Pendahuluan
Tesis “Innovative Performance in the CEE Countries: A Cross-Country Study Using Fuzzy-Set Theory” karya Peter Johansson (Lund University, 2001–2002) membahas dinamika kinerja inovatif di tujuh negara Eropa Tengah dan Timur (CEE-7): Bulgaria, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Dengan memanfaatkan metode fuzzy-set social science, Johansson berupaya menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana inovasi terbentuk dalam konteks transformasi pasca-1989, sejauh mana ia terkait dengan kekuatan masyarakat sipil, dan bagaimana letak geografis berperan dalam memperkuat atau melemahkan performa inovatif.
Tulisan ini akan menguraikan tesis tersebut dengan pendekatan konseptual (membedah kerangka teori) dan reflektif (memberi interpretasi serta kritik). Fokus utama ialah kontribusi ilmiah, argumentasi teoretis, hasil empiris, serta potensi implikasi bagi kajian inovasi dan transformasi sosial.
Kerangka Teori: Dari Risiko hingga Inovasi
Risiko dan Pengangguran
Johansson menempatkan risiko pengangguran sebagai latar belakang utama. Ia mengutip definisi risiko sebagai probabilitas efek disfungsional terhadap sistem sosial. Inovasi, dalam kerangka ini, dipandang sebagai sarana mengurangi risiko pengangguran baik jangka pendek (menyerap tenaga kerja) maupun jangka panjang (menciptakan fleksibilitas ekonomi). Refleksi saya: pendekatan ini menegaskan inovasi bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan strategi perlindungan sosial.
Globalisasi sebagai Kerangka
Globalisasi diterima sebagai fakta empiris. Johansson mengacu pada dimensi teknologi, ekonomi, politik, dan budaya yang saling mengikat. Negara-negara CEE berada di persimpangan: mereka harus membuka pasar untuk modal asing, tetapi juga menghadapi risiko social dumping dan kompetisi global. Kritiknya tepat: globalisasi menghadirkan peluang dan ancaman, sementara posisi geografis menentukan intensitas tekanan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Teori Kesenjangan Teknologi
Neo-klasik cenderung melihat biaya tenaga kerja sebagai faktor utama pertumbuhan. Johansson menolak pandangan ini dengan menekankan teknologi dan inovasi. Ia mengadopsi teori technology-gap, yaitu ketimpangan inovasi antara negara pelopor dan negara pengejar. CEE-7 dilihat sebagai pengejar: difusi teknologi asing penting, tetapi tanpa inovasi domestik mereka tetap tertinggal.
Konsep Inovasi
Mengutip Schumpeter, inovasi dipahami sebagai kombinasi baru: produk, proses, organisasi, atau pasar. Johansson menolak pemisahan inovasi dan difusi; imitasi pun dianggap inovasi karena memerlukan perubahan tindakan. Dua indikator dipilih: Foreign Direct Investment (FDI) sebagai faktor eksternal, dan Research & Development (R&D) sebagai kapasitas internal.
Metodologi Fuzzy-Set: Menjembatani Teori dan Data
Mengapa Fuzzy-Set?
Penelitian sosial sering terjebak antara kuantitatif (N besar) dan kualitatif (N kecil). Johansson memilih fuzzy-set Qualitative Comparative Analysis (fs/QCA) untuk menangani N menengah (7 negara). Metode ini memungkinkan negara diberi skor keanggotaan (0–1) dalam suatu set, misalnya “negara inovatif” atau “negara paternalistik”.
Prinsip Dasar
-
Negasi: jika negara X 0,8 dalam “inovatif”, maka ia 0,2 dalam “statis”.
-
Minimum (AND): hasil ditentukan oleh faktor terlemah.
-
Maksimum (OR): hasil ditentukan oleh faktor terkuat.
Refleksi saya: pendekatan ini membantu memvisualisasi spektrum, bukan dikotomi. Namun, tantangannya ialah subjektivitas penetapan skor fuzzy yang sangat bergantung pada peneliti.
Ideal Types
Johansson menyusun ideal type:
-
Negara inovatif (FDI tinggi + R&D tinggi).
-
Negara statis (FDI rendah + R&D rendah).
-
Masyarakat sipil kuat vs paternalistik.
-
Geografis Barat vs Geografis Timur.
Dengan ini, ia menilai sejauh mana masing-masing negara CEE masuk atau keluar dari set.
Analisis Empiris: Inovasi di CEE-7
FDI sebagai Indikator
Data FDI per kapita (1989–2000) menunjukkan perbedaan tajam:
-
Republik Ceko (2.102 USD) & Hungaria (1.935 USD) → skor 1,0 (paling inovatif via FDI).
-
Slovenia (768 USD) & Polandia (751 USD) → skor menengah (0,59–0,60).
-
Slovakia (669 USD) → borderline (0,50).
-
Bulgaria (407 USD) → skor rendah (0,17).
-
Rumania (303 USD) → hampir nol (0,01).
Refleksi saya: angka ini mengungkap pola klasterisasi barat–timur. Negara dekat inti Eropa menerima lebih banyak modal, sementara Balkan tetap tertinggal.
R&D sebagai Indikator
Proporsi R&D terhadap PDB memperkuat pola:
-
Slovenia (1,42%) → hampir penuh (0,92).
-
Slovakia (1,18%) & Ceko (1,16%) → cukup tinggi (0,73–0,74).
-
Hungaria (0,74%) & Polandia (0,72%) → menengah (0,50).
-
Bulgaria (0,52%) & Rumania (0,58%) → rendah (0,33–0,38).
Interpretasi: kapasitas penelitian domestik masih terbatas, terutama di Rumania dan Bulgaria. FDI tanpa R&D lokal berisiko hanya menciptakan ketergantungan.
Skor Gabungan Inovasi
Dengan menggabungkan FDI dan R&D, Johansson menyimpulkan:
-
Ceko & Hungaria → fully capable.
-
Slovenia & Polandia → more or less capable.
-
Slovakia → borderline.
-
Bulgaria & Rumania → incapable.
Refleksi saya: hasil ini menunjukkan spektrum diferensiasi kapitalisme di CEE, mendukung tesis varieties of capitalism. Transformasi pasca-1989 tidak seragam.
Masyarakat Sipil dan Geografi
Masyarakat Sipil
Johansson berargumen bahwa masyarakat sipil yang kuat berfungsi sebagai pondasi institusional inovasi. Data dari Nations in Transit dipakai untuk mengukur kekuatan CS. Negara dengan tradisi organisasi sipil (misalnya Polandia dengan sejarah Solidarność) lebih siap menyerap inovasi. Refleksi saya: indikator CS cukup valid, namun terlalu agregat—dinamika internal (Polandia A vs Polandia B) tidak tercakup.
Faktor Geografis
Geografi dipandang sebagai variabel moderasi: semakin ke timur, semakin lemah fondasi inovatif dan sipil. Johansson menyajikan pola linear: barat (Slovenia, Ceko, Hungaria) lebih maju, timur (Bulgaria, Rumania) lebih tertinggal. Kritik saya: geografi di sini lebih berfungsi sebagai proksi bagi faktor historis-politik ketimbang variabel mandiri.
Narasi Argumentatif dan Logika
Alur Argumentasi
-
Transformasi pasca-1989 menimbulkan tantangan struktural.
-
Inovasi menjadi kunci menghadapi pengangguran dan globalisasi.
-
Inovasi dipahami melalui FDI + R&D.
-
Hubungan inovasi dengan masyarakat sipil diuji lewat fuzzy-set.
-
Geografi memperkuat pola klasterisasi.
Kekuatan
-
Integrasi teori Schumpeter, globalisasi, dan varieties of capitalism.
-
Pemakaian fuzzy-set sebagai metodologi alternatif.
-
Data empiris konkret (FDI, R&D, skor CS).
Kelemahan
-
Penentuan skor fuzzy cukup subjektif.
-
Faktor politik negara (kebijakan industri, stabilitas) kurang dibahas.
-
Geografi diperlakukan terlalu simplistik.
Refleksi saya: Johansson berhasil membuka ruang diskusi baru dengan fs/QCA, namun perlu kehati-hatian agar tidak terjebak pada simplifikasi metodologis.
Kritik Metodologis
-
Indikator terbatas: hanya FDI & R&D, padahal inovasi juga terkait pendidikan, regulasi, dan kultur organisasi.
-
Data agregat nasional: mengabaikan disparitas regional (misalnya, perbedaan Polandia barat vs timur).
-
Fuzzy scoring: meskipun transparan, tetap rentan pada bias peneliti.
-
Asumsi linearitas geografis: padahal sejarah kolonial, relasi Uni Soviet, dan integrasi UE juga berperan.
Namun demikian, penggunaan fuzzy-set sebagai “jembatan” antara teori dan data merupakan kontribusi metodologis signifikan, terutama untuk studi dengan N menengah.
Implikasi Ilmiah
Tesis ini memberikan beberapa implikasi penting:
-
Konseptual: memperluas pemahaman inovasi sebagai kombinasi faktor eksternal (FDI) dan internal (R&D), terkait erat dengan masyarakat sipil.
-
Metodologis: memperkenalkan fs/QCA sebagai alternatif bagi studi perbandingan lintas negara dengan N menengah.
-
Empiris: menegaskan pola barat–timur dalam performa inovatif CEE, mendukung gagasan “varieties of capitalism”.
-
Kebijakan: menunjukkan perlunya memperkuat masyarakat sipil dan R&D domestik agar FDI memberi efek jangka panjang.
Kesimpulan
Peter Johansson melalui tesis ini berhasil menggabungkan teori globalisasi, inovasi, dan transformasi sosial dengan metode fuzzy-set untuk menganalisis kinerja inovatif negara-negara CEE. Hasilnya menunjukkan diferensiasi tajam antarnegara, di mana kedekatan geografis dengan Eropa Barat dan kekuatan masyarakat sipil menjadi faktor penting.
Secara ilmiah, kontribusinya terletak pada penggunaan fs/QCA untuk menghubungkan konsep abstrak dengan data empiris. Walau terdapat keterbatasan metodologis, karya ini tetap menjadi referensi penting untuk memahami inovasi dalam konteks transformasi pasca-sosialis.