Tantangan Perubahan Iklim dan Peran Pengelolaan DAS Terintegrasi
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, ketersediaan air, energi, dan kesehatan lingkungan. Hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan, dan hujan ekstrem. Dalam konteks ini, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Paper berjudul "Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review" oleh Tyas Mutiara Basuki dan rekan (2022) memberikan tinjauan mendalam mengenai upaya Indonesia dalam mengelola DAS secara terintegrasi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi perbaikan untuk mendukung target nasional dan komitmen internasional seperti Paris Agreement.
Konsep dan Realitas Pengelolaan DAS Terintegrasi di Indonesia
Regulasi dan Kebijakan Pendukung
Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan DAS, termasuk Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (diubah dengan UU No. 17/2019), UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Regulasi ini menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, transparansi, dan integrasi lintas sektor serta wilayah administratif.
Namun, kompleksitas regulasi yang sektoral dan tumpang tindih menyebabkan lemahnya sinkronisasi dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, kewenangan pengelolaan DAS yang dialihkan ke tingkat provinsi belum diikuti dengan mekanisme koordinasi yang efektif, sehingga implementasi di lapangan masih terbatas.
Institusi dan Tata Kelola
Pengelolaan DAS melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga masyarakat lokal. Keterlibatan multi-institusi ini menimbulkan tantangan koordinasi, terutama karena batas wilayah DAS yang tidak sesuai dengan batas administratif. Studi menunjukkan bahwa kurangnya mekanisme integrasi dan sanksi tegas atas pengelolaan sumber daya yang buruk memperburuk kondisi DAS.
Contoh nyata adalah pengelolaan DAS Bribin yang terhambat oleh pergeseran kewenangan dan keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat masih minim karena pendekatan yang cenderung top-down dan kurang transparan.
Perencanaan, Implementasi, dan Monitoring-Evaluasi Pengelolaan DAS
Perencanaan
Perencanaan pengelolaan DAS di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2013 yang mengatur proses identifikasi masalah, penetapan tujuan, dan penyusunan program. Namun, dalam praktiknya, rencana pengelolaan DAS yang telah disahkan oleh gubernur seringkali tidak menjadi acuan bagi sektor lain karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah seperti RPJP dan RPJM.
Implementasi
Kegiatan pengelolaan DAS fokus pada konservasi tanah dan air melalui tindakan mekanis dan vegetatif, seperti rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Contoh keberhasilan implementasi dapat dilihat di DAS Cidanau, di mana sektor industri di hilir memberikan insentif kepada petani di hulu untuk menjaga vegetasi, sehingga keberlanjutan DAS terjamin.
Namun, tantangan besar adalah tingginya erosi di daerah hulu akibat praktik pertanian intensif di lahan miring dan kurangnya penerapan konservasi tanah yang tepat. Di daerah hilir, masalah utama adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.
Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
MONEV sangat penting untuk mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan DAS, termasuk dampaknya terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kriteria MONEV meliputi aspek lahan, kualitas dan kuantitas air, sosial ekonomi, investasi, dan pemanfaatan ruang.
Sayangnya, hasil MONEV sering tidak digunakan untuk memperbaiki perencanaan karena kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Monitoring juga masih didominasi oleh sektor kehutanan dan belum melibatkan semua pihak secara terpadu.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS di Indonesia
Dampak Biophysical
Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi yang menyebabkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kejadian ekstrim. Studi memprediksi penurunan hasil panen padi hingga 12,1% secara nasional pada 2040-2050, serta peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan.
Banjir di Indonesia meningkat signifikan, dengan 1518 kejadian banjir pada 2020 yang menyebabkan 132 kematian dan mengungsikan lebih dari 780 ribu orang. Kekeringan juga berdampak pada produktivitas pertanian dan memicu kebakaran hutan yang luas, seperti pada periode El Niño 1997/98 yang membakar 11,7 juta hektar lahan.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi sangat besar, misalnya banjir di Jakarta dan Solo yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kekeringan mempengaruhi pendapatan petani dan ketahanan pangan, dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah di beberapa desa.
Selain itu, perubahan iklim memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, dan stres. Konflik sosial juga berpotensi meningkat akibat persaingan sumber daya air yang semakin terbatas.
Strategi Perbaikan Pengelolaan DAS Terintegrasi untuk Mitigasi dan Adaptasi
Perencanaan Adaptif dan Terintegrasi
Perencanaan pengelolaan DAS harus bersifat adaptif, melibatkan data berkualitas tinggi dari teknologi GIS dan remote sensing, serta partisipasi luas dari pemangku kepentingan. Penggunaan model mikro DAS (micro watershed model) dengan skala sekitar 1000-5000 hektar memudahkan koordinasi dan partisipasi masyarakat.
Implementasi Berbasis Partisipasi dan Teknologi
Paradigma pengelolaan harus bergeser ke arah kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat, menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down. Teknologi konservasi tanah dan air seperti agroforestri, bio-pore infiltration, dan sistem drainase ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal.
Agroforestri terbukti efektif meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan menyerap karbon, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui diversifikasi tanaman.
Peningkatan Monitoring dan Evaluasi
MONEV harus dilakukan secara terpadu dengan indikator sederhana namun representatif, seperti tutupan vegetasi permanen, kualitas dan kuantitas air, serta indeks pembangunan manusia sebagai indikator sosial ekonomi. Data hasil monitoring harus dipublikasikan secara transparan melalui platform daring agar dapat diakses oleh semua pihak.
Penguatan Aspek Sosial dan Kelembagaan
Pengelolaan DAS harus mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang masih relevan, seperti sistem penanaman tradisional dan norma sosial pengelolaan sumber daya. Desa sebagai unit pembangunan harus diberdayakan melalui program-program seperti ProKlim dan SDGs Desa untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.
Koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lintas negara (untuk DAS transboundary), harus diperkuat dengan regulasi yang jelas dan mekanisme insentif serta sanksi yang efektif.
Studi Kasus dan Angka Penting
- Luas rehabilitasi DAS di Indonesia mencapai 395.168 hektar pada 2019, dengan penyerapan karbon sekitar 771.653 ton CO2e.
- Di DAS Cidanau, integrasi sektor industri dan petani upstream berhasil menjaga keberlanjutan sumber daya air melalui pembayaran jasa lingkungan.
- Data bencana 2020 mencatat 1518 kejadian banjir dengan 132 korban jiwa dan 782.054 pengungsi.
- Penurunan hasil panen padi diperkirakan mencapai 12,1% secara nasional pada 2040-2050, dengan defisit beras mencapai 90 juta ton pada 2050.
- Kerugian ekonomi akibat banjir di beberapa daerah mencapai miliaran rupiah setiap tahun, misalnya banjir Jakarta 2002 mencapai IDR 6,7 miliar.
Opini dan Perbandingan dengan Tren Global
Pengelolaan DAS terintegrasi sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat relevan dengan tren global yang menekankan pendekatan lanskap dan ekosistem. Namun, tantangan klasik seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya partisipasi masyarakat juga dialami banyak negara berkembang.
Perbaikan integrasi data dan teknologi informasi serta pemberdayaan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan. Pendekatan mikro DAS yang responsif terhadap kondisi lokal sejalan dengan praktik terbaik di beberapa negara seperti India dan Ethiopia.
Namun, Indonesia perlu memperkuat aspek kelembagaan dan hukum agar rencana pengelolaan DAS tidak hanya menjadi dokumen formal, melainkan pedoman yang diikuti seluruh sektor.
Kesimpulan
Pengelolaan DAS terintegrasi di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, air, dan lingkungan. Meskipun regulasi dan kebijakan sudah cukup lengkap, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala koordinasi, partisipasi, dan integrasi data.
Perbaikan strategi harus dimulai dari perencanaan adaptif yang melibatkan teknologi modern dan kearifan lokal, implementasi berbasis kolaborasi dan teknologi konservasi, serta monitoring-evaluasi yang transparan dan terpadu. Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan desa menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan pengelolaan DAS.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih efektif mencapai target NDC dan Paris Agreement, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Sumber Artikel :
Basuki, T. M., Nugroho, H. Y. S. H., Indrajaya, Y., Pramono, I. B., Nugroho, N. P., Supangat, A. B., Indrawati, D. R., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Purwanto, et al. (2022). Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review. Sustainability, 14(16), 9997.