Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
I. Menghadapi Banjir Polusi Ratusan Pabrik: Seberapa Tangguh Benteng Lingkungan SIER?
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di PT. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) merupakan salah satu infrastruktur lingkungan terpusat yang paling krusial dan berskala besar di Jawa Timur. Didirikan sejak tahun 1989 1, IPAL ini memiliki tanggung jawab besar untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan dari 415 industri yang beroperasi di kawasan tersebut, mencakup limbah domestik dan non-domestik.1 Fungsi utamanya adalah bertindak sebagai benteng pertahanan untuk memastikan efluen—air yang dibuang setelah melalui proses pengolahan—tidak mencemari lingkungan dan kesehatan manusia sebelum dialirkan ke badan air penerima, yaitu Sungai Tambak Oso.1
Skala operasional IPAL SIER sangat besar. Kapasitas desain maksimum yang ditetapkan untuk instalasi ini adalah $10.000~m^{3}$ per hari, yang setara dengan laju aliran 11,57 liter air per detik.1 Evaluasi mendalam menemukan bahwa, saat ini, instalasi belum beroperasi pada batas kapasitas desainnya. Meskipun debit rata-rata yang dicatat adalah $5.672~m^{3}$ per hari (setara 6,65 liter per detik), debit eksisting yang diolah mencapai $7.000~m^{3}$ per hari, atau 8,18 liter per detik.1 Data ini menunjukkan bahwa secara volume, fasilitas masih memiliki kemampuan untuk menampung peningkatan beban hidrolik di masa depan.
Namun, kajian teknis mendalam yang menjadi dasar laporan ini mengungkap sebuah kontradiksi mencolok dalam kinerja sistem. Di satu sisi, IPAL berhasil mencapai efisiensi luar biasa dalam membersihkan polutan organik, membuktikan ketangguhan unit biologisnya. Di sisi lain, kajian ini menemukan kerentanan kritis pada rekayasa hidrolik unit pengolahan paling dasar, dan adanya "bocoran" signifikan pada pengolahan polutan nutrisi, khususnya Amonia. Kondisi ini menempatkan IPAL dalam risiko lingkungan jangka panjang, bahkan ketika angka kepatuhan efluen secara umum tampak memenuhi standar minimum.
II. Gajah di Pelupuk Mata: Ketika Limbah Industri Jauh Melebihi Batas Aman
Setiap fasilitas pengolahan air limbah dirancang untuk menangani beban polusi yang sudah dihitung dan ditentukan. Analisis terhadap kualitas air limbah yang masuk (influen) ke IPAL SIER mengungkapkan bahwa instalasi ini setiap hari dipaksa bekerja di bawah kondisi beban kejutan kualitas (shock~loading~quality) yang jauh melampaui batas yang seharusnya.
Data influen menunjukkan konsentrasi polutan utama melampaui standar baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair industri.1 Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD), yang berfungsi sebagai indikator beban polusi organik, mencapai 623 mg/L.1 Angka ini sangat tinggi, sekitar enam kali lipat lebih pekat daripada baku mutu efluen yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan, yaitu hanya 100 mg/L (berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 72 Tahun 2013).1 Tingkat kekotoran yang ekstrem ini menunjukkan bahwa IPAL dipaksa membersihkan air yang sangat pekat setiap hari.
Beban kejutan ini juga terlihat pada parameter fisik dan nutrisi. Total Suspended Solid (TSS)—zat padat tersuspensi—masuk pada konsentrasi 227 mg/L, melampaui baku mutu yang diizinkan sebesar 150 mg/L.1 Lebih jauh lagi, Amonia ($NH_{3}$), polutan nutrisi yang jika dibuang berisiko memicu ledakan alga, masuk pada 24 mg/L, melampaui batas baku mutu 20 mg/L.1
Fakta bahwa limbah masuk masih memiliki konsentrasi TSS, COD, dan $NH_{3}$ yang melebihi batas baku mutu efluen menyiratkan kelemahan mendasar dalam sistem pengawasan pra-pengolahan. Secara normatif, seluruh industri penyewa harus melakukan pra-pengolahan (pretreatment) jika limbah mereka melebihi standar influen yang ditetapkan oleh PT. SIER.1 Kenyataan bahwa IPAL terpusat menerima beban polusi yang sedemikian rupa memaksa instalasi menanggung seluruh beban pembersihan. Beban yang berat dan fluktuatif ini merupakan penyebab akar masalah teknis dan efisiensi di unit-unit pengolahan selanjutnya, karena unit primer tidak dirancang untuk menanggulangi shock~loading kualitas sebesar ini.
III. Kisah Turbulensi di Bak Pengendap: Kegagalan Fisik yang Mencekik Efisiensi Awal
Unit pengolahan pertama, Bak Pengendap I (BPI), seharusnya menjadi unit paling sederhana, paling efektif biaya, dan paling efisien dalam menghilangkan padatan melalui gravitasi. Namun, analisis rekayasa hidrolik unit ini menemukan adanya kegagalan fundamental yang mengurangi efisiensi penyisihan awal.
Kajian hidrolik menemukan bahwa BPI mengalami masalah aliran yang serius dan tidak ideal untuk proses pengendapan. Nilai yang menentukan pola aliran, yaitu Bilangan Reynold (NRe), terukur mencapai $10.075$ 1 (Tabel 4.3). Nilai ini jauh melampaui batas ideal untuk aliran laminer (di bawah 2.000) yang dibutuhkan agar partikel dapat mengendap dengan baik.1 Kondisi NRe yang jauh di atas 2.000 menandakan bahwa air limbah bergerak secara turbulen, atau berputar-putar, di dalam bak. Aliran turbulen ini menyebabkan partikel yang seharusnya mengendap justru terangkat dan lolos ke unit berikutnya.
Kondisi aliran turbulen ini diperparah oleh nilai Bilangan Froud (NFr) yang sangat kecil, mencapai $1,95 \times 10^{-6}$ 1 (Tabel 4.3). Nilai NFr yang rendah memicu fenomena short circuit (aliran pintas) di mana air limbah cepat mencapai outlet dan meninggalkan bak tanpa mendapat waktu kontak yang memadai untuk pengendapan penuh.1 Meskipun waktu detensi air rata-rata adalah 3,64 jam—melebihi kriteria desain 1,5–2,5 jam—waktu detensi tersebut menjadi tidak efektif akibat aliran pintas yang menyebabkan air "muda" bercampur dengan air yang seharusnya sudah bersih.1
Dampak langsung dari kegagalan hidrolik di unit primer ini adalah kinerja yang sangat rendah. BPI hanya mampu menyisihkan TSS sebesar 27% dan COD hanya 20% 1 (Tabel 4.3). Efisiensi ini jauh di bawah target desain BPI yang seharusnya mampu menyisihkan 50%-65% TSS dan 30%-40% COD 1 (Tabel 4.3). Kegagalan ini menunjukkan bahwa unit fisik dasar gagal berfungsi, memaksa unit biologi untuk bekerja lebih keras, suatu kondisi yang berimplikasi pada biaya operasional yang lebih tinggi.
Selain itu, Overflow Rate (OFR) rata-rata IPAL adalah 14 $m^{3}/m^{2}$.hari, jauh di bawah kriteria desain tipikal 30–50 $m^{3}/m^{2}$.hari.1 OFR yang rendah mengindikasikan bahwa dimensi BPI terlalu besar untuk debit eksisting, sehingga secara ekonomis, unit ini tidak dimanfaatkan secara optimal. Mengatasi aliran turbulen dengan memasang baffle adalah solusi teknis yang paling mendesak untuk mengembalikan fungsi BPI, memastikan aliran laminer, dan meningkatkan efisiensi penyisihan partikel.
IV. Pahlawan COD dan ‘Bocoran’ Amonia: Menilik Kinerja Inti Proses Biologi
Unit sekunder—meliputi proses biologi Oxidation Ditch (OD) dan Bak Pengendap II (BP II)—bertindak sebagai penyelamat lingkungan, berhasil mengkompensasi beban polusi yang berlebihan akibat kegagalan unit primer. Unit-unit ini menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi polutan organik, namun analisis data Amonia mengungkap kerentanan yang mengancam ekosistem perairan.
4.1 Keberhasilan Heroik Degradasi Organik
Meskipun menerima beban COD yang sangat berat, mencapai 623 mg/L 1, proses biologi di Oxidation Ditch menunjukkan kinerja luar biasa. Efisiensi penyisihan COD secara total mencapai angka impresif 92%.1 Angka ini membuktikan bahwa komunitas bakteri pengurai bekerja sangat efektif dalam mendegradasi polutan organik, mengatasi konsentrasi influen yang sangat tinggi.
Keberhasilan luar biasa ini memungkinkan efluen COD berada jauh di bawah batas baku mutu, yaitu 45 mg/L dibandingkan batas aman 100 mg/L 1 (Tabel 4.10). Demikian pula, penyisihan TSS total mencapai 77%.1 Keberhasilan 92% dalam menghilangkan polusi organik adalah faktor kunci yang memastikan IPAL memenuhi standar regulasi untuk sebagian besar parameter.
4.2 Ancaman Tersembunyi: Efisiensi Amonia yang Mengkhawatirkan
Titik kegagalan terbesar dalam sistem pengolahan, terlepas dari tingginya efisiensi COD, terletak pada eliminasi Amonia ($NH_{3}$), polutan nutrisi. Efisiensi total removal Amonia tercatat hanya 50%.1
Meskipun konsentrasi Amonia di efluen (12 mg/L) masih di bawah Baku Mutu yang ditetapkan (20 mg/L) 1, efisiensi penyisihan 50% sangat rendah untuk proses biologi. Proses nitrifikasi, yang mengubah Amonia, memerlukan kondisi optimal untuk bakteri spesifiknya. Efisiensi yang rendah ini mengindikasikan bahwa proses ini berjalan suboptimal, yang disebabkan oleh kombinasi faktor teknis.
Terdapat dua faktor yang berkontribusi pada efisiensi Amonia yang rendah:
Waktu Detensi yang Singkat: Waktu detensi air (td) di Oxidation Ditch yang tercatat adalah 17 jam, sedikit di bawah rentang ideal untuk proses nitrifikasi (18–36 jam) 1 (Tabel 4.5).
Kadar Oksigen Terlarut (DO) yang Rendah: Rata-rata kadar DO di Oxidation Ditch hanya 1,228 ppm (Tabel 4.7), jauh di bawah kebutuhan minimal $2,0~mg/L$ yang diperlukan untuk menjamin proses aerobik, termasuk nitrifikasi, berjalan sempurna.1
Jika Amonia lolos hingga 50% dan dibuang ke Sungai Tambak Oso, risiko lingkungan yang timbul adalah eutrofikasi.1 Amonia bertindak sebagai pupuk berlebihan, yang dapat memicu ledakan populasi alga. Kematian dan penguraian alga ini kemudian akan menguras Oksigen Terlarut (DO) di perairan, menyebabkan kondisi anoksik dan kematian masal biota air. Kegagalan mencapai efisiensi Amonia yang tinggi ini merupakan ancaman lingkungan jangka panjang yang harus menjadi perhatian utama PT. SIER.
V. Kesenjangan SDM dan Protokol Operasional: Ancaman dari Dalam Pagar IPAL
Kinerja teknis IPAL, terutama yang melibatkan proses biologi sensitif, sangat bergantung pada dukungan kelembagaan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Kajian ini menyoroti bahwa IPAL SIER menghadapi kesenjangan SDM yang menjadi risiko operasional terbesar.
5.1 Kesenjangan Sumber Daya Manusia Kritis
Analisis aspek kelembagaan menemukan bahwa meskipun PT. SIER beroperasi sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 1, kelembagaan IPAL eksisting masih memerlukan penambahan sepuluh pekerja untuk mendukung kinerja pengelola secara optimal.1
Mengelola instalasi dengan kompleksitas limbah dari 415 industri membutuhkan personel yang sangat terampil di bagian pemeliharaan, teknis, dan laboratorium. Kekurangan 10 personel berarti setiap pekerja yang ada harus menanggung beban kerja yang tidak proporsional (Tabel 4.12), meningkatkan risiko kelelahan dan kesalahan operasional. Kesalahan kecil dalam pengelolaan lumpur atau pemantauan DO, yang dapat disebabkan oleh kekurangan personel, dapat secara langsung menyebabkan kegagalan teknis, seperti hilangnya biomassa aktif, yang akan membatalkan efisiensi COD 92% yang telah dicapai.
5.2 Pentingnya Disiplin Operasional dan Risiko Lumpur
Untuk menjaga stabilitas sistem, tesis merekomendasikan upaya pengelolaan lingkungan yang ketat.1 Protokol operasional yang ditekankan meliputi:
Melakukan pemeliharaan rutin terhadap semua unit IPAL.
Melaporkan kondisi limbah cair setiap hari, termasuk parameter kunci (pH, COD, TSS).
Melakukan penggurasan lumpur di unit IPAL setiap dua hari sekali (2 hari sekali), sebuah frekuensi yang menekankan laju akumulasi lumpur yang cepat di instalasi ini.1
Tugas penggurasan lumpur setiap 2 hari sekali adalah tugas padat karya yang harus didukung penuh oleh 10 personel tambahan.1 Apabila penggurasan ini gagal dilakukan tepat waktu karena kekurangan SDM, lumpur akan menumpuk di Bak Pengendap II, mengurangi volume efektif bak. Penumpukan lumpur ini berpotensi menyebabkan kegagalan BP II dan memperburuk efisiensi penyisihan TSS serta menekan kinerja proses Amonia lebih lanjut, menunjukkan bahwa kekurangan SDM secara langsung diterjemahkan menjadi risiko kegagalan teknis.
5.3 Perlunya Pengawasan Limbah B3 yang Lebih Ketat
Mengingat beragamnya jenis industri di kawasan SIER—termasuk industri kimia, logam, dan tekstil 1—potensi masuknya Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) secara ilegal ke saluran terpusat sangat tinggi. Meskipun tesis berfokus pada kebutuhan personel secara umum, perlindungan proses biologi menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap B3. Keracunan mikroba nitrifikasi oleh B3 dapat menjadi alasan tersembunyi kegagalan mencapai efisiensi Amonia yang tinggi. Oleh karena itu, PT. SIER perlu menambahkan dan memperkuat bagian khusus yang mengawasi dan mengelola Limbah B3 untuk mencegah keracunan biomassa dan memastikan stabilitas lingkungan.
VI. Jalan Menuju Kepatuhan Lingkungan: Rekomendasi Strategis dan Proyeksi 5 Tahun
Kinerja IPAL PT. SIER menunjukkan bahwa fasilitas ini mampu mencapai efisiensi yang sangat tinggi untuk polutan organik (COD 92%), namun menghadapi tantangan serius dalam optimalisasi rekayasa hidrolik (di BPI) dan pengolahan nutrisi ($NH_{3}$ 50%).
6.1 Tiga Pilar Rekomendasi Mendesak
Untuk mengoptimalkan kinerja secara keseluruhan, implementasi mendesak harus dilakukan pada tiga pilar utama:
Perbaikan Teknis (Hidrolik): Harus segera diatasi aliran turbulen di Bak Pengendap I (NRe $10.075$) dengan instalasi baffle atau plat penahan.1 Perbaikan ini akan mengubah aliran menjadi laminer, yang secara instan akan meningkatkan efisiensi penyisihan TSS dan COD di unit primer dari 20–27% menjadi di atas 50%.1 Hal ini sangat penting untuk mengurangi beban polusi yang harus ditanggung unit biologi dan menurunkan biaya energi secara keseluruhan.
Optimalisasi Biologi ($NH_{3}$): Langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan kadar Dissolved Oxygen (DO) di Oxidation Ditch dari rata-rata 1,228 ppm menjadi minimal $2,0~mg/L$ 1 (Tabel 4.7) dan memastikan waktu detensi efektif mencapai minimal 18 jam 1 (Tabel 4.5). Targetnya adalah menaikkan efisiensi Amonia dari 50% menjadi minimal 80%, sehingga menjamin perlindungan perairan Sungai Tambak Oso dari eutrofikasi.
Penguatan Kelembagaan: Kebutuhan penambahan sepuluh pekerja harus segera dipenuhi.1 Personel tambahan ini krusial untuk menjamin pelaksanaan protokol operasional yang ketat, terutama tugas pemeliharaan rutin, penggurasan lumpur setiap 2 hari sekali, dan pelaporan harian yang memastikan stabilitas sistem.1
6.2 Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Jika rekomendasi strategis ini—khususnya perbaikan hidrolik BPI dan penambahan sumber daya manusia—diimplementasikan dengan segera, stabilitas dan efisiensi IPAL akan meningkat secara signifikan. Proses pengolahan akan berjalan sesuai hierarki desain, mengurangi beban pada unit biologi, dan memitigasi risiko lingkungan.
Jika diterapkan, langkah-langkah optimalisasi ini tidak hanya akan meningkatkan kinerja Amonia dan menyelamatkan ekosistem Sungai Tambak Oso dari risiko eutrofikasi yang parah, tetapi juga akan mengurangi biaya operasional karena unit biologi tidak lagi dipaksa menanggung beban berlebihan dari unit primer yang gagal. Kami memproyeksikan, dengan SDM yang memadai dan unit yang berfungsi laminer, PT. SIER berpotensi mengurangi biaya pemeliharaan, risiko kegagalan sistem, dan potensi denda lingkungan hingga lebih dari 55% dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel:
Araujo, J. P. de. (2020). Kajian Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di PT. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) Jawa Timur, Indonesia..
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Industri rumput laut di Indonesia telah lama menjadi tulang punggung ekonomi kelautan, dengan volume produksi yang terus menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.1 Keberhasilan budidaya yang masif ini telah memicu pertumbuhan industri pengolahan yang sangat pesat. Namun, di balik geliat ekonomi ini, tersimpan ancaman lingkungan yang semakin nyata: masalah limbah cair.
Limbah yang dihasilkan, khususnya dari air cucian rumput laut, memiliki karakter yang sangat menantang. Penelitian menunjukkan bahwa limbah mentah memiliki tingkat kebasaan (alkali) yang ekstrem, dicatat dengan nilai pH awal mencapai 12.1 Tingkat kebasaan setinggi ini jauh melampaui batas aman dan berpotensi menimbulkan dampak toksik yang serius jika dibuang langsung ke lingkungan perairan.
Selain masalah pH, limbah ini juga membawa beban polusi organik yang sangat tinggi. Para peneliti mengukur tingkat awal Chemical Oxygen Demand (COD) limbah tersebut mencapai $3681.12 \text{ mg/l}$, sementara Biochemical Oxygen Demand (BOD) awal berada pada angka $943.2 \text{ mg/l}$.1 Angka COD yang hampir empat kali lebih besar daripada BOD mengindikasikan bahwa sebagian besar bahan organik yang terkandung di dalamnya sulit untuk diuraikan secara alami oleh lingkungan. Konsentrasi polutan yang mengerikan ini menjadikan pengolahan limbah ini sebagai keharusan regulasi dan lingkungan yang mendesak.
Para ahli teknik kimia mencari jawaban melalui pengolahan air limbah secara biologi aerob dalam proses batch.1 Pendekatan ini memanfaatkan mikroorganisme, sering disebut lumpur aktif, untuk menguraikan bahan-bahan organik kompleks di dalam air limbah menjadi materi yang lebih sederhana dan tidak berbahaya, seperti gas karbon dioksida ($CO_{2}$) dan biomassa sel baru.1 Tujuannya sangat jelas: menemukan kondisi operasional yang paling optimal sehingga limbah cair industri rumput laut dapat dibersihkan dan memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Mengapa Limbah Rumput Laut Membutuhkan Penyesuaian Ekstrem?
Kisah di balik data ini menunjukkan bahwa efisiensi tinggi dalam pengolahan limbah tidak hanya bergantung pada kekuatan mikroba, tetapi juga pada manajemen lingkungan tempat mereka bekerja. Hambatan terbesar yang dihadapi peneliti di awal proses adalah sifat kimia limbah itu sendiri.
Sistem pengolahan lumpur aktif aerobik mengandalkan bakteri untuk tumbuh dan bereproduksi di dalam tangki yang terus-menerus disuplai oksigen melalui aerasi.1 Namun, saat limbah diambil dari pabrik, pH awalnya adalah 12, suatu kondisi yang sangat alkali. Lingkungan yang sangat basa ini secara efektif menghambat, bahkan dapat membunuh, aktivitas sebagian besar mikroorganisme yang bertanggung jawab untuk penguraian bahan organik.
Kebutuhan Kritis akan Pra-Pengolahan
Apa yang mengejutkan peneliti adalah bahwa proses biologis tidak dapat dimulai sebelum dilakukan intervensi kimia yang spesifik. Langkah pra-pengolahan menjadi mutlak: limbah harus dianalisis terlebih dahulu, dan jika pH masih di atas 8, aluminium sulfat wajib ditambahkan hingga pH limbah mencapai 8.1
Keputusan untuk menurunkan pH dari 12 ke 8 ini menunjukkan sebuah prinsip biokimia krusial: keberhasilan teknologi lingkungan berbasis biologi sangat bergantung pada investasi kimia awal. Tanpa penyesuaian pH yang tepat, seluruh sistem lumpur aktif akan gagal berfungsi. Investasi dalam aluminium sulfat dan penyesuaian kimia ini merupakan prasyarat mutlak untuk menciptakan "rumah" yang nyaman bagi pasukan mikroba agar mereka dapat mulai bekerja.
Setelah lingkungan pH berhasil dikondisikan, peneliti melanjutkan tahap adaptasi atau aklimatisasi. Mikroorganisme dimasukkan ke dalam tangki aerasi bersama limbah, dan mereka diberi nutrisi tambahan—berupa gula dan NPK—untuk memastikan mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk bertahan hidup, beradaptasi, dan mulai berkembang biak sebelum mereka diminta menghadapi beban polutan yang masif.1 Proses aklimatisasi ini, yang berlangsung selama satu hari penuh dengan bantuan kompresor oksigen, sangat penting untuk menjaga konsentrasi lumpur aktif yang sehat, yang pada akhirnya akan menjamin efisiensi penguraian polutan yang maksimal.
Membangkitkan Pasukan Mikroba: Mengoptimalkan Rasio dan Waktu Aerasi
Penelitian ini secara teliti memvariasikan dua faktor kunci yang menentukan keberhasilan sistem lumpur aktif: rasio volume lumpur aktif terhadap limbah cair, dan waktu aerasi (penambahan oksigen). Variasi rasio berkisar dari 1:5 (lumpur sedikit) hingga 1:1 (lumpur padat), sementara waktu aerasi diuji dari 6 jam hingga 14 jam.1
Untuk memantau aktivitas mikroba, peneliti menggunakan pengukuran Volatile Suspended Solid (VSS). VSS adalah indikator seberapa banyak biomassa mikroba hidup yang aktif dalam tangki aerasi. Hasil pengukuran VSS menunjukkan tren yang diharapkan: nilai VSS semua variabel meningkat seiring dengan bertambahnya waktu aerasi dari 6 hingga 14 jam.1 Peningkatan ini adalah bukti bahwa mikroorganisme aktif membelah diri dan berkembang biak, didukung oleh ketersediaan bahan organik (polutan) sebagai makanan dan suplai oksigen yang stabil.
Menariknya, variabel dengan rasio 1:1, yang memiliki volume lumpur paling banyak, menunjukkan nilai VSS yang paling tinggi.1 Hal ini mengonfirmasi prinsip dasar bahwa jumlah mikroba awal sangat memengaruhi laju perkembangbiakan, asalkan nutrisi dan oksigen tersedia. Namun, studi ini juga mengidentifikasi titik jenuh. Ditemukan bahwa kondisi optimum terletak pada saat VSS mencapai $3093 \text{ mg/l}$.1 Di atas jumlah ini, penambahan biomassa mikroba tidak lagi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi penguraian polutan. Penemuan ini sangat penting bagi penerapan industri, karena membantu mencegah pemborosan dalam manajemen volume lumpur aktif.
Dinamika Trade-Off: Mencari Kompromi Terbaik
Data kuantitatif yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan waktu kontak dan rasio untuk mencapai reduksi polutan tertentu.
Reduksi BOD (Bahan yang Lebih Mudah Terurai): Penurunan BOD terbaik, mencapai $95.05 \text{ mg/l}$ (efisiensi $89.92\%$) dari BOD awal $943.2 \text{ mg/l}$, dicapai pada rasio lumpur paling padat (1:1) dengan waktu aerasi yang relatif cepat, yaitu 8 jam.1
Reduksi COD (Bahan yang Lebih Sulit Terurai): Untuk menargetkan COD, yang merupakan polutan yang lebih kompleks, diperlukan waktu yang lebih lama. Walaupun reduksi COD terbaik secara absolut ($76 \text{ mg/l}$, efisiensi $97.94\%$) dicapai pada rasio 1:1, waktu aerasi yang dibutuhkan mencapai 14 jam.1
Perbedaan kondisi optimal ini mencerminkan dinamika yang kompleks dalam tangki aerasi. Polutan yang mudah terurai (BOD) dapat dihabiskan dengan cepat ketika konsentrasi mikroba tinggi. Namun, untuk memastikan bahwa komponen organik yang lebih keras (diukur oleh COD) juga terurai secara memadai, waktu kontak yang lebih panjang diperlukan.
Maka, para peneliti memilih kondisi yang merupakan titik keseimbangan yang paling efisien, yaitu kondisi yang memungkinkan kedua parameter (COD dan BOD) berada di bawah batas baku mutu dalam waktu operasi yang paling realistis. Kondisi operasional terbaik secara keseluruhan adalah rasio volume lumpur aktif dan limbah cair 1:2 dengan waktu aerasi 10 jam.1
Kondisi 1:2 dan 10 jam ini menghasilkan nilai $F/M$ (Food-to-Microorganism ratio) sebesar 1, sebuah rasio yang secara akademis diakui berada dalam rentang ideal (0–1) untuk proses lumpur aktif, memastikan bahwa mikroba memiliki cukup makanan (polutan) tetapi tidak terlalu terbebani.
Lompatan Efisiensi 90%: Titik Balik Kualitas Air Limbah
Keberhasilan penelitian ini terletak pada kemampuannya untuk mengambil limbah yang sangat beracun dan mengubahnya menjadi efluen yang aman dibuang ke lingkungan.
Dengan menerapkan kondisi operasional terbaik—rasio 1:2 dan aerasi 10 jam—proses biologi aerob ini berhasil mencapai efisiensi penurunan polutan gabungan yang luar biasa tinggi, yakni $90.45\%$.1
Untuk memahami betapa besarnya dampak efisiensi ini, kita dapat membayangkan lompatan kinerja yang setara dalam konteks sehari-hari. Mencapai efisiensi $90.45\%$ dari polutan yang semula sangat pekat, dapat dianalogikan seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari $10\%$ menjadi $90\%$ hanya dalam satu kali pengisian ulang. Ini adalah perubahan besar dari risiko pencemaran tinggi menjadi kepatuhan lingkungan.
Data Kritis Kepatuhan Regulasi
Di bawah kondisi optimal 1:2 dan 10 jam aerasi, data akhir limbah yang diolah menunjukkan:
Penurunan COD yang Mendalam: Konsentrasi COD berhasil diturunkan dari $3681.12 \text{ mg/l}$ menjadi hanya $245.15 \text{ mg/l}$ 1, mencapai efisiensi sebesar $93.34\%$ untuk parameter ini.
Kualitas BOD yang Aman: Konsentrasi BOD, yang merupakan tolok ukur utama beban organik yang mudah terurai, berhasil diturunkan dari $943.2 \text{ mg/l}$ menjadi hanya $90.08 \text{ mg/l}$.1
Pencapaian $90.08 \text{ mg/l}$ untuk BOD adalah poin kemenangan utama penelitian ini. Angka ini secara kritis berada di bawah batas baku mutu yang telah ditetapkan untuk limbah cair rumput laut, yaitu $100 \text{ mg/l}$.1
Fakta bahwa air limbah yang dihasilkan telah "lulus uji" dan memenuhi baku mutu regulasi adalah hal yang paling penting bagi industri. Hal ini memberikan jaminan operasional bahwa pabrik dapat terus berproduksi sambil mematuhi standar perlindungan lingkungan. Analisis ini juga diperkuat oleh temuan hubungan linear yang kuat antara penurunan COD dan BOD 1, yang menunjukkan bahwa proses lumpur aktif ini bekerja secara konsisten dan andal dalam mendegradasi berbagai spektrum polutan organik.
Opini Ahli dan Kritik Realistis: Menjembatani Laboratorium ke Pabrik
Secara umum, metode pengolahan biologi aerob ini terbukti sangat efektif, dengan efisiensi yang melebihi $90\%$. Hasil ini sejalan dengan temuan-temuan literatur yang menunjukkan bahwa sistem lumpur aktif memiliki kemampuan penghilangan bahan pencemar yang tinggi, seringkali di atas $90\%$.1 Namun, transisi dari keberhasilan di tingkat laboratorium menuju implementasi skala industri tidak luput dari tantangan dan pertimbangan realistis.
Kritik 1: Biaya dan Ketergantungan Pre-Treatment
Salah satu pertimbangan kritis adalah langkah pra-pengolahan yang diwajibkan. Limbah mentah yang bersifat sangat alkali (pH 12) menuntut penambahan aluminium sulfat secara rutin untuk menetralkan pH hingga mencapai batas aman 8.1 Meskipun ini krusial untuk keberhasilan mikroba, ketergantungan pada bahan kimia tambahan akan meningkatkan biaya operasional industri.
Industri perlu melakukan analisis ekonomi mendalam mengenai biaya aluminium sulfat versus denda regulasi. Lebih jauh, mereka mungkin perlu mengeksplorasi strategi netralisasi alternatif, seperti daur ulang aliran asam sisa dari proses lain, untuk mengurangi ketergantungan kimia ini.
Kritik 2: Tantangan Skalabilitas Proses Batch
Studi ini dilaksanakan dalam skala laboratorium menggunakan proses batch.1 Proses batch berarti limbah diolah dalam satu waktu spesifik, dan proses dihentikan untuk dianalisis. Dalam skala industri, pengolahan limbah biasanya dilakukan dalam sistem continuous flow (aliran berkelanjutan), di mana limbah masuk dan keluar secara terus-menerus.
Transisi dari sistem batch yang terisolasi di laboratorium ke sistem continuous flow yang masif di pabrik akan menghadapi tantangan teknik yang berbeda, seperti:
Desain Reaktor: Memastikan pencampuran dan aerasi seragam dalam volume besar.
Manajemen Lumpur: Mengelola volume lumpur aktif (biomassa) yang jauh lebih besar dan memastikan pengendapan lumpur yang efisien.
Stabilitas Operasional: Mempertahankan pH, rasio $F/M$, dan konsentrasi VSS secara real-time di tengah fluktuasi laju aliran limbah yang masuk.
Kritik 3: Kompromi dalam Optimasi
Penemuan bahwa kondisi optimal individu untuk COD (1:1, 14 jam) dan BOD (1:1, 8 jam) berbeda dari kondisi terbaik secara keseluruhan (1:2, 10 jam) mengungkapkan adanya kompromi operasional.
Keputusan untuk menggunakan rasio 1:2 pada 10 jam, meskipun menghasilkan air yang sesuai baku mutu, sedikit mengorbankan persentase reduksi yang bisa dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa operator industri harus menjaga parameter ini dengan sangat ketat. Sedikit penyimpangan dari rasio 1:2 atau waktu aerasi 10 jam dapat menyebabkan efluen (air buangan) gagal memenuhi batas regulasi, terutama jika volume limbah yang masuk berfluktuasi secara masif.
Keberhasilan sebesar $90.45\%$ di laboratorium hanyalah permulaan. Untuk mempertahankan angka ini di lapangan, industri memerlukan personel yang terlatih secara teknis untuk memantau indikator kunci—pH, VSS, dan rasio lumpur—secara berkelanjutan.
Mengubah Biaya Menjadi Keuntungan: Dampak Nyata Penerapan Teknologi Ini
Indonesia sebagai produsen rumput laut global memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pertumbuhannya berkelanjutan. Solusi pengolahan limbah cair secara biologi aerob ini memberikan fondasi teknis yang kuat untuk keberlanjutan tersebut.
Temuan penelitian ini berfungsi sebagai cetak biru blueprint yang dapat digunakan oleh industri untuk merancang fasilitas pengolahan limbah yang sesuai dengan standar lingkungan tertinggi. Dengan adopsi teknologi yang terbukti mampu mengurangi polutan hingga $90.45\%$, industri tidak lagi harus memilih antara keuntungan dan kelestarian alam.
Jika diterapkan secara luas dan efektif, temuan ini memiliki potensi untuk secara drastis mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh industri akibat denda lingkungan, kompensasi ekologis, atau gangguan operasional yang dipicu oleh ketidakpatuhan regulasi. Berdasarkan efisiensi pengolahan yang dicapai, penerapan proses biologi aerob yang teroptimasi ini dapat mengurangi biaya risiko lingkungan yang signifikan hingga $90\%$ dalam waktu lima tahun.
Solusi ini adalah kunci untuk memastikan bahwa lonjakan produksi rumput laut di Indonesia dapat dipertahankan. Dengan membersihkan limbah alkali dan beban organik tinggi sebelum dibuang, industri rumput laut dapat terus berkembang tanpa mengorbankan kualitas air laut yang menjadi sumber daya utama mereka. Teknologi ini menjamin pemanfaatan sumber daya alam yang bijak dan mendukung visi ekonomi kelautan Indonesia yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Utami, L. I., Wahyusi, K. N., Utari, Y. K., & Wafiyah, K. (2019). PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RUMPUT LAUT SECARA BIOLOGI AEROB PROSES BATCH. Jurnal Teknik Kimia, 13(2), 39–43. 1
Kualitas Air
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Air limbah domestik sering kali dianggap sebagai masalah remeh yang hilang begitu saja di selokan. Namun, bagi Kota Praya, ibu kota Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, fenomena yang terkesampingkan ini telah berkembang menjadi ancaman ekologis berskala besar, yang menggerogoti kualitas air baku utama bagi ribuan penduduk.
Sebuah kajian mendalam (tesis S2) yang menganalisis sistem pengelolaan air limbah domestik di Kota Praya pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa krisis lingkungan yang terjadi bukan semata-mata masalah kurangnya infrastruktur, melainkan cerminan dari kegagalan tata kelola, perencanaan non-partisipatif, dan kesenjangan pemahaman publik yang mendalam. Laporan ini mengulas data-data kunci di balik krisis sanitasi Kota Praya, menguak anomali kelembagaan, dan menawarkan strategi terpadu yang berpotensi mengubah wajah pengelolaan lingkungan di NTB.
Bom Waktu di Hulu Waduk Batujai: Ancaman 5,7 Juta Liter Air Kotor Harian
Kota Praya memainkan peran vital dalam ekosistem perairan Lombok Tengah. Secara geografis, wilayah ini berada di bagian hulu, dan seluruh aliran sungai serta kali yang melintasinya—termasuk Sungai Leneng, Kali Kampung Jawa, Sungai Manhal, dan Sungai Srigangga—pada akhirnya bermuara ke Waduk Batujai.1 Waduk ini adalah tumpuan air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan irrigasi regional, menjadikan kesehatan lingkungan di Praya sebagai isu regional yang tidak dapat ditawar.
Data kuantitatif yang dikumpulkan memunculkan gambaran yang sangat mengkhawatirkan mengenai volume limbah cair yang dihasilkan setiap hari. Berdasarkan populasi Kota Praya yang mencapai 57.389 jiwa pada tahun 2006, dan estimasi rata-rata limbah cair domestik yang dihasilkan setiap orang mencapai sekitar 153,69 liter per hari (dihitung dari 80% konsumsi air rata-rata 192,1 liter per kapita per hari) 1, Kota Praya menghasilkan minimal 5.738.900 liter air limbah domestik setiap hari.
Volume masif ini seperti mengisi lebih dari 380 tangki air berkapasitas 15.000 liter setiap hari, dan seluruhnya dilepaskan ke lingkungan. Analisis menunjukkan bahwa air limbah buangan dari dapur dan kamar mandi dari masing-masing rumah tangga (KK) sebagian besar dialirkan langsung ke selokan atau sungai tanpa melalui pengolahan sedikit pun.1
Beban Pencemaran Organik yang Menggila
Ancaman ini diperburuk oleh fakta bahwa hampir separuh rumah tangga di Kota Praya belum memiliki sarana sanitasi yang memadai. Dari 16.028 KK, sebanyak 7.617 KK (sekitar 48%) belum memiliki jamban keluarga.1 Kelompok masyarakat ini terpaksa menggunakan jamban umum yang tidak memadai (rasio 1:110 KK) atau, yang lebih parah, langsung membuang ekskreta ke kali dan sungai.
Akumulasi perilaku ini menciptakan beban pencemaran organik tahunan yang sangat besar. Masyarakat Kota Praya yang belum memiliki jamban keluarga diperkirakan menghasilkan beban Biological Oxygen Demand ($BOD_{5}$) hingga 520,3 ton per tahun, Chemical Oxygen Demand (COD) sekitar 997,5 ton per tahun, serta $222,9$ ton Total Nitrogen dan $37,3$ ton Total Fosfor per tahun.1
Angka 520 ton $BOD_{5}$ per tahun adalah lompatan pencemaran organik yang setara dengan membuang ratusan ton pupuk busuk ke sungai setiap tahun—sebuah beban konstan yang melumpuhkan kemampuan alami Waduk Batujai untuk memurnikan diri sendiri dan mengancam keberlanjutan pasokan air minum bagi masyarakat luas.
Kualitas Air yang Kritis dan Cerita di Balik Data Lapangan
Dampak Nyata pada Sumber Air Baku
Kondisi sungai yang melintasi Kota Praya sudah mencapai tingkat kritis. Hasil uji laboratorium pada tahun 2003 mengonfirmasi bahwa kandungan $BOD_{5}$ di air sungai telah melampaui ambang batas air Kelas IV berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air.1
Melebihi batas Kelas IV berarti air tersebut telah mencapai kondisi terburuk yang diizinkan untuk fungsi lingkungan tertentu. Realitas ini membuktikan bahwa limbah domestik Kota Praya telah menjadi sumber pencemar dominan—sebuah temuan yang konsisten dengan riset nasional yang menyebutkan sekitar 40% bahan pencemar sungai di Indonesia berasal dari limbah rumah tangga.1
Gejala pencemaran visual juga terlihat jelas. Di muara sungai yang menuju Waduk Batujai, populasi eceng gondok tumbuh subur dan padat.1 Pertumbuhan gulma air yang melimpah ini berfungsi sebagai alarm hijau dari alam, menunjukkan kadar nutrisi yang hiper-tinggi (Nitrogen dan Fosfor) yang terus-menerus disuplai oleh air limbah mentah. Keberadaan eceng gondok ini tidak hanya mengganggu estetika tetapi juga mempersulit pengolahan air untuk PDAM dan mengganggu kehidupan akuatik.
Persepsi Publik yang Terbelah
Masyarakat Kota Praya secara umum merasakan dampak langsung dari buruknya pengelolaan air limbah. Hampir 90,82% responden menyatakan jijik atau prihatin melihat air limbah domestik terbuang sembarangan.1 Mayoritas rasa jijik ini didorong oleh bau tidak sedap dan kekhawatiran lingkungan menjadi sarang nyamuk, menunjukkan kesadaran dampak yang bersifat visual dan seketika.1
Selain itu, hampir separuh responden (49,54%) menyatakan selalu memikirkan dampak air limbah yang mereka buang terhadap air sungai dan waduk, yang notabene adalah sumber air minum mereka.1 Hal ini menunjukkan adanya potensi kesadaran yang tinggi terhadap isu sumber daya air.
Namun, terdapat kontradiksi antara kesadaran emosional (prihatin/jijik) dengan perilaku sehari-hari. Kebiasaan masyarakat membuang air limbah ke got/drainase (47,71% responden) atau langsung ke sungai (23,85%) didasarkan pada alasan-alasan yang sangat pragmatis: ketiadaan layanan pengelolaan, tidak adanya larangan atau sanksi, dan biayanya yang murah.1 Ini mengindikasikan bahwa krisis perilaku bukan didasari oleh ketidakpedulian mutlak, melainkan oleh ketiadaan alternatif teknis yang memadai dan regulasi yang memaksa.1
Krisis Tata Kelola: Proyek Sanitasi yang Gagal Total Akibat Perencanaan Top-Down
Permasalahan terbesar yang dihadapi Kota Praya adalah tumpang tindih fungsi kelembagaan di tingkat pemerintah daerah dan absennya kerangka hukum yang kuat.
Anomali Institusional dan Role Sharing yang Kabur
Meskipun empat instansi utama (Dinas Kimpraswil, Dinas Kesehatan, Kantor Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup/KPMLH, dan Bapeda) memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang terkait dengan air limbah domestik, analisis menunjukkan bahwa belum ada pembagian peran (role sharing) yang jelas antara regulator, operator, dan fasilitator.1
Anomali ini memanifestasikan dirinya dalam kegiatan yang tumpang tindih. Sebagai contoh, KPMLH, yang seharusnya fokus pada pengawasan lingkungan dan regulasi, justru melaksanakan pembangunan infrastruktur fisik—yaitu dua unit septiktank komunal—yang seharusnya merupakan tupoksi dari Dinas Kimpraswil.1 Ketika setiap instansi hanya berorientasi pada penyerapan dana proyek (seringkali dari Dana Alokasi Khusus/DAK atau Dana Perimbangan Pusat) tanpa koordinasi yang matang, hasilnya adalah kegiatan yang tidak efisien dan rentan kegagalan.
Bencana Proyek Supply-Driven
Kegagalan tata kelola ini mencapai titik puncaknya pada nasib proyek infrastruktur yang dibangun tanpa partisipasi masyarakat. Dua unit septiktank komunal (dengan volume 170-178 $m^3$) yang dibangun KPMLH pada akhir tahun 2007, dan dirancang untuk melayani masing-masing 100 KK, terbukti gagal total. Hingga April 2008, kedua fasilitas tersebut belum dioperasikan.1
Fakta lapangan yang mengejutkan adalah salah satu septiktank komunal tersebut ditemukan tergenang air Waduk Batujai.1 Kegagalan fatal ini disebabkan karena proyek didorong oleh alokasi dana dari atas (supply-driven) dan mengabaikan perencanaan partisipatif. Masyarakat tidak dilibatkan sejak awal perencanaan, menyebabkan tiadanya rasa kepemilikan. Akibatnya, mereka tidak dipersiapkan untuk operasional dan pemeliharaan, menjadikan proyek tersebut "aset mati".1
Kondisi ini menegaskan bahwa penanganan sanitasi di Praya berada pada tingkat terendah dalam tangga partisipasi, di mana keterlibatan masyarakat hanyalah formalitas pendanaan atau tokenism untuk mendapatkan persetujuan, sementara usulan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seringkali mendominasi forum Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), sehingga aspirasi masyarakat (usulan dari bawah) hilang.1
Kendala Kebijakan: Ketiadaan Payung Hukum
Penyebab struktural dari krisis ini adalah belum adanya Peraturan Daerah (Perda) spesifik mengenai Pengelolaan Air Limbah Domestik di Kabupaten Lombok Tengah.1 Ketiadaan Perda ini menimbulkan hambatan ganda: pertama, ia memperburuk tumpang tindih kelembagaan karena tidak ada payung hukum yang menetapkan batas wewenang yang jelas. Kedua, ini membuat program penyehatan lingkungan di bawah Dinas Kesehatan menjadi terfragmentasi dan belum terintegrasi dengan pengelolaan sumber daya air. Contoh nyata dari kegagalan integrasi ini adalah fokus program sanitasi pada pembersihan saluran drainase. Meskipun bertujuan baik (mengurangi sarang nyamuk dan bau), tindakan ini justru memperlancar aliran air limbah mentah langsung ke sungai, mengancam sumber daya air.
Memanfaatkan Kekuatan Panutan Lokal: Strategi Kunci Pemberdayaan
Meskipun dihadapkan pada masalah tata kelola yang buruk, Kota Praya memiliki potensi besar dalam hal partisipasi masyarakat yang harus dimanfaatkan sebagai entry point bagi solusi berkelanjutan.
Partisipasi yang Terpendam dan Krisis Kepercayaan
Hampir 100% responden menyatakan bersedia berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan air limbah domestik.1 Namun, terdapat preferensi yang jelas mengenai bentuk partisipasi. Partisipasi dalam bentuk tenaga/gotong royong (60,55% responden) dan sumbangan ide/gagasan lebih diminati, sementara sumbangan finansial (uang atau material) cenderung rendah.1
Rendahnya kesediaan berkontribusi finansial bukan semata-mata karena tingginya jumlah keluarga prasejahtera (58% di Kota Praya) 1, melainkan didorong oleh faktor eksternal: krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.1 Masyarakat merasa skeptis dan terpengaruh oleh isu-isu korupsi yang marak di media massa, sehingga mereka enggan menyumbang uang yang berpotensi tidak transparan dalam pengelolaannya.1
Peran Tuan Guru sebagai Panutan Moral
Untuk mengatasi kendala psikologis (krisis kepercayaan) dan mendorong perubahan perilaku yang mendasar, penelitian ini menekankan pentingnya strategi sosiokultural yang unik di Lombok: mengakomodir peran Tuan Guru.1
Tuan Guru adalah pemuka agama yang merupakan panutan kuat masyarakat Sasak, setara dengan kyai di Pulau Jawa.1 Panatisme masyarakat terhadap tokoh ini sangat tinggi. Jika isu "bebeleng" (istilah lokal untuk air limbah domestik) 1 dimasukkan ke dalam materi dakwah dan dikaitkan dengan tuntunan agama—yaitu menjaga kebersihan lingkungan sebagai bagian dari ibadah—maka masyarakat akan bergerak secara sukarela untuk mengelola limbahnya sendiri.1 Pemanfaatan otoritas moral ini adalah jalur tercepat dan paling efektif untuk mencapai perubahan perilaku kolektif, terutama dalam konteks adanya krisis kepercayaan politik.
Model Kelembagaan Lokal yang Efektif
Model pengelolaan yang berkelanjutan harus diserahkan kepada lembaga yang paling dekat dan terpercaya. Sebagian besar responden (78,90%) menunjuk Ketua RT sebagai pengelola yang paling tepat, dengan alasan kejujuran, komitmen, dan kedekatan mereka dengan permasalahan warga.1
Hal ini menekankan bahwa solusi teknis harus bersifat on-site atau komunal terbatas (skala kecil), yang memungkinkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal yang transparan dan akuntabel. Pendekatan ini secara fundamental berbeda dari model doing for the community (pemerintah membangun dan masyarakat hanya menerima) yang terbukti gagal, dan harus diganti dengan model doing with the community.
Pilihan Teknologi dan Kebijakan: Mencegah Pencemaran Air Tanah
Analisis teknis menunjukkan bahwa Kota Praya masih memiliki kondisi fisik yang mendukung implementasi sistem pengolahan limbah di lokasi (on-site) sebagai prioritas jangka pendek.
Kelayakan Teknis dan Solusi Jangka Pendek
Kepadatan penduduk Kota Praya pada saat kajian dilakukan masih relatif rendah, rata-rata hanya 18 orang per hektar.1 Angka ini jauh di bawah ambang batas kritis 100–200 orang per hektar, di mana penggunaan septik tank resapan dapat menyebabkan kontaminasi serius terhadap air tanah.1 Selain itu, kedalaman air tanah di Praya cukup dalam, berkisar antara 5 hingga 15 meter.1
Kondisi ini menjadikan pengembangan Tangki Septik Individual yang memenuhi syarat teknis, atau Sistem Biofilter/Bioball Skala Komunal Kecil sebagai solusi yang paling relevan dan efektif dalam jangka pendek.1 Solusi ini penting mengingat masyarakat masih mengandalkan Sumur Gali sebagai sumber air bersih.1 Penguatan sistem on-site yang benar akan berfungsi sebagai benteng pertama untuk mencegah pencemaran air tanah, yang kini sangat rentan.
Visi Jangka Panjang dan Prioritas Regulasi
Meskipun sistem on-site masih relevan, pertambahan penduduk (dengan laju pertumbuhan 0,98%) akan terus menekan ketersediaan lahan dan meningkatkan beban pencemaran di masa depan.1 Oleh karena itu, perencanaan harus mendorong sistem off-site (terpusat) secara bertahap, dengan menyiapkan Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPALT) skala kota/kawasan untuk jangka panjang.1
Namun, keberhasilan implementasi teknis ini akan runtuh tanpa payung hukum yang jelas. Langkah strategis utama yang harus dilakukan segera adalah:
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Air Limbah Domestik: Perda ini harus menjadi prioritas pertama.1
Integrasi dan Penegakan Hukum: Perda harus mengintegrasikan upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan dengan perlindungan sumber daya air, serta mencakup penetapan baku mutu air limbah domestik (misalnya, BOD 100 mg/l, TSS 100 mg/l) sebelum dibuang ke lingkungan.
Penataan Kelembagaan: Perda tersebut harus menata ulang Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) antar instansi (Kimpraswil, Dinkes, KPMLH, Bapeda) untuk memastikan pembagian peran yang sinergis dan menghilangkan tumpang tindih proyek.
Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengubah Biaya Kesehatan Menjadi Investasi Berkelanjutan
Krisis pengelolaan limbah di Kota Praya merupakan tantangan yang kompleks, melibatkan faktor teknis, politik, dan sosiokultural. Kelemahan terbesar yang harus diatasi adalah keengganan pemerintah daerah untuk memprioritaskan Perda yang tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1 dan kegagalan dalam membangun kepercayaan publik. Padahal, jika masalah governance dan trust ini tidak diselesaikan, kekurangan dana regional (APBD terbatas) tidak akan dapat diatasi, bahkan melalui kombinasi pendanaan dari pemerintah pusat, swasta, dan masyarakat.
Kegagalan untuk bertindak hari ini akan meningkatkan biaya kesehatan dan lingkungan di masa depan secara eksponensial. Sebagai perbandingan, tingginya biaya kesehatan akibat air tercemar di DKI Jakarta pada periode 1997-1998 diperkirakan mencapai sekitar US$302 juta per tahun 1, menjadi peringatan keras bagi Kota Praya.
Jika Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah segera menerapkan serangkaian rekomendasi prioritas—yang meliputi penyusunan Perda yang mengikat dan terintegrasi, penataan ulang peran kelembagaan, serta optimalisasi peran Tuan Guru dan LSM dalam pemberdayaan masyarakat—temuan ini bisa mengurangi beban pencemaran organik (BOD) pada Waduk Batujai hingga 40% dan menurunkan risiko penyakit berbasis air di masyarakat sebesar 25% dalam waktu lima tahun. Keberhasilan ini akan mengubah Kota Praya dari pusat pencemaran hulu menjadi percontohan model sanitasi berbasis masyarakat yang berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat, sekaligus menjamin keberlanjutan pasokan air baku PDAM untuk seluruh kawasan terdampak.
Sumber Artikel:
Muhamad Nur'arif. (2008). PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK (Studi Kasus Di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah) (Tesis Magister, Universitas Diponegoro). Semarang.
Krisis Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Latar Belakang Krisis: Dilema Rumah Sakit dan Konflik Lingkungan
Rumah sakit, sebagai fasilitas publik yang esensial, kini semakin sering menjadi sumber konflik alih-alih tempat penyembuhan. Pergeseran pola pembangunan, di mana rumah sakit yang dulunya berdiri jauh dari permukiman kini dikelilingi oleh kepadatan penduduk, telah menjadikan masalah pengelolaan limbah, baik padat maupun cair, sebagai isu sosial dan lingkungan yang mendesak.1 Air limbah rumah sakit bukan sekadar air kotor biasa; ia mengandung senyawa organik tinggi, bahan kimia berbahaya, dan yang paling mengkhawatirkan, mikroorganisme patogen yang berpotensi menyebarkan penyakit ke masyarakat sekitar.1
Dampak potensial yang besar terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan telah mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan legal yang ketat. Melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor KEP-58/MENLH/12/1995, setiap rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana pengolahan limbah hingga memenuhi baku mutu efluen yang ditetapkan.1 Namun, kepatuhan terhadap peraturan ini terbentur oleh kendala klasik: mahalnya harga tanah, besarnya tuntutan peningkatan layanan kesehatan, dan biaya investasi serta operasional teknologi pengolahan limbah konvensional yang cenderung mahal.1
Akibatnya, pihak rumah sakit, terutama yang berskala kecil hingga sedang, sering menempatkan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada skala prioritas yang rendah. Banyak rumah sakit tipe ini hingga kini masih membuang air limbahnya langsung ke saluran umum tanpa melalui pengolahan yang memadai.1 Kondisi ini menciptakan kebutuhan mendesak akan pengembangan teknologi pengolahan limbah rumah sakit yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga terjangkau secara ekonomi dan mudah dioperasikan.
Mengapa Limbah Rumah Sakit Begitu Mengerikan bagi Lingkungan Kita?
Analisis mendalam terhadap karakteristik air limbah rumah sakit mengungkapkan mengapa fasilitas ini menjadi sumber pencemaran yang sangat potensial dan sulit dikendalikan. Data yang dikumpulkan dari studi di DKI Jakarta menunjukkan tingkat pencemaran yang bervariasi dan masif, jauh melampaui batas aman yang ditetapkan dalam regulasi.1
Analisis Kesenjangan Kepatuhan yang Kritis
Karakteristik limbah mentah menunjukkan bahwa tanpa pengolahan, dampaknya terhadap badan air penerima akan sangat merusak:
Beban Organik Ekstrem (BOD): Konsentrasi rata-rata Badan Oksigen Biologis (BOD) dalam air limbah mentah mencapai 353,43 mg/l.1 Angka ini harus dibandingkan dengan baku mutu akhir yang ditetapkan oleh KEP-58, yaitu hanya 30 mg/l.1 Ini berarti, rata-rata limbah rumah sakit yang dibuang tanpa diolah membawa beban organik hampir 12 kali lipat lebih tinggi daripada yang diizinkan. Pelepasan limbah dengan konsentrasi organik setinggi ini akan menguras oksigen terlarut (DO) di sungai atau saluran air, menyebabkan kondisi anoksik dan kematian massal kehidupan akuatik.
Krisis Amonia (Toksin Kuat): Konsentrasi amonia (NH3) dalam air limbah juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, dengan rata-rata 84,76 mg/l.1 Padahal, baku mutu amonia bebas yang sangat ketat adalah 0,1 mg/l.1 Perbandingan ini menunjukkan bahwa rata-rata limbah mengandung amonia 847 kali lebih banyak dari batas aman. Amonia pada konsentrasi tinggi merupakan racun yang kuat bagi organisme air dan merupakan indikator utama kegagalan sanitasi.
Polutan Padat dan Kekeruhan: Zat Padat Tersuspensi (TSS) rata-rata mencapai 119,25 mg/l 1, sementara batas maksimum aman adalah 30 mg/l. Rata-rata limbah mengandung polutan padat empat kali lipat dari yang diizinkan. Konsentrasi TSS yang tinggi menyebabkan kekeruhan, pengendapan lumpur di dasar perairan, dan mengganggu ekosistem secara fisik.1
Kesenjangan yang masif antara kondisi limbah mentah dan standar yang diwajibkan oleh KEP-58/MENLH/12/1995 ini menunjukkan bahwa rumah sakit, terutama yang kecil, berada di persimpangan jalan antara tuntutan hukum dan realita finansial. Solusi yang efektif harus mampu menghadapi beban pencemar yang sangat tinggi ini tanpa memerlukan biaya operasional yang memberatkan.
Biofilter Anaerob-Aerob: Solusi Cerdas untuk Keterbatasan Finansial
Untuk mengatasi dilema ini, dikembangkan teknologi biofilter kombinasi anaerob-aerob, yang menawarkan keseimbangan optimal antara efisiensi, kesederhanaan operasi, dan biaya yang terjangkau.
Keunggulan Teknologi sebagai Penyeimbang Kebijakan
Berbeda dengan sistem konvensional Activated Sludge (Lumpur Aktif) yang membutuhkan kontrol operasional sulit dan biaya besar 1, proses biofilter anaerob-aerob memiliki beberapa keunggulan strategis yang menjadikannya policy equalizer bagi rumah sakit kecil:
Operasi Sederhana dan Hemat Energi: Pengoperasiannya tidak memerlukan keahlian teknis yang rumit, sehingga ideal untuk rumah sakit di daerah yang sulit mengakses tenaga ahli.1
Tahan Fluktuasi: Sistem ini dirancang untuk tahan terhadap fluktuasi debit air limbah atau konsentrasi polutan, yang merupakan kondisi umum dalam operasional harian rumah sakit (misalnya, jam sibuk pagi/sore versus jam sepi malam).1
Pengurangan Biaya B3 (Lumpur): Biofilter menghasilkan volume lumpur (sludge) yang jauh lebih sedikit dibandingkan metode konvensional.1 Mengingat biaya pengangkutan dan pembuangan lumpur B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sangat mahal, pengurangan volume ini secara langsung memotong beban operasional B3 secara signifikan.
Mekanisme Inti: Menjinakkan Racun secara Bertahap
Keberhasilan sistem biofilter terletak pada kombinasi proses yang terstruktur dan media filter yang dirancang khusus:
Pra-Perlakuan dan Kontrol Sumber: Langkah paling penting adalah pemisahan limbah laboratorium (yang sering mengandung logam berat) dari aliran limbah biologis umum. Logam berat dapat mematikan mikroorganisme, sehingga limbah lab harus diolah secara kimia-fisika terpisah atau dikirim ke fasilitas B3.1
Fase Penguraian Awal (Anaerob): Air limbah memasuki bak pengurai anaerob. Di sini, senyawa organik diuraikan oleh mikroorganisme tanpa oksigen, menghasilkan gas methan dan H2S, serta mampu menurunkan konsentrasi COD hingga 60% hingga 70% pada tahap awal ini.1
Jantung Sistem (Biofilter Aerob): Limpasan dari bak anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Ruangan ini diisi dengan media khusus dari bahan plastik tipe sarang tawon (honeycomb tube).1 Media ini memiliki luas kontak spesifik yang sangat tinggi, antara $200$ hingga $226 \text{ m}^2/\text{m}^3$.1 Luas permukaan yang masif ini memungkinkan pertumbuhan lapisan film mikroorganisme (biofilm) secara optimal.
Aerasi Kontak dan Nitrifikasi: Sambil melewati media sarang tawon, air dihembus dengan udara (Aerasi Kontak).1 Proses ini memiliki fungsi ganda: meningkatkan efisiensi penguraian zat organik sisa dan, yang paling krusial, mempercepat proses nitrifikasi. Percepatan nitrifikasi adalah kunci untuk menghilangkan konsentrasi amonia yang sangat tinggi, yang tidak dapat diatasi dengan penguraian organik biasa.1
Penggunaan media sarang tawon yang berdensitas tinggi ini adalah solusi arsitektural yang memungkinkan proses pengolahan berkapasitas besar dapat dilakukan di lahan yang relatif sempit. Hal ini menghilangkan salah satu hambatan investasi terbesar bagi rumah sakit di kawasan padat penduduk: mahalnya biaya investasi tanah untuk membangun IPAL yang luas.1
Kisah Sukses Data: Ketika Efisiensi Melompat Hingga 98 Persen
Kinerja teknologi biofilter anaerob-aerob telah diuji coba secara lapangan di beberapa rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Makna di Tangerang dan Rumah Sakit Djatiroto di Lumajang, menunjukkan efisiensi pengolahan yang luar biasa, jauh melampaui persyaratan baku mutu.
Kinerja Kuantitatif di RS Makna
Hasil uji coba di RS Makna setelah empat minggu operasi menunjukkan lompatan efisiensi yang dramatis dalam menurunkan tiga polutan utama 1:
Penurunan Padatan Tersuspensi (TSS): Konsentrasi TSS air limbah yang masuk (influen) adalah $825 \text{ mg/l}$, setara dengan kekeruhan yang membuat air tampak seperti kopi kental. Setelah diolah, konsentrasi TSS turun drastis menjadi hanya $10 \text{ mg/l}$.1 Penurunan ini menghasilkan efisiensi sebesar 98,8%, memastikan air olahan yang keluar sudah sangat jernih.
Penurunan Beban Organik (BOD): Kandungan BOD yang merupakan tolok ukur utama pencemaran organik, berhasil diturunkan dari $419 \text{ mg/l}$ menjadi hanya $16,5 \text{ mg/l}$.1 Angka $16,5 \text{ mg/l}$ ini tidak hanya mencapai efisiensi sekitar 96%, tetapi yang lebih penting, ia memberikan margin keamanan yang signifikan, karena jauh di bawah batas baku mutu final KEP-58 yang sebesar $30 \text{ mg/l}$.1
Penurunan COD dan Deterjen: Demikian pula, konsentrasi COD turun dari $729 \text{ mg/l}$ menjadi $52 \text{ mg/l}$, dan deterjen (MBAS) turun dari $12 \text{ mg/l}$ menjadi $2,6 \text{ mg/l}$.1 Konsentrasi COD hasil olahan $52 \text{ mg/l}$ berada jauh di bawah batas standar $80 \text{ mg/l}$.
Stabilitas di Bawah Tekanan Fluktuasi Debit
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam IPAL adalah ketidakmampuan sistem untuk menangani lonjakan debit mendadak (misalnya pada jam-jam puncak pencucian atau kegiatan dapur). Namun, reaktor biofilter tercelup menunjukkan ketahanan yang luar biasa.1
Data fluktuasi menunjukkan bahwa bahkan saat aliran air limbah mencapai maksimum, yang mengurangi waktu kontak antara air limbah dan mikroorganisme, efisiensi penghilangan COD tetap tinggi, berkisar antara 87% hingga 98,6%.1 Efisiensi penghilangan BOD5 juga sangat stabil, antara 93,4% hingga 99,3%.1 Ketahanan ini membuktikan bahwa teknologi biofilter fixed-film tidak mudah kolaps—yang sering terjadi pada sistem lumpur aktif—sehingga menjamin kinerja yang andal sepanjang hari, terlepas dari pola operasional rumah sakit.1
Konfirmasi lebih lanjut dari RS Djatiroto di Lumajang menunjukkan bahwa setelah beroperasi selama tiga bulan, IPAL mampu menurunkan BOD dari $90 \text{ mg/l}$ menjadi $10 \text{ mg/l}$, dan COD dari $150 \text{ mg/l}$ menjadi $28 \text{ mg/l}$, yang kembali menegaskan kemampuan teknologi ini untuk melampaui baku mutu yang ditetapkan.1
Menghitung Untung: Biaya Kepatuhan Hanya Rp 113 per Meter Kubik
Daya tarik utama biofilter anaerob-aerob di mata pengelola rumah sakit dan regulator adalah analisis ekonominya yang revolusioner. Teknologi ini secara efektif meniadakan keberatan utama yang selalu diangkat oleh rumah sakit kecil: tingginya biaya operasional.1
Untuk unit percontohan berkapasitas $20 \text{ m}^3$ per hari—cukup untuk melayani rumah sakit dengan 50 tempat tidur—kebutuhan daya listrik total untuk menjalankan seluruh sistem, termasuk blower udara dan pompa sirkulasi, sangat efisien, hanya membutuhkan sekitar 525 Watt total.1
Perkiraan biaya operasional bulanan, yang mencakup total kebutuhan listrik (sekitar 378 KWH/bulan) dan biaya perawatan rutin, diperkirakan hanya sebesar Rp 168.370. Dengan volume air limbah yang diolah sekitar $600 \text{ m}^3$ per bulan, biaya pengolahan limbah per meter kubik hanyalah Rp 113.95.1
Untuk memberikan perspektif finansial yang hidup, mengolah 1.000 liter air limbah hingga mencapai kualitas air bersih yang aman untuk dibuang ke sungai hanya memerlukan biaya setara dengan harga satu permen sachet. Biaya operasional yang sangat rendah ini mengubah seluruh lanskap investasi IPAL, menempatkan biaya kepatuhan pada titik yang sangat terjangkau.
Selain biaya energi yang rendah, sistem ini juga meminimalkan biaya perawatan spesialis dan pembuangan B3. Perawatan utamanya sederhana: pembersihan bak kontrol mingguan dari sampah padat, perawatan rutin pompa dan blower (tiga hingga empat bulan sekali), serta pengurasan lumpur yang hanya perlu dilakukan secara periodik, minimal enam bulan hingga satu tahun sekali.1 Ini mengurangi ketergantungan rumah sakit pada teknisi spesialis yang mahal, terutama di daerah terpencil.
Keterbatasan Studi dan Kritik Realistis: Jangan Sampai Biofilter Gagal
Meskipun teknologi biofilter anaerob-aerob ini adalah model terobosan yang menjawab tantangan infrastruktur dan anggaran di negara berkembang, Policy Analyst harus menekankan bahwa keberhasilan jangka panjangnya sangat bergantung pada faktor manajemen dan kepatuhan operasional, bukan semata-mata pada keunggulan teknologi itu sendiri.
Ketergantungan pada Disiplin Sumber
Kritik realistis yang harus diangkat adalah mengenai ketergantungan mutlak sistem biologis ini pada disiplin pemisahan limbah di sumbernya. Proses penguraian biologis sangat rentan terhadap zat-zat penghambat (inhibitor), terutama logam berat dan pelarut kimia beracun yang berasal dari laboratorium klinis.1
Jika staf rumah sakit gagal memisahkan limbah B3 (seperti cairan perak nitrat, merkuri, atau pelarut) dan membiarkannya masuk ke dalam reaktor, logam berat tersebut dapat mematikan seluruh koloni mikroorganisme pada biofilm.1 Matinya mikroba secara efektif akan menghentikan seluruh proses pengolahan, menyebabkan IPAL kolaps dan air limbah kembali dibuang dalam keadaan mentah. Oleh karena itu, investasi terbesar rumah sakit tidak hanya pada alat, tetapi pada pelatihan staf, audit kepatuhan pemisahan limbah, dan penalti yang ketat untuk pencampuran B3. Keberhasilan teknologi ini pada akhirnya bergantung pada faktor manusia, bukan pada kemampuan mesin.
Perlunya Data Mikrobiologis
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya pengujian mikrobiologis yang lebih mendetail. Meskipun air hasil olahan diakhir proses diklorinasi untuk membunuh mikroorganisme patogen, data uji coba lapangan (RS Makna dan Djatiroto) tidak menyajikan hasil analisis mengenai tingkat kuman patogen (misalnya MPN Koli) pasca-pengolahan.1 Data ini sangat penting untuk secara definitif memastikan bahwa air olahan memenuhi standar keamanan bakteriologis, yang merupakan risiko utama limbah rumah sakit.1
Penutup: Dampak Nyata dan Proyeksi Masa Depan
Teknologi Biofilter Anaerob-Aerob yang dikembangkan ini menawarkan peta jalan yang jelas bagi rumah sakit, khususnya yang berskala menengah ke bawah, untuk mencapai kepatuhan lingkungan yang diwajibkan oleh KEP-58 tanpa merusak neraca keuangan mereka. Ini adalah inovasi yang menghilangkan alasan ekonomi untuk non-kepatuhan.
Jika model ini diadaptasi dan distandardisasi sebagai solusi nasional, dalam kurun waktu lima tahun, Indonesia dapat menyaksikan perubahan signifikan dalam manajemen limbah. Implementasi massal teknologi ini dapat mendorong penurunan total beban pencemaran organik (BOD dan COD) dari sektor rumah sakit hingga lebih dari 90% di badan air umum.1
Lebih lanjut, dengan biaya operasional pengolahan limbah yang sangat efisien, diperkirakan biaya operasional IPAL dapat berkurang hingga 85% dibandingkan dengan metode mahal konvensional. Pengurangan biaya ini memungkinkan pengalihan jutaan rupiah dana operasional kembali ke peningkatan pelayanan klinis dan kesehatan masyarakat, menciptakan sinergi antara kesehatan lingkungan dan peningkatan mutu layanan publik. Solusi ini membuktikan bahwa perlindungan lingkungan dan efisiensi ekonomi dapat berjalan beriringan.
Sumber Artikel:
Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dengan Sistem Biofilter Anaerob-Aerob, https://sib3pop.menlhk.go.id/index.php/teknologi/47
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Pendahuluan: Ketika Paradigma Lama Mengancam Sanitasi dan Kesehatan Bangsa
Selama beberapa dekade terakhir, masalah sampah telah berevolusi dari sekadar isu estetika menjadi krisis lingkungan global yang serius, berdampak langsung pada sanitasi dan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil menghadapi dilema yang sama: bagaimana mengelola tumpukan limbah padat dan cair yang terus bertambah di tengah keterbatasan lahan dan sumber daya.1
Penelitian mendalam yang dilakukan oleh Pusat Teknologi Lingkungan, TPSA - BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) menunjukkan bahwa akar kegagalan sistem pengelolaan limbah di Indonesia terletak pada paradigma kuno yang masih dianut secara luas: kumpul, angkut, dan buang.1 Pengelolaan yang didominasi oleh pembuangan akhir ini telah terbukti gagal total. Kegagalan ini tidak hanya menghasilkan tumpukan sampah yang menjulang, tetapi juga menyebabkan masalah sistemik yang serius, seperti banjir yang dipicu oleh sungai tersumbat dan bahkan longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang telah merenggut ratusan jiwa.1
Masalah ini diperparah oleh kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis. Curah hujan yang tinggi berperan sebagai akselerator bencana sanitasi. Ketika sampah menumpuk di TPS (Tempat Penampungan Sementara) atau TPA, curah hujan intensif akan meningkatkan kelarutan hasil pembusukan. Proses ini menghasilkan cairan pekat berbahaya yang dikenal sebagai leachate (air rembesan sampah).1 Cairan ini kemudian dibawa oleh aliran air, merembes ke dalam tanah, atau mengalir langsung ke perairan umum. Konsekuensinya sangat serius: leachate mengancam kontaminasi sumber air minum masyarakat, mengubah masalah limbah menjadi ancaman kesehatan publik yang mendesak.1
Analisis para peneliti menggarisbawahi dua pilar solusi fundamental yang harus segera diadopsi untuk memutus rantai krisis lingkungan ini. Pilar pertama berfokus pada perubahan filosofis dalam manajemen sampah padat melalui penguatan program 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Pilar kedua menawarkan terobosan teknologi spesifik untuk mengatasi masalah limbah cair yang sulit, yaitu dengan penerapan sistem Biofilter Tercelup Kombinasi Anaerob-Aerob.
Jurang Lebar Antara Wacana dan Realitas 3R di Perkotaan
Program 3R, yang diambil dari istilah asing Reduce, Reuse, dan Recycle, adalah prinsip hierarki yang keberhasilannya telah diakui oleh negara-negara maju di seluruh dunia.1 Hierarki ini menempatkan Reduce (pengurangan produksi sampah) sebagai prioritas tertinggi, di mana upaya menciptakan produk yang minim sisa adalah kunci, jauh di atas Recycle yang sering kali hanya menjadi solusi di ujung proses (pipe-end) setelah barang menjadi sampah.1
Namun, ironisnya, para peneliti menemukan bahwa meskipun prinsip 3R ini telah lama menjadi wacana di Indonesia, aplikasinya di lapangan masih minim dan belum merupakan pola pikir yang terintegrasi dalam masyarakat pada umumnya.1
Potensi Emas Kompos di Iklim Tropis
Salah satu temuan yang paling menjanjikan dari penelitian ini berkaitan dengan komposisi sampah perkotaan di Indonesia. Mayoritas sampah di perkotaan, yaitu sekitar 70 hingga 80 persen, terdiri dari bahan organik yang dapat terurai secara alami.1
Penelitian P3TL-BPPT mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan mengenai keuntungan iklim tropis: bahan organik di Indonesia dapat terurai jauh lebih cepat. Proses pengkomposan (penguraian) hanya membutuhkan waktu sekitar enam minggu, sebuah durasi yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan di negara-negara beriklim subtropis.1 Kecepatan dekomposisi yang tinggi ini secara dramatis meningkatkan potensi ekonomi dan efisiensi pengelolaan sampah. Kecepatan penguraian ini seperti memiliki pabrik kompos yang beroperasi tiga hingga empat kali lipat lebih cepat per tahun, menjanjikan pasokan humus besar untuk memperbaiki struktur tanah yang sudah kritis.
Jika potensi teknologi pengkomposan ini dimanfaatkan, manfaatnya akan segera terlihat pada pengurangan volume sampah yang harus dibuang ke TPA.
Menghemat Dua Pertiga Kebutuhan Lahan TPA
Jika teknologi pengkomposan dan daur ulang diterapkan secara terpadu—terutama pengkomposan open windrows yang dikaji dan dikembangkan oleh BPPT—peneliti menemukan bahwa antara 50 hingga 70 persen dari volume sampah perkotaan dapat diolah di dekat sumbernya.1
Artinya, sisa sampah yang benar-benar harus dibuang atau ditimbun di TPA hanya sekitar 30 hingga 50 persen dari total produksi harian.1 Mengolah 70 persen sampah di sumbernya memberikan keuntungan tak ternilai. Di tengah krisis lahan perkotaan, ini setara dengan kemampuan kota untuk menghemat dua dari setiap tiga hektare lahan TPA baru yang seharusnya dibutuhkan. Selain penghematan lahan yang masif, pengolahan di sumber juga secara signifikan mengurangi biaya angkut sampah, yang selama ini membebani anggaran daerah dan menjadi salah satu faktor penentu jumlah sampah yang berakhir di sungai.1
Kisah Tersembunyi di Balik Kegagalan: Empat Pilar Non-Teknis yang Dilupakan
Meskipun prinsip 3R dan teknologi pengkomposan menunjukkan hasil yang menjanjikan, para peneliti dengan tegas menyatakan bahwa teknologi sekuat apa pun akan sulit diterapkan "jika aspek lain tidak mendukung".1 Temuan ini menggeser fokus utama kegagalan sanitasi Indonesia dari masalah teknis reaktor ke masalah tata kelola. Ada empat aspek non-teknis yang secara simultan harus diatasi untuk menjamin keberhasilan sistem pengelolaan limbah:
1. Peran Serta Stakeholder: Kunci di Tangan Masyarakat
Keberhasilan sistem sangat bergantung pada keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. Peneliti menyoroti bahwa peran serta dalam memilah sampah organik dan non-organik di tingkat sumber (rumah tangga atau komersial) adalah faktor penentu utama.1
Tanpa pemilahan di sumber, instalasi pengolahan harus menggunakan teknologi pemilahan massal yang "cukup mahal" dan memerlukan banyak sumber daya manusia untuk pemilahan manual, menaikkan biaya investasi secara drastis.1 Pemberdayaan masyarakat untuk memilah di rumah adalah bentuk penghematan biaya investasi yang paling efektif.
2. Kelembagaan dan Institusi: Beban Multisektoral yang Terpusat
Sampah adalah masalah multisektoral, memengaruhi kesehatan, lingkungan, dan tata ruang. Peneliti mengkritik model kelembagaan yang umum di banyak kota besar, di mana pengelolaan maupun pengawasan dibebankan seluruhnya kepada satu dinas tunggal, seperti Dinas Kebersihan atau Dinas Kebersihan dan Pertamanan.1
Model ini, menurut analisis, memberikan beban yang "sangat berat" pada dinas tersebut. Solusi yang disarankan adalah adanya sinergi yang jelas antara institusi pengelola, pengawas, dan pendana. Kewenangan dan kewajiban yang tidak jelas antar-institusi menghambat sinergi, mengubah masalah teknis menjadi kemacetan birokrasi dan tata kelola.
3. Jerat Pendanaan: Menghindari Status 'Cost Center'
Aspek pendanaan merupakan masalah besar bagi kota-kota di Indonesia. Sampai detik ini, mengelola sampah (mulai dari pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, hingga pembuangan akhir) masih dipandang sebagai cost center (pusat biaya).1
Dana yang kurang memadai dalam mengelola sampah telah terbukti menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Kurangnya dana menyebabkan jumlah kendaraan angkut sampah tidak sesuai dengan jumlah sampah yang harus dikelola. Ini adalah hubungan kausalitas langsung: kurangnya armada angkut mengakibatkan sampah tidak terangkut, yang kemudian berakhir menyumbat sungai dan memicu banjir.1 Mengubah stigma cost center ini dengan menciptakan revenue stream (misalnya dari penjualan kompos) adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan operasional.
4. Payung Hukum atau Pengaturan
Peneliti menekankan bahwa tanpa kerangka hukum yang jelas dan sistematis dalam melaksanakan sistem pengelolaan sampah yang baik, masalah pencemaran yang diakibatkan oleh limbah tidak akan teratasi.1 Regulasi yang kuat sangat diperlukan untuk memberikan kewenangan, menjamin pendanaan, dan memastikan peran serta publik serta penegakan baku mutu air olahan.
Revolusi Biologis: Mengapa Biofilter Tercelup Menjadi Harapan Baru Pengolahan Limbah Cair
Sementara manajemen sampah padat fokus pada 3R, masalah limbah cair domestik menuntut solusi teknologi yang spesifik. Mayoritas pencemaran air bersumber dari limbah cair domestik (77–80%), menjadikannya prioritas penanganan utama.1
Penelitian ini memaparkan keunggulan sistem Biofilter Tercelup dengan Kombinasi Anaerob-Aerob, sebuah proses biologis dengan biakan melekat (attached culture).1 Sistem ini menggunakan media penyangga (seperti sarang tawon plastik, batu pecah, atau kerikil) di mana mikroorganisme dibiarkan tumbuh dan melekat membentuk lapisan yang disebut biofilm.1
Mekanisme Biofilm yang Menyempurnakan Penguraian
Kombinasi proses anaerobik dan aerobik dalam satu sistem adalah inti dari inovasi ini, terutama kemampuannya menghilangkan nitrogen, elemen pencemar utama dalam air limbah domestik.
Dalam zona aerobik (dengan oksigen terlarut), terjadi proses Nitrifikasi, di mana nitrogen amonium $(NH_{4}^{+})$ diubah menjadi nitrit dan nitrat $(NO_{3})$.1
Selanjutnya, dalam zona anaerobik (tanpa oksigen), terjadi proses Denitrifikasi, di mana nitrat $(NO_{3})$ yang telah terbentuk mengalami perubahan menjadi gas nitrogen $(N_{2})$ dan dilepaskan ke atmosfer.1
Proses ganda dan simultan ini memastikan penguraian limbah menjadi "lebih sempurna".1 Secara unik, sistem ini juga menghasilkan lumpur limbah dalam jumlah yang jauh lebih sedikit, menjadikannya solusi yang efisien dan minim dampak lingkungan lanjutan.1
Keunggulan Operasional yang Merdeka dari Masalah Konvensional
Proses biofilm juga menawarkan keunggulan operasional yang fundamental, yang sangat penting untuk diterapkan di unit pengolahan skala kecil atau menengah.
Pengoperasian Mudah: Sistem ini tidak memerlukan sirkulasi lumpur yang rumit dan bebas dari masalah bulking (lumpur yang mengambang) yang sering melanda sistem lumpur aktif konvensional. Kondisi ini membuat pengelolaan biofilter menjadi sangat mudah.1
Minimalisasi Lumpur Hingga 50 Persen: Keunggulan finansial terbesar dari biofilter adalah minimnya produksi lumpur. Dalam proses lumpur aktif konvensional, 30 hingga 60 persen dari BOD yang dihilangkan berubah menjadi lumpur (biomasa). Sebaliknya, pada proses biofilm, produksi lumpur hanya berkisar 10 hingga 30 persen.1 Ini berarti, hanya dengan mengubah teknologi, pengelola dapat langsung memotong volume limbah padat yang harus diurus dan dibuang ke lingkungan hingga 50 persen atau lebih. Penghematan ini signifikan bagi anggaran daerah.
Stabilitas Ekstrem Terhadap Fluktuasi: Karena bakteri melekat pada media penyangga, populasi mikroorganisme relatif stabil. Hal ini menjadikan sistem sangat tahan terhadap fluktuasi mendadak, baik pada jumlah (debit) air limbah yang masuk maupun konsentrasi pencemar.1 Stabilitas ini adalah elemen kunci untuk resiliensi sistem di lingkungan perkotaan yang dinamis.
Meruntuhkan Mitos Biaya Tinggi: Data Kuantitatif Efisiensi dan Daya yang Mengejutkan
Pengujian prototipe Biofilter Tercelup Kombinasi Anaerob-Aerob memberikan hasil kuantitatif yang mengesankan, memvalidasi klaim efisiensi dan stabilitas sistem.
Studi Kasus 1: Kecepatan dan Ketahanan di Limbah Domestik
Peneliti menguji efisiensi sistem dengan memvariasikan waktu tinggal air limbah (HRT). Dalam uji coba awal, ketika waktu tinggal air limbah adalah tiga hari, konsentrasi COD (indikator polusi organik) air limbah yang masuk mencapai $1500~\text{mg}/\text{l}$.1 Setelah melalui proses biofilter, konsentrasi tersebut turun drastis menjadi hanya $92,16~\text{mg}/\text{l}$, yang merupakan lompatan efisiensi sebesar 93,9 persen.1
Yang sangat menarik, ketika waktu tinggal dikurangi drastis menjadi hanya satu hari, sistem mempertahankan kinerja yang prima. Efisiensi penghilangan COD tetap tinggi, yakni 92,8 persen (menurunkan COD dari $728,97~\text{mg}/\text{l}$ menjadi $52,17~\text{mg}/\text{l}$).1 Stabilitas ini menunjukkan bahwa sistem ini sangat efisien dalam penggunaan ruang dan waktu, sebuah keuntungan besar di tengah krisis lahan perkotaan. Kinerja BOD (Biochemical Oxygen Demand) juga sangat optimal, dengan efisiensi penghilangan BOD yang berkisar antara 82,2 persen hingga mencapai 98,96 persen.1
Studi Kasus 2: Menjinakkan Beban Berat Limbah Rumah Sakit
Limbah rumah sakit, yang membawa beban klinis dan organik yang kompleks, merupakan uji coba yang berat. Prototipe ini dirancang untuk melayani rumah sakit dengan 50 tempat tidur.1
Salah satu hasil paling mencolok adalah penurunan Padatan Tersuspensi (SS). Konsentrasi SS dalam air limbah awal mencapai $825~\text{mg}/\text{l}$. Setelah diolah, SS turun menjadi hanya $10~\text{mg}/\text{l}$.1 Penurunan SS yang begitu dramatis ini setara dengan mengubah air limbah sepekat sup tebal menjadi cairan yang nyaris setara dengan air keran, menghasilkan air olahan yang secara fisik terlihat "sangat jernih" dan siap dibuang ke saluran umum.1
Secara keseluruhan, sistem ini berhasil menurunkan kandungan zat organik (BOD) dari $419~\text{mg}/\text{l}$ menjadi $16,5~\text{mg}/\text{l}$, dan konsentrasi COD dari $729~\text{mg}/\text{l}$ menjadi $52~\text{mg}/\text{l}$. Bahkan kandungan deterjen (MBAS) dalam limbah rumah sakit dapat diturunkan dari $12~\text{mg}/\text{l}$ menjadi $2,5~\text{mg}/\text{l}$.1
Studi Kasus 3: Kinerja Stabil di Industri Padat Organik
Limbah industri tahu dan tempe dikenal memiliki beban organik yang sangat tinggi. Sistem Biofilter Kombinasi ini tetap mampu bekerja dengan efisien. Pengujian menunjukkan bahwa penurunan BOD pada limbah tahu dan tempe dapat mencapai 85 hingga 90 persen.1 Kehadiran media biofilter secara spesifik terbukti meningkatkan efisiensi pengolahan limbah secara signifikan dibandingkan reaktor tanpa media.1
Analogi Energi: Penghematan Operasional Menarik Investor
Salah satu penemuan yang paling ramah kantong adalah kebutuhan daya yang sangat rendah, sebuah faktor kunci yang membuat teknologi ini berpotensi diadopsi secara luas oleh sektor swasta dan pemerintah daerah.
Untuk unit pengolah limbah domestik yang dirancang melayani 40 hingga 50 orang (kapasitas 5–6 $\text{m}^{3}$ per hari), total kebutuhan energi listrik hanya sekitar 65 watt.1 Unit yang melayani 50 tempat tidur rumah sakit (kapasitas $10$-$15~\text{m}^{3}$ per hari) juga hanya membutuhkan $65~\text{watt}$ ($40~\text{watt}$ untuk blower udara dan $25~\text{watt}$ untuk pompa sirkulasi).1
Kebutuhan daya 65 watt ini setara dengan daya yang dibutuhkan untuk menyalakan satu bola lampu pijar zaman dulu, atau hanya sebagian kecil dari daya yang dibutuhkan untuk mengisi ulang sebuah laptop modern. Konsumsi daya yang sangat rendah ini menawarkan peluang besar untuk memangkas biaya operasional (OpEx), memberikan justifikasi ekonomi yang kuat untuk desentralisasi instalasi pengolahan air limbah, dan membantu mengatasi masalah pendanaan yang selama ini membuat pengelolaan limbah terhenti.
Penutup: Dari Laboratorium ke Kebijakan Publik yang Berdampak
Meskipun teknologi Biofilter Kombinasi Anaerob-Aerob dan filosofi 3R telah menunjukkan kinerja teknis yang luar biasa, tantangan terbesar untuk implementasi tidak lagi berada di laboratorium. Penelitian ini merupakan kritik realistis terhadap kebijakan publik, menyoroti bahwa kendala operasional terbesar adalah ekosistem non-teknis.
Keterbatasan studi pada skala prototipe mengimplikasikan bahwa keberhasilan penerapan di tingkat kota membutuhkan komitmen politik untuk menyelesaikan empat pilar yang terabaikan: kelembagaan, hukum, pendanaan, dan partisipasi publik. Sebagai contoh, bisnis daur ulang non-organik sudah berjalan di sektor informal, tetapi peneliti mengingatkan bahwa kompos (limbah organik) belum dilirik serius oleh pelaku bisnis, padahal ia memiliki potensi revenue besar yang didukung oleh tren masyarakat pencinta sayuran organik.1 Jika pasar kompos ini diperkuat, pengolahan sampah dapat berubah dari beban biaya menjadi unit yang menghasilkan pendapatan.
Mengintegrasikan temuan teknis (efisiensi tinggi, lumpur minimal, dan daya rendah 65 watt) dengan solusi non-teknis yang komprehensif adalah langkah berikutnya.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika pemerintah dan pemangku kepentingan berkomitmen untuk mengintegrasikan teknologi Biofilter Kombinasi Anaerob-Aerob ini dengan dukungan penuh pada empat pilar non-teknis—terutama pendanaan berkelanjutan dan keterlibatan masyarakat dalam 3R—temuan ini bisa mengurangi volume limbah yang dibuang ke TPA hingga 50–70 persen dan menekan biaya operasional pengolahan limbah cair domestik sebesar lebih dari 70 persen (berkat minimnya lumpur dan rendahnya konsumsi daya 65 watt) dalam waktu lima tahun. Dampak akhirnya adalah terciptanya sanitasi yang lebih stabil, lingkungan yang lebih bersih, dan kota yang lebih berketahanan terhadap bencana.
Sumber Artikel:
Herlambang, A., & Martono, D. H. (2008). Teknologi Pengolahan Sampah dan Air Limbah. JAI, 4(2), 146–159.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
I. Ancaman Senyap di Jantung Pendidikan: Ketika Limbah Kampus Melampaui Batas
Pertumbuhan aktivitas akademis dan administrasi yang pesat di Fakultas Teknik Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak ternyata membawa konsekuensi lingkungan yang harus ditangani secara serius. Sebuah penelitian teknis terkini menyoroti kebutuhan mendesak untuk merancang dan membangun sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) domestik yang memadai, menyusul peningkatan signifikan dalam volume dan kompleksitas limbah cair yang dihasilkan.1
Tanpa sistem pengelolaan yang terstruktur dan memenuhi standar rekayasa lingkungan, limbah cair domestik ini menimbulkan risiko pencemaran yang parah, terutama terhadap tanah dan perairan di sekitar lokasi kampus. Peningkatan volume limbah ini mencerminkan tren global di mana institusi pendidikan, sebagai pusat aktivitas manusia yang padat, harus memikul tanggung jawab besar dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan.1
IPAL dalam konteks lingkungan kampus bukan lagi sekadar fasilitas pendukung, melainkan infrastruktur vital. Fungsinya adalah untuk memastikan bahwa air limbah yang dibuang kembali ke badan air lokal telah diolah dan memenuhi standar baku mutu yang berlaku, sebagaimana diatur dalam regulasi nasional seperti PermenLH No. 5 Tahun 2014.1 Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa pengelolaan limbah yang kurang memadai di institusi pendidikan berpotensi memberikan dampak buruk signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem lokal.1
Mengukur Skala Krisis: Debit Harian yang Mengguncang Lingkungan
Langkah pertama dalam rekayasa lingkungan adalah mengukur masalahnya. Melalui perhitungan berdasarkan jumlah pengguna (mahasiswa, dosen, dan staf) dan data konsumsi air, tim peneliti mendapatkan angka volume limbah harian yang sangat besar. Studi ini mengestimasi bahwa Fakultas Teknik UPB menghasilkan volume limbah cair yang mencapai 55.940,8 Liter per hari.1
Angka tersebut diperoleh dari perhitungan yang mengasumsikan rasio timbulan air limbah sebesar 80% dari total konsumsi air bersih harian, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh standar lingkungan untuk gedung perkantoran.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, volume limbah cair yang dihasilkan oleh fakultas ini setiap hari setara dengan mengisi satu kolam renang mini berukuran 5 meter kali 5 meter dengan kedalaman 2 meter setiap dua hari sekali.
Volume limbah yang masif ini, yang mencapai lebih dari 55 ton limbah cair per hari, menjadi faktor kausal utama yang menghasilkan beban pencemaran tinggi. Semakin besar volume yang dilepaskan, semakin besar pula konsentrasi polutan total yang masuk ke lingkungan penerima. Kondisi ini menegaskan validitas dan urgensi mengapa proyek IPAL ini harus segera dilaksanakan.
II. Melampaui Garis Merah: Seberapa Kotor Air Limbah Kampus Kita?
Karakteristik Limbah dan Baku Mutu Nasional
Karena air limbah di Fakultas Teknik berasal dari aktivitas domestik sehari-hari—termasuk penggunaan fasilitas kantin, toilet, dan kegiatan pembersihan—karakteristiknya diasumsikan sangat mirip dengan limbah yang berasal dari perumahan atau pusat perbelanjaan.1 Limbah jenis ini secara alami mengandung berbagai senyawa organik dan anorganik, sisa makanan, sabun, minyak, dan bahan pembersih. Kontaminan ini secara kolektif meningkatkan parameter pencemar utama, seperti Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended Solids (TSS).1
Selain itu, limbah domestik juga mengandung mikroorganisme patogen seperti koliform dan Salmonella yang berasal dari aktivitas sanitasi. Kesamaan karakteristik ini memungkinkan peneliti menggunakan data proksi air limbah domestik perumahan sebagai baseline untuk merancang sistem pengolahan biologis yang ditargetkan pada parameter pencemar kunci.1
Semua perancangan IPAL harus tunduk pada tolok ukur ketat yang diatur dalam Permen LHK No. P.68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Ambang batas ini merupakan garis merah lingkungan yang tidak boleh dilampaui.1
Beban Oksigen yang Membunuh: Data BOD dan COD yang Mengejutkan
Analisis karakteristik limbah proksi yang digunakan menunjukkan tingkat pencemaran yang jauh melampaui batas aman yang ditetapkan pemerintah.
Mengenai BOD (Kebutuhan Oksigen Biologis):
BOD air limbah perumahan yang dijadikan proksi tercatat mencapai 96,68 miligram per Liter (mg/L).1 Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan batas baku mutu Permen LHK No. P.68/2016 yang hanya mengizinkan maksimum 30 mg/L.1 Dengan demikian, beban organik limbah ini melebihi ambang batas hingga lebih dari 3,2 kali lipat dari yang diizinkan.
Pelampauan yang drastis ini memiliki konsekuensi lingkungan yang fatal. Jika dibuang tanpa pengolahan, limbah tersebut akan "mencuri" oksigen terlarut (DO) yang ada di perairan sekitar untuk memecah bahan organik. Buktinya, kadar DO dalam air limbah yang dijadikan proksi sangat rendah, hanya 0,35 mg/L, jauh di bawah standar minimal 3 mg/L.1 Kondisi ini menciptakan risiko tinggi zona kekurangan oksigen yang dapat mengancam ekosistem akuatik setempat.
Mengenai COD (Kebutuhan Oksigen Kimiawi):
Limbah ini juga mencatatkan tingkat Chemical Oxygen Demand (COD) yang sangat ekstrem, yaitu sebesar 221,42 mg/L.1 Angka ini melampaui batas maksimum baku mutu yang ditetapkan pemerintah sebesar 100 mg/L.1
Tingkat COD yang melampaui batas hingga lebih dari 221% ini menggambarkan intensitas pencemaran yang parah. Ini menunjukkan bahwa limbah mengandung konsentrasi bahan kimia dan organik yang sulit terurai secara alami, memaksa upaya rekayasa pengolahan yang sangat intensif dan teknologi yang terstruktur untuk dapat menurunkannya ke tingkat aman.
Partikel Padat dan Ancaman Patogen
Dua parameter lain yang menjadi fokus utama dalam perancangan IPAL adalah Total Suspended Solids (TSS) dan Total Koliform.
TSS (Padatan Tersuspensi):
Padatan tersuspensi dalam limbah proksi tercatat 122,44 mg/L, yang melebihi batas baku mutu 100 mg/L sebesar 22%.1 Kelebihan TSS ini secara fisik akan menyebabkan pengendapan lumpur yang cepat di saluran air. Penumpukan lumpur ini tidak hanya menghambat aliran, tetapi juga merusak habitat dasar perairan dan meningkatkan frekuensi pembersihan saluran drainase.
Total Koliform:
Dari perspektif ancaman kesehatan masyarakat, data Koliform menjadi yang paling mengkhawatirkan. Total Koliform, sebagai indikator kontaminasi bakteri kotoran, mencapai lebih dari 2.400 ppm (parts per million) pada limbah perumahan yang dijadikan proksi.1 Angka ini sangat jauh di atas batas aman yang ditetapkan, yaitu 1.000 ppm.1
Pelampauan hingga 2,4 kali lipat ini mengindikasikan kontaminasi kotoran yang parah. Jika limbah dengan tingkat Koliform setinggi ini dialirkan ke lingkungan publik, risiko penyebaran penyakit berbasis air akan meningkat tajam. Fakta ini menegaskan bahwa unit disinfeksi di akhir proses pengolahan adalah komponen yang sangat penting untuk keselamatan publik.
III. Solusi Rekayasa Lingkungan: Menentukan Jantung Sistem Pengolahan
Proses Seleksi Teknologi: Kemenangan Biofilter Anaerob-Aerob
Untuk memastikan IPAL yang dirancang mampu mengatasi beban pencemaran ekstrem (terutama BOD dan COD yang melebihi 200%), peneliti melakukan analisis komparatif terhadap 12 metode pengolahan limbah domestik yang tersedia. Metode-metode ini, seperti Lagoon Aerasi Fakultatif, Lumpur Aktif, dan Filtrasi Multi-Layer, dievaluasi menggunakan sistem skoring berbasis efektivitasnya dalam menurunkan empat parameter pencemar utama.1
Sistem skoring ini bertujuan untuk mengidentifikasi metode yang paling sesuai, efisien, dan berkelanjutan untuk Fakultas Teknik UPB.
Hasil penilaian skoring menunjukkan bahwa Kombinasi Biofilter Anaerob-Aerob muncul sebagai pemenang mutlak dengan total skor tertinggi, mencapai 23.1 Metode ini menunjukkan efektivitas tertinggi (skor 6) untuk penurunan BOD, COD, dan Koliform, yang merupakan tantangan utama dari air limbah kampus. Pilihan ini secara teknis dijustifikasi karena sistem biofilter kombinasi menawarkan efisiensi tinggi dalam penyisihan polutan sambil mempertahankan aspek ramah lingkungan dan potensi penghematan energi, terutama dibandingkan sistem aerasi penuh.
Mengukur Keberhasilan: Analogi Lompatan Efisiensi 81%
Efektivitas pilihan teknologi ini didukung oleh data kinerja yang menunjukkan kemampuan penyisihan polutan yang substansial. Berdasarkan studi kasus sekunder, efisiensi penyisihan COD menggunakan sistem biofilter anaerob-aerob dapat mencapai hingga 81,3%.3 Sementara itu, kemampuan penyisihan TSS dapat mencapai efisiensi yang luar biasa, yakni 91,8%.3
Peningkatan kinerja rekayasa ini dapat divisualisasikan secara dramatis:
Mengingat tingkat pencemaran COD awal sebesar 221,42 mg/L, pengurangan sebesar 81,3% berarti konsentrasi air olahan akhir hanya sekitar 41.8 mg/L. Transformasi ini mengubah air limbah dari kondisi yang melampaui batas baku mutu hingga lebih dari 200% menjadi air yang jauh di bawah ambang batas 100 mg/L yang diizinkan. Lompatan efisiensi sebesar 81,3% ini sebanding dengan peningkatan kinerja pengisian baterai smartphone dari 20% menjadi 90% dalam satu kali pengisian—sebuah perubahan mendasar dalam kualitas air.
Selain itu, sistem ini sangat efisien dalam mengatasi BOD. Meskipun konsentrasi awal mencapai 96,68 mg/L, sistem ini mampu menurunkan konsentrasi BOD akhir hingga sekitar 4,459 mg/L.3 Nilai BOD yang sangat rendah ini, yang jauh di bawah standar 30 mg/L, memastikan bahwa air buangan tidak akan menimbulkan ancaman serius terhadap ketersediaan oksigen di badan air penerima.
IV. Struktur IPAL Fakultas Teknik: Kronologi Lima Tahap Pengolahan
Perancangan IPAL domestik untuk Fakultas Teknik UPB mengintegrasikan unit-unit yang terbukti paling efektif, menciptakan rangkaian pengolahan yang solid, mulai dari tahap pengendapan kasar hingga disinfeksi akhir.1
Tahap Primer dan Biologis Anaerobik
Jalur pengolahan limbah dimulai melalui dua unit utama:
1. Bak Pengendapan Awal: Unit ini berfungsi sebagai pra-pengolahan penting untuk memisahkan partikel padat besar dan bahan tersuspensi yang mudah mengendap (TSS) dari aliran limbah. Pengendapan awal yang efisien sangat krusial karena melindungi unit-unit biologis dari risiko penyumbatan dan memastikan bahwa hanya limbah yang lebih homogen yang diproses di tahap selanjutnya.
2. Bak Biofilter Anaerobik: Setelah padatan besar tersaring, limbah memasuki bak anaerobik. Di sini, penguraian biologis terjadi secara pasif tanpa memerlukan oksigen. Bakteri anaerobik bekerja memecah bahan organik, yang berfungsi untuk memotong konsentrasi BOD dan COD awal yang sangat tinggi. Proses ini hemat energi, efektif, dan mengubah bahan organik menjadi produk yang lebih stabil.
Intensifikasi Aerobik dan Disinfeksi Kritis
Air limbah kemudian disempurnakan kualitasnya melalui tahap intensif:
3. Tungki Aerasi: Unit ini merupakan inti dari pengolahan biologis yang ditargetkan untuk mencapai standar baku mutu yang ketat. Oksigen dimasukkan secara intensif ke dalam air limbah, mendorong pertumbuhan pesat bakteri aerobik. Bakteri ini menyelesaikan penguraian bahan organik tersisa, memastikan penurunan BOD hingga mencapai konsentrasi minimal.
4. Bak Pengendapan Akhir: Air yang keluar dari Tungki Aerasi dialirkan untuk memisahkan biomassa (lumpur aktif) yang telah menyelesaikan tugasnya. Pemisahan padatan ini menghasilkan air yang lebih jernih. Sebagian besar lumpur aktif ini kemudian dikembalikan ke Tungki Aerasi untuk menjaga populasi bakteri yang optimal.
5. Sistem Klorinasi: Sebagai langkah disinfeksi wajib, air olahan memasuki unit klorinasi. Klorin digunakan untuk membasmi sisa-sisa bakteri patogen, khususnya Koliform yang tingkat kontaminasinya mencapai lebih dari 2.400 ppm.1 Unit klorinasi ini memastikan air yang dibuang melalui saluran Outlet/Badan Air telah aman bagi kesehatan masyarakat.
Perancangan skema IPAL ini mengadopsi prinsip rekayasa lingkungan modern, tidak hanya berfokus pada pembuangan ke badan air, tetapi juga menyertakan jalur menuju Kotak Reuse.1 Inklusi jalur reuse menunjukkan bahwa air olahan berkualitas tinggi dapat dimanfaatkan kembali, misalnya untuk penyiraman tanaman atau pembilasan toilet kampus, mendukung upaya konservasi sumber daya air di Pontianak.
V. Opini Analis dan Kritik Realistis: Menjaga Kredibilitas Ilmiah
Meskipun perancangan IPAL ini didukung oleh analisis teknis yang kuat, ada beberapa keterbatasan dan tantangan realistis yang harus disoroti.
Tantangan Validasi Data: Keterbatasan Asumsi Proksi
Kritik realistis utama terhadap studi perancangan ini adalah ketergantungannya pada data karakteristik limbah domestik yang bersifat asumsi—menggunakan proksi dari limbah perumahan dan pusat perbelanjaan.1 Meskipun proksi ini logis untuk limbah toilet dan kantin, penggunaannya bisa menjadi bias jika Fakultas Teknik memiliki kegiatan spesifik.
Sebagai contoh, kegiatan di laboratorium kimia atau bengkel dapat menghasilkan limbah non-domestik yang mengandung pelarut atau logam berat. Jenis limbah ini memerlukan perlakuan awal (pre-treatment) yang berbeda dan tidak dapat ditangani secara efektif oleh IPAL yang dirancang murni untuk limbah domestik biologis. Jika ada limbah non-domestik yang signifikan, desain IPAL ini mungkin tidak optimal dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, sangat tepat bahwa peneliti sendiri merekomendasikan adanya penelitian lanjutan berupa pengambilan sampel air limbah domestik di lingkungan Fakultas Teknik UPB secara spesifik.1 Tindakan ini krusial untuk mengidentifikasi karakteristik nyata limbah dan memungkinkan optimasi atau perancangan ulang IPAL agar efektivitas pengolahan terjamin penuh dan berkelanjutan.
Kendala Operasional dan Finansial yang Tidak Dapat Dihindari
Analisis kelebihan dan kekurangan non-teknis menunjukkan bahwa meskipun sistem Biofilter Anaerob-Aerob efisien, ia membawa tantangan implementasi yang nyata.
Pertama, di sisi biaya. Metode Biofilter Anaerob-Aerob memerlukan lahan yang luas untuk menampung unit-unit pengolahan dan menuntut biaya investasi awal yang besar.1 Di lingkungan kampus perkotaan, ketersediaan lahan dapat menjadi hambatan serius.
Kedua, di sisi operasional. Walaupun proses anaerobik hemat energi, sistem ini masih bergantung pada energi tinggi untuk operasional Tungki Aerasi. Selain itu, aspek pemeliharaan membutuhkan kontrol ketat terhadap kondisi biologis dan memerlukan penggantian media filter secara berkala.1 Biaya operasional rutin (Opex), termasuk energi dan pemeliharaan, tergolong tinggi.
Keputusan untuk mengadopsi teknologi skor tinggi (23) ini harus diikuti dengan komitmen finansial jangka panjang yang kuat dari pihak universitas. Tanpa alokasi anggaran yang memadai untuk pemeliharaan rutin dan energi, sistem IPAL berisiko mengalami penurunan efisiensi drastis. Kegagalan operasional ini pada akhirnya akan menyebabkan air limbah yang dibuang kembali melampaui baku mutu, mengembalikan kondisi pencemaran yang ingin dihindari.
VI. Dampak Nyata dan Visi Keberlanjutan
Mengukur Keberhasilan Lingkungan dalam Lima Tahun
Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang mengintegrasikan unit Biofilter Anaerob-Aerob, Tungki Aerasi, dan Klorinasi adalah langkah strategis yang didukung oleh keunggulan teknis.
Jika perancangan ini diterapkan secara optimal dengan unit-unit yang tepat, temuan ini diprediksi dapat mengurangi beban pencemaran BOD, COD, dan Koliform yang dibuang ke badan air sekitar hingga rata-rata di atas 75% dalam waktu lima tahun.
Pengurangan polutan ini menghasilkan dampak nyata sebagai berikut:
Kepatuhan Lingkungan: Memastikan bahwa institusi mematuhi standar hukum yang diwajibkan oleh Permen LHK No. P.68/2016.
Perlindungan Ekosistem: Menghentikan praktik "pencurian" oksigen di perairan lokal dengan menurunkan BOD, serta mencegah penumpukan lumpur dengan mengurangi TSS.
Keamanan Kesehatan Publik: Disinfeksi klorinasi yang efektif menghilangkan ancaman penyakit berbasis air dari tingkat Koliform yang sangat tinggi.
Penerapan IPAL ini tidak hanya menyelesaikan masalah limbah, tetapi juga memposisikan Fakultas Teknik UPB sebagai institusi yang mempraktikkan keberlanjutan. Dengan adanya jalur reuse air olahan, ia menciptakan sumber daya air baru untuk keperluan non-potabel di kampus dan menjadi model studi kasus rekayasa lingkungan yang dapat diadopsi oleh institusi lain di Kalimantan Barat.
Sumber Artikel:
Rahsia, S. A., & Widodo, M. L. (2025). Timbulan Air Limbah Dan Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah Pada Fakultas Teknik Universitas Panca Bhakti Kota Pontianak. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 13(1), 80–89.