Perubahan Iklim

Membangun Kota Tangguh Bencana: Studi “Natural Disasters, Resilience-Building, and Risk: Achieving Sustainable Cities and Human Settlements”

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?

Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.

Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?

Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.

Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana

Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan

Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:

  • Indeks Risiko Bencana: Mengukur tingkat bahaya, paparan, dan kerentanan dengan 15 indikator.
  • Indeks Ketangguhan Bencana: Mengukur 9 dimensi ketangguhan (ekonomi, pangan, infrastruktur, tenaga darurat, kualitas institusi, modal manusia, pemberdayaan perempuan, TIK, dan modal sosial) dengan 62 indikator.

Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).

Temuan Angka Kunci

  • Rata-rata korban bencana per juta penduduk:
    • LMICs: 24.726,8
    • LICs: 21.325,0
    • UMICs: 17.334,7
    • HICs: 2.488,2
  • Nilai rata-rata indeks risiko bencana:
    • LICs: 0,40 (tertinggi)
    • HICs: 0,278 (terendah)
  • Nilai rata-rata indeks ketangguhan:
    • HICs: 0,674 (tertinggi)
    • LICs: 0,314 (terendah)
  • Negara dengan risiko bencana tertinggi: Angola, Burundi, Afrika Selatan, Filipina, Gambia, Mozambik, India, Nigeria, Namibia, Zambia, Bangladesh.
  • Negara dengan ketangguhan tertinggi: Swiss, Jerman, Prancis, Selandia Baru, Australia, Belgia, Kanada, Austria, Belanda, Italia.

Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang

Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim

Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.

Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.

Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah

Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.

Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.

Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?

Faktor Penentu Ketangguhan

  • Infrastruktur Dasar: Sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan mempercepat pemulihan pasca-bencana.
  • Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK): Sistem peringatan dini, aplikasi cuaca, dan komunikasi darurat terbukti menyelamatkan banyak nyawa.
  • Kualitas Institusi: Pemerintahan yang transparan, responsif, dan terkoordinasi mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.
  • Pemberdayaan Perempuan: Peran aktif perempuan dalam komunitas terbukti memperkuat jejaring sosial dan distribusi bantuan.
  • Modal Sosial: Solidaritas, gotong royong, dan partisipasi masyarakat mempercepat adaptasi dan pemulihan.

Tantangan di Negara Berkembang

  • Ketimpangan Akses: Banyak wilayah pedesaan belum menikmati infrastruktur dasar dan akses TIK.
  • Keterbatasan Dana: Anggaran mitigasi dan pemulihan bencana masih minim.
  • Kualitas Data: Kurangnya data akurat menyulitkan perencanaan dan evaluasi kebijakan.
  • Budaya dan Literasi: Rendahnya kesadaran dan edukasi bencana membuat masyarakat kurang siap menghadapi risiko.

Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global

Sendai Framework dan SDGs

Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.

Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan

  • Toya & Skidmore (2007): Menemukan bahwa pendidikan, pendapatan, dan keterbukaan perdagangan menurunkan kerugian bencana—selaras dengan temuan studi ini.
  • Padli et al. (2018): Menyoroti pentingnya pembangunan ekonomi dan investasi pemerintah dalam menekan korban bencana.
  • Taghizadeh-Hesary et al. (2019, 2021): Infrastruktur berkualitas dan tata kelola yang baik menurunkan kerugian bencana di Asia dan Pasifik.

Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.

Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan

Peluang

  • Digitalisasi dan Smart City: Kota-kota yang mengadopsi teknologi digital untuk sistem peringatan dini, pemetaan risiko, dan manajemen bencana akan lebih siap menghadapi ancaman masa depan.
  • Kolaborasi Global: Negara maju dapat berperan sebagai “mentor” bagi negara berkembang melalui transfer teknologi, pendanaan, dan pelatihan.
  • Inovasi Pembiayaan: Skema asuransi bencana, obligasi hijau, dan dana darurat berbasis komunitas dapat memperkuat ketangguhan finansial.

Tantangan

  • Kesenjangan Kapasitas: Tanpa investasi besar-besaran pada infrastruktur dan SDM, negara berkembang akan terus tertinggal dalam membangun ketangguhan.
  • Perubahan Iklim: Intensitas dan frekuensi bencana diprediksi meningkat, sehingga adaptasi harus menjadi agenda utama.
  • Keterlibatan Masyarakat: Ketangguhan tidak bisa dibangun hanya dari atas; partisipasi aktif masyarakat adalah kunci.

Rekomendasi Praktis

  • Investasi Infrastruktur Dasar: Prioritaskan pembangunan sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan di wilayah rawan bencana.
  • Penguatan Sistem Peringatan Dini: Integrasikan TIK dan data real-time untuk deteksi dan respons cepat.
  • Edukasi dan Literasi Bencana: Libatkan sekolah, media, dan komunitas dalam kampanye sadar bencana.
  • Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Rentan: Berikan ruang dan peran strategis dalam perencanaan dan respons bencana.
  • Penguatan Institusi dan Tata Kelola: Reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi untuk mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.

Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas

Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.

Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan

Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.

Selengkapnya
Membangun Kota Tangguh Bencana: Studi “Natural Disasters, Resilience-Building, and Risk: Achieving Sustainable Cities and Human Settlements”

Perubahan Iklim

Nature-Based Solutions di Pegunungan: Resensi Kritis Studi PHUSICOS dan Implikasinya untuk Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Semakin Penting?

Perubahan iklim membawa tantangan besar, terutama di wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan erosi. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) menjadi sorotan sebagai alternatif inovatif untuk mengatasi risiko tersebut. NBS tidak hanya menawarkan perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Namun, bagaimana persepsi para pemangku kepentingan di daerah pegunungan terhadap NBS? Apakah mereka siap berkolaborasi dalam merancang dan mengimplementasikan solusi ini?

Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian Lupp et al. (2021) yang mengeksplorasi persepsi stakeholder terhadap NBS di kawasan pegunungan Eropa melalui studi kasus PHUSICOS. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global, resensi ini juga membandingkan temuan PHUSICOS dengan literatur lain serta memberikan opini kritis terkait peluang dan tantangan implementasi NBS di masa depan.

Apa Itu Nature-Based Solutions (NBS)?

NBS adalah solusi yang terinspirasi dan didukung oleh alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan. Contohnya meliputi restorasi sungai, reforestasi, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur hijau. Menurut definisi Uni Eropa, NBS harus memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati dan mendukung berbagai layanan ekosistem.

Studi Kasus PHUSICOS: Kolaborasi di Tiga Wilayah Pegunungan Eropa

Lokasi Studi

PHUSICOS (EU H2020) memilih tiga lokasi utama sebagai demonstrator NBS di kawasan pegunungan:

  • Lembah Gudbrandsdalen, Norwegia
    Lembah sepanjang 140 km ini merupakan salah satu wilayah terpadat di Norwegia. Tantangan utama di sini adalah banjir sungai, longsor, guguran batu, dan salju yang dapat menimbulkan risiko besar bagi masyarakat. Solusi yang diterapkan berupa restorasi floodplain dan peningkatan kapasitas penyimpanan air untuk mengurangi risiko banjir.
  • Pegunungan Pyrenees (Perbatasan Prancis-Spanyol)
    Wilayah ini menghadapi risiko banjir, longsor, dan salju. Upaya NBS yang dilakukan meliputi reforestasi dan teknik terasering untuk stabilisasi lereng, yang membantu mengurangi erosi dan meningkatkan ketahanan tanah.
  • Cekungan Sungai Serchio, Italia
    Daerah ini mengalami tantangan kekeringan, banjir, risiko seismik, dan polusi air. Solusi yang diterapkan adalah revegetasi dan praktik pertanian ramah lingkungan yang bertujuan mengurangi limpasan air dan meningkatkan kualitas tanah.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan utama:

  • Literature Review: Dari 727 publikasi yang ditemukan, hanya 49 yang relevan untuk analisis mendalam terkait NBS di pegunungan.
  • Wawancara Kualitatif: Melibatkan 13 stakeholder dari berbagai sektor seperti pemerintah, bisnis, akademisi, dan LSM untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif.
  • Living Labs: Pendekatan kolaboratif yang menempatkan semua pihak dalam posisi setara untuk bersama-sama merancang dan mengimplementasikan NBS.

Temuan Utama: Persepsi, Tantangan, dan Harapan Stakeholder

Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran

Sekitar sepertiga responden baru mengenal konsep NBS melalui proyek PHUSICOS. Sebagian besar lainnya memperoleh pengetahuan dari universitas, pelatihan institusi, dan pengalaman proyek sebelumnya. Menariknya, banyak petani dan pelaku usaha yang menganggap diri mereka sudah ahli di bidangnya, tetapi belum tentu memahami risiko bencana atau solusi NBS secara menyeluruh.

Manfaat NBS Menurut Stakeholder

Di daerah pegunungan, manfaat yang paling ditekankan oleh stakeholder adalah aspek ekonomi dan perlindungan alam. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang sering menyoroti manfaat sosial seperti rekreasi dan kesehatan, di pegunungan fokusnya adalah pada keberlanjutan ekonomi lokal dan pengurangan risiko bencana.

Seorang perwakilan administrasi kehutanan menyatakan, “Solusi ini terbarukan, jejak karbonnya kecil, dan lebih baik untuk ekonomi lokal.” Hal ini menunjukkan bahwa NBS dipandang sebagai solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Stakeholder juga melihat potensi untuk mengembangkan dan mereplikasi solusi yang berhasil di satu wilayah ke wilayah lain, membuka peluang untuk skala yang lebih besar.

Kekhawatiran dan Hambatan

Meskipun banyak yang optimis, terdapat beberapa kekhawatiran yang cukup signifikan:

  • Efektivitas NBS: Skeptisisme muncul terkait daya tahan dan efektivitas NBS, terutama dalam menghadapi bencana besar yang ekstrim.
  • Biaya dan Profitabilitas: Ada kekhawatiran bahwa biaya pemeliharaan NBS cukup tinggi dan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokal belum jelas.
  • Kurangnya Parameter Teknis: NBS dianggap kurang terukur dan kurang dapat dibandingkan dengan solusi konvensional seperti bendungan atau tanggul.
  • Kolaborasi yang Lemah: Kurangnya komunikasi dan kerja sama lintas sektor menjadi hambatan utama dalam implementasi.

Harapan terhadap Proses Kolaboratif

Living Labs diharapkan menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para stakeholder. Melalui proses ini, mereka dapat berbagi pengalaman, belajar langsung dari implementasi lapangan, serta mengembangkan model bisnis baru yang menarik bagi petani dan pemilik lahan. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap NBS.

Data dan Angka Kunci dari Studi

  • Dari 727 publikasi awal, hanya 49 yang relevan untuk analisis mendalam.
  • Sebanyak 13 stakeholder dari berbagai sektor diwawancara secara mendalam.
  • Sekitar sepertiga responden baru mengenal NBS melalui proyek PHUSICOS.
  • Fokus manfaat NBS di pegunungan adalah pada ekonomi lokal dan perlindungan alam.
  • Hambatan utama meliputi skeptisisme efektivitas, biaya, kurangnya parameter teknis, dan kolaborasi yang lemah.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global

Urban vs Rural: Perbedaan Fokus

Studi-studi sebelumnya di kawasan perkotaan, seperti oleh Han & Kuhlicke (2019) dan Pagano et al. (2019), menyoroti manfaat sosial NBS seperti rekreasi, estetika, dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, studi PHUSICOS menegaskan bahwa di kawasan pegunungan, manfaat ekonomi dan perlindungan alam menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan kebutuhan stakeholder sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial.

Tantangan Monetisasi Manfaat NBS

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengukur dan mengkomersialisasikan manfaat NBS. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang diberikan seringkali tidak tercermin dalam harga pasar, sehingga sulit menarik investasi swasta. Kebijakan subsidi yang ada, seperti Common Agricultural Policy (CAP) di Eropa, belum sepenuhnya mendukung adopsi NBS oleh petani.

Solusi yang diusulkan meliputi pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan, insentif fiskal, dan model bisnis inovatif yang dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada pelaku usaha.

Kolaborasi dan Living Labs: Kunci Sukses

Living Labs terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, dan mendorong aksi kolektif antar stakeholder. Namun, proses kolaboratif ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Tidak semua pihak siap untuk terlibat aktif, sehingga diperlukan pendekatan yang inklusif dan fleksibel.

Opini dan Rekomendasi: Bagaimana Masa Depan NBS di Pegunungan?

Peluang

NBS memiliki potensi besar sebagai solusi masa depan untuk adaptasi perubahan iklim di kawasan pegunungan, asalkan didukung oleh bukti efektivitas dan model bisnis yang jelas. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk mengatasi hambatan implementasi dan memastikan keberlanjutan solusi.

Tantangan

Skeptisisme dan kurangnya pengetahuan masih menjadi penghalang utama. Diperlukan lebih banyak studi kasus nyata dan demonstrasi keberhasilan NBS di lapangan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Selain itu, kebijakan dan insentif ekonomi harus lebih proaktif mendukung adopsi NBS, terutama bagi petani dan pemilik lahan.

Rekomendasi Praktis

  • Edukasi dan Pelatihan: Libatkan universitas dan lembaga riset untuk menyebarkan pengetahuan tentang NBS secara luas.
  • Demonstrasi Lapangan: Adakan kunjungan dan workshop di lokasi NBS yang sudah berhasil untuk membangun kepercayaan dan pemahaman.
  • Pengembangan Indikator Kinerja: Kembangkan parameter teknis yang jelas untuk mengukur efektivitas NBS secara objektif.
  • Inovasi Model Bisnis: Dorong skema pembayaran jasa lingkungan dan insentif bagi pelaku usaha yang mengadopsi NBS agar lebih menarik secara ekonomi.

Kesimpulan: NBS, Kolaborasi, dan Masa Depan Adaptasi Iklim

Penelitian PHUSICOS menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NBS di kawasan pegunungan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, edukasi, dan inovasi model bisnis. Dengan pendekatan Living Labs, peluang untuk memperluas adopsi NBS semakin terbuka, asalkan didukung oleh komitmen bersama dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. NBS bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera bagi komunitas pegunungan.

Sumber Artikel:
Lupp, G., Huang, J.J., Zingraff-Hamed, A., Oen, A., Del Sepia, N., Martinelli, A., Lucchesi, M., Wulff Knutsen, T., Olsen, M., Fjøsne, T.F., Balaguer, E.-M., Arauzo, I., Solheim, A., Kalsnes, B., & Pauleit, S. (2021). Stakeholder Perceptions of Nature-Based Solutions and Their Collaborative Co-Design and Implementation Processes in Rural Mountain Areas—A Case Study From PHUSICOS. Frontiers in Environmental Science, 9, 678446.

Selengkapnya
Nature-Based Solutions di Pegunungan: Resensi Kritis Studi PHUSICOS dan Implikasinya untuk Masa Depan

Sosiohidrologi

Game & Simulasi Agen: Cara Baru Mengelola Air di Komunitas Periurban

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


 Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial

Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.

 Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi

Penelitian ini menggunakan dua alat utama:

  •  WaDiGa (Water Distribution Game): RPG berbasis papan yang mensimulasikan pengambilan keputusan petani terkait jenis tanaman, penggunaan air, dan investasi sumur.
  •  ABM di platform GAMA: Model komputer yang mereplikasi perilaku petani berdasarkan hasil RPG, lalu mensimulasikan enam skenario iklim dan pasar.

Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.

 Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air

Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:

  •  Krisis air 2016–2018 akibat kekeringan dan ekspansi urban ilegal.
  •  Ketimpangan akses air antara petani hulu dan hilir.
  •  Ketergantungan pada sumur pribadi, yang mahal dan tidak merata.

 Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi

Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:

  •  Petani lebih memilih lahan dekat sungai.
  •  Agroforestri (AFS) populer karena dianggap konservatif dan menguntungkan.
  •  Saat curah hujan tinggi, konsumsi air meningkat drastis tanpa koordinasi.
  •  Dialog kolektif hanya muncul saat air langka, tapi tidak menghasilkan kesepakatan.

Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:

  •  Pemain kaya membeli sumur pribadi, memperkuat ketimpangan.
  •  Sumur kolektif diabaikan karena konflik sosial.
  •  62,5% lahan memiliki sumur pribadi di akhir sesi, mencerminkan realitas lokal.

Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.

Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi

Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:

  •  Skenario 1 (hujan tinggi, pasar bagus): profit tinggi (R$1,1 juta), tapi air habis dalam 5,8 tahun.
  •  Skenario 2 (hujan tinggi, pasar buruk): profit turun 45%, tapi air bertahan 28 tahun.
  •  Skenario 6 (hujan rendah, pasar buruk): tidak ada tanaman irigasi, muncul properti urban, profit nyaris nol.

AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.

 Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi

Artikel ini menonjol karena:

  •  Menggabungkan edukasi dan simulasi dalam satu pendekatan partisipatif.
  •  Merefleksikan realitas sosial lewat RPG, bukan hanya model statistik.
  •  Menunjukkan bahwa kesadaran tidak otomatis menghasilkan kolaborasi—akses dan insentif tetap krusial.

Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.

 Nilai Tambah dan Relevansi Global

Pendekatan ini sangat relevan untuk:

  •  Wilayah periurban di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis air.
  •  Program edukasi lingkungan, karena RPG terbukti meningkatkan kesadaran dan empati.
  •  Perencanaan partisipatif berbasis data, karena ABM dapat digunakan untuk diskusi kebijakan.

 Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan

Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.

Sumber Artikel

Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.

Selengkapnya
Game & Simulasi Agen: Cara Baru Mengelola Air di Komunitas Periurban

Sosiohidrologi

SocioHydrology: Ilmu Baru untuk Menjawab Krisis Air dan Tantangan SDGs

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Pendahuluan: Dari Hidrologi Klasik ke SocioHydrology

Krisis air global saat ini bukan hanya soal kekurangan air, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial dalam mengelola sumber daya tersebut secara adil dan berkelanjutan. Artikel karya Xia, Dong, dan Zou (2022) menelusuri evolusi sociohydrology sebagai disiplin baru yang menjembatani ilmu alam dan sosial untuk memahami dinamika timbal balik antara manusia dan sistem hidrologi. Dengan menyoroti empat isu ilmiah utama dan tantangan metodologis, artikel ini menjadi peta jalan penting bagi masa depan pengelolaan air berbasis keberlanjutan.

 Evolusi SocioHydrology: Tiga Tahap Paradigma

Penulis menguraikan perkembangan paradigma hidrologi dalam tiga fase:

1. Pra1970an: Fokus pada dampak manusia terhadap air (I=PAT).

2. 1970–2010an: Interaksi dua arah antara manusia dan air (hydrosociology, IWRM).

3. Pasca2012: Coevolution manusiaair melalui pendekatan sociohydrology (Sivapalan et al., 2012).

Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan eksogen ke endogen, di mana manusia bukan hanya pengguna air, tetapi juga bagian dari sistem dinamis yang saling memengaruhi.

 Empat Isu Ilmiah Kunci dalam SocioHydrology

1. Evolusi Jangka Panjang Sistem SosioHidrologi 

   Studi historis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, proyek irigasi besar, dan polusi industri memiliki efek jangka panjang terhadap kualitas dan kuantitas air. Misalnya, proyek bendungan besar dapat mengubah pola aliran sungai selama ratusan tahun.

2. Deskripsi Kuantitatif dan Mekanisme Penggerak 

   Penulis menekankan pentingnya metode kuantitatif seperti content analysis, mapping knowledge domain, dan model berbasis agen (ABM) untuk memahami dinamika sosialair. Contoh: Wei et al. (2015) menganalisis evolusi isu air di Australia melalui 150 tahun arsip surat kabar.

3. Prediksi Jalur KoEvolusi Sistem SosialAir 

   Tantangan utama adalah mengakomodasi ketidakpastian perilaku manusia dalam model prediktif. Faktor seperti nilai, kepercayaan, dan pendidikan memengaruhi respons terhadap kebijakan air. Big data dan media sosial mulai digunakan untuk menangkap dinamika ini secara realtime.

4. Manajemen Terintegrasi Sumber Daya Air (IWRM) Berbasis Sistem 

   Sociohydrology mendukung IWRM dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi dampak kebijakan dan merancang intervensi adaptif. Contoh sukses: penerapan IWRM di MurrayDarling Basin, Australia.

 Studi Kasus dan Model Terapan

Artikel ini menyajikan berbagai studi kasus dari 10 tahun terakhir, termasuk:

  •  Iran: Aghaie et al. (2020) menggunakan ABM untuk mensimulasikan pasar air tanah berbasis norma sosial.
  •  India: Srinivasan et al. (2015) mengembangkan model multihipotesis untuk menjelaskan penyusutan Sungai Arkavathy.
  •  Pakistan: Sawada & Hanazaki (2020) mengintegrasikan data dan model untuk memahami interaksi manusiabanjir di Punjab.
  •  Bangladesh: Yu et al. (2017) menerapkan evolutionary game theory untuk menganalisis ketahanan banjir berbasis institusi lokal.

Model yang digunakan mencakup system dynamics, Bayesian networks, dan conceptual models, menunjukkan keragaman pendekatan dalam sociohydrology.

 Kritik dan Kesenjangan Penelitian

Penulis mengidentifikasi tiga celah utama:

 Kurangnya mekanisme interaksi yang jelas antara sistem sosial dan hidrologi.

 Dominasi pendekatan kualitatif, padahal prediksi membutuhkan kuantifikasi yang kuat.

 Keterbatasan data lintas disiplin, terutama dalam skala spasial dan temporal yang sesuai.

Selain itu, banyak model masih menyederhanakan perilaku manusia dan gagal menangkap dinamika nilai, konflik, dan institusi secara mendalam.

 Peluang Masa Depan: Interdisiplin dan Big Data

Sociohydrology memiliki peluang besar untuk berkembang melalui:

  •  Integrasi teori dari ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi air, dan sistem kompleks.
  •  Pemanfaatan big data dari media sosial, sensor lingkungan, dan data spasial untuk meningkatkan akurasi model.
  •  Pengembangan model prediktif adaptif yang mampu menangkap respons tak terduga dari masyarakat terhadap kebijakan air.

Contoh: penggunaan data Twitter untuk memetakan persepsi publik terhadap krisis air di Cape Town (Ren et al., 2019).

 Kontribusi terhadap SDGs dan Tata Kelola Global

Sociohydrology berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  •  SDG 6: Air bersih dan sanitasi
  •  SDG 11: Kota dan komunitas berkelanjutan
  •  SDG 13: Aksi iklim

Dengan pendekatan sistemik dan partisipatif, sociohydrology dapat membantu merancang kebijakan air yang lebih adil, adaptif, dan berbasis bukti.

 Kesimpulan: Ilmu Baru untuk Dunia yang Berubah

Artikel ini menegaskan bahwa sociohydrology bukan sekadar cabang baru dari hidrologi, tetapi paradigma ilmiah baru yang menjawab kompleksitas dunia modern. Dengan menggabungkan sejarah, prediksi, dan manajemen dalam satu kerangka, disiplin ini menawarkan harapan baru untuk mengatasi krisis air global secara berkelanjutan dan inklusif.

Sumber Artikel

Xia, J., Dong, Y., & Zou, L. (2022). Developing sociohydrology: Research progress, opportunities and challenges. Journal of Geographical Sciences, 32(11), 2131–2146.

Selengkapnya
SocioHydrology: Ilmu Baru untuk Menjawab Krisis Air dan Tantangan SDGs

Sosiohidrologi

Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Asia Tengah, wilayah yang bergantung pada dua sungai besar Amudarya dan Syrdaryamenghadapi krisis tata kelola air yang kompleks. Artikel karya Abdullaev et al. (2025) mengupas bagaimana konflik politik, perubahan iklim, dan lemahnya kapasitas riset lokal memperumit pengelolaan air lintas negara. Lebih dari sekadar isu teknis, krisis ini mencerminkan ketegangan antara warisan Soviet, kepentingan nasional, dan kebutuhan akan tata kelola kolaboratif berbasis sains.

 Konteks Regional: Sungai yang Membelah Negara dan Kepentingan

Amudarya dan Syrdarya mengalir melintasi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sungaisungai ini menjadi sumber utama irigasi dan energi, namun juga menjadi sumber konflik. Proyek bendungan di hulu seperti Rogun di Tajikistan dan rencana pembangunan di Sungai Naryn oleh Kyrgyzstan memicu kekhawatiran negara hilir akan berkurangnya pasokan air.

Kasus penting: 

Pada 2024, Afghanistan memulai pembangunan kanal irigasi besar yang diperkirakan akan menyedot hingga 30% aliran Amudarya, mengancam pertanian di Uzbekistan dan Turkmenistan. Ini menambah tekanan pada sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebih.

 Dinamika Politik dan Reformasi: Antara Kolaborasi dan Ketegangan

Meski konflik potensial tinggi, Asia Tengah menunjukkan resiliensi politik melalui berbagai perjanjian dan forum seperti International Fund to Save the Aral Sea (IFAS). Uzbekistan, sejak 2017, mendorong kerja sama regional, termasuk kesepakatan pembangunan PLTA Kambarata I bersama Kazakhstan dan Kyrgyzstan.

Namun, reformasi sektor air masih didominasi pendekatan teknokratis dan efisiensi, bukan ketahanan jangka panjang. Tajikistan telah menjalankan reformasi selama 9 tahun, Kazakhstan membentuk kementerian air baru, dan Uzbekistan memisahkan kementerian air dari pertanian serta memperluas irigasi tetes. Tapi, resiliensi kelembagaan dan adaptasi terhadap ketidakpastian iklim masih minim.

 Studi Kasus: Bencana dan Ketegangan Sosial

  •  Banjir akibat jebolnya Bendungan Sardoba (Uzbekistan, 2020) menunjukkan lemahnya infrastruktur dan koordinasi lintas negara.
  •  Kekeringan ekstrem di Kazakhstan (2021) dan banjir salju di 2024 memperlihatkan dampak nyata perubahan iklim.
  •  Kanal QoshTepa oleh Taliban menjadi titik panas baru, memicu kekhawatiran geopolitik dan ketegangan diplomatik.

 Peran Riset dan Pendidikan Tinggi: Potensi yang Belum Dioptimalkan

Artikel ini menyoroti bahwa kapasitas riset lokal masih tertinggal. Banyak universitas dan lembaga riset di Asia Tengah belum mengalami reformasi signifikan sejak era Soviet. Keterbatasan dana, ketergantungan pada donor asing, dan minimnya literatur dalam bahasa lokal menjadi hambatan utama.

Catatan penting:

  •  Sebagian besar materi ajar masih dalam bahasa Rusia, sementara literatur terbaru tersedia dalam bahasa Inggris.
  •  Kapasitas dosen dan peneliti lokal terbatas, baik dari sisi metodologi maupun akses terhadap jaringan global.
  •  Kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan sektor kebijakan masih lemah, menghambat inovasi dan transfer pengetahuan.

 SciencePolicy Interface: Jembatan yang Masih Rawan

Meski ada lembaga seperti Interstate Commission for Water Coordination (ICWC) dan pusat informasinya (SIC), integrasi antara riset dan kebijakan masih terbatas. Hambatan utama:

  •  Kurangnya data dasar yang dapat diakses bersama
  •  Ketakutan negara untuk berbagi data karena potensi disalahartikan
  •  Durasi proyek internasional yang pendek, sehingga tidak membangun kepercayaan jangka panjang

Inisiatif baru: 

Usulan pembentukan Central Asian Expert Platform on Water Security, Sustainable Development, and Future Studies sebagai wadah kolaborasi lintas negara dan institusi untuk menyusun agenda riset jangka panjang dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

 Kritik dan Rekomendasi: Dari Efisiensi ke Ketahanan

Penulis mengkritik bahwa pendekatan dominan masih berfokus pada efisiensi teknis dan pasar, bukan pada resiliensi sistemik. Untuk menjawab tantangan iklim dan geopolitik, dibutuhkan :

  •  Reformasi kurikulum pendidikan tinggi agar lebih interdisipliner dan kontekstual
  •  Investasi jangka panjang dari negara, bukan hanya donor asing
  •  Integrasi pengetahuan lokal dan warisan Soviet dengan pendekatan modern
  •  Peningkatan literasi kebijakan berbasis sains di kalangan pembuat keputusan

 Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini menyajikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas tata kelola air di Asia Tengah. Dari konflik lintas negara hingga lemahnya kapasitas riset, dari reformasi teknokratis hingga kebutuhan akan pendekatan adaptif—semuanya menunjukkan bahwa air bukan hanya soal sumber daya, tapi juga soal politik, pengetahuan, dan masa depan bersama.

Dengan membangun jembatan antara sains dan kebijakan, memperkuat pendidikan tinggi, dan mendorong kolaborasi regional, Asia Tengah memiliki peluang untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi.

Sumber :  Abdullaev, I., Assubayeva, A., Bobojonov, I., Djanibekov, N., Dombrowsky, I., Gafurov, A., Hamidov, A., HerrfahrdtPähle, E., JanuszPawletta, B., Ishangulyyeva, R., Kasymov, U., Mirkasimov, B., Petrick, M., Strobehn, K., & Ziganshina, D. (2025). Current challenges in Central Asian water governance and their implications for research, higher education, and sciencepolicy interaction. Central Asian Journal of Water Research, 11(1), 47–58.

Selengkapnya
Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Sosiohidrologi

Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.

Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.

 Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata

Penelitian ini bertujuan:

  • Mengidentifikasi teori budaya yang paling dominan dalam literatur tata kelola air.
  • Membedakan nilainilai budaya yang muncul dalam konteks manajemen air versus tata kelola air.
  • Menganalisis seberapa jauh teori/nilai budaya tersebut diterapkan secara nyata dalam perencanaan atau model pengelolaan air.

Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.

 Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi

Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:

  • Egalitarian
  • Hierarchist
  • Individualist
  • Fatalist

Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.

 Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges

Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.

Nilai  nilai yang muncul mencakup:

  • Lore dan heritage 
  • Spiritualitas dan keterhubungan dengan alam 
  • Tempat sebagai identitas (placebased values) 

Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann

 Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?

Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.

Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.

 Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?

Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:

  • Model statistik (misalnya regresi, struktur persamaan) 
  • Pendekatan agen berbasis model (agentbased modeling) 
  • Analisis jaringan sosial dan pemetaan budaya 
  • Game theory dan simulasi perilaku petani terhadap kebijakan air 

Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.

 Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual

Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:

 Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.

 Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).

 Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.

 Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif

Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.

Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:

  • Selfdirection
  • Universalism
  • Tradition
  • Security
  • Benevolence 

Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.

 Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan

Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.

Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.

 Kesimpulan

Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.

Sumber Artikel : 

Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.

Selengkapnya
Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
« First Previous page 7 of 1.113 Next Last »