Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?
Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.
Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?
Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana
Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan
Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:
Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).
Temuan Angka Kunci
Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang
Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim
Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.
Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.
Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah
Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.
Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?
Faktor Penentu Ketangguhan
Tantangan di Negara Berkembang
Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global
Sendai Framework dan SDGs
Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan
Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.
Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan
Peluang
Tantangan
Rekomendasi Praktis
Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.
Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan
Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Semakin Penting?
Perubahan iklim membawa tantangan besar, terutama di wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan erosi. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) menjadi sorotan sebagai alternatif inovatif untuk mengatasi risiko tersebut. NBS tidak hanya menawarkan perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Namun, bagaimana persepsi para pemangku kepentingan di daerah pegunungan terhadap NBS? Apakah mereka siap berkolaborasi dalam merancang dan mengimplementasikan solusi ini?
Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian Lupp et al. (2021) yang mengeksplorasi persepsi stakeholder terhadap NBS di kawasan pegunungan Eropa melalui studi kasus PHUSICOS. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global, resensi ini juga membandingkan temuan PHUSICOS dengan literatur lain serta memberikan opini kritis terkait peluang dan tantangan implementasi NBS di masa depan.
Apa Itu Nature-Based Solutions (NBS)?
NBS adalah solusi yang terinspirasi dan didukung oleh alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan. Contohnya meliputi restorasi sungai, reforestasi, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur hijau. Menurut definisi Uni Eropa, NBS harus memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati dan mendukung berbagai layanan ekosistem.
Studi Kasus PHUSICOS: Kolaborasi di Tiga Wilayah Pegunungan Eropa
Lokasi Studi
PHUSICOS (EU H2020) memilih tiga lokasi utama sebagai demonstrator NBS di kawasan pegunungan:
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan utama:
Temuan Utama: Persepsi, Tantangan, dan Harapan Stakeholder
Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran
Sekitar sepertiga responden baru mengenal konsep NBS melalui proyek PHUSICOS. Sebagian besar lainnya memperoleh pengetahuan dari universitas, pelatihan institusi, dan pengalaman proyek sebelumnya. Menariknya, banyak petani dan pelaku usaha yang menganggap diri mereka sudah ahli di bidangnya, tetapi belum tentu memahami risiko bencana atau solusi NBS secara menyeluruh.
Manfaat NBS Menurut Stakeholder
Di daerah pegunungan, manfaat yang paling ditekankan oleh stakeholder adalah aspek ekonomi dan perlindungan alam. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang sering menyoroti manfaat sosial seperti rekreasi dan kesehatan, di pegunungan fokusnya adalah pada keberlanjutan ekonomi lokal dan pengurangan risiko bencana.
Seorang perwakilan administrasi kehutanan menyatakan, “Solusi ini terbarukan, jejak karbonnya kecil, dan lebih baik untuk ekonomi lokal.” Hal ini menunjukkan bahwa NBS dipandang sebagai solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Stakeholder juga melihat potensi untuk mengembangkan dan mereplikasi solusi yang berhasil di satu wilayah ke wilayah lain, membuka peluang untuk skala yang lebih besar.
Kekhawatiran dan Hambatan
Meskipun banyak yang optimis, terdapat beberapa kekhawatiran yang cukup signifikan:
Harapan terhadap Proses Kolaboratif
Living Labs diharapkan menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para stakeholder. Melalui proses ini, mereka dapat berbagi pengalaman, belajar langsung dari implementasi lapangan, serta mengembangkan model bisnis baru yang menarik bagi petani dan pemilik lahan. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap NBS.
Data dan Angka Kunci dari Studi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Urban vs Rural: Perbedaan Fokus
Studi-studi sebelumnya di kawasan perkotaan, seperti oleh Han & Kuhlicke (2019) dan Pagano et al. (2019), menyoroti manfaat sosial NBS seperti rekreasi, estetika, dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, studi PHUSICOS menegaskan bahwa di kawasan pegunungan, manfaat ekonomi dan perlindungan alam menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan kebutuhan stakeholder sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial.
Tantangan Monetisasi Manfaat NBS
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengukur dan mengkomersialisasikan manfaat NBS. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang diberikan seringkali tidak tercermin dalam harga pasar, sehingga sulit menarik investasi swasta. Kebijakan subsidi yang ada, seperti Common Agricultural Policy (CAP) di Eropa, belum sepenuhnya mendukung adopsi NBS oleh petani.
Solusi yang diusulkan meliputi pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan, insentif fiskal, dan model bisnis inovatif yang dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada pelaku usaha.
Kolaborasi dan Living Labs: Kunci Sukses
Living Labs terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, dan mendorong aksi kolektif antar stakeholder. Namun, proses kolaboratif ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Tidak semua pihak siap untuk terlibat aktif, sehingga diperlukan pendekatan yang inklusif dan fleksibel.
Opini dan Rekomendasi: Bagaimana Masa Depan NBS di Pegunungan?
Peluang
NBS memiliki potensi besar sebagai solusi masa depan untuk adaptasi perubahan iklim di kawasan pegunungan, asalkan didukung oleh bukti efektivitas dan model bisnis yang jelas. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk mengatasi hambatan implementasi dan memastikan keberlanjutan solusi.
Tantangan
Skeptisisme dan kurangnya pengetahuan masih menjadi penghalang utama. Diperlukan lebih banyak studi kasus nyata dan demonstrasi keberhasilan NBS di lapangan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Selain itu, kebijakan dan insentif ekonomi harus lebih proaktif mendukung adopsi NBS, terutama bagi petani dan pemilik lahan.
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: NBS, Kolaborasi, dan Masa Depan Adaptasi Iklim
Penelitian PHUSICOS menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NBS di kawasan pegunungan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, edukasi, dan inovasi model bisnis. Dengan pendekatan Living Labs, peluang untuk memperluas adopsi NBS semakin terbuka, asalkan didukung oleh komitmen bersama dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. NBS bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera bagi komunitas pegunungan.
Sumber Artikel:
Lupp, G., Huang, J.J., Zingraff-Hamed, A., Oen, A., Del Sepia, N., Martinelli, A., Lucchesi, M., Wulff Knutsen, T., Olsen, M., Fjøsne, T.F., Balaguer, E.-M., Arauzo, I., Solheim, A., Kalsnes, B., & Pauleit, S. (2021). Stakeholder Perceptions of Nature-Based Solutions and Their Collaborative Co-Design and Implementation Processes in Rural Mountain Areas—A Case Study From PHUSICOS. Frontiers in Environmental Science, 9, 678446.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial
Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.
Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi
Penelitian ini menggunakan dua alat utama:
Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.
Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air
Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:
Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi
Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:
Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:
Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.
Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi
Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:
AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.
Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi
Artikel ini menonjol karena:
Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.
Nilai Tambah dan Relevansi Global
Pendekatan ini sangat relevan untuk:
Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan
Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.
Sumber Artikel :
Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Dari Hidrologi Klasik ke SocioHydrology
Krisis air global saat ini bukan hanya soal kekurangan air, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial dalam mengelola sumber daya tersebut secara adil dan berkelanjutan. Artikel karya Xia, Dong, dan Zou (2022) menelusuri evolusi sociohydrology sebagai disiplin baru yang menjembatani ilmu alam dan sosial untuk memahami dinamika timbal balik antara manusia dan sistem hidrologi. Dengan menyoroti empat isu ilmiah utama dan tantangan metodologis, artikel ini menjadi peta jalan penting bagi masa depan pengelolaan air berbasis keberlanjutan.
Evolusi SocioHydrology: Tiga Tahap Paradigma
Penulis menguraikan perkembangan paradigma hidrologi dalam tiga fase:
1. Pra1970an: Fokus pada dampak manusia terhadap air (I=PAT).
2. 1970–2010an: Interaksi dua arah antara manusia dan air (hydrosociology, IWRM).
3. Pasca2012: Coevolution manusiaair melalui pendekatan sociohydrology (Sivapalan et al., 2012).
Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan eksogen ke endogen, di mana manusia bukan hanya pengguna air, tetapi juga bagian dari sistem dinamis yang saling memengaruhi.
Empat Isu Ilmiah Kunci dalam SocioHydrology
1. Evolusi Jangka Panjang Sistem SosioHidrologi
Studi historis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, proyek irigasi besar, dan polusi industri memiliki efek jangka panjang terhadap kualitas dan kuantitas air. Misalnya, proyek bendungan besar dapat mengubah pola aliran sungai selama ratusan tahun.
2. Deskripsi Kuantitatif dan Mekanisme Penggerak
Penulis menekankan pentingnya metode kuantitatif seperti content analysis, mapping knowledge domain, dan model berbasis agen (ABM) untuk memahami dinamika sosialair. Contoh: Wei et al. (2015) menganalisis evolusi isu air di Australia melalui 150 tahun arsip surat kabar.
3. Prediksi Jalur KoEvolusi Sistem SosialAir
Tantangan utama adalah mengakomodasi ketidakpastian perilaku manusia dalam model prediktif. Faktor seperti nilai, kepercayaan, dan pendidikan memengaruhi respons terhadap kebijakan air. Big data dan media sosial mulai digunakan untuk menangkap dinamika ini secara realtime.
4. Manajemen Terintegrasi Sumber Daya Air (IWRM) Berbasis Sistem
Sociohydrology mendukung IWRM dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi dampak kebijakan dan merancang intervensi adaptif. Contoh sukses: penerapan IWRM di MurrayDarling Basin, Australia.
Studi Kasus dan Model Terapan
Artikel ini menyajikan berbagai studi kasus dari 10 tahun terakhir, termasuk:
Model yang digunakan mencakup system dynamics, Bayesian networks, dan conceptual models, menunjukkan keragaman pendekatan dalam sociohydrology.
Kritik dan Kesenjangan Penelitian
Penulis mengidentifikasi tiga celah utama:
Kurangnya mekanisme interaksi yang jelas antara sistem sosial dan hidrologi.
Dominasi pendekatan kualitatif, padahal prediksi membutuhkan kuantifikasi yang kuat.
Keterbatasan data lintas disiplin, terutama dalam skala spasial dan temporal yang sesuai.
Selain itu, banyak model masih menyederhanakan perilaku manusia dan gagal menangkap dinamika nilai, konflik, dan institusi secara mendalam.
Peluang Masa Depan: Interdisiplin dan Big Data
Sociohydrology memiliki peluang besar untuk berkembang melalui:
Contoh: penggunaan data Twitter untuk memetakan persepsi publik terhadap krisis air di Cape Town (Ren et al., 2019).
Kontribusi terhadap SDGs dan Tata Kelola Global
Sociohydrology berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
Dengan pendekatan sistemik dan partisipatif, sociohydrology dapat membantu merancang kebijakan air yang lebih adil, adaptif, dan berbasis bukti.
Kesimpulan: Ilmu Baru untuk Dunia yang Berubah
Artikel ini menegaskan bahwa sociohydrology bukan sekadar cabang baru dari hidrologi, tetapi paradigma ilmiah baru yang menjawab kompleksitas dunia modern. Dengan menggabungkan sejarah, prediksi, dan manajemen dalam satu kerangka, disiplin ini menawarkan harapan baru untuk mengatasi krisis air global secara berkelanjutan dan inklusif.
Sumber Artikel :
Xia, J., Dong, Y., & Zou, L. (2022). Developing sociohydrology: Research progress, opportunities and challenges. Journal of Geographical Sciences, 32(11), 2131–2146.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Asia Tengah, wilayah yang bergantung pada dua sungai besar Amudarya dan Syrdaryamenghadapi krisis tata kelola air yang kompleks. Artikel karya Abdullaev et al. (2025) mengupas bagaimana konflik politik, perubahan iklim, dan lemahnya kapasitas riset lokal memperumit pengelolaan air lintas negara. Lebih dari sekadar isu teknis, krisis ini mencerminkan ketegangan antara warisan Soviet, kepentingan nasional, dan kebutuhan akan tata kelola kolaboratif berbasis sains.
Konteks Regional: Sungai yang Membelah Negara dan Kepentingan
Amudarya dan Syrdarya mengalir melintasi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sungaisungai ini menjadi sumber utama irigasi dan energi, namun juga menjadi sumber konflik. Proyek bendungan di hulu seperti Rogun di Tajikistan dan rencana pembangunan di Sungai Naryn oleh Kyrgyzstan memicu kekhawatiran negara hilir akan berkurangnya pasokan air.
Kasus penting:
Pada 2024, Afghanistan memulai pembangunan kanal irigasi besar yang diperkirakan akan menyedot hingga 30% aliran Amudarya, mengancam pertanian di Uzbekistan dan Turkmenistan. Ini menambah tekanan pada sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebih.
Dinamika Politik dan Reformasi: Antara Kolaborasi dan Ketegangan
Meski konflik potensial tinggi, Asia Tengah menunjukkan resiliensi politik melalui berbagai perjanjian dan forum seperti International Fund to Save the Aral Sea (IFAS). Uzbekistan, sejak 2017, mendorong kerja sama regional, termasuk kesepakatan pembangunan PLTA Kambarata I bersama Kazakhstan dan Kyrgyzstan.
Namun, reformasi sektor air masih didominasi pendekatan teknokratis dan efisiensi, bukan ketahanan jangka panjang. Tajikistan telah menjalankan reformasi selama 9 tahun, Kazakhstan membentuk kementerian air baru, dan Uzbekistan memisahkan kementerian air dari pertanian serta memperluas irigasi tetes. Tapi, resiliensi kelembagaan dan adaptasi terhadap ketidakpastian iklim masih minim.
Studi Kasus: Bencana dan Ketegangan Sosial
Peran Riset dan Pendidikan Tinggi: Potensi yang Belum Dioptimalkan
Artikel ini menyoroti bahwa kapasitas riset lokal masih tertinggal. Banyak universitas dan lembaga riset di Asia Tengah belum mengalami reformasi signifikan sejak era Soviet. Keterbatasan dana, ketergantungan pada donor asing, dan minimnya literatur dalam bahasa lokal menjadi hambatan utama.
Catatan penting:
SciencePolicy Interface: Jembatan yang Masih Rawan
Meski ada lembaga seperti Interstate Commission for Water Coordination (ICWC) dan pusat informasinya (SIC), integrasi antara riset dan kebijakan masih terbatas. Hambatan utama:
Inisiatif baru:
Usulan pembentukan Central Asian Expert Platform on Water Security, Sustainable Development, and Future Studies sebagai wadah kolaborasi lintas negara dan institusi untuk menyusun agenda riset jangka panjang dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Rekomendasi: Dari Efisiensi ke Ketahanan
Penulis mengkritik bahwa pendekatan dominan masih berfokus pada efisiensi teknis dan pasar, bukan pada resiliensi sistemik. Untuk menjawab tantangan iklim dan geopolitik, dibutuhkan :
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif
Artikel ini menyajikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas tata kelola air di Asia Tengah. Dari konflik lintas negara hingga lemahnya kapasitas riset, dari reformasi teknokratis hingga kebutuhan akan pendekatan adaptif—semuanya menunjukkan bahwa air bukan hanya soal sumber daya, tapi juga soal politik, pengetahuan, dan masa depan bersama.
Dengan membangun jembatan antara sains dan kebijakan, memperkuat pendidikan tinggi, dan mendorong kolaborasi regional, Asia Tengah memiliki peluang untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi.
Sumber : Abdullaev, I., Assubayeva, A., Bobojonov, I., Djanibekov, N., Dombrowsky, I., Gafurov, A., Hamidov, A., HerrfahrdtPähle, E., JanuszPawletta, B., Ishangulyyeva, R., Kasymov, U., Mirkasimov, B., Petrick, M., Strobehn, K., & Ziganshina, D. (2025). Current challenges in Central Asian water governance and their implications for research, higher education, and sciencepolicy interaction. Central Asian Journal of Water Research, 11(1), 47–58.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.
Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.
Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata
Penelitian ini bertujuan:
Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.
Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi
Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:
Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.
Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges
Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.
Nilai nilai yang muncul mencakup:
Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann
Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?
Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.
Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.
Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?
Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:
Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.
Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual
Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:
Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.
Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).
Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.
Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif
Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.
Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:
Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.
Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan
Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.
Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.
Kesimpulan
Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.
Sumber Artikel :
Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.