Sosiohidrologi

Panen Kabut di Kota Kering: Solusi Air Alternatif untuk Masa Depan Urban Arid

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


 Pendahuluan: Ketika Kabut Menjadi Harapan

Di tengah krisis air global, kotakota di wilayah kering menghadapi tantangan eksistensial. Salah satunya adalah Alto Hospicio (AH), kota di gurun Atacama, Chile, yang bergantung pada akuifer purba yang terakhir terisi 10.000 tahun lalu. Artikel karya Carter et al. (2025) mengangkat pendekatan inovatif: panen kabut (fog harvesting) sebagai sumber air alternatif. Dengan menggabungkan pengamatan lapangan dan model numerik AMARU, studi ini menilai potensi kabut sebagai sumber air pelengkap untuk konsumsi manusia, irigasi ruang hijau, dan pertanian hidroponik.

 Konteks SosioHidrologis: Ketimpangan dan Ketergantungan

Chile memiliki ratarata ketersediaan air 53.952 m³ per kapita per tahun, namun distribusinya timpang. Di utara, termasuk AH, ketersediaan air <1.000 m³ per kapita, jauh di bawah ambang batas kelangkaan air. AH sendiri berkembang pesat sebagai kota satelit dari Iquique, dihuni oleh kelompok berpenghasilan rendah dan migran. Pada 2023, 46 permukiman informal di AH menampung lebih dari 10.000 keluarga, sebagian besar tanpa akses air bersih. Hanya 1,6% dari permukiman ini terhubung ke jaringan air, sisanya bergantung pada truk air atau sambungan ilegal.

 Mengapa Kabut? Potensi yang Terlupakan

Kabut pesisir di Chile utara, dikenal sebagai camanchaca, terbentuk dari interaksi antara arus Humboldt yang dingin dan tekanan tinggi Pasifik. Kabut ini menyelimuti wilayah antara 500–1.200 m dpl, terutama pada musim dingin dan semi. Studi ini menyoroti bahwa kabut menyumbang hingga 76% dari kejadian kelembapan atmosfer di wilayah tersebut, namun belum dimanfaatkan secara sistematis di kawasan urban.

 Metodologi: Kombinasi Observasi dan Pemodelan

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama:

 Standard Fog Collectors (SFC): Dua unit dipasang di AH (572 m dan 683 m dpl) untuk mengukur volume kabut selama satu tahun (2023–2024). 

 Model AMARU: Menggunakan data meteorologi dan satelit untuk memetakan potensi panen kabut secara spasial dan temporal.

Model ini memperkirakan volume kabut berdasarkan kandungan air cair adiabatik, kecepatan angin, dan efisiensi kolektor (25%). Validasi dilakukan dengan data dari oasis kabut Alto Patache dan pengamatan lokal.

 Hasil: Potensi Nyata di Sekitar Kota

 Zona dengan potensi tertinggi berada di timur laut dan tenggara AH, pada ketinggian 700–1.000 m dpl, hanya <1 km dari batas kota.

 Model menunjukkan potensi panen kabut hingga 10 L/m²/hari pada puncak musim (Agustus–September), dan ratarata tahunan 2,5 L/m²/hari.

 SFC di lokasi High SR mencatat puncak panen 2,5 L/m²/bulan pada Juni, dengan kabut hadir terutama pukul 00:00–09:00 saat kelembapan mencapai 100%.

 Studi Kasus: Tiga Aplikasi Strategis

 1. Air untuk Konsumsi Manusia

 Permukiman informal menerima 300.000 L air per minggu via truk, dengan biaya tahunan USD 23.482.

 Dengan potensi panen 2,5 L/m²/hari, dibutuhkan 17.000 m² jaring untuk memenuhi kebutuhan ini.

 Solusi ini dapat mengurangi ketergantungan pada truk dan meningkatkan ketahanan air komunitas rentan.

 2. Irigasi Ruang Hijau Kota

 AH memiliki 30 hektare ruang hijau, namun irigasinya bergantung pada air bersih.

 Pemerintah kota mengalokasikan 100.000 L air per tahun untuk irigasi.

 Dengan 110 m² jaring panen kabut, kebutuhan ini bisa dipenuhi tanpa membebani jaringan air utama.

 3. Produksi Pangan Lokal (Hidroponik)

 AH dulunya pusat hortikultura, kini bergantung pada pasokan dari wilayah lain.

 Hidroponik menggunakan 0,5 L/m²/hari, dan 1 m² bisa menghasilkan 3–4 kg sayuran/bulan.

 Dengan 2,5 L/m²/hari, 1 m² jaring bisa mendukung 5 m² hidroponik, menghasilkan 15–20 kg sayuran/bulan.

 Kualitas air kabut sangat baik, rendah padatan terlarut, cocok untuk hidroponik tanpa perlakuan tambahan.

 Kritik dan Tantangan

 Model AMARU dikalibrasi dengan data dari lokasi 65 km selatan, sehingga perlu validasi lebih lanjut di AH.

 Variabilitas musiman tinggi: kabut hanya tersedia 6 bulan/tahun, sehingga penyimpanan air menjadi krusial.

 Kualitas udara urban dapat memengaruhi kualitas air kabut—perlu studi lanjutan tentang kontaminan atmosfer.

 Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Global

  • Integrasi kabut dalam kebijakan air lokal sebagai sumber pelengkap.
  • Insentif untuk proyek pilot dan pengembangan infrastruktur panen kabut.
  • Kampanye kesadaran publik untuk meningkatkan penerimaan sosial.
  • Kolaborasi lintas sektor: peneliti, pemerintah, komunitas lokal.

Studi ini juga membuka peluang replikasi di kotakota arid lain seperti Lima (Peru), Muscat (Oman), atau bahkan pesisir selatan Jawa yang mengalami kabut musiman.

 Kesimpulan: Kabut sebagai Jalan Menuju Keadilan Air

Carter et al. (2025) menunjukkan bahwa kabut bukan sekadar fenomena atmosfer, tapi peluang nyata untuk keadilan air. Dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif, panen kabut bisa menjadi bagian dari solusi urban yang berkelanjutan, terutama bagi komunitas yang paling terdampak oleh krisis air. Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tapi juga seruan untuk membayangkan ulang masa depan kotakota kering—dengan kabut sebagai sekutu, bukan hambatan.

Sumber Artikel :  Carter, V., Verbrugghe, N., LobosRoco, F., del Río, C., Albornoz, F., & Khan, A. Z. (2025). Unlocking the fog: assessing fog collection potential and need as a complementary water resource in arid urban lands—the Alto Hospicio, Chile case. Frontiers in Environmental Science, 13, 1537058. https://doi.org/10.3389/fenvs.2025.1537058

Selengkapnya
Panen Kabut di Kota Kering: Solusi Air Alternatif untuk Masa Depan Urban Arid

Sosiohidrologi

Menakar Nilai Budaya dalam Tata Kelola Air: Dari Teori Dominan ke Pendekatan Pluriversal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


 Pendahuluan: Air, Budaya, dan Kompleksitas Tata Kelola

Air bukan sekadar sumber daya alam—ia adalah cerminan nilai, relasi sosial, dan identitas budaya. Artikel karya Heinrichs dan Rojas (2022) mengangkat pertanyaan mendasar: Sejauh mana teori dan nilai budaya telah diintegrasikan dalam riset dan praktik tata kelola air? Melalui tinjauan sistematis terhadap 52 studi lintas negara, artikel ini mengungkap dominasi pendekatan tertentu, keterbatasan implementasi nilai budaya, serta peluang untuk membangun kerangka kerja yang lebih inklusif dan kontekstual.

 Dominasi Cultural Theory dan Keterbatasannya

Dari 52 studi yang dianalisis, Cultural Theory karya Mary Douglas (dengan empat kategori: egalitarian, hierarchist, individualist, fatalist) mendominasi literatur, terutama dalam konteks manajemen air. Teori ini populer karena kesederhanaannya dan kemampuannya untuk dikodekan dalam model statistik atau simulasi perilaku.

Namun, pendekatan ini cenderung statis dan homogen, kurang mampu menangkap dinamika nilai lokal atau adat yang lebih kompleks. Misalnya, dalam studi CastillaRho et al., Cultural Theory digunakan untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah di AS, Australia, dan India. Meskipun berhasil secara teknis, pendekatan ini menyederhanakan realitas sosial yang lebih beragam.

 Munculnya Indigenous Knowledges dan Nilai Pluriversal

Tren baru yang muncul adalah meningkatnya penggunaan Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis, terutama di Australia. Nilainilai seperti lore, spiritualitas, heritage, dan placebased identity mulai diakui sebagai bagian penting dari tata kelola air.

Namun, artikel ini mencatat bahwa pengakuan terhadap nilai adat masih terbatas pada wacana, belum menjadi dasar pengambilan kebijakan atau desain model. Misalnya, nilai seperti country dan river sering disebut, tetapi tidak diintegrasikan dalam alat pengambilan keputusan.

 Perbedaan Nilai antara Manajemen dan Tata Kelola Air

Analisis frekuensi kata menunjukkan perbedaan mencolok:

  •  Manajemen air cenderung menekankan nilainilai antroposentris seperti health, use, productivity.
  •  Tata kelola air lebih banyak mengangkat nilainilai relasional seperti place, lore, heritage, dan spirituality.

Hal ini mencerminkan bias teknokratis dalam manajemen air, yang sering mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang lebih dalam.

 Asal Disiplin Teori Budaya: Dominasi Antropologi dan Lingkungan

Sebagian besar teori budaya yang digunakan berasal dari antropologi dan ilmu lingkungan. Cultural Theory dan Moral Economy of Water berasal dari antropologi, sementara Cultural Ecosystem Services dan Value Landscape Theory berasal dari lingkungan.

Namun, hanya sedikit studi yang secara eksplisit merefleksikan asalusul disipliner teori yang mereka gunakan. Ini menjadi masalah karena tanpa refleksi epistemologis, pendekatan yang digunakan bisa tidak sesuai dengan konteks sosial yang diteliti.

 Implementasi Praktis: Masih Terbatas pada Statistik

Dari 52 studi, hanya 30 yang mengimplementasikan nilai budaya secara nyata, dan sebagian besar melalui:

  • Analisis statistik (regresi, SEM)
  • Perbandingan antar kelompok (misalnya grid/group Cultural Theory)
  • Model berbasis agen (ABM)
  • Simulasi perilaku (game theory)

Contoh menarik adalah studi oleh Koehler et al. yang mengaitkan nilai budaya dengan penggunaan pompa air di Afrika. Namun, pendekatan ini masih jarang dan belum menjadi arus utama.

 Kritik dan Rekomendasi: Dari Teori Tunggal ke Teori Plural

Penulis mengusulkan pergeseran dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan “theories of culture” yang lebih fleksibel dan kontekstual. Salah satu alternatif yang disarankan adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang mencakup 10 nilai universal seperti selfdirection, universalism, tradition, dan benevolence.

Model ini dianggap lebih adaptif dan telah divalidasi lintas negara, sehingga cocok untuk digunakan dalam pemodelan kebijakan air yang lebih inklusif.

 Opini dan Koneksi Global

Artikel ini sangat relevan dalam konteks global, terutama di negaranegara berkembang seperti Indonesia yang memiliki keragaman nilai lokal dan adat. Pendekatan yang terlalu teknokratis dalam pengelolaan air sering gagal karena tidak mempertimbangkan nilainilai komunitas.

Dengan meningkatnya tantangan seperti perubahan iklim, konflik lintas sektor, dan ketimpangan akses air, pendekatan berbasis nilai budaya yang plural dan kontekstual menjadi semakin penting.

 Kesimpulan: Air sebagai Cermin Nilai Sosial

Heinrichs dan Rojas menyimpulkan bahwa air bukan hanya soal kuantitas dan kualitas, tapi juga soal nilai, relasi, dan keadilan. Untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan adil, kita perlu melampaui model teknis dan mengintegrasikan nilainilai budaya secara nyata dalam kebijakan dan praktik.

Artikel ini menjadi panggilan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik, antara sains dan budaya, antara model dan makna.

Sumber Artikel

Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22

Selengkapnya
Menakar Nilai Budaya dalam Tata Kelola Air: Dari Teori Dominan ke Pendekatan Pluriversal

Sosiohidrologi

Transisi Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


Pendahuluan
Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik. Banyak daerahnya terdiri dari kepulauan dan wilayah terpencil yang belum sepenuhnya terlayani oleh sistem energi nasional. Buku Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil (2019) yang disusun oleh tim UGM dan didanai GEF-SGP UNDP, menjadi kontribusi penting dalam memetakan strategi transisi energi yang tidak hanya berorientasi teknologi, tetapi juga partisipatif dan berkelanjutan.

Latar Belakang dan Tujuan
Transisi energi global menekankan pentingnya pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Indonesia sendiri menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun, ketimpangan akses energi—khususnya di wilayah terpencil—menjadi tantangan utama. Buku ini menyajikan pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas dalam perencanaan dan implementasi teknologi energi terbarukan.

Metodologi dan Wilayah Studi
Studi dilakukan di empat lokasi berbeda:

  • Pulau Semau (NTT)
  • Pulau Nusa Penida (Bali)
  • Pulau Kaledupa (Wakatobi, Sultra)
  • Gorontalo (Tumba dan Muara Kopi)

Metodologi melibatkan survei sosial dan teknis, diseminasi desain, peningkatan kapasitas, serta penyusunan proposal komunitas. Model yang diterapkan bersifat bottom-up, memberi ruang bagi masyarakat untuk menjadi subjek dalam transisi energi.

Teknologi Energi Terbarukan yang Digunakan
Teknologi yang diadopsi menyesuaikan kondisi lokasi:

  • PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) off-grid di Semau dan Nusa Penida
  • Solar Water Pumping System (SWPS) untuk distribusi air bersih
  • Biogas dan Biomassa untuk kebutuhan energi dapur
  • PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) di Gorontalo

Studi Kasus dan Data Kunci

  1. Semau (NTT):
    • Tantangan air bersih, namun kaya pertanian.
    • Implementasi SWPS dan PLTS 450 kWp hybrid.
    • Desa Uiasa, Batuinan, dan Onansila menjadi lokasi pilot.
  2. Nusa Penida (Bali):
    • Desa Tanglad dan Batukandik mengalami peningkatan produksi minyak kelapa dan tenun setelah adanya akses energi.
    • Biogas communal dan PLTS meningkatkan produktivitas warga.
  3. Kaledupa (Wakatobi):
    • Komunitas Bajo di Mantigola dapat mengakses air bersih dari daratan melalui program Pamsimas dan sistem energi surya.
    • Fokus pada penguatan kelembagaan lokal untuk keberlanjutan.
  4. Tumba dan Muara Kopi (Gorontalo):
    • Pemanfaatan mikrohidro dan PLTS di SP3.
    • Komunitas migran tani memanfaatkan energi untuk pemrosesan hasil pertanian dan pemenuhan listrik rumah tangga.

Analisis dan Kritik
Pendekatan transdisiplin yang diterapkan memperlihatkan efektivitas dalam menyatukan aspek teknis dan sosial. Namun, tantangan masih ada:

  • Skalabilitas: Belum semua komunitas dapat mengelola sistem secara mandiri tanpa dukungan eksternal.
  • Pemeliharaan: Teknologi seperti SWPS dan PLTS memerlukan pelatihan rutin dan ketersediaan suku cadang.
  • Kelembagaan: Institusi lokal perlu terus diperkuat agar mampu menjalankan sistem jangka panjang.

Keterkaitan dengan Agenda Global
Proyek ini sejalan dengan SDG 7 (Affordable and Clean Energy) dan SDG 13 (Climate Action). Selain itu, pendekatan berbasis komunitas memperkuat inklusivitas dan keadilan sosial dalam proses transisi energi.

Nilai Tambah Artikel Ini

  • Menyediakan studi kasus konkret dari Indonesia yang dapat direplikasi.
  • Menggabungkan data sosial, teknis, dan budaya untuk solusi yang kontekstual.
  • Mendorong pendekatan lokal-partisipatif, bukan hanya solusi top-down.

Kesimpulan
Transisi energi di wilayah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan. Buku ini memberikan model yang dapat menjadi rujukan nasional bahkan internasional untuk pengembangan energi terbarukan yang inklusif dan berkelanjutan.

Sumber:
Budiarto, R., Widhyarto, D.S., Sulaiman, M., dkk. (2019). Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil. Pusat Studi Energi UGM, GEF-SGP UNDP, Yogyakarta.

Selengkapnya
Transisi Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil

Kompetensi Kerja

Evaluasi Program Sertifikasi Uji Kompetensi di SMK dan Menjawab Tantangan Kesiapan Kerja Lulusan Vokasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Di tengah persaingan kerja yang semakin ketat dan pesatnya perkembangan teknologi industri, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut untuk benar-benar siap terjun ke dunia kerja. Namun, angka pengangguran lulusan SMK masih tinggi—bahkan menurut data BPS tahun 2022, mencapai 24% dari total pengangguran di Indonesia. Salah satu solusi yang diharapkan mampu menjawab tantangan ini adalah program sertifikasi uji kompetensi, khususnya di bidang teknik pemesinan yang menjadi tulang punggung industri manufaktur.

Artikel ini mengupas secara kritis hasil penelitian Sugeng Priyanto, Siti Sahara, dan Hari Din Nugraha (2024) yang mengevaluasi efektivitas program sertifikasi uji kompetensi di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan model evaluasi CSE-UCLA dan metode analisis TOPSIS, sehingga hasilnya tidak hanya komprehensif, tetapi juga objektif. Resensi ini membahas temuan utama, membandingkan dengan tren industri, serta memberikan rekomendasi praktis bagi pengembangan SMK di Indonesia.

Model Evaluasi CSE-UCLA: Kerangka Lengkap untuk Menilai Program Sertifikasi

Model CSE-UCLA (Center for the Study of Evaluation – University of California, Los Angeles) adalah pendekatan evaluasi yang menilai lima aspek utama dalam program pendidikan:

  • Penilaian sistem (system assessment)
  • Perencanaan program (program planning)
  • Pelaksanaan program (program implementation)
  • Perbaikan program (program improvement)
  • Sertifikasi (certification)

Model ini dianggap sangat relevan karena mengulas seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir, sehingga dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program secara menyeluruh.

Untuk memperkuat objektivitas, penelitian ini juga menggunakan metode TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution) dalam mengolah data kualitatif dari kuesioner. Dengan metode ini, setiap aspek program dapat dinilai secara sistematis dan terukur.

Studi Kasus: Evaluasi Program Sertifikasi di Lima SMK Negeri Jakarta

Penelitian ini dilakukan di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Responden terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah (bidang kurikulum, hubungan industri, sarana prasarana), kepala program teknik pemesinan, kepala bengkel, guru produktif, dan lembaga sertifikasi profesi di sekolah. Data dikumpulkan melalui kuesioner 54 butir dengan skala Likert 1–5, kemudian dianalisis menggunakan metode TOPSIS.

Temuan Utama: Kekuatan dan Tantangan Program Sertifikasi

1. Penilaian Sistem (System Assessment)

Penilaian sistem di kelima SMK ini secara umum sudah baik. Namun, masih terdapat kelemahan pada dukungan infrastruktur dan keterlibatan dunia usaha/industri. Beberapa SMK masih kekurangan alat uji dan fasilitas pendukung, sehingga pelaksanaan uji kompetensi belum optimal. Keterlibatan industri juga belum maksimal, padahal sangat penting untuk memastikan uji kompetensi sesuai kebutuhan pasar kerja.

2. Perencanaan Program (Program Planning)

Perencanaan program sudah cukup terstruktur, terutama dalam pengelolaan SDM dan fasilitas. Namun, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih kurang. Komponen perencanaan fasilitas dan SDM mendapat penilaian sangat baik, tetapi pelatihan pengetahuan terapan untuk guru dan siswa masih perlu ditingkatkan agar sesuai dengan perkembangan teknologi industri.

3. Pelaksanaan Program (Program Implementation)

Pelaksanaan program masih menghadapi banyak tantangan. Sosialisasi program, kolaborasi dengan lembaga sertifikasi, dan penggunaan alat ukur belum merata di semua sekolah. Beberapa SMK sudah menjalin kerjasama yang baik dengan lembaga sertifikasi, namun aspek seperti sosialisasi kepada siswa dan pelatihan penggunaan alat uji masih belum optimal.

4. Perbaikan Program (Program Improvement)

Upaya perbaikan program sudah berjalan, namun belum menyeluruh. Penguatan pelatihan berkelanjutan dan peningkatan fasilitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. Beberapa aspek seperti peningkatan pelatihan dan fasilitas sudah cukup baik, tetapi masih banyak komponen lain yang perlu ditingkatkan, seperti monitoring hasil sertifikasi dan evaluasi berkelanjutan.

5. Sertifikasi (Certification)

Proses sertifikasi di SMK Negeri Jakarta masih perlu standarisasi dan peningkatan mutu. Kualitas uji kompetensi dan kesesuaian dengan standar industri masih bervariasi antar sekolah. Beberapa aspek seperti kualitas uji dan kesesuaian standar sudah baik, namun masih ada proses yang perlu diperbaiki, seperti validitas soal dan pelatihan asesor.

Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Studi Ini?

Kekuatan Program

Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan evaluasi yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak (multi-stakeholder) menjadi kunci keberhasilan program sertifikasi. Penggunaan metode TOPSIS juga membantu mengurangi subjektivitas dalam penilaian, sehingga hasil evaluasi lebih akurat.

Kelemahan dan Tantangan

Kesenjangan fasilitas antar sekolah masih menjadi masalah utama. Tidak semua SMK memiliki alat dan infrastruktur yang memadai untuk pelaksanaan uji kompetensi. Selain itu, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih minim, padahal sangat penting di era digitalisasi industri. Kolaborasi dengan dunia usaha/industri juga masih perlu diperkuat, baik dalam penyusunan materi uji, pelaksanaan sertifikasi, maupun penilaian hasil.

Standarisasi proses dan materi uji kompetensi juga menjadi tantangan tersendiri. Belum semua SMK menerapkan standar yang sama, sehingga kualitas lulusan dan sertifikat yang diterbitkan masih bervariasi.

Studi Kasus Nyata: Dampak Sertifikasi di Dunia Kerja

Meskipun program sertifikasi sudah berjalan di banyak SMK, belum semua lulusan langsung terserap oleh industri. Salah satu penyebab utamanya adalah kesenjangan antara materi uji dengan kebutuhan industri. Selain itu, kurangnya pelatihan berbasis pengetahuan terapan dan fasilitas praktik yang belum memadai juga menjadi faktor penghambat.

Sebagai contoh, beberapa SMK di Jakarta masih harus berbagi alat uji dengan sekolah lain atau bahkan menyewa dari pihak ketiga. Hal ini tentu saja menghambat kelancaran pelaksanaan uji kompetensi dan menurunkan kepercayaan industri terhadap sertifikat yang diterbitkan.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian serupa oleh Pardjono et al. (2015) di Jawa Tengah juga menemukan bahwa keterlibatan industri dan asosiasi profesi sangat menentukan kualitas sertifikasi. Sementara itu, studi oleh Suharno et al. (2020) menyoroti pentingnya link and match antara kurikulum SMK dan kebutuhan industri, yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.

Penggunaan model CSE-UCLA juga diaplikasikan di berbagai program pendidikan lain, seperti evaluasi program kewirausahaan di SMA IT Abu Bakar Yogyakarta. Hasilnya, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan program secara periodik terbukti meningkatkan kualitas lulusan.

Tren Industri: Sertifikasi Kompetensi di Era Industri 4.0

Industri manufaktur kini bergerak ke arah digitalisasi dan otomatisasi. Kompetensi yang dibutuhkan tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru seperti robotika, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT). Sertifikasi uji kompetensi di SMK harus menyesuaikan dengan tren ini agar lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan industri masa depan.

Beberapa SMK mulai menggandeng perusahaan besar untuk mengembangkan materi uji dan pelatihan bersama. Program magang industri yang terintegrasi dengan uji kompetensi menjadi salah satu solusi terbaik, karena siswa tidak hanya mendapatkan sertifikat, tetapi juga pengalaman kerja nyata.

Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Program Sertifikasi di SMK

  • Perkuat infrastruktur dan fasilitas: Investasi alat uji dan laboratorium praktik harus menjadi prioritas, baik melalui dana pemerintah maupun kemitraan industri.
  • Tingkatkan pelatihan berbasis pengetahuan terapan: Guru dan siswa perlu mendapatkan pelatihan rutin tentang teknologi terbaru di bidang pemesinan dan manufaktur.
  • Perluas kolaborasi dengan dunia usaha/industri: Libatkan industri dalam penyusunan materi uji, pelaksanaan sertifikasi, dan penilaian hasil.
  • Standarisasi proses sertifikasi: Kembangkan standar nasional yang jelas dan seragam untuk uji kompetensi di seluruh SMK.
  • Monitoring dan evaluasi berkelanjutan: Lakukan evaluasi rutin terhadap lulusan dan dampak sertifikasi terhadap penyerapan kerja.
  • Integrasi program magang dan sertifikasi: Jadikan magang industri sebagai bagian dari proses sertifikasi untuk meningkatkan relevansi dan daya saing lulusan.

Opini: Menuju SMK yang Lebih Adaptif dan Kompetitif

Evaluasi program sertifikasi uji kompetensi di SMK, seperti yang dilakukan oleh Priyanto dkk., adalah langkah penting untuk memastikan lulusan benar-benar siap kerja. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah hasil evaluasi menjadi aksi nyata di lapangan. Tanpa komitmen dari semua pihak—pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat—program sertifikasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak signifikan.

Di era Industri 4.0, SMK harus bertransformasi menjadi pusat inovasi dan pelatihan berbasis kebutuhan industri. Sertifikasi uji kompetensi harus menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, bukan sekadar syarat administratif.

Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Daya Saing Lulusan SMK

Penelitian ini membuktikan bahwa program sertifikasi uji kompetensi di SMK memiliki fondasi yang cukup baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal infrastruktur, pelatihan terapan, dan kolaborasi industri. Dengan evaluasi yang objektif dan perbaikan berkelanjutan, sertifikasi dapat menjadi kunci utama meningkatkan daya saing lulusan SMK di pasar kerja nasional maupun global.

Sumber asli:
Priyanto, S., Sahara, S., & Nugraha, H. (2024). The Certification Program Evaluation for Students in Vocational Schools using The CSE UCLA Model. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran, 10(4), 1473-1484.

Selengkapnya
Evaluasi Program Sertifikasi Uji Kompetensi di SMK dan Menjawab Tantangan Kesiapan Kerja Lulusan Vokasi

Sosiohidrologi

Teknologi untuk Air Bersih: Strategi Global Menuju Akses Air dan Sanitasi yang Aman

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


 Pendahuluan: Air Bersih sebagai Hak Asasi dan Tantangan Global

Air bersih dan sanitasi layak adalah hak dasar manusia, namun hingga 2020, 2 miliar orang masih belum memiliki akses ke layanan air minum yang aman, dan 1,9 miliar orang tidak memiliki akses ke sanitasi dasar. Laporan UNCTAD (2023) ini menyoroti bagaimana sains, teknologi, dan inovasi (STI) menjadi kunci dalam mempercepat pencapaian SDG 6, dengan menekankan pentingnya solusi terintegrasi, kolaborasi global, dan pendekatan lintas sektor.

 Kesenjangan Global dan Ketimpangan Akses

SubSahara Afrika menjadi wilayah dengan ketertinggalan paling signifikan: hanya 30% penduduknya memiliki akses ke air minum aman, dibandingkan dengan 96% di Eropa dan Amerika Utara. Ketimpangan juga terjadi antara wilayah urban dan rural—86% penduduk kota memiliki akses air aman, sementara di desa hanya 60%. Kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat menghadapi hambatan tambahan, baik dari sisi infrastruktur maupun norma sosial.

 Krisis Iklim dan Dampaknya terhadap Air

Perubahan iklim memperparah kelangkaan air melalui peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan. Di Turki, misalnya, ketersediaan air per kapita diperkirakan turun dari 1.400 m³ (2017) menjadi 1.120 m³ pada 2030. Di sisi lain, negaranegara seperti Kamerun dan Brasil menghadapi cuaca ekstrem yang mengganggu pasokan air dan sanitasi.

 Peran STI dalam Rantai Nilai Air

STI berperan dalam seluruh rantai nilai air: dari pengambilan air, pengolahan, distribusi, hingga pengelolaan limbah. Inovasi tidak hanya bersifat teknologi, tetapi juga mencakup inovasi sosial, kebijakan, dan proses. Misalnya:

  •  Inovasi sosial: Biocenters di Nairobi yang dikelola komunitas.
  •  Inovasi kebijakan: India dengan program Swachh Bharat Mission yang membangun 95 juta toilet dalam 5 tahun.
  •  Inovasi teknologi: Sistem desalinasi tenaga surya oleh GivePower di Kenya yang menyediakan air untuk 35.000 orang per hari.

 Studi Kasus: Solusi Nyata dari Berbagai Negara

  •  Senegal: Swiss Fresh Water membangun 120 kios air dengan sistem desalinasi hemat energi, menciptakan 500 lapangan kerja.
  •  Tanzania: ATM air digital mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi distribusi.
  •  India: Toilet reinvented oleh Gates Foundation mengolah limbah tanpa air dan menghasilkan energi.
  •  Mozambik: Pompa air tenaga surya meningkatkan hasil pertanian dan pendapatan perempuan.
  •  Afrika Seltal Twinatan: Sistem peringatan dini banjir berbasis komunitas menyelamatkan nyawa saat bencana 2022.
  •  Teknologi Frontier: Dari Drone hingga Digi
  •  Drone digunakan di Belize dan Gambia untuk pemetaan banjir dan pemantauan kualitas air.
  •  AI dan IoT dimanfaatkan di Filipina dan Oman untuk prediksi kekeringan dan deteksi kebocoran air.
  •  Digital twin seperti di Singapura memungkinkan simulasi dan optimasi pengelolaan air secara realtime.
  •  Satelit digunakan di Ethiopia dan Madagaskar untuk memetakan potensi air tanah, meningkatkan tingkat keberhasilan pengeboran dari <50% menjadi >90%.

 Kritik dan Tantangan Implementasi

Meski banyak inovasi tersedia, jurang antara riset dan implementasi masih lebar. Banyak solusi gagal mencapai masyarakat karena:

  •  Kurangnya kapasitas lokal untuk mengoperasikan teknologi.
  •  Keterbatasan pendanaan dan model bisnis berkelanjutan.
  •  Kesenjangan pengetahuan antara negara maju dan berkembang.
  •  Kurangnya data dan sistem pemantauan yang andal.

 Rekomendasi Strategis

1. Perkuat ekosistem inovasi lokal: Libatkan komunitas dalam desain dan pemeliharaan teknologi.

2. Fokus pada solusi modular dan offgrid: Cocok untuk daerah terpencil dan minim infrastruktur.

3. Integrasikan pendekatan gender dan inklusi sosial: Pastikan perempuan dan kelompok rentan terlibat aktif.

4. Dorong pendekatan nexus dan ekonomi sirkular: Air tidak bisa dipisahkan dari energi, pangan, dan iklim.

5. Bangun sistem data dan pemantauan berbasis teknologi: Gunakan big data, sensor, dan AI untuk pengambilan keputusan.

 Penutup: Air sebagai Titik Temu Inovasi dan Keadilan Sosial

Artikel ini menegaskan bahwa air bukan sekadar sumber daya, tapi cermin dari keadilan sosial dan kapasitas inovasi global. Dengan menggabungkan teknologi mutakhir, kebijakan progresif, dan partisipasi masyarakat, dunia memiliki peluang nyata untuk mewujudkan akses air dan sanitasi yang aman bagi semua.

Sumber Artikel : 

United Nations Conference on Trade and Development. (2023). Ensuring safe water and sanitation for all: A solution through science, technology and innovation. United Nations. UNCTAD/DTL/TIKD/2022/1. ISBN: 9789211047004.

Selengkapnya
Teknologi untuk Air Bersih: Strategi Global Menuju Akses Air dan Sanitasi yang Aman

Sustainable Finance

Peran Sustainable Finance dalam Mewujudkan SDGs: Analisis Kritis dan Studi Kasus Negara Eropa

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Dalam era perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan tantangan ekonomi global, Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi kompas utama pembangunan dunia. Namun, pertanyaan besarnya: bagaimana membiayai 17 tujuan ambisius ini? Paper karya Magdalena Ziolo dkk. (2021) membedah secara mendalam hubungan antara model keuangan berkelanjutan (sustainable finance) dan pencapaian SDGs di negara-negara Uni Eropa anggota OECD. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus negara, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.

Apa Itu Sustainable Finance dan Mengapa Penting untuk SDGs?

Sustainable finance adalah paradigma baru dalam dunia keuangan yang mengintegrasikan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam pengambilan keputusan investasi dan pembiayaan. Berbeda dengan keuangan konvensional yang hanya mengejar profit, sustainable finance menempatkan dampak sosial dan lingkungan sebagai pertimbangan utama.

Tantangan Pendanaan SDGs

  • Kesenjangan pendanaan global: IMF memperkirakan negara berkembang menghadapi gap pendanaan hingga USD 2,6 triliun per tahun untuk sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
  • Kebutuhan transformasi sistem keuangan: Untuk mencapai SDGs, dibutuhkan pergeseran dari “miliar” ke “triliun” dolar dalam pembiayaan pembangunan.

Model Sustainable Finance: Dari Konvensional ke Transformasional

Penelitian ini mengadopsi kerangka dari Schoenmaker (2017) yang membagi model keuangan menjadi empat tipe:

  • Konvensional: Fokus pada profit, minim pertimbangan ESG.
  • Sustainable Finance 1.0: Hindari investasi di sektor “dosa” (misal, rokok, senjata), namun belum internalisasi eksternalitas.
  • Sustainable Finance 2.0: Internalize eksternalitas sosial dan lingkungan untuk mengurangi risiko.
  • Sustainable Finance 3.0: Keuangan sebagai motor utama pembangunan berkelanjutan, dengan keseimbangan antara profit, sosial, dan lingkungan.

Studi Kasus: Negara Skandinavia dan Belanda sebagai Role Model

Ranking dan Pencapaian SDGs

Berdasarkan analisis 23 negara Uni Eropa anggota OECD, ditemukan bahwa negara-negara Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia) dan Belanda konsisten menempati posisi teratas baik dalam penerapan sustainable finance maupun pencapaian SDGs.

  • Swedia: Masuk kelompok teratas untuk 8 dari 15 SDGs yang dianalisis, serta menjadi pemimpin dalam sustainable finance.
  • Denmark dan Belanda: Selalu berada di peringkat atas untuk tujuan-tujuan utama seperti pengentasan kemiskinan (SDG1), pendidikan (SDG4), inovasi industri (SDG9), dan aksi iklim (SDG13).

Data Penting

  • Swedia: Skor tertinggi untuk SDG1 (pengentasan kemiskinan), SDG4 (pendidikan), SDG5 (kesetaraan gender), SDG8 (pertumbuhan ekonomi), SDG9 (inovasi), SDG13 (aksi iklim), SDG15 (ekosistem darat), SDG16 (institusi damai), dan SDG17 (kemitraan global).
  • Denmark: Skor sempurna (1.000) untuk sustainable finance, menandakan integrasi penuh antara keuangan publik dan privat dalam mendukung SDGs.
  • Belanda: Konsisten di atas rata-rata untuk 11 dari 15 SDGs, menegaskan pentingnya model keuangan berkelanjutan yang matang.

Kontras Negara Lain

  • Hungaria, Lithuania, Spanyol: Masih menerapkan model keuangan konvensional, dengan pencapaian SDGs yang tertinggal, terutama pada tujuan lingkungan dan inovasi.
  • Jerman, Inggris, Austria: Sudah mengadopsi sustainable finance 2.0, namun masih menghadapi tantangan besar dalam pengurangan emisi dan transisi energi.

Korelasi Kuat antara Sustainable Finance dan SDGs

Penelitian ini menggunakan analisis statistik (taxonomic measure dan correspondence analysis) untuk menguji hubungan antara model keuangan dan pencapaian SDGs.

  • Korelasi tertinggi ditemukan antara sustainable finance dan SDG17 (kemitraan global) serta SDG9 (inovasi industri), dengan koefisien Pearson di atas 0,7.
  • Hubungan signifikan juga terlihat pada SDG1 (pengentasan kemiskinan), SDG3 (kesehatan), SDG4 (pendidikan), SDG5 (kesetaraan gender), SDG8 (pertumbuhan ekonomi), dan SDG16 (institusi damai).
  • Variasi tinggi: Koefisien variasi untuk pencapaian SDGs antar negara mencapai 40–100%, menandakan adanya gap besar dalam implementasi di Eropa.

Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan

Kekuatan Studi

  • Pendekatan inovatif: Fokus pada model keuangan, bukan sekadar sumber dana, memberikan perspektif baru dalam studi SDGs.
  • Data komprehensif: Analisis 98 variabel dari 23 negara, mencakup indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  • Validasi eksternal: Hasil konsisten dengan berbagai indeks global seperti Sustainable Competitiveness Index dan SDG Index.

Kelemahan dan Tantangan

  • Keterbatasan data: SDG6 (air bersih) dan SDG14 (ekosistem laut) tidak dianalisis karena kurangnya data yang seragam.
  • Kesenjangan antar negara: Negara dengan model keuangan konvensional cenderung hanya berhasil pada SDG1 (pengentasan kemiskinan), namun gagal pada tujuan lingkungan dan inovasi.
  • Ketergantungan pada kebijakan publik: Model keuangan publik saja tidak cukup untuk mendanai inovasi dan transisi energi; butuh sinergi dengan sektor privat.

Implikasi Kebijakan

  • Negara dengan sustainable finance 3.0 (Skandinavia, Belanda) mampu mencapai hampir semua SDGs, terutama aksi iklim dan inovasi.
  • Negara dengan model 2.0 (Jerman, Austria, Inggris) masih perlu memperkuat kebijakan lingkungan dan inovasi teknologi.
  • Negara dengan model 1.0 atau konvensional (Hungaria, Spanyol, Lithuania) harus mempercepat reformasi keuangan dan memperluas instrumen keuangan hijau.

Studi Kasus Nyata: Transformasi Keuangan di Swedia

Swedia menjadi contoh nyata bagaimana integrasi keuangan publik dan privat dapat mempercepat pencapaian SDGs:

  • Green Bond Market: Swedia adalah pelopor penerbitan green bond di Eropa, dengan bank seperti SEB dan Nordea aktif membiayai proyek energi terbarukan.
  • Sistem pajak lingkungan: Pajak karbon dan insentif fiskal mendorong inovasi dan investasi di sektor hijau.
  • Keterlibatan sektor privat: Perusahaan-perusahaan besar di Swedia secara aktif mengadopsi standar ESG dan melaporkan dampak keberlanjutan secara transparan.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Gambetta et al. (2019): Studi di Uruguay menunjukkan bahwa model keuangan publik saja hanya efektif untuk SDG1, namun gagal pada tujuan lain tanpa dukungan sektor privat.
  • Discover the SDGs (2015): Negara-negara Skandinavia selalu menempati posisi teratas dalam pencapaian SDGs, terutama karena integrasi kebijakan fiskal dan keuangan pasar.
  • Sustainable Competitiveness Index (2019): Swedia, Denmark, dan Finlandia selalu berada di lima besar dunia dalam daya saing berkelanjutan.

Tren Global: Masa Depan Sustainable Finance dan SDGs

Inovasi dan Kolaborasi

  • Green finance: Instrumen seperti green bond, social bond, dan ESG fund semakin populer di pasar global.
  • Kolaborasi lintas sektor: Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem keuangan yang mendukung SDGs.
  • Teknologi digital: Fintech dan blockchain mulai digunakan untuk transparansi dan efisiensi pembiayaan berkelanjutan.

Tantangan Masa Depan

  • Transisi energi: Negara dengan ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil harus mempercepat adopsi energi terbarukan.
  • Ketimpangan sosial: Sustainable finance harus memastikan inklusi keuangan dan akses bagi kelompok rentan.
  • Pengukuran dampak: Standarisasi indikator ESG dan pelaporan keberlanjutan masih menjadi pekerjaan rumah global.

Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang

  • Bangun ekosistem keuangan berkelanjutan: Integrasikan kebijakan fiskal, insentif pajak, dan instrumen pasar modal hijau.
  • Dorong kolaborasi publik-privat: Libatkan sektor swasta dalam pembiayaan proyek SDGs, terutama di bidang energi, pendidikan, dan kesehatan.
  • Perkuat regulasi dan transparansi: Terapkan standar pelaporan ESG dan audit keberlanjutan untuk semua institusi keuangan.
  • Edukasi dan literasi keuangan: Tingkatkan pemahaman masyarakat dan pelaku industri tentang pentingnya sustainable finance.

Kesimpulan: Sustainable Finance sebagai Pilar Utama Pencapaian SDGs

Penelitian Ziolo dkk. menegaskan bahwa semakin tinggi tingkat keberlanjutan model keuangan suatu negara, semakin besar peluangnya untuk mencapai SDGs secara menyeluruh. Negara-negara Skandinavia dan Belanda membuktikan bahwa integrasi keuangan publik dan privat, didukung oleh inovasi dan regulasi progresif, adalah kunci sukses pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, negara yang masih bertumpu pada model keuangan konvensional cenderung tertinggal, terutama dalam tujuan lingkungan dan inovasi.

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, pelajaran utamanya adalah: reformasi sistem keuangan menuju sustainable finance bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Ziolo, M., Bak, I., & Cheba, K. (2021). The Role of Sustainable Finance in Achieving Sustainable Development Goals: Does It Work? Technological and Economic Development of Economy, 27(1), 45–70.

Selengkapnya
Peran Sustainable Finance dalam Mewujudkan SDGs: Analisis Kritis dan Studi Kasus Negara Eropa
« First Previous page 65 of 1.166 Next Last »