Pariwisata Berbasis Alam
Dipublikasikan oleh pada 03 September 2025
Pendahuluan: Sport Tourism sebagai Tren Pariwisata Masa Kini
Sport tourism atau wisata olahraga tengah berkembang sebagai salah satu tren utama dalam industri pariwisata global. Tak hanya menyasar wisatawan petualang, jenis pariwisata ini juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pemanfaatkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, Desa Sambangan di Kabupaten Buleleng, Bali, muncul sebagai salah satu destinasi dengan ptenisi besar untuk dikembangkan sebagai pusat sport tourism.
Artikel berjudul "Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village" mengeksplorasi bagaimana desa ini mampu menyinergikan kekayaan alam, budaya lokal, dan aktivitas olahraga sebagai strategi pengembangan wisata yang berdaya saing.
Profil Desa Sambangan dan Daya Tarik Alaminya (H2)
Geografi dan Lanskap (H3)
Desa Sambangan terletak di Kabupaten Buleleng, Bali Utara, dan dikenal memiliki topografi perbukitan serta air terjun yang indah. Kawasan ini:
Berada di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut.
Dikelilingi oleh sawah terasering dan hutan tropis.
Memiliki lebih dari 7 air terjun yang menjadi daya tarik utama.
Potensi Alam sebagai Arena Sport Tourism (H3)
Lokasi geografis ini sangat mendukung berbagai aktivitas seperti:
Trekking dan hiking melewati jalur sawah dan hutan.
Canyoning di air terjun Aling-Aling dan Kroya.
Tubing dan river trekking di Sungai Sambangan.
Downhill mountain biking di jalur perbukitan.
Strategi Pengembangan Sport Tourism (H2)
Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Lokal (H3)
Pengembangan sport tourism di Sambangan melibatkan:
Dukungan dari Dinas Pariwisata Buleleng.
Keterlibatan langsung masyarakat dalam membentuk komunitas pemandu wisata.
Penerapan konsep desa wisata berbasis pemberdayaan lokal.
Inovasi Paket Wisata Terintegrasi (H3)
Desa Sambangan menawarkan paket wisata tematik yang memadukan:
Aktivitas olahraga alam.
Edukasi pertanian organik.
Pengalaman budaya lokal seperti gamelan, tari, dan memasak makanan tradisional.
Dampak Ekonomi dan Sosial terhadap Komunitas (H2)
Peningkatan Pendapatan dan Lapangan Kerja (H3)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Sekitar 70% rumah tangga di Sambangan mendapat penghasilan tambahan dari aktivitas wisata.
Tercipta lebih dari 50 lapangan kerja baru sejak pengembangan sport tourism dimulai.
Perubahan Pola Hidup dan Kemandirian (H3)
Meningkatnya kesadaran konservasi lingkungan.
Generasi muda lebih memilih menjadi pemandu wisata daripada merantau.
Tantangan dan Solusi Pengembangan (H2)
Infrastruktur dan Konektivitas (H3)
Keterbatasan akses jalan dan fasilitas umum masih menjadi kendala.
Solusi: Penguatan infrastruktur berbasis dana desa dan CSR pariwisata.
Kompetensi SDM (H3)
Tantangan pelatihan bahasa asing dan pengetahuan pemanduan.
Solusi: Pelatihan rutin oleh dinas dan kerjasama dengan perguruan tinggi pariwisata.
Studi Banding dan Potensi Replikasi (H2)
Desa Sambangan dapat dijadikan model bagi desa-desa lain di Indonesia yang memiliki:
Topografi serupa.
Komitmen pelestarian lingkungan.
Budaya lokal yang kuat.
Beberapa kawasan seperti Desa Sembalun (Lombok) dan Desa Wisata Nglanggeran (Gunungkidul) berpotensi mereplikasi pendekatan Sambangan dengan adaptasi lokal.
Kesimpulan: Sambangan sebagai Model Sport Tourism Berkelanjutan (H2)
Penelitian ini menunjukkan bahwa Desa Sambangan berhasil mengelola potensi sumber daya alamnya secara optimal melalui pendekatan sport tourism. Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis yang nyata. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, tetapi juga memperkuat posisi Bali Utara sebagai destinasi pariwisata alternatif yang berkelanjutan.
Sumber
Saraswati, Ni Nyoman. (2022). Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village. [Jurnal Resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Volume 1].
Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 03 September 2025
Pendahuluan
Tesis “Innovative Performance in the CEE Countries: A Cross-Country Study Using Fuzzy-Set Theory” karya Peter Johansson (Lund University, 2001–2002) membahas dinamika kinerja inovatif di tujuh negara Eropa Tengah dan Timur (CEE-7): Bulgaria, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Dengan memanfaatkan metode fuzzy-set social science, Johansson berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana inovasi terbentuk dalam konteks transformasi pasca-1989, sejauh mana ia terkait dengan kekuatan masyarakat sipil, dan bagaimana letak geografis berperan dalam memperkuat atau melemahkan performa inovatif.
Tulisan ini akan menguraikan tesis tersebut dengan pendekatan konseptual (membedah kerangka teori) dan reflektif (memberi interpretasi serta kritik). Fokus utama ialah kontribusi ilmiah, argumentasi teoretis, hasil empiris, serta potensi implikasi bagi kajian inovasi dan transformasi sosial.
Kerangka Teori: Dari Risiko hingga Inovasi
Risiko dan Pengangguran
Johansson menempatkan risiko pengangguran sebagai latar belakang utama. Ia mengutip definisi risiko sebagai probabilitas efek disfungsional terhadap sistem sosial. Inovasi, dalam kerangka ini, dipandang sebagai sarana mengurangi risiko pengangguran baik jangka pendek (menyerap tenaga kerja) maupun jangka panjang (menciptakan fleksibilitas ekonomi). Refleksi saya: pendekatan ini menegaskan inovasi bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan strategi perlindungan sosial.
Globalisasi sebagai Kerangka
Globalisasi diterima sebagai fakta empiris. Johansson mengacu pada dimensi teknologi, ekonomi, politik, dan budaya yang saling mengikat. Negara-negara CEE berada di persimpangan: mereka harus membuka pasar untuk modal asing, tetapi juga menghadapi risiko social dumping dan kompetisi global. Kritiknya tepat: globalisasi menghadirkan peluang dan ancaman, sementara posisi geografis menentukan intensitas tekanan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Teori Kesenjangan Teknologi
Neo-klasik cenderung melihat biaya tenaga kerja sebagai faktor utama pertumbuhan. Johansson menolak pandangan ini dengan menekankan teknologi dan inovasi. Ia mengadopsi teori technology-gap, yaitu ketimpangan inovasi antara negara pelopor dan negara pengejar. CEE-7 dilihat sebagai pengejar: difusi teknologi asing penting, tetapi tanpa inovasi domestik mereka tetap tertinggal.
Konsep Inovasi
Mengutip Schumpeter, inovasi dipahami sebagai kombinasi baru: produk, proses, organisasi, atau pasar. Johansson menolak pemisahan inovasi dan difusi; imitasi pun dianggap inovasi karena memerlukan perubahan tindakan. Dua indikator dipilih: Foreign Direct Investment (FDI) sebagai faktor eksternal, dan Research & Development (R&D) sebagai kapasitas internal.
Metodologi Fuzzy-Set: Menjembatani Teori dan Data
Mengapa Fuzzy-Set?
Penelitian sosial sering terjebak antara kuantitatif (N besar) dan kualitatif (N kecil). Johansson memilih fuzzy-set Qualitative Comparative Analysis (fs/QCA) untuk menangani N menengah (7 negara). Metode ini memungkinkan negara diberi skor keanggotaan (0–1) dalam suatu set, misalnya “negara inovatif” atau “negara paternalistik”.
Prinsip Dasar
Negasi: jika negara X 0,8 dalam “inovatif”, maka ia 0,2 dalam “statis”.
Minimum (AND): hasil ditentukan oleh faktor terlemah.
Maksimum (OR): hasil ditentukan oleh faktor terkuat.
Refleksi saya: pendekatan ini membantu memvisualisasi spektrum, bukan dikotomi. Namun, tantangannya ialah subjektivitas penetapan skor fuzzy yang sangat bergantung pada peneliti.
Ideal Types
Johansson menyusun ideal type:
Negara inovatif (FDI tinggi + R&D tinggi).
Negara statis (FDI rendah + R&D rendah).
Masyarakat sipil kuat vs paternalistik.
Geografis Barat vs Geografis Timur.
Dengan ini, ia menilai sejauh mana masing-masing negara CEE masuk atau keluar dari set.
Analisis Empiris: Inovasi di CEE-7
FDI sebagai Indikator
Data FDI per kapita (1989–2000) menunjukkan perbedaan tajam:
Republik Ceko (2.102 USD) & Hungaria (1.935 USD) → skor 1,0 (paling inovatif via FDI).
Slovenia (768 USD) & Polandia (751 USD) → skor menengah (0,59–0,60).
Slovakia (669 USD) → borderline (0,50).
Bulgaria (407 USD) → skor rendah (0,17).
Rumania (303 USD) → hampir nol (0,01).
Refleksi saya: angka ini mengungkap pola klasterisasi barat–timur. Negara dekat inti Eropa menerima lebih banyak modal, sementara Balkan tetap tertinggal.
R&D sebagai Indikator
Proporsi R&D terhadap PDB memperkuat pola:
Slovenia (1,42%) → hampir penuh (0,92).
Slovakia (1,18%) & Ceko (1,16%) → cukup tinggi (0,73–0,74).
Hungaria (0,74%) & Polandia (0,72%) → menengah (0,50).
Bulgaria (0,52%) & Rumania (0,58%) → rendah (0,33–0,38).
Interpretasi: kapasitas penelitian domestik masih terbatas, terutama di Rumania dan Bulgaria. FDI tanpa R&D lokal berisiko hanya menciptakan ketergantungan.
Skor Gabungan Inovasi
Dengan menggabungkan FDI dan R&D, Johansson menyimpulkan:
Ceko & Hungaria → fully capable.
Slovenia & Polandia → more or less capable.
Slovakia → borderline.
Bulgaria & Rumania → incapable.
Refleksi saya: hasil ini menunjukkan spektrum diferensiasi kapitalisme di CEE, mendukung tesis varieties of capitalism. Transformasi pasca-1989 tidak seragam.
Masyarakat Sipil dan Geografi
Masyarakat Sipil
Johansson berargumen bahwa masyarakat sipil yang kuat berfungsi sebagai pondasi institusional inovasi. Data dari Nations in Transit dipakai untuk mengukur kekuatan CS. Negara dengan tradisi organisasi sipil (misalnya Polandia dengan sejarah Solidarność) lebih siap menyerap inovasi. Refleksi saya: indikator CS cukup valid, namun terlalu agregat—dinamika internal (Polandia A vs Polandia B) tidak tercakup.
Faktor Geografis
Geografi dipandang sebagai variabel moderasi: semakin ke timur, semakin lemah fondasi inovatif dan sipil. Johansson menyajikan pola linear: barat (Slovenia, Ceko, Hungaria) lebih maju, timur (Bulgaria, Rumania) lebih tertinggal. Kritik saya: geografi di sini lebih berfungsi sebagai proksi bagi faktor historis-politik ketimbang variabel mandiri.
Narasi Argumentatif dan Logika
Alur Argumentasi
Transformasi pasca-1989 menimbulkan tantangan struktural.
Inovasi menjadi kunci menghadapi pengangguran dan globalisasi.
Inovasi dipahami melalui FDI + R&D.
Hubungan inovasi dengan masyarakat sipil diuji lewat fuzzy-set.
Geografi memperkuat pola klasterisasi.
Kekuatan
Integrasi teori Schumpeter, globalisasi, dan varieties of capitalism.
Pemakaian fuzzy-set sebagai metodologi alternatif.
Data empiris konkret (FDI, R&D, skor CS).
Kelemahan
Penentuan skor fuzzy cukup subjektif.
Faktor politik negara (kebijakan industri, stabilitas) kurang dibahas.
Geografi diperlakukan terlalu simplistik.
Refleksi saya: Johansson berhasil membuka ruang diskusi baru dengan fs/QCA, namun perlu kehati-hatian agar tidak terjebak pada simplifikasi metodologis.
Kritik Metodologis
Indikator terbatas: hanya FDI & R&D, padahal inovasi juga terkait pendidikan, regulasi, dan kultur organisasi.
Data agregat nasional: mengabaikan disparitas regional (misalnya, perbedaan Polandia barat vs timur).
Fuzzy scoring: meskipun transparan, tetap rentan pada bias peneliti.
Asumsi linearitas geografis: padahal sejarah kolonial, relasi Uni Soviet, dan integrasi UE juga berperan.
Namun demikian, penggunaan fuzzy-set sebagai “jembatan” antara teori dan data merupakan kontribusi metodologis signifikan, terutama untuk studi dengan N menengah.
Implikasi Ilmiah
Tesis ini memberikan beberapa implikasi penting:
Konseptual: memperluas pemahaman inovasi sebagai kombinasi faktor eksternal (FDI) dan internal (R&D), terkait erat dengan masyarakat sipil.
Metodologis: memperkenalkan fs/QCA sebagai alternatif bagi studi perbandingan lintas negara dengan N menengah.
Empiris: menegaskan pola barat–timur dalam performa inovatif CEE, mendukung gagasan “varieties of capitalism”.
Kebijakan: menunjukkan perlunya memperkuat masyarakat sipil dan R&D domestik agar FDI memberi efek jangka panjang.
Kesimpulan
Peter Johansson melalui tesis ini berhasil menggabungkan teori globalisasi, inovasi, dan transformasi sosial dengan metode fuzzy-set untuk menganalisis kinerja inovatif negara-negara CEE. Hasilnya menunjukkan diferensiasi tajam antarnegara, di mana kedekatan geografis dengan Eropa Barat dan kekuatan masyarakat sipil menjadi faktor penting.
Secara ilmiah, kontribusinya terletak pada penggunaan fs/QCA untuk menghubungkan konsep abstrak dengan data empiris. Walau terdapat keterbatasan metodologis, karya ini tetap menjadi referensi penting untuk memahami inovasi dalam konteks transformasi pasca-sosialis.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh pada 03 September 2025
Krisis Infrastruktur dan Kebutuhan Solusi Inovatif
Zimbabwe saat ini menghadapi krisis multidimensi dalam sektor air dan sanitasi, dipicu oleh penurunan kapasitas infrastruktur, minimnya investasi, serta instabilitas politik dan ekonomi yang berlangsung selama beberapa dekade. Dalam paper “Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe” (2024) oleh Justice Mundonde dan Patricia Lindelwa Makoni, ditawarkan sebuah model pembiayaan berbasis kemitraan publik-swasta (PPP) yang diharapkan mampu mengatasi krisis layanan dasar ini sekaligus mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6.
H2: Konteks Krisis Air dan Sanitasi di Zimbabwe
H3: Infrastruktur Usang dan Ancaman Kesehatan Publik
Zimbabwe mengalami kerusakan serius pada jaringan air dan sanitasi. Beberapa fakta mencolok:
Kondisi ini memperparah risiko kesehatan masyarakat, memperbesar ketimpangan, dan menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
H2: Potensi dan Hambatan PPP dalam Pembiayaan Infrastruktur
H3: Peluang Kolaborasi
Kemitraan publik-swasta (PPP) dinilai sebagai strategi penting untuk menutup kesenjangan pembiayaan. Negara-negara seperti China telah berhasil menerapkan PPP di sektor air melalui:
H3: Kegagalan Implementasi di Zimbabwe
Namun, Zimbabwe belum mampu mereplikasi keberhasilan ini. Sebagai contoh:
H2: Sumber-Sumber Pembiayaan untuk Proyek Air dan Sanitasi
H3: Sumber Publik
H3: Sumber Swasta
H2: Temuan Ekonometrik: Apa yang Mendorong Investasi PPP?
Penelitian ini menggunakan model Tobit dengan data dari 1996 hingga 2021 untuk menganalisis faktor-faktor penentu pembiayaan PPP. Beberapa hasil utama:
H2: Rangka Pembiayaan yang Diusulkan
H3: Tiga Komponen Biaya Utama
H3: Sumber Pembiayaan yang Terintegrasi
Rangka model merekomendasikan kombinasi sumber:
H2: Studi Kasus: Harare dan Proyeksi Nasional
Studi memperkirakan kebutuhan investasi untuk sistem air dan sanitasi di Harare sebesar USD 1,4 miliar hingga 2030. Bila kota-kota besar lain seperti Bulawayo dan Mutare disertakan, angka ini meningkat drastis.
Namun, tanpa kerangka kerja pembiayaan yang solid, angka ini hanyalah aspirasi. Kerangka yang ditawarkan Mundonde dan Makoni menyusun roadmap berbasis kondisi ekonomi, status pasar keuangan, dan struktur institusi di Zimbabwe.
H2: Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?
H3: Keunggulan Studi
H3: Kelemahan dan Tantangan
Kesimpulan: Menjahit Harapan dengan Investasi Cerdas
Paper ini menegaskan bahwa air dan sanitasi bukan sekadar isu teknis, tetapi soal keadilan sosial dan pembangunan jangka panjang. Untuk menjamin layanan yang andal dan terjangkau, Zimbabwe perlu:
Model pembiayaan ini tidak hanya relevan bagi Zimbabwe, tetapi juga menawarkan kerangka rujukan bagi negara-negara berkembang lain yang tengah berupaya menutup kesenjangan layanan dasar melalui mekanisme inovatif dan kolaboratif.
Sumber asli:
Mundonde, J., & Makoni, P. L. (2024). Framework Model for Financing Sustainable Water and Sanitation Infrastructure in Zimbabwe. Preprints.org, doi:10.20944/preprints202404.0805.v1.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh pada 03 September 2025
Mengapa Lahan Basah (Wetlands) Penting?
Lahan basah merupakan ekosistem vital yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan: menyerap limpasan air hujan, menyaring polutan, menyimpan karbon, dan mendukung keanekaragaman hayati. Namun, seperti di banyak negara lain, Swedia telah kehilangan lebih dari 65% lahan basah alaminya karena ekspansi pertanian dan pengeringan lahan. Untuk membalikkan tren ini, sejak 1980-an, pemerintah Swedia mulai mendorong restorasi dan pembangunan lahan basah baru, terutama melalui insentif finansial.
Makalah tesis karya Amanda Speks (2021) yang berjudul “Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden” menelaah efektivitas tiga skema pembiayaan utama: LOVA, LONA, dan Rural Development Programme (RDP), serta menganalisis variasi pembangunan lahan basah antar wilayah (county).
H2: Gambaran Umum Tiga Skema Pembiayaan
H3: LOVA – Local Water Preservation Grant
Namun, jumlah aplikasi sangat bervariasi antar county. Contohnya, Skåne dan Stockholm banyak menerima dana, sementara Gotland dan Dalarna jauh lebih sedikit.
H3: LONA – Local Initiative for Nature Conservation
Meskipun bertahan cukup lama, dampak LONA terhadap pembangunan lahan basah relatif kecil, hanya menyumbang 1% dari total luas lahan basah yang dibangun selama periode studi.
H3: RDP – Rural Development Programme
RDP merupakan pemberi dampak terbesar, menyumbang 90% dari total luas pembangunan lahan basah baru selama periode 2007–2020.
H2: Studi Kasus Nasional: Seberapa Banyak Lahan Basah yang Dibangun?
Selama 2007–2020:
Temuan ini sangat mencolok karena menunjukkan dominasi RDP dalam mendanai pembangunan ekosistem penting ini.
H2: Variasi Regional dalam Implementasi: Skåne Memimpin
H3: Mengapa Wilayah Skåne Mendominasi?
Dari seluruh county yang dianalisis, Skåne menempati posisi teratas baik dalam jumlah maupun luas lahan basah yang dibangun. Alasan utamanya:
Sebaliknya, daerah seperti Värmland dan Gotland menunjukkan performa yang lebih rendah, sebagian karena proporsi lahan pertanian yang kecil, atau rendahnya kapasitas administrasi lokal.
H2: Tujuan dan Ukuran Lahan Basah: Fokus yang Berbeda
Berdasarkan data dari RDP:
Rata-rata luas:
Menariknya, 77% dari semua lahan basah berukuran di bawah 3 ha, menunjukkan bahwa proyek kecil lebih umum dan mungkin lebih mudah diterapkan secara administratif.
H2: Analisis Komparatif: Apa yang Membuat RDP Lebih Efektif?
Beberapa faktor menjadikan RDP lebih unggul dibanding LOVA dan LONA:
Sebaliknya, LOVA dan LONA memiliki keterbatasan administratif dan regulasi—terutama dalam kriteria penerima dan pendeknya periode proyek.
H2: Tantangan Administratif dan Rekomendasi Kebijakan
H3: 1. Kerumitan Proses Aplikasi
Banyak pemilik lahan yang enggan mengajukan hibah karena:
H3: 2. Ketimpangan Regional
Distribusi dana yang didasarkan pada variabel seperti jumlah populasi atau luas lahan pertanian justru memperbesar ketimpangan, karena kabupaten dengan kelembagaan yang sudah kuat akan lebih diuntungkan.
H3: 3. Keterbatasan Data dan Evaluasi Dampak
Kurangnya evaluasi dampak jangka panjang terhadap kualitas air, keanekaragaman hayati, atau perubahan iklim menjadi kendala dalam mengukur efektivitas sebenarnya dari pembangunan lahan basah ini.
H2: Pembelajaran Global: Relevansi bagi Negara Lain
Pendekatan Swedia—terutama keberhasilan RDP—dapat menjadi model bagi negara lain, khususnya:
Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan sangat bergantung pada:
H2: Kesimpulan: Memadukan Ekonomi, Ekologi, dan Pemerintahan
Amanda Speks dalam tesisnya memberikan kontribusi penting terhadap diskusi mengenai peran keuangan dalam pelestarian lingkungan. Kesimpulan utama yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah:
Jika negara-negara ingin mempercepat pencapaian SDG 6, fokus tidak boleh berhenti pada pendanaan semata. Struktur tata kelola yang efektif serta kapasitas lokal yang memadai juga perlu diperkuat agar setiap dana yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan manfaat ekologi yang optimal.
Sumber asli:
Speks, Amanda. (2021). Analyzing the Impact of the Financial Systems for Constructing Wetlands in Sweden. Master Thesis in Sustainable Development, Uppsala University, No. 2021/25.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Perkembangan teknologi digital dewasa ini berlangsung sangat pesat dan memberikan manfaat besar dalam menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi proses konstruksi. Di Indonesia, sektor konstruksi menyumbang sekitar 6,45% PDB nasional dan mempekerjakan hingga 7–8% tenaga kerja. Namun demikian, tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi masih tinggi; misalnya pada 2021 tercatat lebih dari 234.000 kasus kecelakaan dengan 6.552 kematian. Faktor utama penyebab kecelakaan adalah faktor manusia (seperti perilaku tidak aman, pengalaman kerja, usia, tingkat pendidikan) diikuti oleh faktor lingkungan dan peralatan. Kondisi ini menegaskan perlunya inovasi keselamatan (K3) yang lebih baik.
Berbagai teknologi digital diidentifikasi dapat membantu mitigasi risiko tersebut. Misalnya virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) memungkinkan simulasi situasi berbahaya untuk pelatihan keselamatan, sementara teknologi pengenalan citra seperti convolutional neural network (CNN) dapat mengidentifikasi kelengkapan alat pelindung diri (APD) pekerja secara otomatis. Penggunaan drone (pesawat nirawak) memungkinkan pengawasan proyek dari udara, serta building information modeling (BIM) mendukung integrasi data keselamatan sepanjang siklus proyek. Di samping itu, teknologi wearable dan sensor berbasis Internet of Things (IoT) mampu memantau kondisi fisiologis pekerja atau kualitas lingkungan kerja secara real time.
Regulasi juga mendukung penggunaan teknologi dalam K3 konstruksi. Peraturan Menteri PUPR No.10/2021 menetapkan pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang menuntut pemenuhan aspek Keamanan Keteknikan, Keselamatan & Kesehatan Kerja, Keselamatan Publik, dan Keselamatan Lingkungan (Standar K4). Implementasi SMKK bertujuan menjamin integritas struktur bangunan, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, keselamatan publik serta kelestarian lingkungan. Dengan latar belakang itu, kajian ini menelusuri bagaimana perkembangan teknologi digital dapat membantu memenuhi substansi SMKK dalam praktik konstruksi di Indonesia.
Metodologi dan Kebaruan
Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Para penulis mengumpulkan dan mengolah data sekunder berupa literatur terkait proyek konstruksi Indonesia (jurnal ilmiah, prosiding, buku, dan situs resmi). Penelitian deskriptif dipahami sebagai metode yang menggambarkan fenomena atau kondisi terkini secara objektif. Data yang diperoleh berupa fakta ataupun data numerik kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan teknologi digital dalam keselamatan konstruksi.
Kebaruan studi ini terletak pada pemetaan komprehensif pengembangan teknologi digital dalam konstelasi SMKK di Indonesia. Penelitian ini merangkum berbagai inovasi — mulai dari VR, AR, CNN, BIM, drone, hingga perangkat wearable dan sensor IoT — dalam konteks empat substansi SMKK. Dengan mengacu pada standar Permen PUPR No.10/2021 dan Peraturan Pemerintah terkait K3 konstruksi, studi ini menyajikan kerangka kerja sistematis untuk mengevaluasi aspek-aspek mana saja dari keselamatan konstruksi yang sudah terakomodasi oleh inovasi digital. Tinjauan ini menjadi penting karena belum banyak literatur yang membahas teknologi digital secara holistik untuk keselamatan konstruksi Indonesia dengan kerangka SMKK.
Secara spesifik, penulis menerapkan proses kuantifikasi temuan literatur. Sebagai contoh, penelitian-penelitian terkait teknologi untuk setiap kategori SMKK dihitung jumlahnya, lalu dikelompokkan dalam tabel klasifikasi. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan gambaran umum penggunaan teknologi tertentu pada berbagai aspek keselamatan. Selain itu, studi ini membuka diskusi kritis tentang celah penelitian yang ada (keterbatasan empiris) dan potensi pengembangan selanjutnya. Dengan demikian, inovasi kajian ini bukan hanya pada kompilasi literatur, tetapi juga pada kerangka analisis yang mengaitkan teknologi dengan kerangka regulasi nasional.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil kajian mengidentifikasi beragam teknologi yang sudah banyak dibahas dalam literatur keselamatan konstruksi di Indonesia, sekaligus menyoroti bagian-bagian substansi SMKK mana saja yang telah terlayani. Temuan utama dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: teknologi visualisasi, teknologi wearable dan sensor, serta tingkat keterpenuhan substansi SMKK. Setiap kelompok ditekankan dengan konteks penggunaannya dalam industri konstruksi nasional.
Teknologi Visual
Teknologi visual atau visualisasi terbukti dominan dikaji dalam keselamatan konstruksi. Beberapa temuan utamanya adalah:
Teknologi Wearable dan Sensor-Based
Kelompok teknologi kedua berfokus pada perangkat yang dikenakan oleh pekerja atau sensor lingkungan untuk memantau kondisi kesehatan dan potensi bahaya:
Secara keseluruhan, temuan mengindikasikan bahwa teknologi wearable dan sensor menawarkan pendekatan pemantauan K3 yang bersifat real-time dan personal. Namun, gap empiris masih besar: literatur menyebutkan hanya sedikit inovasi wearable yang benar-benar diterapkan dalam proyek konstruksi Indonesia dan masih banyak kendala adopsi. Kebutuhan akan riset lanjut, termasuk studi lapangan uji coba, sangat nyata agar manfaat teknologi ini dapat benar-benar dirasakan di lapangan.
Keterpenuhan terhadap Substansi SMKK
Analisis data menunjukkan adanya ketimpangan dalam cakupan aspek SMKK. Hasil pemetaan literatur mengindikasikan 16 penelitian yang membahas aspek keselamatan keteknikan konstruksi (misalnya bangunan, peralatan, material), 28 penelitian untuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja (meliputi pemilik/pemberi kerja dan tenaga kerja konstruksi), 10 penelitian pada aspek keselamatan publik (masyarakat di sekitar proyek), dan 12 pada aspek keselamatan lingkungan (lingkungan kerja maupun alam). Dengan kata lain, penelitian-penelitian yang ada telah mencakup empat pilar SMKK tersebut, namun tidak merata.
Studi ini menemukan hanya lima penelitian yang secara holistik mengaitkan implementasi teknologi dengan pemenuhan sistem manajemen keselamatan (SMKK) secara menyeluruh. Artinya, sebagian besar kajian hanya fokus pada teknologi tertentu untuk aspek spesifik K3. Tabel 1 yang disusun penulis menggambarkan keterkaitan antara jenis teknologi digital dan substansi SMKK. Misalnya, CNN (pengenalan citra) dominan pada aspek bangunan dan tenaga kerja (dengan enam studi), BIM mengerucut pada aspek pemilik/pemberi kerja (empat studi), sedangkan drone banyak terkait dengan keselamatan lingkungan (empat studi). Virtual reality dan augmented reality muncul di berbagai aspek (teknik bangunan, pemilik, masyarakat sekitar) meski tiap kajian cenderung satu-dua aspek saja. Sebaliknya, beberapa substansi seperti pengaruh projek pada “masyarakat terpapar” dan “lingkungan terdampak proyek” masih sedikit mendapatkan perhatian, bahkan dalam tabel terdeteksi sangat minim studi terkait.
Temuan ini kontekstual: walaupun teknologi digital telah banyak diadopsi untuk menunjang keselamatan konstruksi, pemanfaatannya belum sepenuhnya berorientasi pada semua standar SMKK. Banyak studi terpusat pada pelatihan dan pengawasan (keselamatan kerja) serta integrasi data (keselamatan teknik), sementara aspek publik dan lingkungan masih menjadi peluang riset yang belum digarap optimal. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa implementasi teknologi digital di Indonesia baru memenuhi sebagian substansi SMKK, dan ada kebutuhan memperluas fokus penelitian agar seluruh aspek SMKK terpenuhi dalam praktik keselamatan konstruksi nasional.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Pendekatan penelitian ini bersifat kajian literatur deskriptif, sehingga ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:
Dengan demikian, walaupun kajian ini komprehensif dalam ruang lingkup literatur, pembaca perlu menyadari bahwa temuan yang disajikan lebih bersifat indikatif. Analisisnya memberikan kerangka konseptual dan klasifikasi awal, namun belum mencakup validasi lapangan atau analisis statistik yang solid. Kritik kritis diarahkan pada perlunya verifikasi empiris, metode perbandingan yang lebih mendalam, dan penajaman fokus pada efektivitas nyata teknologi di proyek konstruksi Indonesia.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Berdasarkan hasil dan keterbatasan di atas, ada sejumlah arahan penelitian dan implikasi akademik yang dapat digarisbawahi:
Secara keseluruhan, kajian ini membuka jalan bagi berbagai kajian berikutnya yang menekankan aspek inovasi teknologi, evaluasi empiris, dan pengembangan kerangka kerja implementasi. Implikasi ilmiahnya adalah memperkuat fondasi penelitian K3 konstruksi digital di Indonesia, sekaligus mendorong integrasi antara teknologi canggih dan manajemen keselamatan yang berbasis regulasi.
Refleksi Akhir
Temuan kajian ini relevan dengan dinamika keselamatan konstruksi nasional. Resensi menunjukkan bahwa Indonesia tengah mengikuti tren global dalam pengaplikasian teknologi digital untuk keselamatan kerja. Penggunaan VR, AR, BIM, drone, serta wearable menunjukkan bahwa industri mulai menyadari manfaat teknologi canggih dalam mencegah kecelakaan dan meningkatkan produktivitas. Namun, masih ada kesenjangan implementasi. Sebagai contoh, meskipun teknologi sensor dan wearable menawarkan pengawasan real-time, pemanfaatannya dalam praktik lokal masih minim. Hal ini mengindikasikan perlunya adopsi yang lebih serius, baik dari segi investasi perusahaan maupun dukungan kebijakan pemerintah.
Dalam konteks regulasi, hasil kajian memberi sinyal bahwa implementasi SMKK di lapangan dapat lebih optimal dengan memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Regulator dan praktisi konstruksi dapat memetakan prioritas: misalnya, memperkuat penggunaan VR/AR di pelatihan K3 sesuai regulasi, atau memanfaatkan drone dan sensor untuk aspek keselamatan lingkungan yang kini tergolong lemah. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang efektif akan sangat terbantu bila didukung oleh infrastruktur digital yang memadai. Oleh karena itu, penemuan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara penyusun kebijakan, akademisi, dan pelaku industri untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam praktik K3 nasional.
Pada akhirnya, resensi ini menegaskan bahwa era digital membuka peluang besar bagi peningkatan keselamatan konstruksi di Indonesia. Meskipun kebijakan dan komitmen perusahaan mulai menuntut standar SMKK yang ketat, sinergi dengan teknologi informasi mutlak diperlukan untuk merealisasikannya. Penelitian lebih lanjut dan penerapan nyata di lapangan akan menentukan sejauh mana potensial teknologi tersebut terwujud menjadi penurunan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan perhatian bersama, perkembangan teknologi digital bisa menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan konstruksi yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi Indonesia.
📚 Sumber:
Faisal, U. F., & Fansuri, I. (2023). Perkembangan Teknologi Digital terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia. CESD Journal, 6(2), 35–45. Universitas Trisakti. https://doi.org/10.25105/cesd.v6i2.18811
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena revolusi industri 4.0 yang mengintegrasikan media elektronik dan internet dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Model pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mendukung proses belajar jarak jauh yang mandiri. Sejumlah platform daring—seperti Zoom, Google Classroom, WhatsApp, serta Moodle dan YouTube—dipergunakan sebagai media pembelajaran virtual. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa penggunaan aplikasi daring yang sudah familiar bagi guru dan siswa dapat memotivasi keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (misalnya aplikasi yang sudah dikuasai siswa). Misalnya, mahasiswa dapat belajar dari mana saja tanpa harus hadir secara fisik, sehingga akses pembelajaran daring lebih fleksibel dan tidak memakan banyak waktu.
Namun, sejumlah kajian juga menunjukkan tantangan signifikan dalam konteks e-learning. Ketersediaan layanan internet yang tidak merata dan tidak stabil di beberapa wilayah menghambat partisipasi aktif siswa. Beberapa siswa kesulitan mengikuti kelas daring karena sinyal lemah sehingga terjadi gangguan komunikasi dan keterlambatan pengumpulan tugas. Selain itu, biaya kuota internet yang ditanggung siswa menimbulkan beban tersendiri. Dalam implementasi pembelajaran daring, video konferensi (seperti Zoom) terbukti memakan kuota lebih besar dibanding aplikasi pesan instan (WhatsApp). Meski demikian, dalam studi blended learning, penggunaan Zoom dan WhatsApp tetap dipilih karena terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa secara daring.
Secara teoritis, penggunaan platform dan media digital didukung oleh karakteristik era Industri 4.0, di mana sistem siber-fisik dan konektivitas internet memungkinkan fitur seperti sensor, perangkat pintar, dan interaksi manusia-mesin. Penelitian terdahulu menunjukkan penerapan Learning Management System (LMS) berbasis elektronik di institusi pendidikan meningkatkan pencapaian belajar dan direkomendasikan diimplementasikan untuk mencapai tujuan kurikulum. Media pembelajaran daring yang menarik (misalnya video kuliah, forum akademik) juga mendapat penerimaan tinggi oleh mahasiswa. Penelitian eksperimental lain menyimpulkan media interaktif elektronik lebih efektif dibanding media konvensional. Oleh karena itu, pemanfaatan media elektronik dalam LMS mendukung sistem pembelajaran hybrid atau blended learning. Konteks pandemi COVID-19 mempercepat adopsi sistem pembelajaran elektronik secara masif, karena kebijakan pembelajaran jarak jauh oleh pemerintah. Meskipun demikian, penelitian ini mengamati bahwa setelah pandemi, beberapa mahasiswa masih kurang siap dengan pembelajaran online: beberapa bersikap pasif atau terlambat mengumpulkan tugas, mengindikasikan kesiapan implementasi sistem daring yang belum optimal.
Dari tinjauan ini, penelitian berfokus pada persepsi mahasiswa tentang delapan platform e-learning yang digunakan di perguruan tinggi Islam di Jambi, dan mengaitkannya dengan tiga aspek penilaian: proses belajar-mengajar, kompetensi dosen, serta fasilitas dan infrastruktur. Kerangka teoritis penelitian ini berisi asumsi bahwa adopsi teknologi 4.0 dan LMS berbasis web memberikan peluang perluasan akses pembelajaran, namun juga membawa tantangan infrastruktur dan kompetensi yang perlu dianalisis secara mendalam. Tujuan penelitian jelas dirumuskan pada penggalan akhir pendahuluan: “Penelitian ini bertujuan menganalisis realitas pembelajaran berbasis online di perguruan tinggi Islam di Jambi dan menganalisis persepsi mahasiswa terhadap implementasi delapan platform LMS dalam proses pembelajaran, dilihat dari tiga aspek penilaian: aspek pembelajaran-mengajar, kompetensi dosen, dan infrastruktur”. Meski tanpa hipotesis eksplisit, struktur argumentasi penulis membangun konteks dari literatur dan observasi pendahuluan menuju pertanyaan penelitian tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain survei. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di dua universitas Islam di Kota Jambi, dengan teknik purposive sampling. Kriteria responden adalah mahasiswa yang telah menjalani pembelajaran jarak jauh selama empat tahun terakhir (2019–2022) dan pernah menggunakan platform daring yang disurvei. Sampel terdiri dari 147 mahasiswa (117 di perguruan tinggi negeri, 30 di swasta). Data dikumpulkan melalui kuesioner berskala Likert yang mencakup 19 butir pertanyaan terbagi ke dalam empat kelompok: (1) penggunaan platform LMS (3 butir), (2) aspek pembelajaran-mengajar (5), (3) aspek kompetensi dosen (6), dan (4) aspek fasilitas-infrastruktur (5). Instrumen survei ini merupakan adaptasi dari studi terdahulu dan telah diuji isi. Analisis data dilakukan secara deskriptif, menghitung persentase jawaban untuk setiap pernyataan, baik frekuensi penggunaan platform maupun tingkat persetujuan terhadap pernyataan Likert.
Kebaruan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap delapan platform e-learning sekaligus dalam konteks pendidikan tinggi Islam, dengan pembobotan aspek teknologi dan akademik. Selain itu, studi ini menggabungkan penilaian persepsi mahasiswa atas penggunaannya (usage frequency) dengan preferensi dan evaluasi tiga aspek kualitas pembelajaran berbasis online. Kerangka survei yang menghubungkan delapan aplikasi populer dengan indikator pembelajaran, kompetensi dosen, dan infrastruktur jarang ditemukan dalam kajian serupa. Namun, penelitian ini tidak mengembangkan model konseptual baru maupun pengujian hipotesis statistik, melainkan murni deskriptif sesuai dengan tujuannya.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Penggunaan dan Preferensi Platform Daring
Hasil survei menunjukkan pola penggunaan platform LMS oleh mahasiswa. Tabel 4 mengungkap bahwa platform yang paling banyak digunakan adalah Zoom Meeting (113 responden, 76,9%), kemudian WhatsApp (93 responden, 63,3%) dan Google Classroom (88 responden, 59,9%). Platform lain seperti Google Meet (46,9%) dan YouTube (47,6%) juga cukup banyak dipakai, sedangkan platform institusi (SPIDOL-SUTHA) sekitar 30% dan Edmodo (12,9%). Penggunaan Moodle sangat rendah (1 responden, 0,7%). Paragraf hasil menyatakan bahwa mayoritas siswa memang menggunakan Zoom (hampir 77% total) sebagai platform utama, diikuti oleh penggunaan WhatsApp dan Google Classroom yang lebih dari setengah responden. Sebaliknya, Edmodo dan Moodle “sangat jarang digunakan dalam pembelajaran daring” – hanya satu mahasiswa yang memilih Moodle dalam proses pembelajaran jarak jauh. Kondisi ini konsisten dengan temuan penulis di abstrak yang menyimpulkan “Zoom, Google Classroom and Whatsapp […] were the most frequently used distance learning media”.
Selaras dengan frekuensi penggunaan, preferensi mahasiswa (tabel 5) cenderung mirip. Zoom Meeting dan Google Classroom menempati posisi teratas dengan masing-masing 44,9% responden menyatakan menyukainya. WhatsApp disukai oleh 42,2% mahasiswa, sedangkan Google Meet sekitar 30,6%. Platform berbasis video (YouTube) hanya disukai sekitar 26,5%, sementara platform institusi kampus yang khusus hanya 7,5% mahasiswa yang menganggapnya favorit. Edmodo (1,4%) dan Moodle (0,7%) merupakan platform paling tidak diminati. Narasi penulis menjelaskan bahwa tidak ada satu pun platform yang dipilih oleh mayoritas (>50%), namun Zoom dan Google Classroom berkedudukan tertinggi pada masing-masing ~45% responden. WhatsApp pun dipilih oleh lebih dari 40% karena kemudahannya dalam membentuk grup diskusi dan berbagi materi belajar, meski faktor lain (seperti keterbatasan pengiriman informasi) membuatnya tidak menjadi favorit utama. Temuan ini relevan dengan kenyataan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform yang mudah diakses dan dikenal (Zoom dan Google Classroom), sementara platform yang lebih rumit atau kurang familiar seperti Moodle diabaikan.
Persepsi Aspek Pembelajaran Daring
Penilaian mahasiswa terhadap aspek proses pembelajaran-mengajar daring juga digambarkan secara deskriptif. Tabel 6 menunjukkan sebagian besar siswa menyatakan akses materi perkuliahan online dapat dilakukan dengan mudah: sekitar 50% memilih “Setuju” atau “Sangat Setuju” bahwa kuliah online mudah diakses. Sebagai contoh, 13,6% siswa sangat setuju dan 36,7% setuju bahwa kuliah daring dapat diakses dengan mudah. Persentase yang memilih netral relatif tinggi (38,1%), menunjukkan sebagian lain cenderung mempertimbangkan hambatan akses. Pada item kedua terkait ketepatan waktu kuliah online, sebagian besar responden memilih netral (46,3%) atau setuju (38,8% gabungan SA/A), mengindikasikan umumnya tidak ada kendala waktu yang signifikan.
Item ketiga menanyakan apakah kuliah online meningkatkan pemahaman materi. Hasilnya, 7,5% sangat setuju dan 33,3% setuju, total 41% setuju bahwa e-learning dapat mencapai sasaran belajar dan meningkatkan pemahaman, sedangkan sekitar 20% menolaknya. Artinya, hampir setengah responden cenderung melihat keberhasilan transfer pengetahuan secara daring, meski sekitar sepertiga netral dan sebagian kecil tidak sepakat. Pernyataan keempat, yang menilai kesesuaian materi daring dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS), mendapat 15,6% SA dan 49,7% A – total 65% menyetujui bahwa dosen melaksanakan pembelajaran sesuai RPS. Ini menunjukkan mahasiswa menghargai tata kelola perkuliahan daring yang terstruktur. Terakhir, perihal kemudahan pengumpulan tugas daring (misalnya tanpa perlu duplikasi fisik), sekitar 62% (SA+A) merasa sangat mudah melakukan submission tugas secara daring. Hanya sekitar 10% yang menilai adanya hambatan substansial (pilih tidak setuju), menandakan mayoritas melihat proses pengumpulan tugas telah difasilitasi secara memadai.
Secara keseluruhan, bagian pembelajaran-mengajar dinilai positif. Penulis mencatat bahwa hampir 79% mahasiswa setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kuliah daring. Lebih dari setengah mahasiswa juga menilai dosen merespons pertanyaan (51% setuju ditambah 12% sangat setuju) dan mampu menjelaskan materi kuliah secara umum. Sekitar 60% siswa menyatakan dosen aktif mendampingi jalannya kelas daring hingga selesai. Temuan ini mendukung kesimpulan penulis bahwa “responden secara umum positif terhadap aspek proses pembelajaran” dan bahwa proses pembelajaran online berjalan dengan baik walau masih perlu perbaikan untuk kasus mahasiswa yang tidak setuju.
Persepsi Aspek Kompetensi Dosen
Penilaian terhadap kompetensi dosen juga menunjukkan kecenderungan positif. Hampir semua item kompetensi mendapatkan persentase tertinggi pada kategori “Setuju” (berkisar 46–59%). Sebagai contoh, 79% mahasiswa menyatakan setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kelas daring. Sekitar 63% setuju (dan tambahan 18% sangat setuju) bahwa dosen merespon pertanyaan serta memberikan pemahaman umum terhadap materi perkuliahan. Demikian pula, sekitar 60% menyetujui bahwa dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan menunjukkan sikap kooperatif selama pembelajaran daring. Perihal pendampingan, total 60% responden (46% setuju + 14% sangat setuju) merasakan bahwa dosen benar-benar mendampingi proses belajar hingga selesai. Persentase yang tidak setuju relatif kecil (<5%), menunjukkan mayoritas mahasiswa puas dengan kinerja pengajar dalam proses pembelajaran online. Temuan ini konsisten dengan narasi artikel bahwa “lecturers provide opportunities for students to ask questions and discuss” yang disetujui oleh hampir 80% responden. Dengan demikian, persepsi mahasiswa menunjukkan kompetensi dosen dalam pembelajaran daring dinilai memadai dan cenderung “baik” (good) secara keseluruhan.
Persepsi Aspek Infrastruktur
Aspek fasilitas dan infrastruktur mendapatkan respons beragam. Tabel 8 mengindikasikan 62,6% (13,6% SA + 49,0% A) mahasiswa menyetujui bahwa materi pembelajaran daring tersedia dengan baik di platform online. Sekitar 29% memilih netral dan 10% merasa bahan pembelajaran tidak tersaji dengan memadai. Pada item kedua (perangkat praktikum di rumah), 9,5% sangat setuju dan 37,4% setuju – total 46,9% – merasa memiliki perangkat yang dibutuhkan, sedangkan 11,6% tidak memilikinya sama sekali. Fakta ini menegaskan bahwa sebagian mahasiswa membutuhkan ketersediaan alat dari institusi; penulis mengamati banyak yang netral karena tidak bisa menuntut penyediaan alat. Item ketiga mengonfirmasi bahwa hanya sekitar 48,3% (16,3% SA + 32% A) yang merasa data internet disediakan oleh institusi untuk pembelajaran online. Sekitar 23,8% netral dan 28% menolak pernyataan ini, sesuai kondisi bahwa subsidi kuota internet oleh kampus telah dihentikan pasca-2020. Terakhir, pada item kemudahan mengumpulkan tugas (misalnya link pengumpulan tugas), 13,6% SA dan 53,7% A (total ~67,3%) mahasiswa menyatakan proses tersebut mudah berkat fasilitas tersebut[40]. Hanya 1% yang menyatakan ketidaksetujuan, menegaskan bahwa kemudahan teknis ini telah dihadirkan oleh sebagian besar dosen.
Secara keseluruhan, mahasiswa menilai infrastruktur memadai dalam beberapa aspek (tersedianya materi online, kemudahan pengumpulan tugas), namun masih muncul tantangan pada ketersediaan perangkat praktik dan akses internet. Penulis menyoroti bahwa hanya setengah mahasiswa memiliki peralatan praktikum di rumah, dan hampir sepertiga merasa paket data harus ditanggung sendiri, menciptakan kesenjangan akses dalam pembelajaran jarak jauh. Temuan ini menunjukkan bahwa sebelum mengandalkan teknologi baru, institusi perlu menuntaskan infrastruktur dasar agar pembelajaran daring lebih merata.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Beberapa batasan metodologis penelitian perlu dicermati. Desain survei kuantitatif dengan purposive sampling mengumpulkan data persepsi dari 147 mahasiswa satu program studi (Pendidikan Bahasa Inggris) di Jambi. Metode ini memudahkan pengambilan sampel spesifik, tetapi mengurangi generalisasi hasil. Karena sampel tidak acak dan hanya mencakup jurusan tertentu, hasilnya sulit digeneralisasi ke semua mahasiswa perguruan tinggi Islam atau disiplin ilmu lain. Selain itu, instrumen berupa kuesioner Likert hanya menghasilkan data deskriptif; penulis menganalisis hasil dengan persentase tanpa melakukan uji statistik inferensial. Tidak terdapat pengujian signifikansi antara kelompok atau korelasi antar variabel (misalnya pengaruh infrastruktur terhadap kepuasan belajar), sehingga kesimpulan bersifat deskriptif dan tidak dapat membuktikan hipotesis tertentu. Hal ini menimbulkan kekurangan ilmiah karena tidak ada analisis model atau uji hipotesis yang mengukur kekuatan hubungan antar aspek.
Kerangka teori dan model konseptual studi ini juga tidak dijabarkan secara eksplisit. Walaupun penulis merujuk banyak literatur pendukung, tidak terlihat adanya model atau hipotesis terukur yang diuji. Penelitian ini lebih bersifat eksploratif-deskriptif; konsekuensinya, kontribusi pada pengembangan teori e-learning menjadi terbatas. Selain itu, validitas dan reliabilitas instrumen tidak dibahas, yang penting untuk memastikan kualitas data kuantitatif. Metode purposive sampling dapat menyebabkan bias pilihan responden yang lebih paham atau tertarik dengan teknologi, sehingga persepsi mahasiswa secara keseluruhan mungkin terdistorsi. Secara statistik, karena menggunakan data ordinal dari skala Likert, analisis deskriptif tanpa uji lebih lanjut mengabaikan variabilitas antar individu. Dengan kata lain, signifikansi perbedaan (misalnya preferensi Zoom vs. Google Meet) tidak diuji, sehingga tidak dapat diketahui apakah selisih persentase tersebut bermakna.
Meski demikian, metodologi survei kuantitatif ini sesuai dengan tujuan mengetahui persepsi umum. Penulis berhasil memetakan penggunaan platform dan menilai tiga aspek penting melalui data kuantitatif sederhana. Namun, untuk studi lanjutan, diperlukan metode campuran (misalnya wawancara pendalam) atau eksperimen intervensi untuk mengukur efektivitas nyata LMS tertentu. Secara keseluruhan, desain penelitian sudah menjawab tujuan deskriptif, tapi lebih banyak modifikasi diperlukan agar temuan dapat dijadikan dasar kebijakan atau model konseptual yang lebih kuat.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Penelitian ini menawarkan wawasan praktis dan implikasi bagi pengembangan e-learning dan pendidikan tinggi. Temuan bahwa Zoom, Google Classroom, dan WhatsApp paling banyak digunakan dan disukai menandakan kebutuhan pengembangan teknologi pembelajaran yang mudah diakses. Institusi dapat memfokuskan pelatihan dan dukungan pada platform-platform populer tersebut, sekaligus meningkatkan integrasi antara LMS kampus dengan media sosial agar pengajar lebih termotivasi menggunakan sistem yang sudah dikenal. Hasil positif pada aspek pembelajaran dan kompetensi dosen menunjukkan bahwa elemen pedagogis dan kelengkapan materi sudah memadai; penelitian selanjutnya dapat menggali bagaimana perbaikan lebih lanjut (misalnya optimasi konten multimedia atau interaksi real-time) dapat meningkatkan proses belajar daring. Temuan kendala infrastruktur (misalnya alat praktikum, kuota) menunjukkan perlunya upaya pengurangan digital divide – dapat menjadi topik riset lanjutan, misalnya mengevaluasi program subsidi atau pengembangan perangkat praktikum murah berbasis internet.
Secara ilmiah, kajian mendatang dapat membangun model konseptual yang lebih komprehensif, misalnya dengan menguji teori penerimaan teknologi (TAM) atau model belajar daring yang menghubungkan variabel motivasi, self-efficacy, dan satisfaction. Data survei yang ada menyiratkan adanya hubungan antar aspek (misalnya kualitas infrastruktur berdampak pada persepsi kemudahan belajar), namun belum dieksplorasi secara statistik. Oleh karena itu, analisis lanjutan dengan metode inferensial (uji t, ANOVA, regresi, atau SEM) dapat mengungkap faktor determinan keberhasilan e-learning. Penelitian eksperimen, misalnya memantau hasil belajar spesifik setelah pelatihan penggunaan LMS, akan menguatkan bukti empiris dan signifikansi statistik keterkaitan teknologi pendidikan.
Dalam ranah praktis dan kebijakan, hasil ini relevan dengan tren perkembangan e-learning terkini. Walaupun pandemi telah mereda, adaptasi terhadap era 4.0 mendorong pengembangan pembelajaran hibrid dan smart campus. Temuan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform sederhana mengindikasikan bahwa pengembangan LMS ke depan harus mempertimbangkan antarmuka yang intuitif dan keterpaduan dengan aplikasi mobile. Selain itu, refleksi data menunjukkan tantangan nyata: kemampuan guru dalam memanfaatkan platform, keterbatasan jaringan internet, dan masalah integritas (misalnya kecurangan ujian) masih perlu perhatian. Riset masa depan sebaiknya mengeksplorasi solusi berbasis teknologi mutakhir—misalnya penggunaan AI tutor, augmented reality (AR) dalam praktikum, atau sistem deteksi plagiarisme—untuk menanggulangi hambatan tersebut. Pada akhirnya, hasil penelitian ini menggarisbawahi bahwa kemajuan e-learning tidak hanya soal teknologi, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan manusia. Temuan positif soal penerapan e-learning selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam di era 4.0 memiliki landasan bagus untuk inovasi berkelanjutan di bidang pendidikan tinggi.
📚 Sumber Asli:
Monalisa, Mahmudah, K., Hasanah, I. A., Pratama, A., Sumardi, M. S., Putri, R., Fitria, W., Rozal, E., & Alhazzy, R. (2023). Online-based Learning Management System in the Industrial Revolution 4.0 Era: Reality in Islamic Higher Education. Journal of Education Technology, 7(2), 247–260. Universitas Pendidikan Ganesha. https://doi.org/10.23887/jet.v7i2.56612