Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Konteks dan Signifikansi

Paper ini mengkaji evolusi tata kelola air adaptif (Adaptive Water Governance, AWG) di Afrika Selatan, khususnya di dua daerah aliran sungai transboundary di bagian timur negara tersebut, yakni Cekungan Sungai Crocodile dan Olifants. AWG dipandang sebagai pendekatan tata kelola sumber daya air yang fleksibel, berbasis pembelajaran, dan kolaboratif antara aktor negara dan non-negara, dengan tujuan mengelola sistem sosial-ekologis secara adaptif di tengah ketidakpastian, seperti perubahan iklim. Studi ini menyoroti bagaimana reformasi kebijakan nasional sejak 1998—terutama melalui National Water Act—mendorong implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM) yang berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan desentralisasi pengelolaan air, yang kemudian menjadi landasan bagi praktek AWG di Afrika Selatan1.

Kerangka Teoretis: Dari IWRM ke AWG

IWRM di Afrika Selatan didefinisikan sebagai proses manajemen terkoordinasi sumber daya air, tanah, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat sosial dan ekonomi secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. AWG, yang tidak secara eksplisit disebutkan pada awal reformasi, merupakan evolusi dari IWRM dengan fokus pada tata kelola yang adaptif dan pembelajaran sosial. Konsep kunci dalam AWG adalah pengelolaan hubungan sosial dan aturan yang bersifat dinamis dan responsif terhadap umpan balik sosial-ekologis. Paper ini menegaskan bahwa AWG dan IWRM saling terkait erat di Afrika Selatan, dengan AWG sebagai kerangka yang lebih luas yang menekankan pembelajaran, fleksibilitas, dan kolaborasi multi-skala1.

Metodologi: Studi Kasus Longitudinal dan Pendekatan Sistemik

Penelitian ini menggunakan pendekatan meta-inquiry selama enam tahun (2013–2019) yang menggabungkan Soft Systems Methodology (SSM) dan grounded theory, untuk mengevaluasi evolusi tata kelola air adaptif di tiga kasus dalam dua cekungan sungai tersebut. Data dikumpulkan melalui action-research dan monitoring, evaluation, reporting, and learning (MERL) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lokal dan nasional. Fokus utama adalah pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi dalam pengelolaan air, serta bagaimana institusi dan jaringan tata kelola berkembang untuk mengakomodasi hal ini1.

Hasil Studi Kasus

1. Pengelolaan Dinamika Aliran di Sungai Crocodile

Cekungan Sungai Crocodile menghadapi defisit air dan tantangan kualitas air, dengan pengaturan aliran yang melibatkan negara tetangga Eswatini dan Mozambik melalui perjanjian aliran bersama (IIMA 2002). Pembentukan Inkomati-Usuthu Catchment Management Agency (IUCMA) pada 2004 menjadi titik penting dalam penerapan IWRM dan AWG. Melalui pembentukan komite operasi sungai (CROCOC) dan pengembangan sistem respons cepat, terjadi peningkatan kepatuhan terhadap standar aliran minimum (reserve) dan kualitas air. Kolaborasi antara IUCMA, dewan irigasi, dan Taman Nasional Kruger selama kekeringan 2015 menunjukkan keberhasilan pengelolaan aliran secara adaptif dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas batas. Meskipun otoritas IUCMA sempat dicabut pada 2016, jaringan kolaboratif tetap beroperasi dan mempertahankan kondisi ekologis sungai1.

2. Menjamin Aliran di Sungai Olifants Selama Kekeringan Terparah

Cekungan Sungai Olifants merupakan wilayah yang paling tertekan di antara cekungan transboundary di Afrika Selatan bagian timur, dengan penurunan kualitas dan kuantitas air yang signifikan. Program RESILIM-Olifants yang dipimpin oleh AWARD berupaya mendukung manajemen adaptif strategis melalui pembelajaran sosial sistemik dan pengembangan alat monitoring real-time seperti FlowTracker dan INWARDS DSS. Selama kekeringan 2015–2020, jaringan tata kelola yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan berhasil mempertahankan aliran air dengan mengatur pelepasan air dari bendungan yang lebih besar, meskipun kapasitas kelembagaan seperti proto-CMA sempat dibekukan oleh pemerintah pusat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya jaringan tata kelola yang responsif dan transparan, meskipun keberlanjutan jangka panjang masih diragukan tanpa institusi yang kuat1.

3. Pengelolaan Limbah Cair di Sungai Selati (Anak Sungai Olifants)

Masalah pencemaran dari limbah tambang dan pengolahan air limbah di Sungai Selati mengancam pasokan air untuk kota Phalaborwa, Taman Nasional Kruger, dan Mozambik. Kolaborasi antara AWARD, taman nasional, dan otoritas pengelolaan air berfokus pada pengembangan strategi adaptif jangka panjang dan praktik transformasional dalam pengelolaan limbah cair. Model "wagon wheel" dikembangkan untuk memperbaiki komunikasi dan umpan balik antara staf teknis dan pimpinan politik di tingkat pemerintahan lokal, sehingga meningkatkan alokasi sumber daya dan kesadaran akan konsekuensi ketidakpatuhan. Meski ada kemajuan, keterbatasan sumber daya, kapasitas, serta intervensi politik dan korupsi menjadi kendala utama1.

Diskusi: Faktor Pendukung dan Penghambat AWG

Penelitian mengidentifikasi sejumlah faktor kunci yang mendukung keberhasilan AWG, antara lain:

  • Kepemimpinan dan Peran Champion/Watchdog: Pemimpin yang berkualitas dan adanya pengawas independen memperkuat kepercayaan dan kolaborasi.
  • Visi Bersama dan Standar Hukum (Reserve): Penetapan tujuan bersama dan patokan hukum menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
  • Jaringan Tata Kelola Multi-skala (Polycentric Governance): Adanya jaringan formal dan informal yang dapat beradaptasi dan belajar bersama.
  • Alat dan Protokol Sistemik: Penggunaan aplikasi monitoring real-time dan sistem pendukung keputusan meningkatkan transparansi.
  • Komunikasi Terbuka dan Ruang Kolaboratif: Forum diskusi yang aman memungkinkan eksperimen dan refleksi bersama.
  • Kepercayaan dan Partisipasi Inklusif: Membangun kepercayaan antara pemangku kepentingan dan melibatkan berbagai pihak secara aktif.

Namun, paper juga menyoroti kerentanan tata kelola tanpa institusi meta-governor yang kuat seperti CMA, yang berfungsi sebagai rumah institusional untuk pembelajaran dan adaptasi. Kasus Olifants menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan dan dukungan kelembagaan yang memadai, jaringan tata kelola sulit bertahan dalam jangka panjang, apalagi di tengah tekanan politik dan korupsi. Hal ini menegaskan perlunya meta-governance yang bersifat fasilitatif, bukan otoriter, untuk mendukung inovasi lokal dan adaptasi berkelanjutan1.

Implikasi dan Rekomendasi

Paper ini memberikan beberapa rekomendasi penting untuk pengembangan AWG di Afrika Selatan dan konteks global:

  • Penguatan Institusi Meta-Governor: Memastikan keberadaan dan dukungan bagi lembaga seperti CMA yang dapat mengintegrasikan berbagai skala tata kelola.
  • Pengembangan Jaringan dan Alat Monitoring: Melanjutkan inovasi dalam alat digital untuk transparansi dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Pengelolaan Umpan Balik Multi-Skala: Memperhatikan interaksi dan umpan balik antar tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan.
  • Penanganan Korupsi dan Intervensi Politik: Meningkatkan akuntabilitas dan integritas dalam tata kelola air untuk menjaga kepercayaan.
  • Pendekatan Sistemik dan Pembelajaran Sosial: Mendorong kolaborasi yang inklusif dan berkelanjutan sebagai inti dari tata kelola adaptif.

Dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim dan kompleksitas sosial-ekologis, paper ini menegaskan bahwa tata kelola air adaptif yang berbasis pembelajaran sistemik dan kolaborasi multi-aktor adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya air1.

Kesimpulan

Penelitian ini secara komprehensif menggambarkan perjalanan dan tantangan penerapan adaptive water governance di Afrika Selatan, khususnya di dua cekungan sungai transboundary yang kritis. Melalui tiga studi kasus, ditemukan bahwa keberhasilan AWG sangat bergantung pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi, serta adanya institusi meta-governor yang memfasilitasi kolaborasi multi-skala. Paper ini tidak hanya memberikan wawasan akademis, tetapi juga contoh nyata dan angka-angka penting yang menunjukkan dinamika pengelolaan air di lapangan, seperti pengelolaan aliran selama kekeringan ekstrem dan pengelolaan limbah cair yang kompleks. Temuan ini relevan untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam tata kelola sumber daya air di era perubahan iklim dan ketidakpastian sosial-politik.

Sumber Artikel Asli:

Pollard, S. R., E. Riddell, D. R. du Toit, D. C. Retief, and R. L. Ison. 2023. Toward adaptive water governance: the role of systemic feedbacks for learning and adaptation in the eastern transboundary rivers of South Africa. Ecology and Society 28(1):47. Copyright © 2023 by the author(s). Published under license by the Resilience Alliance.

Selengkapnya
Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi

Sumber Daya Air

Menyelami Kompleksitas Pengelolaan Kualitas Air Sungai Brantas dengan Metode Q

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Kualitas Air di DAS Brantas

Sungai Brantas di Jawa Timur, Indonesia, adalah salah satu sungai terpenting dengan panjang 320 km dan wilayah aliran sungai (DAS) seluas sekitar 14.000 km². DAS ini menjadi sumber utama air bersih bagi sekitar 18-25 juta penduduk, serta menopang sektor pertanian, industri, dan perikanan yang menyumbang 59% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. Namun, kualitas air di Brantas mengalami tekanan berat akibat limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, serta masalah pengelolaan sampah yang belum memadai. Paper "Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin" oleh Houser, Pramana, dan Ertsen (2022) mengkaji bagaimana beragam pemangku kepentingan memahami dan memandang masalah kualitas air di Brantas, menggunakan pendekatan Q methodology sebagai alat untuk mengurai kompleksitas perspektif dan problem framing dalam pengelolaan air1.

Kerangka Teoretis: Kompleksitas dan Politik dalam Pengelolaan Kualitas Air

Masalah kualitas air merupakan contoh "wicked problem"—isu kompleks, multidimensional, dan penuh ketidakpastian yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan, nilai, dan pengetahuan berbeda. Pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) mendorong keterlibatan multi-aktor dan pengelolaan terintegrasi, namun tantangan utama adalah bagaimana menyatukan berbagai perspektif yang beragam dan kadang kontradiktif dalam memahami dan menangani masalah kualitas air.

Q methodology dipilih sebagai metode yang mampu mengungkapkan subjektivitas dan pola pikir beragam aktor melalui pengelompokan perspektif berdasarkan cara mereka mengurutkan pernyataan terkait kualitas air. Metode ini tidak berusaha mewakili mayoritas, tetapi menampilkan keragaman dan area konsensus serta perbedaan yang penting untuk membangun dialog dan kolaborasi1.

Studi Kasus: Sungai Brantas dan Dinamika Kualitas Airnya

Kondisi Geografis dan Sosial Ekonomi

  • Panjang sungai: 320 km
  • Wilayah aliran sungai: ~14.000 km²
  • Populasi terdampak: 18-25 juta jiwa
  • Kontribusi ekonomi: 59% PDRB Jawa Timur, 6-10% produksi beras nasional
  • Penggunaan air: domestik, industri, irigasi, perikanan

Sumber Polusi Utama

  • Limbah domestik: diperkirakan menghasilkan sekitar 515 ton BOD/hari (2004)
  • Limbah pertanian: sekitar 2.500 ton/hari, termasuk pestisida dan pupuk
  • Limbah industri: 125-155 ton/hari dari sekitar 483 industri terdaftar
  • Sampah padat dan mikroplastik: kontribusi signifikan terhadap pencemaran sungai dan laut
  • Proses alami: sedimentasi dan erosi juga memengaruhi kualitas air

Tantangan Pengelolaan

  • Tumpang tindih kewenangan antar lembaga pemerintah
  • Kapasitas administratif dan teknis terbatas
  • Koordinasi antar sektor yang lemah dan "ego sektoral"
  • Kurangnya dana dan data yang terintegrasi untuk pengelolaan kualitas air
  • Kesadaran masyarakat yang rendah terkait dampak pencemaran dan pengelolaan limbah

Metode Penelitian: Q Methodology untuk Mengurai Perspektif

Penelitian melibatkan 32 responden dari berbagai latar belakang: pemerintah (17), organisasi masyarakat sipil (6), perusahaan milik negara/pengguna air (6), dan akademisi (2). Dua sesi Q-sort dilakukan:

  1. Q-sort Konsep (23 pernyataan): menggali bagaimana responden memahami konsep kualitas air secara umum.
  2. Q-sort Kondisi (34 pernyataan): menggali persepsi tentang kondisi kualitas air saat ini dan masalah terkait.

Responden diminta mengurutkan pernyataan dari "paling setuju" hingga "paling tidak setuju" dalam distribusi normal terpaksa. Analisis faktor dengan varimax rotation mengidentifikasi kelompok perspektif yang berbeda1.

Hasil: Tiga Perspektif Konseptual dan Empat Perspektif Kondisi Kualitas Air

Perspektif Konseptual Kualitas Air

  1. Harmonist-holist (C1, 27% varians)
    • Melihat kualitas air sebagai bagian dari harmoni antara manusia dan alam.
    • Menekankan nilai konservasi, keanekaragaman hayati, dan keterlibatan komunitas.
    • Menolak pandangan bahwa kualitas air hanya soal pengendalian polusi industri.
    • Menganggap kualitas air bukan prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
  2. Technical-regulatory (C2, 21% varians)
    • Memahami kualitas air sebagai isu teknis yang harus diukur secara ilmiah oleh ahli.
    • Menekankan peran pemerintah dalam pengendalian polusi industri.
    • Melihat partisipasi masyarakat penting, tapi bukan pusat pengelolaan.
    • Menganggap kualitas air sebagai masalah sekunder dibandingkan pengendalian banjir dan alokasi air.
  3. Direct Engagement (C3, 15% varians)
    • Fokus pada pengalaman langsung masyarakat dengan sungai (melihat, mencium, menyentuh).
    • Menilai kualitas air berdasarkan dampak pada kehidupan sehari-hari dan keberlanjutan mata pencaharian.
    • Mengakui peran penting perempuan dalam pengelolaan kualitas air.
    • Kurang menekankan data ilmiah sebagai dasar pengambilan keputusan.

Perspektif Kondisi Kualitas Air Saat Ini

  1. General Reformers (N1, 17% varians)
    • Menilai sungai semakin tercemar, terutama akibat limbah domestik dan pertanian.
    • Menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga dan ketidakjelasan tanggung jawab.
    • Menekankan perlunya edukasi masyarakat dan perbaikan tata kelola.
  2. Government Optimists (N2, 15% varians)
    • Melihat kondisi sungai relatif baik dan upaya pemerintah serta masyarakat berjalan efektif.
    • Percaya koordinasi antar lembaga sudah berjalan baik dan regulasi ditegakkan.
    • Menilai pelaporan pencemaran jelas dan respons pemerintah transparan.
  3. Community-focused Pragmatists (N3, 14% varians)
    • Fokus pada peran komunitas dan pentingnya pengetahuan lokal dalam pengelolaan.
    • Menyoroti kurangnya tindak lanjut dari data dan studi yang ada.
    • Menilai masalah utama adalah keterbatasan dana dan implementasi.
  4. Industry-focused Reformers (N4, 17% varians)
    • Menilai polusi industri sebagai sumber utama pencemaran dan regulasi kurang ditegakkan.
    • Melihat koordinasi antar lembaga buruk dan keterlibatan masyarakat minim.
    • Menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap industri.

Diskusi: Implikasi untuk Pengelolaan dan Kebijakan

Keragaman Perspektif sebagai Tantangan dan Peluang

  • Keragaman pandangan tentang apa itu kualitas air dan bagaimana masalahnya harus ditangani menandakan kompleksitas pengelolaan yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal.
  • Perbedaan ini tidak sepenuhnya berakar pada afiliasi organisasi, menunjukkan bahwa dialog lintas sektor dan komunitas mungkin lebih mudah daripada yang diperkirakan.
  • Konsensus ditemukan pada beberapa hal penting, seperti pentingnya kebersihan sungai sebagai kebanggaan nasional dan kebutuhan edukasi masyarakat, yang bisa menjadi titik awal kolaborasi.

Kebutuhan untuk Pendekatan Kolaboratif dan Adaptif

  • Perlu ada fasilitasi dialog yang mengakui dan menjembatani perbedaan perspektif, agar problem framing menjadi lebih terstruktur dan solusi yang diambil dapat diterima bersama.
  • Penguatan koordinasi antar lembaga dan kejelasan tanggung jawab menjadi prioritas utama.
  • Edukasi dan pemberdayaan komunitas harus ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam pengelolaan kualitas air.
  • Penegakan regulasi terhadap pencemaran industri harus diperkuat tanpa mengabaikan pendekatan yang harmonis dengan masyarakat dan pelaku usaha.

Nilai Tambah dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini menonjolkan penggunaan Q methodology sebagai alat inovatif untuk memahami subjektivitas dan keragaman pandangan dalam isu lingkungan yang kompleks, berbeda dengan survei kuantitatif konvensional yang cenderung menggeneralisasi. Pendekatan ini memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat tidak hanya apa masalahnya, tetapi juga bagaimana masalah itu dipahami secara berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan, yang sangat penting dalam konteks tata kelola sumber daya air yang multi-aktor dan multi-skala.

Kesimpulan

Paper ini berhasil mengungkap bahwa pengelolaan kualitas air di DAS Brantas tidak hanya soal data dan teknologi, tetapi juga soal pemahaman bersama dan framing masalah yang beragam. Dengan tiga perspektif konsep kualitas air dan empat perspektif kondisi yang berbeda, penelitian ini menegaskan pentingnya problem structuring yang partisipatif dan reflektif dalam tata kelola air. Hasil ini membuka peluang untuk membangun jaringan kolaboratif yang lebih efektif dan inklusif, sekaligus menyoroti kebutuhan perbaikan kelembagaan dan edukasi masyarakat. Pendekatan Q methodology terbukti efektif sebagai alat untuk memfasilitasi dialog dan membangun kesepahaman dalam konteks pengelolaan sumber daya air yang kompleks dan dinamis.

Sumber Artikel Asli:
Houser RS, Pramana KER, Ertsen MW (2022). Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin. Frontiers in Water 4:1007638. doi: 10.3389/frwa.2022.1007638

Selengkapnya
Menyelami Kompleksitas Pengelolaan Kualitas Air Sungai Brantas dengan Metode Q

Perubahan Iklim

Pengaruh Kebijakan Ekonomi Besar terhadap Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, dan Air di Negara Berkembang: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Interaksi Kebijakan Global dan Dampaknya pada Negara Berkembang

Paper ini mengkaji bagaimana kebijakan negara maju dan ekonomi besar dunia, termasuk negara-negara BRICS, memengaruhi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait perubahan iklim, ketahanan pangan, dan pengelolaan air di negara berkembang. Dengan fokus pada kebijakan non-kerjasama pembangunan, paper ini mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan (policy coherence hotspots) yang berpotensi menghambat atau mendukung tujuan tersebut.

Kerangka Analisis dan Metodologi

  • Menggunakan pendekatan tinjauan literatur sistematis dan analisis kebijakan.
  • Fokus pada kebijakan perdagangan, investasi, energi, industri, dan infrastruktur dari negara maju dan emerging economies.
  • Studi kasus singkat di Bangladesh untuk memahami dampak kebijakan secara nasional.
  • Menelaah interlinkages antara kebijakan iklim, pangan, dan air dalam konteks nexus water-energy-food.

Temuan Utama dan Studi Kasus

1. Kebijakan Energi dan Dampaknya pada Iklim dan Sumber Daya

  • Subsidi besar-besaran untuk sektor bahan bakar fosil di negara maju dan emerging countries, seperti China (USD 1,4 triliun pada 2015) dan AS (USD 649 miliar), bertentangan dengan komitmen mitigasi iklim.
  • Kebijakan ini mendorong eksplorasi dan produksi bahan bakar fosil di negara berkembang, terutama Afrika dan Timur Tengah, memperburuk emisi dan degradasi lingkungan.
  • Contoh: Dukungan China melalui China Development Bank untuk proyek bahan bakar fosil di Afrika.
  • Di sisi lain, ada pergeseran ke energi bersih, seperti kemitraan Just Energy Transition di Afrika Selatan yang didukung oleh negara-negara G7.

2. Kebijakan Perdagangan dan Investasi yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan dan Lingkungan

  • Kebijakan perdagangan negara maju, seperti subsidi pertanian dan kebijakan impor-ekspor, berdampak negatif pada petani kecil di negara berkembang.
  • Contoh: Importasi kedelai dan minyak sawit dari wilayah deforestasi di Amerika Selatan yang menyebabkan kerusakan hutan tropis dan tekanan pada sumber daya air.
  • Perjanjian dagang seperti EU-Mercosur membuka pasar bagi produk yang terkait deforestasi, menimbulkan konflik antara tujuan perdagangan dan lingkungan.
  • Investasi asing di sektor agribisnis seringkali tidak memenuhi janji pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan lokal.

3. Infrastruktur dan Dampaknya pada Emisi dan Ketahanan Sosial

  • Proyek infrastruktur besar, seperti bendungan dan jaringan energi, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan emisi dan mengubah penggunaan lahan.
  • Contoh: Bendungan besar meningkatkan pasokan listrik namun mengancam akses air bagi komunitas hilir.
  • Infrastruktur perkotaan yang buruk memperparah risiko banjir dan pencemaran air di negara berkembang.
  • Kasus Bangladesh menunjukkan bahwa proyek infrastruktur yang dibiayai donor sering terkendala korupsi dan koordinasi lemah.

4. Kebijakan Keuangan dan Dampaknya pada Adaptasi Iklim

  • Pendanaan iklim internasional meningkat, mencapai USD 632 miliar pada 2019/2020, namun masih jauh dari kebutuhan adaptasi yang diperkirakan USD 140-300 miliar per tahun pada 2030.
  • Skema blended finance mulai digunakan untuk menarik investasi swasta, namun membawa risiko distorsi pasar dan ketergantungan.
  • Illicit financial flows mengurangi kapasitas fiskal negara berkembang untuk membiayai adaptasi dan mitigasi.
  • Contoh: Bangladesh menghadapi tantangan fiskal besar dalam membiayai adaptasi iklim dan mitigasi risiko bencana.

Analisis dan Opini

  • Paper ini mengungkapkan kompleksitas dan kontradiksi kebijakan global yang berdampak pada negara berkembang, terutama dalam konteks nexus air-pangan-energi-iklim.
  • Kebijakan negara maju seringkali tidak selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang, menimbulkan trade-offs dan hambatan.
  • Studi kasus Bangladesh memberikan gambaran nyata bagaimana kebijakan eksternal berinteraksi dengan konteks lokal, dengan dampak positif dan negatif.
  • Paper ini menekankan perlunya integrasi kebijakan lintas sektor dan negara, serta reformasi kebijakan perdagangan dan investasi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Rekomendasi Kebijakan

  • Meningkatkan koherensi kebijakan antara negara maju dan berkembang dengan mengintegrasikan tujuan iklim, pangan, dan air secara simultan.
  • Mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan pendanaan ke energi terbarukan yang inklusif dan sesuai konteks lokal.
  • Memperkuat regulasi perdagangan untuk mencegah impor produk yang merusak lingkungan dan mengancam ketahanan pangan.
  • Mendorong investasi berkelanjutan yang melibatkan petani kecil dan komunitas lokal.
  • Memperbaiki tata kelola pendanaan iklim dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengurangan risiko distorsi pasar.
  • Memperkuat kerja sama internasional dan regional dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas dan rantai pasok pangan.

Kesimpulan: Menavigasi Kompleksitas Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan

Paper ini memberikan wawasan kritis tentang bagaimana kebijakan negara maju dan emerging economies mempengaruhi pencapaian tujuan iklim, pangan, dan air di negara berkembang. Dengan mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan, studi ini membuka jalan bagi reformasi kebijakan yang lebih koheren dan berkeadilan. Integrasi lintas sektor dan kolaborasi global menjadi kunci untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan di era perubahan iklim.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Tondel, F., D’Alessandro, C., Dekeyser, K. (2022). The effects of major economies’ policies on climate action, food security and water in developing countries. Discussion Paper No. 327, ECDPM.

Selengkapnya
Pengaruh Kebijakan Ekonomi Besar terhadap Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, dan Air di Negara Berkembang: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan

Perubahan Iklim

Kerangka Perencanaan Strategis Sistem Air: Mewujudkan Pengelolaan Air yang Berkelanjutan dan Adaptif di Era Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas dan Kebutuhan Perencanaan Sistem Air Terpadu

Dokumen ini menyajikan kerangka kerja (framework) perencanaan strategis yang digunakan oleh Deltares dalam mengelola berbagai jenis sistem air, mulai dari DAS, zona pesisir, sistem air perkotaan, hingga akuifer dan laut. Kerangka ini dirancang untuk menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air yang melibatkan aspek fisik, sosial-ekonomi, dan kelembagaan, serta ketidakpastian masa depan akibat perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Fungsi dan Karakteristik Sistem Air

  • Sistem air memiliki fungsi yang beragam, mulai dari penyediaan air minum, irigasi, energi, transportasi, hingga perlindungan terhadap banjir dan kekeringan.
  • Terdapat tiga subsistem utama yang saling berinteraksi:
    • Natural Resource System (NRS): Sumber daya air dan infrastruktur fisik.
    • Socio-Economic System (SES): Aktivitas manusia dan nilai sosial ekonomi yang terkait air.
    • Administrative and Institutional System (AIS): Kebijakan, regulasi, dan institusi yang mengatur pengelolaan air.
  • Perencanaan harus memperhatikan interaksi kompleks antar subsistem ini.

Prinsip Perencanaan Strategis Sistem Air

  • Perencanaan harus bersifat terintegrasi, komprehensif, dan inklusif, melibatkan semua pemangku kepentingan.
  • Harus mengadopsi pendekatan sistem yang mempertimbangkan seluruh siklus air dan interaksi antar komponen.
  • Menggunakan pendekatan adaptif untuk menghadapi ketidakpastian iklim dan sosial ekonomi.
  • Perencanaan dilakukan secara berkelanjutan dengan siklus evaluasi dan pembaruan.

Lima Fase Perencanaan Strategis

  1. Inception (Inisiasi): Menetapkan ruang lingkup, tujuan, dan batasan analisis, serta menyusun proses keterlibatan pemangku kepentingan.
  2. Situation Analysis (Analisis Situasi): Pengumpulan data, pemodelan sistem air, dan analisis masalah saat ini dan proyeksi masa depan.
  3. Strategy Building (Penyusunan Strategi): Pengembangan alternatif strategi, evaluasi risiko, dan pemilihan strategi terbaik dengan pendekatan adaptif.
  4. Preparation for Implementation (Persiapan Implementasi): Penyusunan rencana aksi, pengorganisasian, perencanaan pendanaan, dan studi kelayakan.
  5. Implementation (Pelaksanaan): Pelaksanaan proyek, monitoring, evaluasi, dan persiapan siklus perencanaan berikutnya.

Pendekatan Sistem dan Model Komputasi

  • Kerangka kerja ini menggabungkan kerangka konseptual dan kerangka komputasi yang melibatkan pemodelan matematis untuk menganalisis perilaku sistem air dan dampak keputusan.
  • Contoh pemodelan mencakup analisis aliran sungai, kualitas air, interaksi air tanah dan permukaan, serta risiko banjir dan kekeringan.
  • Model ini membantu dalam mengevaluasi berbagai skenario dan strategi pengelolaan.

Penerapan pada Berbagai Sistem Air

  • Integrated River Basin Management (IRBM): Pengelolaan menyeluruh DAS dengan fokus pada alokasi air, mitigasi banjir, dan perlindungan ekosistem.
  • Integrated Coastal Zone Management (ICZM): Pengelolaan zona pesisir yang mempertimbangkan interaksi darat-laut dan perlindungan terhadap erosi dan banjir.
  • Integrated Urban Water Management (IUWM): Pengelolaan air di kota-kota, termasuk air minum, limbah, dan drainase.
  • Integrated Groundwater Management (IGM): Pengelolaan air tanah untuk mencegah overpumping dan pencemaran.
  • Marine Spatial Planning (MSP): Perencanaan ruang laut untuk keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
  • Integrated Drought Risk Management (IDRM) dan Integrated Flood Risk Management (IFRM): Strategi mitigasi risiko kekeringan dan banjir secara terintegrasi.
  • Water Quality and Ecosystem Management: Perlindungan kualitas air dan ekosistem air tawar dan pesisir.

Studi Kasus dan Contoh Angka

  • Studi penerapan IRBM di Delta Mekong menunjukkan pentingnya integrasi data hidrologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan untuk mengelola banjir dan irigasi secara adaptif.
  • Proyek Integrated Coastal Zone Management di Kuwait dan Filipina berhasil mengurangi risiko banjir pesisir dan meningkatkan kualitas ekosistem.
  • Di perkotaan, IUWM di Manila mengintegrasikan pengelolaan air minum dan limbah, mengurangi pencemaran dan meningkatkan layanan publik.
  • Pengelolaan air tanah di Mongolia dan Kosovo menggunakan model komputasi untuk mengantisipasi penurunan muka air dan pencemaran.
  • Pendekatan adaptif dalam manajemen risiko kekeringan dan banjir di berbagai negara meningkatkan kesiapsiagaan dan respons.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan dan Inklusivitas

  • Keterlibatan aktif pemangku kepentingan dari awal sangat penting untuk keberhasilan perencanaan.
  • Proses partisipatif meningkatkan pemahaman bersama, kepemilikan rencana, dan legitimasi keputusan.
  • Dokumen ini menyediakan checklist inklusivitas di setiap fase perencanaan untuk memastikan keterwakilan semua kelompok, termasuk masyarakat rentan.
  • Contoh kegagalan proyek banjir di Jakarta yang tidak melibatkan nelayan secara memadai menunjukkan pentingnya inklusivitas.

Pendanaan dan Kerangka Keuangan

  • Perencanaan strategis harus mencakup analisis biaya-manfaat dan strategi pendanaan yang realistis.
  • Dokumen membahas berbagai sumber pembiayaan, termasuk publik, swasta, dan pembiayaan bersyarat untuk pengurangan risiko bencana (DRR).
  • Contoh model pembiayaan dan pengadaan proyek yang adaptif dan transparan disajikan untuk mendukung implementasi.

Kesimpulan dan Opini

Dokumen “Strategic Water Systems Planning” dari Deltares ini merupakan panduan komprehensif dan sistematis yang sangat relevan untuk para perencana, pembuat kebijakan, dan praktisi pengelolaan sumber daya air. Dengan menggabungkan pendekatan sistematis, partisipatif, dan adaptif, kerangka ini mampu menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air di era perubahan iklim dan tekanan sosial ekonomi.

Kelebihan dokumen ini terletak pada integrasi aspek teknis, sosial, dan kelembagaan, serta penekanan pada inklusivitas dan pengelolaan risiko. Namun, implementasi kerangka ini memerlukan komitmen politik, kapasitas teknis, dan pendanaan yang memadai.

Dokumen ini juga relevan dengan tren global seperti SDG 6, adaptasi iklim, dan pengelolaan berbasis ekosistem, serta menawarkan contoh aplikasi nyata di berbagai sistem air yang beragam.

Sumber Artikel 

Beek, E. van, Nolte, A.J., Maat, J. ter, Fanesca-Sanchez, M., Asselman, N., Gehrels, H. (2022). Strategic Water Systems Planning: A Framework for Achieving Sustainable, Resilient and Adaptive Management. Deltares, December 2022.

Selengkapnya
Kerangka Perencanaan Strategis Sistem Air: Mewujudkan Pengelolaan Air yang Berkelanjutan dan Adaptif di Era Perubahan Iklim

Perubahan Iklim

Strategi Terpadu Menghadapi Banjir Jakarta Raya: Adaptasi Iklim, Tata Ruang, dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Banjir Jakarta Raya sebagai Ancaman Berkepanjangan

Jakarta Raya (Jabodetabekpunjur) dikenal sebagai salah satu wilayah metropolitan dengan risiko banjir tertinggi di dunia. Banjir yang terjadi berulang kali, seperti pada tahun 2007, 2013, dan 2020, menimbulkan kerugian besar baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam konteks perubahan iklim yang memperparah intensitas hujan ekstrem dan kenaikan muka air laut, dokumen ini menyajikan rangkaian policy briefs yang mengupas tantangan, solusi, dan rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan risiko banjir yang adaptif dan inklusif.

Analisis Risiko Banjir: Data dan Proyeksi

  • Estimasi risiko banjir di Jakarta saat ini mencapai sekitar USD 186 juta per tahun, dan diperkirakan meningkat hingga USD 521 juta per tahun pada 2030.
  • Faktor utama peningkatan risiko banjir adalah penurunan muka tanah (land subsidence) yang menyumbang 226% peningkatan risiko, disusul oleh perubahan penggunaan lahan (45%) dan kenaikan muka laut (14%).
  • Curah hujan ekstrem meningkat signifikan, dengan intensitas hujan tertinggi sejak 1866 tercatat pada Januari 2020.
  • Kepadatan penduduk Jakarta mencapai sekitar 15.900 jiwa/km², dua kali lipat dari Singapura, dengan pertumbuhan penduduk 1,19% per tahun, membuat lebih banyak orang tinggal di daerah rawan banjir.

Pendekatan Pengelolaan Risiko Banjir

Infrastruktur (Hard Engineering)

  • Pembangunan kanal banjir, tanggul pantai, dan normalisasi sungai menjadi pendekatan utama.
  • Kanal Banjir Timur (BKT) berhasil mengurangi luasan banjir hingga 27% dan volume banjir 34%, dengan penghematan risiko sebesar USD 311 juta.
  • Namun, pendekatan ini rentan terhadap efek samping seperti peningkatan risiko banjir di hilir dan biaya pemeliharaan yang tinggi.

Pendekatan Ekologis (Green Engineering)

  • Konsep rekayasa ekologis atau solusi berbasis alam (nature-based solutions) mengintegrasikan pengelolaan ruang hijau dan biru.
  • Strategi HURD (Holistic, Upstream, Rain, Downstream) mengelola siklus hidrologi secara menyeluruh.
  • Contoh: Pengembangan kawasan konservasi, restorasi mangrove, dan sistem polder buatan.
  • Pendekatan ini dapat menurunkan risiko banjir sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan dan ruang publik.

Pendekatan Sosial dan Institusional (Soft Engineering)

  • Pembentukan lembaga pengelola risiko banjir yang independen dan multi-stakeholder.
  • Penguatan partisipasi masyarakat dan edukasi publik tentang mitigasi dan adaptasi banjir.
  • Pengembangan sistem asuransi mikro untuk mengurangi dampak ekonomi banjir bagi kelompok rentan.
  • Pengembangan rencana darurat keluarga dan peningkatan koordinasi antar lembaga.

Kebijakan Tata Ruang Adaptif

  • Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2020 mengatur rencana tata ruang wilayah Jabodetabekpunjur hingga 2030 dengan fokus pada mitigasi dan adaptasi banjir.
  • Rencana ini mengintegrasikan pembangunan infrastruktur abu-abu (grey), biru (blue), dan hijau (green) secara terpadu.
  • Implementasi efektif membutuhkan konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  • Penataan ruang berbasis ekoregion dan hasil studi risiko banjir berbasis DAS serta proyeksi iklim masa depan sangat penting.
  • Namun, tantangan masih ada dalam pengawasan pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang.

Studi Kasus dan Dampak Sosial-Ekonomi

  • Kelapa Gading, kawasan rendah di Jakarta Utara, menjadi contoh di mana bisnis properti berkembang pesat meski rawan banjir.
  • Kehilangan ruang terbuka hijau akibat pembangunan masif memperparah risiko banjir.
  • Masyarakat miskin yang tinggal di daerah rawan banjir mengalami dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar, seperti kehilangan mata pencaharian dan relokasi paksa.
  • Integrasi SDGs, Pengurangan Risiko Bencana (DRR), dan Adaptasi Perubahan Iklim (CCA) menjadi kerangka kerja yang diusulkan untuk mengatasi kompleksitas ini secara inklusif.

Rekomendasi Utama

  • Membangun lembaga pengelola risiko banjir yang independen dengan kewenangan dan pendanaan memadai.
  • Mengintegrasikan pendekatan infrastruktur, ekologis, dan sosial-institusional secara simultan.
  • Memperkuat kapasitas pemerintah dan masyarakat melalui pelatihan, edukasi, dan partisipasi aktif.
  • Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi pemantauan dan sistem peringatan dini banjir.
  • Melakukan revisi dan penegakan ketat terhadap rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
  • Mengembangkan mekanisme insentif dan kompensasi, termasuk asuransi mikro bagi komunitas rentan.

Kesimpulan: Menuju Jakarta yang Tangguh dan Inklusif

Policy Briefs ini memberikan gambaran menyeluruh tentang tantangan dan solusi pengelolaan risiko banjir di Jakarta Raya di tengah perubahan iklim. Dengan pendekatan multi-disiplin dan multi-stakeholder, serta integrasi kebijakan tata ruang dan mitigasi risiko, Jakarta berpotensi menjadi kota yang lebih tangguh dan inklusif. Namun, keberhasilan membutuhkan komitmen politik, koordinasi lintas sektor, dan partisipasi masyarakat yang kuat.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Kusumanto, T., Triyanti, A., Tjiook, W. (Eds.). (2022). Dealing with Greater Jakarta Floods in Times of Climate Change. Policy Briefs Series, October 2022. TYK Research & Action Consulting, Utrecht University, Indonesian National Research and Innovation Agency (BRIN).

Selengkapnya
Strategi Terpadu Menghadapi Banjir Jakarta Raya: Adaptasi Iklim, Tata Ruang, dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

Perubahan Iklim

Meningkatkan Ketahanan Air di Asia: Studi Kasus, Tantangan Tata Kelola, dan Inovasi Adaptasi Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Air dan Pentingnya Tata Kelola di Asia

Asia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya air, terutama di tengah perubahan iklim yang memperparah risiko kekeringan, banjir, dan degradasi kualitas air. Konferensi virtual “Water Resource Management in Agriculture for Achieving Food and Water Security Under Climate Change in Asia” (Oktober 2022) dan forum-forum terkait menyoroti kebutuhan mendesak untuk tata kelola air yang inovatif dan adaptif. Para peneliti dan praktisi dari berbagai negara Asia membagikan pengalaman, data, dan solusi nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dan pelaku lapangan.

Fokus dan Pendekatan Penelitian

  • Penelitian dan diskusi menggabungkan pendekatan multidisiplin: ekonomi sumber daya, teknik irigasi, kebijakan publik, dan pengelolaan berbasis komunitas.
  • Studi kasus meliputi India, Nepal, China, Indonesia, dan beberapa negara Asia Tenggara.
  • Data kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap sistem irigasi dan ketahanan pangan.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan partisipasi masyarakat menjadi tema sentral dalam strategi adaptasi.

Studi Kasus Utama dan Temuan Angka

1. India: Ketahanan Sistem Pertanian Semi-Kering

  • Peneliti Arjuna Srinidhi dari Wageningen University memaparkan bahwa sistem pertanian semi-kering di India menghadapi risiko tinggi kekeringan.
  • Studi menunjukkan bahwa penerapan teknologi konservasi air dan diversifikasi tanaman dapat meningkatkan ketahanan iklim dan produktivitas hingga 30%.
  • Pendekatan kolaboratif antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan.

2. Nepal: Adaptasi Berbasis Komunitas di Daerah Pegunungan

  • Aastha Bhusal dari LI-BIRD Nepal menyoroti pentingnya pelibatan komunitas dalam merancang strategi adaptasi iklim, terutama di sektor pertanian dan pengelolaan air.
  • Contoh: Program panen air hujan dan pengelolaan irigasi mikro yang meningkatkan ketersediaan air selama musim kemarau.
  • Data menunjukkan peningkatan hasil panen sebesar 20-25% di wilayah yang menerapkan teknologi adaptif ini.

3. China: Pengelolaan Rantai Pasok dan Pertanian Berkelanjutan

  • Profesor Chen Ji dan Chengfang Liu dari Zhejiang University dan Peking University meneliti dampak kebijakan pertanian hijau dan efisiensi penggunaan air di China.
  • Studi menggunakan data panel dari ribuan petani menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi irigasi hemat air meningkatkan efisiensi air hingga 35% dan pendapatan petani hingga 15%.
  • Kebijakan insentif dan dukungan kelembagaan mempercepat adopsi teknologi ini.

4. Indonesia: Pengelolaan Air Terpadu dan Kebijakan Adaptasi

  • Peneliti dari Asian Development Bank Institute dan institusi lokal menyoroti pentingnya penguatan tata kelola air terpadu (IWRM) di Indonesia.
  • Studi kasus di beberapa DAS menunjukkan bahwa koordinasi antar lembaga dan partisipasi masyarakat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya air.
  • Namun, tantangan seperti fragmentasi kelembagaan dan data yang belum terintegrasi masih menghambat.

Tema Sentral: Tata Kelola Air Berbasis Komunitas dan Adaptasi Iklim

  • Banyak studi menekankan bahwa pengelolaan air yang sukses harus melibatkan komunitas lokal secara aktif, menggabungkan pengetahuan tradisional dengan teknologi modern.
  • Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, tetapi juga memperkuat kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
  • Contoh inovasi seperti sistem irigasi mikro, panen air hujan, dan pertanian konservasi menjadi solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Tantangan Umum yang Dihadapi

  • Fragmentasi kelembagaan: Banyak negara menghadapi tumpang tindih kewenangan dan kurangnya koordinasi antar lembaga pengelola air.
  • Keterbatasan data dan monitoring: Data sumber daya air sering tidak lengkap dan tidak terintegrasi, menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Pendanaan dan kapasitas SDM: Keterbatasan dana dan kurangnya tenaga ahli menghambat implementasi program adaptasi.
  • Perubahan iklim yang cepat dan tidak pasti: Membutuhkan pendekatan adaptif dan fleksibel dalam perencanaan dan pengelolaan air.

Rekomendasi Strategis dan Praktis

  • Penguatan tata kelola terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan dari tingkat lokal hingga nasional.
  • Peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, termasuk pelatihan, penyediaan data, dan teknologi monitoring.
  • Pendekatan berbasis ekosistem untuk konservasi sumber daya air dan perlindungan lingkungan.
  • Pengembangan mekanisme pembiayaan inovatif untuk mendukung investasi infrastruktur dan program adaptasi.
  • Penggunaan teknologi digital dan big data untuk pemantauan real-time dan pengambilan keputusan cepat.
  • Penguatan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama dalam pengelolaan air.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • Pendekatan ini sejalan dengan agenda SDG 6 tentang air bersih dan sanitasi, serta SDG 13 tentang aksi iklim.
  • Industri teknologi air semakin mengadopsi solusi digital dan smart water management.
  • Kerjasama regional dan internasional menjadi kunci untuk mengelola sumber daya air lintas batas.
  • Inovasi berbasis masyarakat dan nature-based solutions mendapat perhatian global sebagai strategi adaptasi efektif.

Membangun Masa Depan Ketahanan Air di Asia

Paper dan diskusi dalam forum ini memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan dan solusi pengelolaan air di Asia di tengah perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan pendekatan ilmiah, kebijakan, dan praktik berbasis komunitas, kawasan ini dapat memperkuat ketahanan air dan pangan secara berkelanjutan. Investasi pada tata kelola yang inklusif, adaptif, dan berbasis data menjadi kunci keberhasilan menghadapi krisis air masa depan.

Sumber Artikel 

Conference on Water Resource Management in Agriculture for Achieving Food and Water Security Under Climate Change in Asia, 26-27 October 2022, Virtual Conference, Japan Standard Time (JST).
Biographies of the Speakers, Global Alliance for Climate-Smart Agriculture (GACSA), Food and Agriculture Organization (FAO), Asian Development Bank Institute (ADBI), and related organizations.

Selengkapnya
Meningkatkan Ketahanan Air di Asia: Studi Kasus, Tantangan Tata Kelola, dan Inovasi Adaptasi Iklim
« First Previous page 65 of 1.103 Next Last »