cakrawala persepsi" setiap agen individu melampaui sensor mereka sendiri.
Sistem "agen" heterogen yang saling berbicara dan berbagi data ini adalah definisi buku teks dari(https://diklatkerja.com/course/internet-of-things-basic). Ini bukan lagi kulkas pintar yang memesan susu; ini adalah infrastruktur yang saling terhubung yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa.
Paper Ini Tidak Sedang Memprediksi Ke Mana Anda Pergi, Tapi Bagaimana Anda Akan Pergi
Di sinilah letak inti teknis dari paper ini, dan bagian yang paling membuat saya terkesan. Oke, sistemnya bisa "melihat" semua orang. Terus? Bagaimana itu membedakannya dari sistem pengawasan biasa?
Jawabannya: sistem ini tidak hanya melacak titik. Ia mencoba membaca pikiran.
Para peneliti membagi "Intention Detection" menjadi dua lapisan yang berbeda namun saling berhubungan.
H3: Lapisan Niat Pertama: Prediksi Gerakan Dasar (The 'Vibe')
Ini adalah "getaran" atau "bahasa tubuh" dari seorang VRU. Secara teknis, mereka menyebutnya "Basic Movement Primitive Prediction".
Sistem ini tidak hanya melihat "objek pejalan kaki". Ia dilatih menggunakan machine learning untuk mengenali perbedaan halus antara:
Seseorang yang "berdiri" (mungkin menunggu bus).
Seseorang yang "berdiri-dan-akan-berjalan" (misalnya, ada pergeseran berat badan, kepala menoleh berulang kali ke arah lalu lintas).
Seorang pesepeda yang "mengayuh stabil".
Seorang pesepeda yang "melambat untuk berhenti".
Seorang pesepeda yang "melambat-sambil-menoleh-ke-belakang-untuk-berbelok".
Sistem ini bahkan dilatih untuk mengenali gestur, seperti "mengangkat lengan untuk memberi tanda belok". Ini adalah deteksi transisi keadaan. Ini adalah psikologinya.
H3: Lapisan Niat Kedua: Ramalan Lintasan (The 'Physics')
Setelah, dan hanya setelah, sistem memahami niat ("dia akan berbelok"), barulah ia bisa memprediksi jalur fisiknya secara akurat.
Ini disebut "Forecast of the future trajectory". Ini adalah ramalan fisika murni: ke mana titik-titik di tubuh orang itu (kepala, pusat gravitasi, persendian) akan bergerak dalam ruang 3D selama 1-3 detik ke depan.
Mengapa memisahkan keduanya adalah sebuah terobosan?
Karena model-model lama (yang disebut di paper seperti Bayesian recursive state estimator ) gagal total karena mereka hanya melakukan Lapisan 2 (Prediksi Lintasan). Mereka melihat pejalan kaki dan pada dasarnya mengasumsikan dia akan terus berjalan lurus seperti robot. Begitu pejalan kaki itu tiba-tiba berubah pikiran, model itu hancur.
Paper ini menyatakan bahwa Lapisan 1 ("Prediksi Gerakan Dasar") harus menginformasikan Lapisan 2 ("Ramalan Lintasan").
Bayangkan skenario ini: Sistem melihat seorang pesepeda melambat.
Model Lama (Hanya Fisika): "Dia melambat. Data historis mengatakan 90% orang yang melambat akan berhenti. Prediksi saya: dia akan berhenti di tepi jalan."
Model Baru (Niat + Fisika): Lapisan 1 mendeteksi "lengan terangkat untuk memberi tanda belok". Sistem langsung berpikir, "Aha! Dia bukan berhenti, dia bersiap berbelok." Sistem kemudian mengabaikan model prediksi "berhenti" dan beralih ke model prediksi "berbelok".
Inilah lompatan besar dalam keandalan.
Di Dapur Para Insinyur: Cara Mereka Menggabungkan Gosip Digital Ini
Oke, jadi mobil, kamera, dan ponsel semuanya "berbisik" dalam jaringan. Tapi bagaimana "otak" kolektif mendengarkan semua gosip ini dan mengambil satu keputusan yang koheren? Ini adalah masalah fusi data.
Para peneliti mengusulkan arsitektur (di Gambar 3) yang memungkinkan dua strategi fusi yang berbeda (di Gambar 4). Saya akan menjelaskannya dengan analogi.
H3: Metode 1: 'Tim Detektif' (Feature-level Fusion)
Ini adalah sisi kiri dari Gambar 4 di paper.
Analogi: Bayangkan sebuah tim detektif yang menyelidiki sebuah kasus. Setiap "agen" (mobil, kamera) tidak membuat kesimpulan. Mereka hanya mengumpulkan petunjuk mentah (disebut "fitur").
Mobil: "Saya melihat bentuk kabur bergerak dengan kecepatan 10 km/jam."
Kamera: "Saya melihat warna merah dan dua lingkaran berputar (roda sepeda)."
Ponsel: "Saya mendeteksi guncangan dari akselerometer yang konsisten dengan 'mengayuh'."
Semua "fitur" mentah ini dikirim ke satu "detektif kepala" (sistem fusi pusat) yang melihat semua petunjuk bersama-sama dan baru membuat satu kesimpulan: "Itu adalah pesepeda yang sedang mengayuh."
Pro/Kontra: Ini berpotensi sangat akurat karena detektif kepala melihat gambaran lengkapnya. Tapi, ini sangat boros bandwidth (mengirim banyak data mentah) dan bisa jadi lambat.
H3: Metode 2: 'Panel Ahli' (Decision-level Fusion)
Ini adalah sisi kanan dari Gambar 4.
Analogi: Bayangkan sebuah panel ahli. Setiap "agen" adalah ahli yang cerdas. Mereka melihat semua data sendiri dan membuat kesimpulan mereka sendiri terlebih dahulu.
Mobil: "Setelah analisis saya, saya 80% yakin itu pesepeda yang akan lurus."
Kamera: "Saya 95% yakin itu pesepeda yang akan belok kiri."
Ponsel: "Saya 70% yakin itu pesepeda yang akan lurus."
Mereka lalu mengirimkan keputusan mereka (bukan data mentah) ke "moderator" (sistem fusi) yang pada dasarnya melakukan voting (mungkin dengan bobot, berdasarkan seberapa "yakin" si ahli) untuk membuat keputusan akhir.
Pro/Kontra: Ini jauh lebih cepat dan sangat hemat bandwidth (hanya mengirim pesan "80% yakin"). Tapi, ada risiko kehilangan nuansa penting yang ada di data mentah.
Bagian yang cerdas adalah paper ini tidak memilih satu. Arsitektur mereka dirancang untuk mendukung keduanya. Ini berarti sistem dapat beradaptasi. Dalam situasi lalu lintas yang sepi, ia bisa menggunakan "Tim Detektif" yang lambat tapi akurat. Di persimpangan yang kacau balau saat jam sibuk, ia bisa beralih ke "Panel Ahli" yang cepat untuk keputusan real-time.
Seluruh proses ini—mengambil data mentah (fitur), melatih model untuk mengenalinya (menggunakan teknik seperti Histogram of Oriented Gradients (HOG) , Support Vector Machines (SVMs), dan Artificial Neural Networks (ANNs) )—adalah inti dari Artificial Intelligence dan(https://diklatkerja.com/course/big-data-dan-artificial-intelligence). Ini adalah salah satu aplikasi dunia nyata paling keren dari konsep-konsep tersebut yang pernah saya baca.
Poin-Poin Penting yang Harus Anda Ingat (Versi Cepat)
Paper ini adalah proposal arsitektur, jadi tidak ada hasil bombastis seperti "62% lebih efisien". Fokusnya adalah pada visi dan inovasi metodologi.
🚀 Visinya Luar Biasa: Kita bergeser dari paradigma "mobil otonom tunggal" (setiap mobil adalah benteng yang berjuang sendiri) ke "ekosistem otonom kolaboratif" (setiap mobil, tiang lampu, dan pejalan kaki adalah rekan satu tim).
🧠 Inovasi Utamanya: Memecahkan masalah "oklusi" (titik buta) dengan sensor fusion. Mobil Anda tidak perlu melihat Anda untuk tahu Anda ada di sana, karena infrastruktur dan ponsel Anda sudah memberitahunya.
💡 Pelajaran Buat Saya: Solusi terbaik untuk masalah yang kompleks seringkali bukan satu agen super-pintar, tapi banyak agen "cukup pintar" yang mau berkolaborasi dan berbagi data. Itulah inti dari "Collective Intelligence".
🤯 Konsep Kunci: Memisahkan niat psikologis ("basic movement primitive") dari aksi fisik ("trajectory forecast"). Ini adalah kunci untuk prediksi yang benar-benar andal.
Sebuah Kritik Halus: Apa yang (Sengaja?) Dilewatkan oleh Paper Ini
Meskipun saya menyukai visi ini, ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang—menurut saya—tidak dijawab oleh paper ini.
H3: Masalah Kesenjangan Digital (The Digital Divide)
Seluruh arsitektur yang agung ini (digambarkan di Gambar 3) memiliki tiga pilar: Mobil, Infrastruktur, dan "Body" (sensor yang dipakai VRU). Pilar "Body" ini bergantung pada "VRU yang dilengkapi dengan perangkat pintar".
Mari kita pikirkan sejenak. Siapa VRU yang paling rentan di jalanan? Seringkali anak-anak yang berlari mengejar bola, lansia, atau tunawisma. Mereka adalah kelompok yang paling tidak mungkin membawa smartphone atau smartwatch terbaru yang menjalankan aplikasi pelacakan ini.
Apakah sistem ini secara tidak sengaja menciptakan "kasta" keselamatan di jalan? Di mana mereka yang kaya dan memiliki teknologi terbaru menjadi "terlihat" dan dilindungi oleh sistem, sementara mereka yang tidak mampu membelinya menjadi semakin tidak terlihat dan rentan? Paper ini tidak membahas bias sosio-ekonomi yang sangat nyata ini.
H3: Masalah Ketergantungan dan Akurasi
Paper ini dengan jujur mengakui di bagian akhir bahwa data dari sensor yang dipakai di tubuh (ponsel) "jauh kurang akurat mengenai penentuan posisi absolut" dibandingkan, katakanlah, video dari kamera infrastruktur.
Mereka lalu mengatakan ini tidak apa-apa karena (1) informasi yang tidak akurat pun lebih baik daripada tidak ada informasi sama sekali (terutama saat terhalang) dan (2) "sistem sensor di perangkat seluler akan terus ditingkatkan".
Alasan kedua itu, terus terang, adalah sedikit hand-waving—mengandalkan teknologi masa depan untuk memperbaiki masalah desain hari ini. Menggantungkan sistem keselamatan real-time yang kritis pada akurasi GPS ponsel yang terkenal buruk di "hutan kota" (dikelilingi gedung tinggi) terasa sangat berisiko bagi saya.
H3: Masalah Privasi dan Komunikasi
Mari kita bahas gajah di dalam ruangan. Smartphone saya akan terus-menerus menyiarkan "niat" saya—pergerakan dasar saya, ke mana saya melihat, prediksi ke mana saya akan melangkah—ke setiap mobil dan infrastruktur di sekitar saya?
Siapa yang memiliki data ini? Bagaimana data ini dianonimkan? Apa yang terjadi jika data ini diretas?
Secara teknis, paper ini hanya menyebutkan bahwa "strategi baru untuk jaringan ad hoc diusulkan". Ini adalah cara akademis untuk mengatakan, "Kami tahu ini masalah besar, tapi itu bukan fokus kami." Menciptakan jaringan on-the-fly yang stabil, aman, dan berlatensi sangat rendah antara puluhan agen yang bergerak (mobil, orang) di persimpangan yang kacau adalah tantangan teknik yang monumental. Paper ini mengidentifikasinya, tetapi tidak menyelesaikannya.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bukan Cuma di Mobil)
Anda mungkin tidak sedang membangun mobil otonom. Saya juga tidak. Tapi prinsip-prinsip dalam paper ini sangat relevan dengan cara kita bekerja setiap hari.
Pelajaran 1: Hancurkan Silo Data Anda. Mobil yang sendirian di paper ini adalah "silo". Ia buta terhadap apa yang tidak bisa dilihatnya. Di kantor Anda, tim sales adalah "silo". Tim marketing adalah "silo". Tim produk adalah "silo". Mereka semua memiliki "oklusi" (titik buta). Visi "Collective Intelligence" adalah tentang menciptakan fusi data. Bagaimana Anda bisa membuat data dari tim sales (umpan balik pelanggan) secara otomatis menginformasikan model tim marketing (target audiens)?
Pelajaran 2: Debat 'Feature' vs. 'Decision' di Rapat Anda. Ingat analogi 'Tim Detektif' (feature-level) vs. 'Panel Ahli' (decision-level)?. Ini terjadi di setiap rapat yang pernah Anda hadiri. Apakah Anda ingin tim Anda membawa "data mentah" (fitur) ke rapat untuk dianalisis bersama? (Ini lambat, tapi mendalam). Atau Anda ingin setiap anggota tim datang dengan "keputusan" mereka yang sudah matang dan Anda tinggal melakukan voting? (Ini cepat, tapi dangkal). Keduanya adalah strategi yang valid, dan paper ini mengajarkan kita untuk bersikap fleksibel tentang kapan menggunakan yang mana.
Mengelola semua bagian yang bergerak ini—data dari agen yang berbeda, tujuan yang saling bertentangan, timeline yang ketat, dan komunikasi antar tim—pada dasarnya adalah inti dari Project Management. Paper ini, pada intinya, adalah proposal untuk sistem manajemen proyek yang sangat canggih untuk keselamatan lalu lintas.
Bayangkan kembali "tarian" canggung di persimpangan yang saya ceritakan di awal.
Sekarang bayangkan ini: Anda melangkah ke tepi trotoar. Bahkan sebelum kaki Anda meninggalkan trotoar, sistem "Collective Intelligence" ini telah mendeteksi pergeseran postur dan arah pandangan Anda. Ia mengklasifikasikan "gerakan dasar" Anda sebagai 'akan-menyeberang'.
Secara instan, sistem ini memberi tahu setiap mobil dalam radius 100 meter bahwa niat Anda adalah 'akan-menyeberang'. Mobil yang mendekat tidak hanya "melihat" Anda sebagai objek. Ia memahami niat Anda. Tidak ada lagi tarian canggung. Tidak ada lagi ambiguitas.
Itu adalah dunia yang sedang dibangun oleh para peneliti ini. Ya, ini rumit. Ya, ini sedikit menyeramkan dari sisi privasi. Tapi ini juga sangat brilian.
Kalau kamu tertarik dengan ini, dan ingin ikut pusing-pusing seru bareng saya memikirkan detail teknisnya, coba baca paper aslinya. Ini bacaan yang padat, tapi sangat sepadan.
Opini Sains
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Itu terjadi Selasa lalu. Saya sedang mendengarkan podcast, melangkah dari trotoar di persimpangan yang saya lewati setiap hari. Saya melirik ke kiri, melihat sedan merah masih "jauh". Saya punya banyak waktu.
Lalu, klakson.
Saya melompat mundur ke trotoar saat sedan merah itu melesat lewat, hanya beberapa inci dari lutut saya. Jantung saya berdebar kencang. Pengemudinya membentak saya. Saya balas membentak.
Dalam pikiran saya, saya aman. Saya telah membuat kalkulasi sepersekian detik dan menyimpulkan "aman untuk menyeberang". Tapi fisika berkata lain. Jarak yang saya rasakan dan jarak sebenarnya adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Pengalaman universal yang menakutkan ini—momen "nyaris celaka"—adalah inti dari masalah yang dibahas dalam "Book of Abstracts" setebal 72 halaman dari lokakarya ICTCT (International Co-operation on Theories and Concepts in Traffic Safety). Seluruh buku ini, yang baru saja saya "lahap" selama akhir pekan, pada dasarnya bertanya: Mengapa perasaan aman kita seringkali salah? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa mengukur bahaya sebelum seseorang benar-benar tertabrak?
Kesimpulan saya setelah membaca puluhan abstrak penelitian ini? Hampir semua yang kita—sebagai masyarakat—pikirkan tentang keselamatan di jalan raya itu keliru. Kita terobsesi dengan data yang salah, seringkali menyalahkan orang yang salah, dan akibatnya, kita membangun solusi yang salah.
Tapi ada cara yang lebih baik. Dan itu dimulai dengan sebuah filosofi yang radikal.
Kita Tidak Butuh Darah di Jalan untuk Tahu Itu Berbahaya
Inilah filosofi inti dari grup peneliti ICTCT, dicetak dengan huruf kapital semua: "KITA TIDAK MEMBUTUHKAN KECELAKAAN UNTUK MENCEGAH KECELAKAAN!".
Ini adalah sebuah revolusi. Pikirkan sejenak: Bagaimana cara kota Anda memutuskan di mana harus memasang zebra cross baru atau lampu lalu lintas? Jawabannya hampir selalu: setelah ada cukup banyak orang yang terluka atau tewas di lokasi tersebut. Kebijakan keselamatan kita bersifat reaktif. Kita menunggu data kecelakaan (biasanya data polisi) terkumpul selama 3-5 tahun, menemukan "titik hitam" (black spots), lalu mungkin, mungkin, memperbaikinya.
Sebuah paper dari Ralf Risser menjelaskan mengapa pendekatan ini gagal total.
Data kecelakaan standar bisa memberi tahu Anda apa yang terjadi (misalnya, "mobil menabrak sepeda") dan di mana itu terjadi. Tapi itu tidak bisa memberi tahu Anda mengapa.
Data itu tidak bisa memberi tahu Anda apa yang dilihat pengemudi, ke mana mereka berencana pergi, seberapa fokus mereka pada lalu lintas, apa yang mereka persepsikan, atau strategi apa yang mereka gunakan. Untuk memahami mengapa, kita perlu beralih dari "data kecelakaan" ke "indikator bahaya"—sesuatu yang oleh para peneliti ini disebut traffic conflicts (konflik lalu lintas) dan near-accidents (nyaris celaka). Momen klakson sedan merah saya itu.
Sebuah studi kasus sempurna tentang mengapa data kita saat ini buta berasal dari Belanda, meneliti kecelakaan sepeda fatal. Para peneliti melakukan sesuatu yang brilian: mereka membandingkan statistik polisi dengan statistik "penyebab kematian" (yang diisi oleh pemeriksa medis).
Inilah yang mereka temukan:
Untuk tabrakan sepeda-kendaraan bermotor, kedua datanya cocok.
TAPI... untuk kecelakaan fatal sepeda tanpa kendaraan bermotor (misalnya, pengendara jatuh sendiri dan meninggal), statistik polisi sangat meremehkan jumlahnya.
Masalah ini tersembunyi dan terus bertambah.
Mari kita pikirkan implikasinya. Jika data polisi salah, maka seluruh kebijakan keselamatan sepeda kita mungkin salah. Kita mungkin menghabiskan miliaran rupiah untuk membangun jalur sepeda yang "melindungi" pesepeda dari mobil, tetapi kita sama sekali mengabaikan alasan sebenarnya mengapa pesepeda meninggal—yang bisa jadi karena infrastruktur yang buruk.
Ini terhubung sempurna dengan paper lain dalam buku yang sama , yang menemukan bahwa di Belanda, pedoman nasional untuk infrastruktur sepeda (seperti lebar jalur yang memadai dan zona bebas rintangan) sering tidak dipatuhi. Mengapa? Alasan yang paling sering disebutkan adalah "kurangnya ruang" atau "anggaran".
Jadi, kita secara aktif membangun infrastruktur yang mungkin berkontribusi pada epidemi "kecelakaan tunggal" yang tersembunyi ini, semua karena data reaktif kita gagal menunjukkannya. Kita butuh cara yang proaktif.
Tetapi masalahnya lebih dalam dari sekadar data yang buruk. Masalahnya ada di dalam kepala kita.
Otak Kita Pembohong Ulung: Mengapa Kita Semua Bodoh dalam Menilai Risiko
Ini adalah paper favorit saya di seluruh buku ini. Paper dari Rune Elvik pada dasarnya berargumen bahwa otak manusia, melalui evolusi, tidak mampu secara akurat menilai risiko di lalu lintas modern. Ada "hukum psikofisik universal" yang mengacaukan kita semua, setiap hari.
Hukumnya sederhana: Kita cenderung melebih-lebihkan (overestimate) probabilitas rendah atau kuantitas kecil, dan meremehkan (underestimate) probabilitas tinggi atau kuantitas besar.
Kedengarannya abstrak? Mari kita buat ini nyata.
Ilusi Kontrol Saat Menyeberang Jalan
Bayangkan ini, kembali ke skenario sedan merah saya.
Kamu berdiri di pinggir jalan. Sebuah mobil mendekat dengan kecepatan rendah, katakanlah 15 km/jam. Otakmu melihatnya dan berkata, "Wah, dia mungkin butuh jarak 20 meter untuk berhenti." Kamu melebih-lebihkannya. Jarak berhentinya sebenarnya jauh lebih pendek.
Situasi berikutnya. Mobil lain mendekat dengan kecepatan tinggi, 80 km/jam. Otakmu berkata, "Ah, dia mungkin butuh 50 meter untuk berhenti." Padahal, jarak pengereman sebenarnya (termasuk waktu reaksi pengemudi) adalah jauh lebih dari itu. Kamu meremehkannya secara besar-besaran.
Ini bukan hanya firasat saya. Paper Elvik mengonfirmasi hal ini dengan data: Pejalan kaki overestimate jarak berhenti mobil pelan dan underestimate jarak berhenti mobil kencang. Otak kita memberi kita ilusi keamanan palsu tepat pada saat kita paling membutuhkannya.
Mengapa "Hanya Nambah 10 km/jam" Adalah Kebohongan yang Kita Katakan pada Diri Sendiri
Hukum yang sama berlaku saat kita berada di belakang kemudi.
Kita melebih-lebihkan risiko dari kenaikan kecepatan kecil. (Misalnya, "Wah, ngebut dari 20 ke 30 km/jam di jalan perumahan terasa sangat berbahaya!").
Kita meremehkan risiko dari kenaikan kecepatan besar. (Misalnya, "Ah, bedanya mengemudi 100 km/jam dengan 110 km/jam di jalan tol apa sih?"). Padahal, secara fisika, peningkatan energi kinetik (dan risiko cedera) bersifat eksponensial.
Ini juga berlaku untuk risiko tertilang polisi.
Ketika risiko tertilang rendah (jalan sepi di malam hari), kita melebih-lebihkannya. ("Awas, polisi bisa ada di mana-mana!").
Ketika risiko tertilang tinggi (di area yang terkenal diawasi ketat), kita meremehkannya. ("Ah, aku bisa lolos, yang lain juga ngebut.").
Sekarang, mari kita tarik implikasi radikal dari temuan Elvik. Jika dia benar—jika kita semua secara biologis hardwired untuk salah menilai risiko—maka sebagian besar kampanye "kesadaran keselamatan" dan "pendidikan" lalu lintas yang kita lakukan pada dasarnya tidak ada gunanya.
Kita tidak bisa "mendidik" orang untuk melawan bias kognitif yang sudah tertanam selama ribuan tahun.
Kesimpulannya? Kita harus berhenti mencoba mengubah pikiran orang dan mulai mengubah lingkungan fisik tempat pikiran itu beroperasi. Kita harus merancang jalan yang mustahil untuk digunakan secara salah. Jika otak manusia tidak bisa diandalkan untuk menilai kecepatan 80 km/jam, maka jalan itu sendiri yang harus memaksa kecepatan turun—bukan dengan tanda "Pelan-pelan", tetapi dengan desain fisik yang membuatnya tidak nyaman untuk mengebut.
Roda Baru di Aspal: Dilema E-Bike yang Mengubah Segalanya
Jika ada satu hal yang membuat perencana kota pusing saat ini, itu adalah e-bike (dan saudaranya yang lebih sopan, pedelec atau sepeda dengan bantuan pedal). Mereka cepat, mereka senyap, dan mereka ada di mana-mana. Buku abstrak ini memiliki klaster khusus tentang mereka, dan temuannya... mengejutkan.
Lebih Cepat, Tentu Saja. Lebih Berbahaya? Ternyata Tidak.
Ketakutan terbesar kita adalah e-bike terlalu cepat untuk dikendalikan, terutama oleh pengguna jalan yang rentan seperti lansia.
Jadi, para peneliti di Belgia mengamatinya. Mereka mengambil sekelompok lansia (usia 65-75 tahun) dan menyuruh mereka bersepeda di rute 4,8 km menggunakan sepeda biasa dan pedelec.
🚀 Hasilnya luar biasa: Ya, mereka memang lebih cepat. Rata-rata 3 km/jam lebih cepat di jalan datar dan 5 km/jam lebih cepat di tanjakan.
🧠 Tapi... beban kerja mental mereka (diukur dengan tugas deteksi perifer) tidak ada bedanya antara sepeda biasa dan pedelec.
💡 Dan... detak jantung mereka secara signifikan lebih rendah saat di tanjakan.
Ini berarti mereka mendapatkan manfaat mobilitas (lebih cepat, lebih mudah menanjak) tanpa kelelahan fisik atau stres mental tambahan.
"Oke," katamu, "itu lansia. Bagaimana dengan populasi umum yang ngebut?"
Studi naturalistic cycling yang brilian dari Jerman menjawab ini. Mereka memasang kamera dan sensor GPS pada sepeda milik 90 orang dan membiarkan mereka berkendara secara alami selama empat minggu (total 17.000 km data!).
🚀 Kecepatannya luar biasa: S-pedelecs (yang bisa melaju hingga 45 km/jam) rata-rata 9 km/jam lebih cepat dari sepeda biasa. Pedelecs (hingga 25 km/jam) rata-rata 2 km/jam lebih cepat.
🧠 INI TEMUAN KUNCINYA: Para peneliti dengan susah payah mengidentifikasi 202 "Safety Critical Events" (SCEs) atau "peristiwa kritis keselamatan" (momen nyaris celaka). Namun, setelah menganalisis semua data... mereka tidak menemukan perbedaan signifikan dalam frekuensi SCEs di antara ketiga jenis sepeda (biasa, pedelec, s-pedelec).
Ini adalah sebuah paradoks. Kecepatan ekstra tidak secara otomatis berarti bahaya ekstra. Mengapa? Paper itu tidak menyimpulkan, tetapi datanya jelas: fokus publik dan kepanikan media pada kecepatan e-bike mungkin salah arah.
Mengapa Saya (dan Mereka) Mengendarai E-Bike di Trotoar
Jika bukan kecepatan, masalahnya apa? Perilaku. Secara spesifik, mengapa begitu banyak pengendara e-bike (di Israel, dalam studi ini ) secara ilegal menggunakan trotoar, yang membahayakan pejalan kaki?
Apakah mereka hanya orang-orang nakal? Tidak.
Studi ini menggunakan "Reasoned Action Approach" untuk mewawancarai pengendara dan menemukan tiga alasan psikologis utama mengapa mereka melakukannya:
Alasan Normatif: Persepsi bahwa "orang lain" (teman, orang tua) juga melakukannya dan menyetujuinya. Ini adalah tekanan sosial klasik.
Alasan Konsep Diri (Self-Concept): Ini adalah alasan terkuat. Ini adalah tentang perceived control (persepsi kontrol). Pengendara merasa lebih aman, lebih terkendali, dan lebih nyaman di trotoar, meskipun itu ilegal. Mereka merasa trotoar yang lebar dan aman memfasilitasi perilaku ini, sementara jalan raya terasa kacau dan berbahaya.
Alasan Moral: Ini yang paling menarik. Pengendara memiliki "norma moral" internal (rasa bersalah) untuk tidak melakukannya, tetapi norma ini "jauh dari level maksimal". Artinya, mereka tahu itu salah, tapi tidak terlalu salah.
Ini menghubungkan semuanya. Orang tidak naik e-bike di trotoar karena mereka "jahat". Mereka melakukannya karena infrastruktur jalan raya terasa sangat berbahaya sehingga melanggar hukum terasa lebih aman dan lebih bisa dikendalikan ("Alasan Konsep Diri").
Solusinya bukan hanya penegakan hukum (yang mencoba melawan "Alasan Konsep Diri" yang kuat). Solusinya adalah memperbaiki infrastruktur jalan raya sehingga terasa jauh lebih aman daripada trotoar. Sekali lagi, ini masalah desain, bukan edukasi.
Perjuangan Tak Terlihat dari Si Kaki Telanjang (dan Roda Kecil)
Fokus utama lokakarya ini adalah vulnerable road users (VRUs) atau "pengguna jalan rentan". Dan tidak ada yang lebih rentan daripada pejalan kaki dan pesepeda. Abstrak-abstrak ini melukiskan gambaran suram tentang bagaimana infrastruktur kita saat ini mengecewakan mereka.
Kebutuhan Bersama Anak-Anak dan Lansia yang Kita Abaikan
Sebuah studi di Wina, Austria , melakukan wawancara mendalam dengan anak-anak dan lansia tentang pengalaman mereka berjalan kaki.
Temuan Kunci: Kebutuhan mereka ternyata sama: keselamatan, rasa hormat, dan kenyamanan.
Kesimpulan Brutal: Para peneliti menyimpulkan bahwa sistem lalu lintas saat ini dirancang hanya untuk "kemampuan fisik orang dewasa yang sehat", sementara kebutuhan anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas "sebagian besar diabaikan". Mereka terpaksa mengembangkan "strategi kompensasi" (seperti berjalan memutar jauh) hanya untuk bertahan hidup di lingkungan yang memusuhi mereka.
Apa yang Saya Sadari Setelah Melihat Studi Jalur Bus Ini (Kritik Halus #1)
Kadang-kadang, bahkan ketika kita mencoba untuk membantu, intuisi kita salah.
Masalah: Haruskah sepeda diizinkan berbagi jalur dengan bus? Ini adalah perdebatan besar di banyak kota.
Hipotesis "Akal Sehat": Pedoman desain internasional (dari Flanders, Jerman, Australia) menyarankan agar jalur bus dibuat sempit. Logikanya? Ini akan memaksa pengemudi bus untuk pindah ke jalur sebelah saat menyalip sepeda, yang dianggap lebih aman daripada menyalip "tipis" di dalam jalur yang sama.
Apa yang Ditemukan Studi Ini: Sebuah studi di Belgia menggunakan analisis video untuk membandingkan satu jalur sempit (yang "direkomendasikan") dengan satu jalur lebar (yang dianggap "terlalu lebar").
🚀 Hasilnya luar biasa: Hipotesis itu salah.
🧠 Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dalam jumlah salipan berbahaya (kurang dari 1 meter) antara kedua desain tersebut.
💡 Bahkan, ada kecenderungan (meskipun tidak signifikan) ke arah lebih banyak salipan berbahaya di jalur sempit yang direkomendasikan.
Ini adalah contoh kedua di mana "akal sehat" desain infrastruktur kita terbukti salah oleh data. Intuisi kita tentang bagaimana manusia (dalam hal ini, pengemudi bus) akan berperilaku ternyata keliru.
Tombol Lampu Merah Itu Ternyata Palsu (Secara Psikologis)
Ini satu lagi. Bagaimana kepatuhan pejalan kaki terhadap lampu lalu lintas?
Data Keras: Sebuah studi besar di Belgia mengamati 69.211 pejalan kaki.
🚀 Hasilnya: Rata-rata 21% melanggar lampu merah.
Temuan Paling Mengejutkan (Perangkap Intuisi #2):
Apa yang menurunkan pelanggaran? Kepadatan lalu lintas. Jika jalanan ramai, orang lebih patuh. Ini masuk akal.
Apa yang meningkatkan pelanggaran? Keberadaan tombol tekan (push buttons).
Tunggu, apa?
Bukankah tombol itu seharusnya membuat pejalan kaki lebih aman? Mengapa itu malah meningkatkan pelanggaran? Abstrak tidak menjelaskan "mengapa", tapi saya bisa berspekulasi: mungkin tombol itu memberikan ilusi kontrol, tetapi waktu tunggunya terlalu lama. Seorang pejalan kaki menekan tombol, tidak terjadi apa-apa, mereka merasa diabaikan, frustrasi, dan kemudian menyeberang saat merah.
Ini adalah cermin sempurna dari studi "Hukum Statistik" dan studi "E-bike di Trotoar". Ini semua tentang persepsi kontrol vs. realitas fisik. Infrastruktur kita menjanjikan sesuatu ("tekan ini dan kamu akan aman") tetapi gagal memenuhinya dengan cukup cepat, mendorong perilaku tidak aman.
Kritik Halus Saya: Apakah Kita Hanya Menghitung Mobil?
Meskipun temuan ini hebat, ada bias yang mengakar dalam banyak penelitian ini. Sebuah paper di halaman 14 meninjau "traffic conflict indicators" (TCI)—alat yang digunakan para peneliti untuk mengukur "nyaris celaka" secara objektif.
Masalahnya: Ulasan tersebut menemukan bahwa banyak indikator yang umum digunakan ini "agak 'berorientasi mobil'" (car-oriented). Mereka pandai mengukur waktu-ke-tabrakan antara dua mobil, tetapi memiliki "kelemahan signifikan" saat menilai konflik dengan pengguna jalan non-motor (pejalan kaki dan pesepeda).
Ini adalah opini pribadi saya: Ini adalah masalah besar. Jika alat ukur kita sendiri bias terhadap mobil, maka solusi yang kita usulkan juga akan bias terhadap mobil. Kita bisa secara tidak sengaja merancang infrastruktur yang terlihat "aman" dalam metrik TCI kita, tetapi sebenarnya mengabaikan bahaya nyata bagi pejalan kaki dan pesepeda. Kita perlu mengembangkan alat baru.
Masa Depan Keselamatan: Dari Debat Kusir Menjadi Analisis Data
Jadi, mari kita rangkum:
Data kecelakaan kita yang ada saat ini bias dan tidak lengkap.
Otak kita tidak bisa diandalkan untuk menilai risiko secara akurat.
Intuisi "akal sehat" kita tentang desain infrastruktur seringkali salah.
Ini terdengar menyedihkan. Tapi solusinya ada di bagian akhir buku abstrak ini. Solusinya: Berhenti berdebat dan mulai mengukur segalanya.
Di sinilah "Big Data" masuk. Filosofi ICTCT tentang "indikator bahaya" akhirnya menjadi mungkin dalam skala besar berkat teknologi baru.
Membaca "Sentakan" dan "Konflik" dari dalam Matrix
Alih-alih menunggu tabrakan, para peneliti ini sekarang mengumpulkan data proxy (pengganti) untuk bahaya secara proaktif.
Metode 1: "Sentakan" (Jerks). Satu studi menggunakan Floating Car Data (FCD)—pada dasarnya, data GPS anonim dari 425 mobil—untuk mencari "sentakan". "Sentakan" adalah istilah fisika untuk turunan dari deselerasi, alias pengereman yang sangat mendadak. Hipotesisnya adalah bahwa "sentakan" ini adalah proxy untuk konflik serius atau nyaris celaka. Mereka mengumpulkan 19,1 MILIAR titik data akselerasi. Ini adalah teknik studi konflik skala area.
Metode 2: Mata di Langit. Studi lain menggunakan computer vision (penglihatan komputer) untuk "pengawasan lalu lintas otomatis" di persimpangan. Sistem ini secara otomatis mengekstrak lintasan pengguna jalan (mobil, sepeda, pejalan kaki) dan dapat mengidentifikasi konflik, pengereman keras, dan akhirnya, lokasi berbahaya sebelum kecelakaan terjadi.
Metode 3: Mendengar Jalan. Peneliti lain menggunakan data dari inductive loops (sensor yang sudah tertanam di aspal untuk lampu lalu lintas) untuk menemukan korelasi antara arus lalu lintas makroskopik (kepadatan, kecepatan rata-rata) dan situasi kritis mikroskopik (seperti Time-to-Collision yang rendah).
🚀 Apa yang Saya Pelajari (dan Bisa Anda Terapkan Hari Ini)
Ini adalah rangkuman dari apa yang saya saring dari 72 halaman penelitian ini, dan apa artinya bagi kita:
🚀 Inovasinya: Kita tidak lagi perlu menebak-nebak. Dengan alat seperti analisis "sentakan" FCD dan computer vision , kita dapat mengidentifikasi lokasi berbahaya secara proaktif. Kita bisa memvalidasi solusi desain (seperti jalur bus baru) dalam beberapa minggu, tanpa harus menunggu 3-5 tahun untuk data kecelakaan terkumpul.
🧠 Wawasannya: Jangan pernah percaya pada "akal sehat" dalam desain jalan. Percayalah pada data. Intuisi kita salah. Otak kita hardwired untuk meremehkan kecepatan tinggi. Intuisi desain kita (jalur bus sempit , tombol tekan pejalan kaki ) seringkali memperburuk keadaan.
💡 Pelajarannya: Intervensi pasif (fisik) mengalahkan intervensi aktif (edukasi/tanda).
Bukti: Sebuah studi menguji apa yang terjadi ketika mereka memasang raised pedestrian crossings (zebra cross yang ditinggikan, alias "polisi tidur" yang landai) di jalan arteri perkotaan yang sibuk.
Hasilnya: "Penurunan signifikan" pada kecepatan kendaraan, "peningkatan" dalam pengemudi yang memberi jalan kepada pejalan kaki, dan "pengurangan" konflik kendaraan-pejalan kaki.
Kesimpulan: Kita tidak meminta pengemudi untuk melambat (seperti yang dilakukan tanda); kita membuat mereka melambat dengan gundukan fisik. Kita mendesain untuk "otak yang rusak". Inilah solusinya.
Mengubah Cara Saya Melihat Jalan Pulang
Membaca semua penelitian ini mengubah sesuatu dalam diri saya. Saya tidak lagi melihat jalan raya sebagai ruang netral. Saya melihatnya sebagai sistem yang dirancang (seringkali dengan buruk) yang bertentangan langsung dengan perangkat keras kognitif kita.
Saya jadi teringat pada studi tentang anak-anak dan lansia di Wina —bahwa sistem ini "sebagian besar mengabaikan" mereka. Mungkin sudah waktunya kita berhenti merancang jalan untuk "orang dewasa yang sehat" (dan mobil mereka) dan mulai merancang untuk semua orang.
Ini hanyalah puncak gunung es dari apa yang ada di buku abstrak ini. Jika Anda seorang geek data, perencana kota, atau hanya seseorang yang peduli tentang bagaimana kita bisa berhenti saling membunuh dengan mesin seberat dua ton, Anda harus melihatnya sendiri.
(https://doi.org/10.1000/123-456) (Catatan: Ini adalah tautan DOI placeholder untuk buku abstrak lokakarya).
Kunci untuk semua ini adalah kemauan untuk melihat data—bukan hanya data kecelakaan yang jelas, tetapi data big data yang berantakan: "sentakan" , "konflik" , dan "lintasan". Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana mengubah data mentah semacam ini menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti, ini adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan. Untuk memulai, Anda bisa melihat kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) di Diklatkerja untuk membangun fondasi dalam menganalisis kumpulan data besar yang kompleks seperti yang digunakan para peneliti ini.
Teknologi Otomotif
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Kita semua pernah mengalaminya. Momen hening di dalam mobil yang pecah sepersekian detik. Jantung Anda serasa berhenti.
Seorang pejalan kaki, yang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba melangkah dari antara dua mobil yang diparkir. Atau seorang pengendara sepeda yang melesat di persimpangan, muncul dari titik buta Anda.
Waktu seakan melambat. Ada jeda yang terasa abadi antara otak Anda yang berteriak "BAHAYA!" dan kaki kanan Anda yang berpindah dari pedal gas ke rem.
Bagi kebanyakan dari kita, itu berakhir dengan decitan ban, napas yang terengah, dan mungkin beberapa kata kasar yang diredam.
Namun, ini bukan hanya ketakutan pribadi. Ini adalah kenyataan statistik yang suram. Tesis penelitian yang sedang saya baca hari ini, karya Christian-Nils Boda dari Chalmers University of Technology , dibuka dengan fakta yang membuat saya terdiam: setiap tahun, lebih dari 5.000 pejalan kaki dan 2.000 pesepeda tewas di jalan-jalan Eropa.
Mereka secara klinis disebut Vulnerable Road Users (VRU), atau Pengguna Jalan Rentan. Dan yang lebih menakutkan, tingkat kematian mereka tidak membaik secepat kategori kecelakaan lainnya.
Ini adalah pertanyaan yang mengganggu saya: Kita hidup di era mobil "pintar". Kita memiliki Intelligent Safety Systems (ISS), radar, lidar, Autonomous Emergency Braking (AEB), dan Forward Collision Warning (FCW). Mengapa angka-angka ini masih sangat tinggi?
Tesis Boda memberikan jawaban yang brutal dan jujur: Mobil kita mungkin "pintar", tetapi mereka "bodoh" secara psikologis.
Mengapa Mobil 'Pintar' Kita Masih Saja Canggung?
Argumen inti dari tesis Boda adalah ini: masalahnya bukan pada sensor. Kita bisa mendeteksi pejalan kaki dengan akurasi laser. Masalahnya ada di perangkat lunak.
Lebih spesifik lagi, sistem keselamatan kita gagal karena mereka tidak memiliki pemahaman dasar tentang bagaimana Anda berpikir.
Mobil Anda mungkin tahu di mana pesepeda itu berada, tetapi ia tidak tahu apa yang Anda pikirkan tentang pesepeda itu. Ia tidak tahu apakah Anda sudah melihatnya, apakah Anda sedang teralihkan, atau apakah Anda menganggapnya sebagai ancaman. Ia tidak memiliki "model perilaku pengemudi" yang baik.
Tanpa model ini, sistem menjadi canggung. Ia mengganggu—mengerem mendadak terlalu dini ketika Anda sebenarnya sudah mengendalikan situasi, membuat Anda kesal. Atau, yang jauh lebih buruk, ia bertindak terlambat—gagal memperingatkan Anda karena ia tidak "sadar" bahwa Anda tidak sadar akan bahaya.
Tesis Boda adalah upaya brilian untuk membangun model yang hilang itu. Ini pada dasarnya adalah kumpulan dari tiga studi penelitian (Paper I, II, dan III) yang menginterogasi reaksi kita di balik kemudi. Dan apa yang mereka temukan benar-benar mengubah cara saya memandang dasbor mobil saya.
Tiga Eksperimen yang Menginterogasi Reaksi Kita
Mari kita bedah tiga bab dalam novel misteri ini.
Paper I: Pejalan Kaki dan Faktor 'Oh, Kaget!' yang Sebenarnya
Bayangkan jika Anda mencoba mencari tahu resep rahasia seorang koki. Anda tidak bisa hanya bertanya padanya; resep itu ada di otot dan instingnya. Anda harus mengamatinya di dapur dalam berbagai kondisi.
Itulah yang dilakukan Paper I.
Para peneliti menempatkan 94 orang di simulator mengemudi. Kemudian, mereka melemparkan skenario pejalan kaki yang melintas ke arah mereka. Tapi inilah bagian yang cerdas: mereka secara sistematis mengutak-atik tujuh faktor berbeda: kecepatan mobil Anda, kecepatan pejalan kaki, ukuran pejalan kaki, apakah ada zebra cross, lebar jalan, dll..
Apa yang Anda pikir akan menjadi faktor terbesar yang menentukan kapan Anda mengerem? Kecepatan mobil Anda? Logis, bukan?
Salah.
Paper I menemukan bahwa faktor yang paling dominan—yang memiliki pengaruh terbesar pada seluruh proses respons pengemudi—adalah... visibilitas.
Tapi tunggu, ini bukan sekadar "apakah Anda bisa melihat mereka." Ini jauh lebih spesifik. Ini tentang kapan tepatnya pejalan kaki itu menjadi terlihat oleh Anda.
Apakah mereka muncul dari sisi dekat jalan (terssembunyi di balik pilar A mobil Anda sampai detik terakhir)? Atau apakah mereka datang dari sisi jauh (memberi Anda beberapa detik ekstra untuk melihat dan memproses)?.
Momen "oh, kaget!" inilah—titik waktu di mana VRU itu secara fisik dapat diamati—yang menentukan seluruh rantai reaksi Anda: kapan Anda melepas gas, kapan Anda mulai menginjak rem, dan seberapa keras Anda menginjaknya.
Paper II: Pesepeda, Simulator Murah, dan Kapan Tepatnya Kaki Kita Mulai Bergerak
Paper II mengambil temuan "visibilitas adalah raja" ini dan menerapkannya pada pesepeda. Tapi ia menambahkan satu kerumitan yang brilian.
Para peneliti menjalankan eksperimen yang pada dasarnya sama di dua tempat yang sangat berbeda:
Driving Simulator (murah, aman, virtual, seperti game yang sangat canggih).
Test Track (mahal, berisiko, dunia nyata, menggunakan mobil sungguhan dan boneka pesepeda).
Ini adalah pertanyaan bernilai miliaran dolar untuk setiap departemen R&D di industri otomotif: Apakah simulator "murah" bisa memberi kita data yang sama baiknya dengan test track yang mahal?.
Jawabannya adalah "Ya dan Tidak"—dan perbedaannya sangat penting.
Apa yang Berbeda: Pengemudi berperilaku berbeda di simulator. Anehnya, mereka cenderung tidak melepas pedal gas di simulator seperti yang mereka lakukan di dunia nyata. Mungkin karena tidak ada rasa takut yang nyata, mereka tetap "santai" lebih lama.
Apa yang Sama: Ajaibnya, satu hal tetap konsisten di kedua lingkungan: momen pengemudi memulai pengereman (brake onset).
Ini adalah penemuan metodologis yang fantastis. Boda dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa jika Anda hanya ingin mempelajari kapan seseorang memutuskan untuk mengerem—momen "oh, kaget!" tadi—Anda bisa menggunakan simulator murah. Ini memberi lampu hijau bagi para peneliti untuk melakukan ribuan pengujian lagi, lebih cepat dan lebih murah, untuk menyempurnakan algoritma peringatan.
Dan, sekali lagi, faktor yang paling dominan dalam memprediksi brake onset itu? Visibilitas sepeda.
Paper III: 'Sliding Doors' untuk Kecelakaan, dan Mengapa 'Peringatan' Lebih Rumit dari 'Pengereman'
Paper III adalah "final"-nya. Di sinilah semua data dan model dari Paper I & II diuji dalam api.
Ia menggunakan metodologi yang terdengar rumit tetapi sebenarnya sangat intuitif: Simulasi Tandingan (Counterfactual Simulations).
Bayangkan ini adalah film Sliding Doors atau episode What If...? dari Marvel.
Para peneliti mengambil data dari 34 kecelakaan nyata dari database SHRP2. Ini bukan simulasi; ini adalah data mentah dari detik-detik menjelang tabrakan di dunia nyata.
Kemudian, mereka "memutar ulang waktu" dalam simulasi komputer.
"Oke, inilah kecelakaannya. Sekarang, apa yang akan terjadi jika mobil ini memiliki Peringatan Tabrakan Depan (FCW)? Apakah kecelakaan itu masih terjadi? Seberapa parah?"
"Bagaimana jika ia memiliki Pengereman Darurat Otonom (AEB)?".
Di sinilah letak inti dari seluruh tesis. Saat mereka menjalankan simulasi "what if" ini, mereka menemukan sesuatu yang fundamental:
Untuk AEB (Pengereman Otomatis): Manfaat keselamatan (berapa banyak kecelakaan yang dihindari) tidak terlalu terpengaruh oleh model pengemudi mana yang Anda gunakan.
Untuk FCW (Peringatan): Manfaat keselamatan SANGAT bergantung pada model pengemudi yang Anda pilih.
Saya harus berhenti sejenak ketika membaca ini. Mengapa?
Pikirkan tentang itu. AEB adalah sistem "brute force". Ia mengambil alih di detik terakhir ketika Anda (manusia) sudah gagal total. Ia tidak peduli mengapa Anda gagal—apakah Anda sedang melihat ponsel, melamun, atau tertidur. Ia hanya melihat objek dan mengerem.
Tapi FCW adalah sistem psikologis.
FCW adalah bisikan di telinga Anda. "Bip-bip-bip! Hei, lihat!"
Efektivitasnya sepenuhnya bergantung pada bagaimana Anda (manusia) bereaksi terhadap bisikan itu. Jika Anda sudah melihat ancamannya, peringatan itu mengganggu. Jika Anda sedang teralihkan, peringatan itu menyelamatkan nyawa.
Implikasinya sangat besar. Jika Anda seorang insinyur mobil yang mengklaim, "Sistem peringatan kami mengurangi kecelakaan sebesar 30%," temuan Boda memungkinkan saya untuk bertanya:
"Berdasarkan model pengemudi yang mana? Apakah Anda memodelkan pengemudi yang waspada? Pengemudi yang teralihkan? Pengemudi tua? Pengemudi yang sudah panik?"
Paper III membuktikan bahwa jika model pengemudi Anda salah, klaim manfaat keselamatan Anda pada dasarnya tidak ada artinya.
Pelajaran yang Saya Bawa Pulang (dan Seharusnya Anda Juga)
Setelah membedah ketiga paper dalam tesis ini, inilah yang saya catat sebagai pelajaran utama:
🚀 Hasilnya luar biasa: Faktor visibility (kapan Anda melihat ancaman) adalah raja. Paper I dan II membuktikan bahwa ini adalah faktor yang paling dominan dalam respons pengereman kita, mengalahkan variabel lain yang sering diukur seperti kecepatan mobil.
🧠 Inovasinya: Kita tidak perlu menebak-nebak lagi. Menggunakan simulasi "what-if" pada data kecelakaan nyata (Paper III ) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi sistem keselamatan sebelum merenggut korban. Tapi, inovasi ini datang dengan peringatan: hasil simulasi Anda hanya sebaik model psikologi manusia yang Anda masukkan ke dalamnya.
💡 Pelajaran: Jangan terjebak pada solusi teknis yang "kuat" (AEB). Riset ini membuktikan bahwa peringatan (FCW) yang tepat waktu dan dirancang dengan baik masih sangat relevan. Kuncinya adalah memahami kapan harus memberi peringatan, dan itu adalah tantangan psikologis. Ini adalah inti dari pemikiran sistem (systems thinking)—melihat bagaimana pengemudi, kendaraan, dan lingkungan berinteraksi sebagai satu kesatuan. Jika Anda seorang profesional yang ingin mempertajam kemampuan Anda dalam memahami sistem yang kompleks, Anda bisa melihat program seperti yang ditawarkan di(https://diklatkerja.com) untuk menguasai pendekatan holistik ini.
Kritik Halus Saya: Riset Hebat, tapi Sedikit Jauh dari Garasi
Tesis ini brilian. Tetapi sebagai seseorang yang suka hal-hal praktis, saya punya satu kritik halus.
Tesis Boda sangat kuat dalam mengidentifikasi masalah—yaitu, model pengemudi kita saat ini tidak memadai, terutama untuk sistem peringatan (FCW). Ia pada dasarnya memberi tahu para insinyur di seluruh dunia, "Pilihan model Anda sangat penting, dan Anda mungkin salah selama ini!"
Namun, tesis ini (secara alami, sebagai karya akademis) tidak memberi kita "langkah selanjutnya" yang jelas bagi seorang desainer produk. Oke, model kami yang ada salah. Jadi, model apa yang harus saya gunakan?
Model yang diusulkan di Paper II adalah awal yang baik, tetapi masih jauh dari model siap pakai yang bisa dimasukkan oleh developer di Toyota atau Volvo ke dalam algoritma mereka besok. Ini adalah diagnostik yang sangat baik, tetapi resepnya masih perlu ditulis.
Pesan untuk Euro NCAP: Tolong, Uji Juga Peringatannya!
Ini membawa saya ke poin terakhir, dan mungkin yang paling penting, yang dibuat dalam tesis ini. Boda memiliki rekomendasi yang sangat spesifik untuk Euro NCAP—badan independen di Eropa yang memberi peringkat bintang keselamatan mobil.
Apa yang Euro NCAP lakukan (saat tesis ini ditulis)? Mereka sangat fokus pada pengujian Autonomous Emergency Braking (AEB). Mereka memiliki skenario standar: boneka pesepeda keluar, apakah mobil mengerem tepat waktu?.
Apa yang dikatakan Boda? Tesis ini dengan sopan mengatakan bahwa ini tidak cukup.
Pertama, waktu aktivasi AEB yang mereka uji seringkali berada di dalam "zona tidak nyaman" pengemudi—mereka aktif setelah pengemudi manusia yang waspada seharusnya sudah mulai mengerem. Mereka adalah jaring pengaman terakhir, dan itu bagus.
Kedua, dan yang paling penting: mereka tidak menguji FCW (Peringatan) untuk pesepeda.
Rekomendasi Boda: Euro NCAP harus mulai memasukkan skenario FCW untuk pesepeda.
Mengapa? Karena seperti yang ditunjukkan Paper III, FCW adalah sistem yang rumit secara psikologis. Dengan tidak mengujinya, Euro NCAP tidak memberi insentif kepada produsen mobil untuk membuat sistem peringatan yang cerdas. Mereka hanya memberi insentif untuk membuat sistem pengereman yang lebih kuat.
Penutup: Mobil yang Lebih Aman Dimulai dari Cermin
Membaca tesis Boda membuat saya sadar akan sesuatu. Selama bertahun-tahun, kita terobsesi untuk membuat mobil yang lebih baik—sensor yang lebih baik, rem yang lebih baik.
Tesis ini berargumen bahwa langkah selanjutnya adalah membuat mobil yang lebih bijak.
Sebuah mobil yang "bijak" memahami bahwa pengemudinya adalah manusia—bisa teralihkan, bisa panik, tetapi juga bisa sangat cerdas dalam memprediksi bahaya.
Mobil yang lebih aman bukanlah mobil yang selalu mengambil alih kemudi dari Anda.
Mobil yang lebih aman adalah mobil yang tahu kapan harus mengambil alih, kapan harus memberi peringatan, dan kapan harus diam dan percaya pada manusia di belakang kemudi.
Untuk membangun mesin yang lebih manusiawi, kita harus terlebih dahulu memahami manusia. Dan itu, ternyata, jauh lebih rumit daripada sekadar menambah sensor.
Jika Anda tertarik dengan kerumitan di balik layar dan ingin melihat bagaimana simulasi "what-if" ini bekerja, coba baca salah satu paper utamanya.
teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Saya baru saja membaca paper teknis yang padat tentang masa depan keselamatan di jalan raya, dan temuan utamanya jauh lebih personal dari yang saya kira.
Minggu lalu, saya hampir tertabrak mobil.
Saya tidak sedang jaywalking. Saya berada di dalam zebra cross, lampu pejalan kaki berwarna hijau. Tapi saya juga sedang melihat ponsel saya, membalas email kerja. Sebuah SUV berbelok ke kanan, bannya berdecit di aspal saat pengemudi itu menginjak rem, berhenti hanya beberapa senti dari lutut saya.
Kami berdua sama-sama kaget. Dia (mungkin) juga sedang terdistraksi. Saya (pasti) sedang terdistraksi. Tapi intinya adalah: dia tidak melihat saya. Dan dalam pertarungan antara SUV seberat dua ton dan saya, saya akan selalu kalah.
Momen "nyaris celaka" ini menyoroti kegagalan fundamental dalam sistem transportasi kita. Mobil adalah kotak baja berkecepatan tinggi yang berevolusi dengan sensor, radar, dan pengereman darurat. Sementara itu, pejalan kaki dan pengendara sepeda—secara teknis disebut "Pengguna Jalan Rentan" atau VRU (Vulnerable Road Users)—pada dasarnya masih sama seperti 50 tahun yang lalu.
Dan kegagalan ini mematikan.
Saya baru saja selesai membaca sebuah paper penelitian teknis oleh Hamdan Hejazi dan László Bokor yang terbit di jurnal Computer Networks. Paper ini dibuka dengan statistik yang membuat saya terdiam: VRU—pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor—merupakan 54% dari total angka kematian lalu lintas global.
Ini bukan masalah sepele. Ini adalah masalah utama. Lebih dari separuh orang yang tewas di jalan adalah mereka yang berada di luar mobil. Ini membuktikan bahwa pendekatan kita saat ini—mencoba membuat mobil menjadi benteng yang terisolasi dan bisa "melihat" segalanya—telah mencapai batasnya.
Paper ini menguji solusi yang, terus terang, jauh lebih cerdas: Bagaimana jika kita berhenti hanya mengandalkan sensor mobil (yang pasif) dan mulai membiarkan pejalan kaki secara aktif menyiarkan keberadaan mereka?
Ini adalah pergeseran dari persepsi pasif ke komunikasi aktif.
Perbedaan Antara 'Melihat' dan 'Mendengar'
Untuk memahami mengapa ini penting, kita perlu mengerti dua filosofi yang sangat berbeda dalam mendeteksi pejalan kaki, yang diuraikan dengan baik oleh Hejazi dan Bokor. Saya akan menjelaskannya dengan analogi sederhana.
Pendekatan Pasif: Mobil Berbisik ke Mobil Lain (CPM)
Ini adalah teknologi "saat ini" yang sedang dikembangkan, yang disebut Collective Perception Message (CPM).
Analogi: Bayangkan Anda mengemudi di tengah kabut tebal. Sensor Radar atau LIDAR di mobil Anda adalah senter yang remang-remang. Anda mungkin melihat "sesuatu" yang tidak jelas di depan. Dengan CPM, Anda kemudian menggunakan radio V2X (Vehicle-to-Everything) Anda untuk berbisik ke mobil di belakang Anda, "Hei, senter saya mendeteksi 'objek' di koordinat X."
Bahasa Teknisnya: Paper ini menyebutnya sebagai "representasi pasif". Sebuah kendaraan atau unit di pinggir jalan (RSU) menggunakan sensornya untuk mendeteksi objek, mengklasifikasikannya (semoga benar) sebagai VRU, dan kemudian menyiarkan informasi tersebut.
Opini Pribadi Saya: Ini lebih baik daripada tidak sama sekali, tapi sangat terbatas. Rantai informasinya rapuh: Peristiwa -> Sensor Mobil 1 -> Algoritma Klasifikasi -> Pesan CPM -> Mobil 2. Bagaimana jika senter Anda (sensor) terhalang oleh truk parkir? Bagaimana jika AI salah mengklasifikasikan anak kecil sebagai kantong sampah? Mobil penerima mendapatkan data yang sudah disaring, berpotensi salah, dan seringkali terlambat.
Pendekatan Aktif: Pejalan Kaki yang 'Berteriak' (VAM)
Ini adalah teknologi baru yang diuji oleh paper ini, yang disebut VRU Awareness Message (VAM).
Analogi: Sekarang, bayangkan setiap pejalan kaki (VRU) memiliki megafon—yaitu, ponsel cerdas mereka atau jam tangan pintar. Alih-alih mobil mencoba menebak-nebak dalam kabut, pejalan kaki itu sendiri secara aktif berteriak, "SAYA SEORANG PEJALAN KAKI, SAYA DI SINI DI KOORDINAT Y, DAN SAYA BERGERAK KE UTARA DENGAN KECEPATAN 5 KM/JAM!"
Bahasa Teknisnya: Ini adalah "representasi aktif". VAM memungkinkan VRU untuk secara langsung berpartisipasi dan "menjadi bagian dari ekosistem ITS." Pesan itu berisi "status dan atribut" dari si pejalan kaki—posisi, gerak, dll. Ini adalah ground truth, langsung dari sumbernya.
Ini, bagi saya, adalah perubahan paradigma. VAM memotong perantara. Rantai informasinya menjadi: Peristiwa (Pejalan Kaki) -> Pesan VAM -> Mobil 2.
Ini secara fundamental memindahkan beban pendeteksian. Keselamatan tidak lagi 100% bergantung pada sensor mobil yang mahal dan tidak sempurna. Ini mendemokratisasi keselamatan dengan memanfaatkan perangkat (ponsel) yang sudah dimiliki oleh sebagian besar VRU. Ini mengubah kita, para pejalan kaki, dari objek pasif yang harus dihindari menjadi peserta aktif dalam jaringan keselamatan lalu lintas.
Mari Kita Uji Coba: Skenario Lampu Merah yang Mengerikan
Tentu saja, VAM "terdengar" bagus dalam teori. Tapi apakah itu benar-benar berfungsi?
Para peneliti di sini tidak hanya berteori. Mereka membangun simulasi yang sangat rinci menggunakan platform canggih (Artery, OMNET++, dan SUMO) untuk menguji kedua pendekatan ini.
Skenario pertama mereka adalah mimpi buruk klasik di perkotaan: seorang pejalan kaki melanggar lampu merah, berjalan tepat di depan mobil yang melaju.
Bayangkan Anda adalah mobilnya. Anda melaju, dan pejalan kaki ini tiba-tiba muncul. Para peneliti kemudian mengukur: seberapa sering mobil "melihat" pejalan kaki, dan pada jarak berapa?
Hasil Radar (Pasif): Seperti yang saya duga, hasilnya adalah lotere. Itu sepenuhnya bergantung pada seberapa bagus sensor radar mobil.
Jika mobil memiliki sensor dengan Field of View (FOV) yang sempit (misalnya, 10 derajat, seperti penglihatan terowongan), ia hampir tidak pernah melihat pejalan kaki tepat waktu.
Jika sensornya canggih (FOV lebar 120 derajat dan jangkauan 200m), ia mendeteksi pejalan kaki lebih sering. Tapi pada jarak berapa? Grafik menunjukkan deteksi terjadi pada jarak yang relatif dekat (paling baik sekitar 120 meter). Itu lebih baik daripada 0, tapi masih memberi Anda waktu reaksi yang tidak banyak.
Hasil VAM (Aktif): Kemudian, para peneliti mematikan sensor radar (secara kiasan) dan menyalakan VAM. Pejalan kaki itu sekarang "berteriak" lokasinya.
Hasilnya bikin saya kaget.
Jumlah Deteksi: 100%. Setiap saat. Tidak peduli apa "sensor" mobilnya, karena mobil itu mendengarkan, bukan melihat.
Jarak Deteksi: Ini adalah bagian yang menakjubkan. Jarak deteksi selalu pada jangkauan komunikasi maksimum (lebih dari 250 meter dalam skenario ini).
Ini adalah momen "aha!" bagi saya. Keamanan berbasis sensor adalah reaktif dan tidak pasti. Keberhasilan Anda bergantung pada sudut sensor Anda, cuaca, dan apakah ada truk van yang menghalangi pandangan Anda. Keamanan berbasis VAM adalah proaktif dan pasti (selama Anda berada dalam jangkauan radio).
Ini menunjukkan bahwa mobil yang lebih murah dengan radio V2X yang solid bisa lebih aman dalam skenario krusial ini daripada mobil mewah senilai miliaran rupiah yang hanya mengandalkan sensor optik.
Tes Sebenarnya: Melemparkannya ke 'Kekacauan' Lalu Lintas Kota Bologna
Skenario lampu merah itu sederhana. Satu mobil, satu pejalan kaki. Bagaimana di dunia nyata, yang penuh kekacauan?
Para peneliti kemudian mengambil model simulasi yang sangat kompleks dari area Andrea Costa di Bologna, Italia. Ini bukan main-main. Kita berbicara tentang data lalu lintas dunia nyata:
Area 2,45 km²
474 mobil
403 pejalan kaki
7 lampu lalu lintas
Ini pada dasarnya adalah simulasi Smart City. Ini bukan hanya tentang satu mobil dan satu pejalan kaki; ini tentang seluruh ekosistem perangkat yang terhubung. Ini adalah implementasi praktis dari apa yang kita sebut sebagai(https://diklatkerja.com/course/category/internet-of-things-basic/), di mana setiap kendaraan dan pejalan kaki menjadi "benda" yang dapat saling berbicara dalam satu jaringan besar.
Para peneliti kemudian menjalankan simulasi ini berulang kali, mengubah berapa banyak mobil dan pejalan kaki yang "mengaktifkan" VAM mereka (ini disebut "tingkat penetrasi").
Seperti yang diharapkan, network effect itu nyata. Semakin banyak pejalan kaki menggunakan VAM, semakin tinggi jumlah total pejalan kaki yang terdeteksi oleh mobil-mobil.
Tapi ini dia data emas dari keseluruhan paper ini :
Ketika 100% mobil dan 100% pejalan kaki menggunakan sistem... jarak deteksi rata-rata adalah 421 meter.
Mari kita berhenti sejenak dan pikirkan apa artinya itu.
Sensor radar atau mata manusia mungkin mendeteksi pejalan kaki yang terhalang pada jarak 50-80 meter. Pada kecepatan 60 km/jam, itu memberi pengemudi (atau AI) hanya beberapa detik untuk bereaksi. Ini mengarah pada pengereman darurat yang mendadak, tidak nyaman, dan berpotensi berbahaya (menyebabkan tabrakan dari belakang).
421 meter bukanlah jarak reaksi. Itu adalah jarak perencanaan.
Pada jarak 421 meter, mobil tidak perlu mengerem mendadak. Ia bisa meluncur. Ia bisa memperlambat kecepatan secara bertahap. Ia bisa memberi tahu pengemudi dengan tenang, "Akan ada pejalan kaki menyeberang di depan dalam 30 detik."
Ini mengubah keselamatan dari tindakan refleksif (panik) menjadi manuver terencana (tenang). Ini tidak hanya mencegah kecelakaan tetapi juga meningkatkan arus lalu lintas, efisiensi bahan bakar, dan kenyamanan penumpang.
Apa yang Paling Mengejutkan Saya (Dan Apa yang Sedikit Mengkhawatirkan)
Sebagai seorang analis, saya selalu skeptis. Ada dua hal yang langsung muncul di benak saya, dan paper ini ternyata menjawab keduanya.
Kekhawatiran Saya: Apakah Ini Akan 'Menyumbat' Internet?
Ini adalah kekhawatiran yang valid. Jika 474 mobil dan 403 pejalan kaki semuanya "berteriak" (mengirim pesan VAM, CAM, dan CPM) setiap sepersekian detik di area 2,45 km², apakah saluran komunikasi nirkabel akan macet total?
Para peneliti mengukur ini menggunakan metrik yang disebut Channel Busy Ratio (CBR).
Hasil yang Mengejutkan: Ternyata, tidak. Bahkan dalam skenario terburuk—100% penetrasi mobil dan 100% penetrasi VAM, dengan semua jenis pesan (VAM, CAM, CPM) aktif—CBR maksimum yang teramati hanya 0.383 (atau 38,3%).
Paper ini mencatat bahwa nilai ini masih berada dalam konfigurasi "Relaxed" menurut standar Decentralized Congestion Control (DCC). Ini sangat melegakan. Ini adalah bukti kuantitatif bahwa secara teknis, ini layak. Jaringan tidak "meledak". Kita memiliki kapasitas untuk melakukan ini sekarang.
🚀 Hasilnya luar biasa: Deteksi pada jarak rata-rata 421m mengubah permainan dari "refleks" menjadi "perencanaan".
🧠 Inovasinya: Menggunakan VAM (komunikasi aktif pejalan kaki) secara telak mengalahkan keterbatasan sensor pasif (FOV/jangkauan).
💡 Pelajaran: Jangan terjebak pola pikir yang sudah ada (yaitu, hanya membuat sensor mobil yang lebih baik). Solusi yang lebih kuat mungkin datang dari konektivitas.
Kritik Halus: Ini Hebat, Tapi Sedikit Abstrak...
Meski temuan simulasi ini hebat, cara analisanya (model simulasi Artery/OMNET++) agak terlalu abstrak untuk pemula. Ini adalah kritik halus saya.
Simulasi seperti ini sangat penting untuk membuktikan konsep. Namun, simulasi adalah lingkungan yang sempurna. Itu tidak memperhitungkan baterai ponsel yang mati, sinyal yang terhalang oleh canyon gedung-gedung tinggi di Jakarta atau New York, atau pejalan kaki (seperti saya) yang ponselnya ada di dalam tas ransel berlapis foil.
Para penulis sendiri mengakui ini secara implisit di bagian akhir. Mereka menyimpulkan dengan menyatakan bahwa "Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk... meningkatkan akurasi... dan algoritma fusi sensor yang relevan.".
Dan "fusi sensor" itu adalah kata kuncinya.
Masa depan yang sebenarnya bukanlah salah satu atau yang lain. Ini adalah keduanya. Paper ini menguji Radar (pasif) VERSUS VAM (aktif). Tapi masa depan yang sesungguhnya adalah VAM PLUS Radar PLUS LIDAR PLUS Kamera.
Bayangkan skenario ini:
Ponsel Anda (VAM) menyiarkan dari jarak 421m, "Saya seorang pejalan kaki di koordinat X."
Mobil menerima ini. Sistem ADAS mobil kemudian tidak langsung mengerem.
Sebaliknya, ia menugaskan sensor-sensornya: "Hei LIDAR, hei Kamera, putar dan fokus ke koordinat X. Konfirmasi secara visual bahwa ada pejalan kaki di sana."
Kamera mengonfirmasi: "Ya, terkonfirmasi. Pejalan kaki sedang melihat ponselnya."
Mobil sekarang mengambil keputusan yang cerdas: "Oke, kurangi kecepatan secara bertahap."
Ini adalah yang terbaik dari kedua dunia: VAM memberikan deteksi awal dan identifikasi ("apa itu"), sementara sensor onboard memberikan konfirmasi visual dan konteks yang kaya ("apakah dia akan berlari?").
Yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Sebagai Non-Insinyur)
Paper ini lebih dari sekadar latihan akademis. Ini adalah cetak biru untuk pergeseran fundamental dalam cara kita mendekati keselamatan di jalan raya.
Bagi saya, pelajaran terbesarnya adalah kita harus beralih dari berpikir tentang keselamatan sebagai produk (airbag, sensor yang lebih baik) menjadi keselamatan sebagai jaringan kooperatif.
Keberhasilan sistem V2X ini bergantung pada pemahaman mendalam tentang jaringan perangkat. Ini adalah tantangan(https://www.diklatkerja.com/course/category/internet-of-things-intermediate/) yang masif. Ini membutuhkan keterampilan khusus dalam konektivitas multi-protokol untuk membuat VAM, CAM, CPM, 5G, dan Wi-Fi semuanya bekerja bersama dengan mulus.
Paper ini meyakinkan saya bahwa teknologi untuk secara drastis mengurangi 54% kematian di jalan raya itu sudah ada. Pertanyaannya bukan lagi "Bisakah kita melakukannya?" tetapi "Kapan kita akan menerapkannya?"
Ini adalah topik yang sangat padat, dan saya baru saja menggores permukaannya. Jika Anda seorang geek teknologi, pengembang, perencana kota, atau hanya seseorang yang tertarik pada masa depan transportasi, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya untuk melihat data mentahnya.
Teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025
Perlombaan menuju mobil otonom Level 5 (sepenuhnya tanpa pengemudi) telah menghabiskan miliaran dolar, namun paper ini menyoroti jurang pemisah antara ambisi teknologi dan kenyataan di lapangan.
Dua Pertanyaan Sederhana yang Menghantui Para Insinyur
Para peneliti merumuskan dua pertanyaan yang tampak sederhana namun implikasinya masif :
"Apa yang akan terjadi pada jalan kita jika mobil-mobil ini benar-benar ada di mana-mana?" (Apa dampak AV pada infrastruktur fisik?)
"Apa yang dibutuhkan mobil-mobil ini dari jalan kita agar tidak menabrak?" (Apa yang dibutuhkan AV dari infrastruktur untuk berkendara dengan aman?)
Pertanyaan ini menggeser beban. Selama ini kita bertanya, "Kapan Tesla akan cukup pintar?" Paper ini memaksa kita bertanya, "Kapan Departemen Pekerjaan Umum akan cukup siap?"
Yang Membuat Saya Terkejut: 13 Masalah yang Kita Anggap Remeh
Paper ini mengidentifikasi "tiga belas topik utama" infrastruktur fisik yang akan terdampak atau dibutuhkan oleh AV. Tiga belas!
Membacanya terasa seperti daftar periksa renovasi rumah yang tidak pernah Anda pikirkan. Anda ingin dapur baru yang canggih (mobil AV), tetapi paper ini datang dan memberi tahu Anda bahwa pondasi Anda retak (permukaan jalan), pipa Anda bocor (drainase), dan kabel Anda bisa terbakar (marka jalan).
Ketiga belas topik itu mencakup segalanya, mulai dari desain geometri jalan, marka jalan, rambu lalu lintas, permukaan aspal, persimpangan, jembatan, terowongan, hingga hal sepele seperti lampu jalan dan got.
Saya tidak akan membahas ketigabelasnya, tapi saya akan membagikan temuan-temuan paling mengejutkan yang membuat saya terdiam.
Perjalanan Menuruni "Lubang Kelinci" (Bagian 1: Jalan yang "Dapat Dibaca")
Kita lupa bahwa AV tidak melihat jalan seperti kita. Sensor mereka (kamera, Lidar) bukanlah mata manusia. Mereka adalah pembaca literal yang membutuhkan teks yang jelas, dan jalan kita saat ini penuh dengan "salah ketik".
Garis Putus-putus yang Menjadi Tali Penopang Hidup
Bayangkan Anda mengemudi di jalan yang marka lajurnya sudah pudar total. Anda mungkin akan sedikit melambat, tapi Anda masih bisa "menebak" di mana lajur Anda seharusnya berada berdasarkan lebar jalan atau alur kendaraan di depan.
AV tidak bisa "menebak".
Bagi sistem Lane Keeping Assist (LKA) yang ada di mobil kita saat ini (Level 1-2), marka jalan adalah "salah satu area penelitian paling menonjol" karena mereka sangat bergantung padanya untuk menentukan posisi. Paper ini menyoroti bahwa banyak kegagalan atau disengagements (saat AV menyerah dan meminta manusia mengambil alih) terjadi hanya karena marka jalan yang "buruk" atau "tidak konsisten".
Masalahnya diperparah oleh hal yang kita anggap remeh: drainase (Topik 12). Drainase yang buruk menyebabkan genangan air yang menutupi marka. Lebih buruk lagi, di malam hari, pantulan lampu depan dari permukaan jalan yang basah ("high-intensity reflections") dapat "membutakan" sensor kamera, membuat mobil Anda buta sesaat.
Pelajaran: Drainase buruk -> Jalan basah -> Marka tak terlihat & Sensor silau -> AV gagal berfungsi.
Membaca Rambu yang Dibuat untuk Mata Manusia
AV menggunakan computer vision untuk membaca rambu lalu lintas (Topik 5). Tapi teknologi ini, menurut paper tersebut, "belum mencapai level yang diinginkan." Sistem ini masih menderita "false positives" (melihat rambu "Stop" padahal itu adalah iklan di bus) dan "false negatives" (melewatkan rambu batas kecepatan).
Mengapa?
Variabilitas: Rambu di setiap negara (bahkan setiap kota) bisa berbeda bentuk, ukuran, atau warnanya. AI harus dilatih untuk setiap variasi.
Rambu Digital (VMS): Rambu pesan elektronik di jalan tol seringkali sulit dibaca oleh kamera karena refresh rate dan teknologinya dirancang untuk mata manusia, bukan lensa kamera.
Data yang paling mengejutkan: sebuah studi di Kroasia menemukan bahwa computer vision gagal mendeteksi 25% rambu kecepatan di jalan raya terpisah (divided roads). Bayangkan seperempat rambu batas kecepatan tidak terlihat oleh mobil Anda.
Cahaya, Cahaya, dan "Kebisingan" Sisi Jalan
Ini bukan hanya tentang apa yang bisa dilihat, tapi seberapa jelas. Paper ini mengutip studi (Ye et al., 2021) yang menemukan bahwa kecelakaan AV di "pencahayaan buruk, bahkan dengan lampu jalan menyala" (Topik 11) menghasilkan "jumlah korban yang jauh lebih tinggi".
Dan bukan hanya cahaya, tapi juga "kekacauan" visual. Bagi kita, pohon, semak, tempat sampah, dan halte bus (Topik 10) adalah latar belakang. Bagi AI, itu semua adalah "kebisingan" (noise). Paper itu menyatakan, "Semakin banyak objek seperti itu berarti lingkungan semakin kompleks" bagi AV untuk mengidentifikasi mana ancaman nyata (anak kecil berlari) dan mana yang bukan (daun berguguran).
Implikasinya? Kita mungkin perlu "membersihkan" dan menyederhanakan lanskap kota kita hanya agar robot bisa bernavigasi.
Perjalanan (Bagian 2: Desain Fisik Jalan Kita)
Jika Bagian 1 adalah tentang bagaimana AV melihat, bagian ini adalah tentang bagaimana mereka merasakan dan berinteraksi dengan desain fisik jalan.
Ironi Presisi: Saat Mobil Pintar Merusak Jalannya Sendiri
Ini adalah temuan favorit saya, karena sangat ironis.
Coba perhatikan cara Anda mengemudi. Anda tidak pernah mengemudi di garis lurus yang sempurna di tengah lajur. Anda secara alami sedikit melayang ke kiri dan ke kanan. Ini disebut "wheel wander" (jejak roda yang berkelana).
Ternyata, ketidaksempurnaan manusia ini baik untuk jalan. Itu menyebarkan beban kendaraan ke seluruh permukaan aspal, membuatnya lebih awet.
Masalahnya? AV (Topik 3) terlalu presisi. Mereka melacak di tepat tengah lajur, atau di jalur yang sama persis setiap saat. Ini menciptakan "beban berulang di titik yang sama" yang menyebabkan kelelahan material dan rutting (pembentukan alur di jalan) yang dipercepat.
Satu studi (Zhou et al., 2019) yang dikutip paper ini memperkirakan bahwa presisi AV dapat "mempersingkat umur kelelahan perkerasan hingga 22% dan meningkatkan kedalaman alur hingga 30%".
Solusi yang dibahas di paper ini? Sebuah paradoks indah: kita mungkin harus memprogram AV untuk "berkeliaran secara merata" di lajur—pada dasarnya, memprogram mereka untuk meniru ketidaksempurnaan manusia agar jalan kita selamat.
Geometri Jalan yang Dibuat untuk Nenek, Bukan untuk Robot
Desain jalan kita saat ini (Topik 1)—seberapa tajam tikungan, seberapa curam bukit—didasarkan pada satu hal: Perception-Reaction Time (PRT) manusia. Rata-rata, kita butuh sekitar 2,5 detik untuk melihat bahaya dan menginjak rem.
AV memiliki PRT super cepat (misalnya, 0,5 detik). Ini berarti Stopping Sight Distance (SSD) mereka jauh lebih pendek. Secara teori, ini adalah peluang: kita bisa membangun jalan baru di masa depan dengan tikungan lebih tajam dan tanjakan lebih curam, menghemat miliaran biaya konstruksi dan pembebasan lahan.
Namun, untuk jalan yang sudah ada, desain lama ini justru berbahaya. Tikungan horizontal yang tajam dan puncak bukit (vertical crest curves) adalah mimpi buruk bagi AV Level 2 saat ini. Sensor mereka tidak bisa "melihat menembus" bukit atau "melihat mengitari" tikungan. Paper ini mencatat bahwa fungsi driver-assist seringkali mati mendadak (disengaged) di situasi ini, membuat pengemudi terkejut.
Lajur yang Menyempit dan Bahu Jalan yang Tiba-tiba Menjadi Krusial
Ini adalah temuan lain yang berlawanan dengan intuisi saya.
Mitos: AV sangat presisi, jadi kita bisa membuat "lebar lajur yang lebih sempit" (Topik 2).
Realitas: Ide ini populer. Bayangkan, kita bisa "memuat lajur tambahan" di jalan tol yang ada tanpa konstruksi baru. Di kota, ruang ekstra bisa untuk jalur sepeda. TETAPI, tes pada AV Level 2 saat ini menunjukkan sistem LKA cenderung gagal di lajur sempit (di bawah 2,75 meter). Ditambah lagi, "stabilitas posisi" setiap merek mobil sangat bervariasi.
Mitos: AV sangat aman, jadi kita tidak perlu bahu jalan.
Realitas: Paper ini berargumen bahwa bahu jalan akan "lebih dibutuhkan dari sebelumnya".
Mengapa? Untuk AV Level 3-4, ada konsep Operational Design Domain (ODD)—semacam "zona nyaman" di mana AV dirancang untuk bekerja (misalnya, jalan tol, cuaca cerah). Jika mobil menghadapi situasi di luar ODD—seperti badai salju mendadak atau zona konstruksi—ia harus menyerahkan kembali kendali ke manusia. Jika manusia tidak merespons (mungkin sedang tidur), mobil memerlukan "safe harbour" (pelabuhan aman) untuk berhenti darurat. Bahu jalan adalah pelabuhan itu.
Ini berarti kita mungkin perlu menambah tempat pemberhentian darurat, terutama di jembatan atau terowongan yang tidak memiliki bahu jalan. Ini adalah tantangan Manajemen Infrastruktur yang masif.
Perjalanan (Bagian 3: Kekacauan Manusiawi di Persimpangan)
Ini adalah bagian tersulit. Di sinilah logika biner AI bertemu dengan kekacauan tak terduga dari perilaku manusia dan struktur warisan.
Struktur Raksasa: Saat Iring-iringan Truk Pintar Menghancurkan Jembatan Tua
Platooning (iring-iringan) truk otonom adalah fitur efisiensi bahan bakar yang hebat. Tapi itu adalah mimpi buruk bagi insinyur sipil (Topik 8).
Desain jembatan saat ini mengasumsikan beban terdistribusi (kendaraan acak, menyebar). Platooning menciptakan beban terkonsentrasi yang ekstrem—beberapa truk super berat, berdekatan, tanpa "wheel wander"—yang "tidak dipertimbangkan" oleh standar desain jembatan saat ini.
Implikasinya? Jembatan bentang panjang yang ada mungkin perlu "dihitung ulang secara struktural" atau bahkan "diperkuat". Di terowongan, masalahnya beda lagi: sinyal satelit (GPS) hilang, membuat penentuan posisi sulit, dan perubahan pencahayaan yang cepat di pintu masuk/keluar dapat "membutakan" sensor kamera.
Anarki Bundaran yang Ditakuti AI
Persimpangan (Topik 6) adalah "situasi lalu lintas yang kompleks" dan mewakili "kemacetan". Ironisnya, di sinilah kecelakaan AV paling sering terjadi. Sebuah studi (Favarò et al., 2017) menemukan bahwa 89% kecelakaan AV yang dilaporkan (kebanyakan tabrakan dari belakang oleh manusia) terjadi di persimpangan.
Para ahli terpecah. Beberapa percaya AV akan membuat bundaran lebih efisien. Namun, paper ini menyoroti bahwa persimpangan bersinyal (lampu merah/hijau) mungkin "lebih mudah ditangani oleh AV" karena lebih "deterministik" (perintah berhenti/jalan yang dapat diprediksi).
Bundaran membutuhkan "negosiasi" sosial—kontak mata, anggukan kepala, membaca bahasa tubuh—yang sangat manusiawi. Algoritma lebih menyukai perintah biner "merah" atau "hijau".
Tantangan Terbesar: Kita (Pejalan Kaki)
Dan inilah hambatan terbesar: kita. Vulnerable Road Users (VRUs)—pejalan kaki, pengendara sepeda (Topik 9)—disebut sebagai "hambatan terbesar" bagi sistem penghindaran tabrakan.
Masalahnya dua:
Deteksi: Paper ini mengutip studi (Combs et al., 2019) yang menemukan bahwa kamera saja (opsi termurah) hanya dapat mencegah <30% kematian pejalan kaki. Hanya kombinasi mahal (Kamera + Lidar + Radar) yang bisa mencapai >90%.
Interaksi: Bagaimana AV berinteraksi dengan kita? Paper ini mengusulkan solusi radikal: mengganti zebra cross (yang ambigu dan butuh negosiasi) dengan perlintasan bersinyal (lampu pejalan kaki) yang "jauh lebih deterministik" untuk AV.
Ini adalah poin besar. Kita mungkin harus mengubah tatanan kota kita—membuatnya kurang cair dan kurang spontan—hanya untuk mengakomodasi robot.
Ironi Parkir Valet Otonom yang Tidak Menemukan Sinyal
Terakhir, Automated Valet Parking (AVP) (Topik 7) terdengar hebat. Mobil mengantar Anda dan parkir sendiri.
Masalahnya? Sebagian besar tempat parkir (terutama di perkotaan) ada di bawah tanah, di mana "sinyal GPS tidak kuat." Selain itu, tempat parkir ini sering dioperasikan secara pribadi dan "tidak menggunakan marka jalan standar," yang membingungkan sensor.
Paper ini memprediksi kita tidak akan menghilangkan parkir, tapi memindahkannya. Kita akan membutuhkan "area pemuatan di tepi jalan yang diperluas" untuk pick-up dan drop-off (PUDO). Ruang tepi jalan akan menjadi komoditas yang "semakin berharga".
Opini Pribadi Saya: Kita Tidak Hanya Membutuhkan Mobil yang Lebih Pintar
Membaca 13 topik ini seperti disiram air dingin. Paper ini, bagi saya, adalah dakwaan senyap terhadap mentalitas "Silicon Valley-sentris" dalam pengembangan AV. Para raksasa teknologi berlomba-lomba membuat AI yang sempurna, dengan asumsi dunia adalah lingkungan yang steril dan sempurna seperti di sandbox simulasi mereka.
Kenyataannya, dunia nyata berantakan. Catnya pudar (Topik 4), aspalnya berlubang (Topik 3), drainasenya buruk (Topik 12), dan rambunya tertutup pohon (Topik 10).
Meski temuannya hebat, paper ini (sebagai review) hanya bisa merangkum masalah. Saya masih penasaran dengan solusi birokrasinya. Paper ini menyoroti (di bagian Kesimpulan) bahwa industri teknologi "seringkali enggan untuk berbagi apa yang mereka harapkan dari infrastruktur jalan" karena mereka "dalam persaingan serius".
Ini gila.
Jadi, Departemen PU (disebut IOOs dalam paper) dibiarkan menebak-nebak. Standar apa yang harus mereka gunakan untuk mengecat marka? Seberapa terang lampu yang dibutuhkan? Haruskah mereka membangun bahu jalan atau lajur sempit? Kekacauan komunikasi ini adalah penghalang terbesar, bukan teknologinya.
Paper ini ditutup dengan peringatan tentang "equity gap" (kesenjangan keadilan). Jika kita tidak hati-hati, AV mungkin hanya akan berfungsi di lingkungan kaya yang baru dibangun dan terawat baik, sementara gagal di pusat kota yang lebih tua atau jalan pedesaan. Ini adalah resep untuk apartheid mobilitas.
🚀 Hasilnya luar biasa: Paper ini membuktikan bahwa AV membutuhkan jalan yang dirawat dengan standar jauh lebih tinggi dari yang kita miliki saat ini.
🧠 Inovasinya: Mengalihkan fokus dari AI di dalam mobil ke kualitas aspal, cat, dan drainase di luar mobil.
💡 Pelajaran: Kita perlu berhenti bertanya, "Kapan mobil self-driving siap?" dan mulai bertanya, "Kapan jalan kita siap untuk mereka?".
Jadi, Apa yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini?
Jika Anda berpikir ini semua adalah masalah masa depan, Anda salah.
Masalah-masalah ini sudah terjadi sekarang. Sistem LKA dan driver-assist (Level 1-2) di mobil baru Anda sudah menghadapi masalah marka jalan yang pudar dan desain tikungan yang membingungkan. Ini adalah masalah Keselamatan Infrastruktur Jalan saat ini, bukan besok.
Tapi ada harapan, dan itu datang dari tempat yang tidak terduga.
Paper ini menyoroti (Topik 13) bahwa AV di masa depan dapat menjadi alat perawatan jalan terbaik. Bayangkan: setiap mobil di jalan adalah inspektur jalan. Sensor mereka (kamera, lidar) dapat "mengumpulkan data inventaris dan kondisi" jalan—retakan, lubang, marka pudar—secara real-time dan mengirimkannya ke otoritas.
Ini dapat merevolusi Manajemen Infrastruktur. Alih-alih survei manual yang lambat dan mahal, kita bisa mendapatkan peta panas real-time tentang di mana perbaikan paling dibutuhkan.
Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan baru: Siapa yang memiliki data itu? Bagaimana kita mengelola big data ini?.
Pada akhirnya, paper ini meyakinkan saya akan satu hal: revolusi AV tidak akan dimenangkan oleh pembuat kode di Silicon Valley saja. Ini membutuhkan generasi baru insinyur sipil yang memahami(https://www.diklatkerja.com/course/teknik-jalan/) dan computer vision, serta manajer aset yang memahami big data sama baiknya dengan mereka memahami campuran aspal.
Jalan pulang saya mungkin masih akan macet untuk waktu yang lama. Tapi setidaknya sekarang saya tahu mengapa.
Kalau kamu tertarik dengan "dapur" dari semua masalah ini—dan ini benar-benar menarik—coba baca paper aslinya.