Pengelolaan Air

Mengupas Implikasi Hukum Pengelolaan Air Pasca Putusan MK 85/PUU-XI/2013: Kajian Kritis Tesis Andi Aswar

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Mengapa Air Kini Jadi Isu Hukum yang Strategis?

Dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia, air bukan sekadar komoditas alam biasa. Ia adalah representasi dari hak dasar manusia, sumber kehidupan, dan kini—pusat konflik antara kepentingan publik dan korporasi. Tesis Andi Aswar, berjudul Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, menyajikan sebuah analisis mendalam mengenai transisi hukum dalam pengelolaan air di Indonesia. Putusan ini membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 karena dianggap melenceng dari semangat konstitusi, yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Problematika UU No. 7 Tahun 2004: Saat Air Dijadikan Komoditas

UU No. 7 Tahun 2004 membawa semangat liberalisasi air. Hak guna usaha air yang dibuka bagi swasta dianggap membahayakan akses masyarakat terhadap air. Contoh nyata kegagalan ini terlihat di DKI Jakarta, di mana dua perusahaan swasta menguasai distribusi air namun gagal memenuhi kebutuhan warga secara adil. Warga harus membeli air jerigen dengan harga lebih mahal karena tidak mendapat akses dari pipa distribusi.

Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013: Kemenangan untuk Hak Rakyat

Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut dan menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974. MK menyatakan bahwa air bukan barang dagangan, melainkan benda sosial yang tak boleh dikuasai oleh segelintir entitas berorientasi profit. Dalam ratio decidendi-nya, MK menekankan bahwa air adalah hak dasar warga negara dan harus dikelola negara secara langsung atau melalui BUMN/BUMD, dengan partisipasi aktif masyarakat sekitar sumber air.

Implikasi Hukum: Antara Kekosongan dan Harapan Baru

Putusan MK tersebut memang memicu kekosongan hukum sementara. UU No. 11/1974 yang diberlakukan kembali sudah uzur dan tidak sinkron dengan sistem otonomi daerah pasca reformasi. Namun, momen ini justru membuka jalan lahirnya UU No. 17 Tahun 2019, yang secara tegas menegaskan kembali penguasaan negara atas air, sekaligus memperbaiki celah hukum yang selama ini dieksploitasi swasta.

UU No. 17 Tahun 2019: Reformasi atau Sekadar Revisi?

UU No. 17/2019 menegaskan prinsip bahwa air harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun tetap membuka ruang partisipasi swasta dalam pengelolaan air dalam batasan yang ketat. Yang jadi pertanyaan, apakah ini kompromi cerdas atau bentuk soft-privatization? Studi Andi Aswar menunjukkan bahwa selama negara tetap menjadi pengendali utama, dan akses masyarakat dijamin, keterlibatan swasta tidak serta merta menjadi bentuk pelanggaran konstitusi.

Studi Kasus: Krisis Air di Jakarta, Makassar, dan Bintan

Aswar mencatat berbagai kasus kelangkaan air bersih di Jakarta, Makassar, Maros, hingga Bintan. Sebagian wilayah harus membeli air dengan harga mahal atau mengandalkan sumur bor yang kualitasnya tidak terjamin. Sementara perusahaan air minum swasta justru mencatatkan keuntungan besar. Ini menunjukkan ketimpangan distribusi hak atas air, sekaligus memperkuat argumen mengapa regulasi air harus diawasi ketat.

Kritik atas Regulasi dan Implementasinya

Aswar dengan tajam mengkritik disharmoni antara undang-undang dan peraturan pelaksananya. Misalnya, PP No. 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum masih membuka peran besar swasta, yang sejatinya kontradiktif dengan semangat putusan MK. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan minimnya keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan membuat banyak daerah rentan terhadap praktik komersialisasi air.

Opini: Reposisi Negara sebagai Penguasa, Bukan Sekadar Regulator

Salah satu nilai penting dari tesis ini adalah gagasan untuk menempatkan negara bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pengelola utama air. Dengan kata lain, negara harus punya kapasitas teknis, kelembagaan, dan pendanaan untuk mengelola air secara adil dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan putusan MK dan dengan prinsip sustainable development yang berbasis keadilan sosial.

Kontribusi Akademik dan Praktis

Tesis ini memperkaya wacana hukum air dengan menautkan aspek konstitusi, hak asasi, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, kontribusinya pada ranah praktis adalah dengan menawarkan peta jalan implementasi UU No. 17 Tahun 2019 agar tidak mengulang kesalahan masa lalu.

Rekomendasi Strategis:

  1. Sinkronisasi Regulasi: Harmonisasi antara UU, PP, dan Perda harus segera dilakukan.
  2. Audit Perjanjian Swasta: Semua kontrak pengelolaan air oleh swasta harus ditinjau ulang pasca-putusan MK.
  3. Penguatan Peran BUMD: BUMD dan BUMDes harus menjadi ujung tombak layanan air bersih.
  4. Keterlibatan Publik: Mekanisme konsultasi publik dalam perencanaan kebijakan air harus diwajibkan.
  5. Penguatan Pengawasan MK: MK harus punya mekanisme monitoring atas pelaksanaan putusannya.

Penutup: Air untuk Rakyat, Bukan untuk Diperdagangkan

Tesis ini adalah alarm bagi bangsa bahwa air bukan milik pasar, tapi milik rakyat. Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 adalah tonggak penting yang harus terus dijaga dan diterjemahkan dalam kebijakan nyata, bukan hanya dalam retorika.

Sumber: Aswar, A. (2022). Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.

Selengkapnya
Mengupas Implikasi Hukum Pengelolaan Air Pasca Putusan MK 85/PUU-XI/2013: Kajian Kritis Tesis Andi Aswar

Konstruksi

Kegagalan Konstruksi Bukan Karena Beton: Menguak Akar Non-Teknis di Balik Runtuhnya Proyek

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025


Pengantar: Ketika Bangunan Gagal Bukan Karena Rancangan

 

Industri konstruksi sering kali diasumsikan gagal karena aspek teknis—rancangan struktur yang lemah, material yang buruk, atau kesalahan dalam metode pelaksanaan. Namun, penelitian Yustinus Eka Wiyana membalikkan asumsi tersebut dengan mengungkap sisi gelap yang jarang dibicarakan: faktor non-teknis sebagai penyebab dominan kegagalan konstruksi dan bangunan.

 

Melalui pendekatan yang mendalam, studi ini menyuguhkan perspektif baru mengenai hubungan antara kompetensi sumber daya manusia dalam konstruksi—baik badan usaha maupun individu—dengan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu proyek. Paper ini tidak hanya relevan bagi akademisi, tetapi sangat penting dipahami oleh pelaku industri dan pengambil kebijakan pembangunan infrastruktur nasional.

 

Fokus Kajian: Kompetensi yang Diabaikan, Risiko yang Membesar

 

Penelitian ini secara khusus menganalisis pengaruh tiga elemen kompetensi utama dalam sektor konstruksi:

Sertifikat Badan Usaha (SBU)

Sertifikat Keahlian (SKA)

Sertifikat Keterampilan (SKT)

 

Ketiga sertifikat tersebut seharusnya menjamin profesionalisme dan kemampuan teknis serta manajerial dari pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Namun, dalam praktiknya, sertifikasi ini kerap hanya menjadi formalitas administratif yang tidak mencerminkan kompetensi nyata.

 

Dengan menggunakan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan dukungan data lapangan dari 34 proyek di Jawa Tengah, penelitian ini menyimpulkan bahwa kegagalan konstruksi dan bangunan memiliki hubungan struktural langsung dengan lemahnya kualitas SDM dan institusi yang terlibat.

 

Data & Temuan Lapangan: Fakta Tak Terbantahkan dari 34 Proyek

 

Dari 34 proyek yang diteliti, komposisi proyek cukup merata dari berbagai tingkatan skala, mulai dari mikro hingga menengah. Hasil observasi menunjukkan bahwa 35% proyek tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana tercantum dalam kontrak. Bahkan, 15% proyek terlambat penyelesaiannya, dengan durasi keterlambatan antara 18–58 hari atau sekitar 13–39% dari total waktu proyek.

 

Yang menarik, proyek-proyek yang mengalami kegagalan tersebar di 9 kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Semarang, Kudus, Blora, dan Magelang. Namun, ironisnya, kabupaten-kabupaten ini justru memiliki jumlah tenaga ahli dan terampil bersertifikat yang sangat terbatas. Di sebagian besar wilayah, jumlah tenaga ahli bersertifikat masih di bawah 500 orang, sementara tenaga terampil bersertifikat bahkan lebih rendah.

 

Analisis Tambahan: Sertifikasi Tanpa Validasi adalah Ancaman

 

Salah satu sorotan paling tajam dalam penelitian ini adalah lemahnya sistem validasi dalam proses penerbitan SBU, SKA, dan SKT. Banyak asosiasi yang mengeluarkan sertifikat tanpa melakukan uji kompetensi secara objektif. Ini menciptakan ilusi bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proyek memiliki kemampuan, padahal kenyataannya tidak demikian.

 

Hal ini berdampak langsung terhadap kualitas pekerjaan di lapangan. Ketiadaan keterampilan praktis, lemahnya manajemen risiko, serta ketidakpahaman terhadap standar mutu teknis menyebabkan keputusan yang keliru dalam pengadaan material, pengawasan pekerjaan, hingga pengendalian mutu.

 

Kasus Nyata: Ketika Sertifikasi Tidak Menjamin Kompetensi

 

Dalam salah satu proyek di Kota Salatiga, ditemukan keretakan struktural pada bangunan sekolah baru hanya dalam waktu 3 bulan setelah serah terima. Investigasi independen mengungkapkan bahwa pelaksana lapangan tidak memahami ketentuan teknis pengecoran lantai dua. Meski memegang SKT, pekerja tersebut tidak pernah mengikuti pelatihan teknis.

 

Di Blora, proyek drainase rusak hanya dalam hitungan minggu akibat ketebalan beton yang tidak merata. Pihak kontraktor memiliki SBU aktif, namun perusahaan tersebut ternyata hanya “meminjam nama” untuk memenuhi syarat lelang. Fenomena ini jamak terjadi, memperkuat temuan penelitian bahwa proses sertifikasi saat ini belum sepenuhnya menjamin kompetensi nyata.

 

Kritik terhadap Sistem Sertifikasi dan Manajemen SDM Konstruksi

 

Penelitian ini juga menyoroti bahwa problem sistemik dalam tata kelola SDM konstruksi adalah biang utama. Pemerintah selama ini lebih berfokus pada aspek pengawasan teknis pasif, tanpa memastikan bahwa aktor yang ditunjuk memang layak dari sisi kompetensi.

 

Selain itu, banyak tenaga kerja yang tidak mendapat akses pada pelatihan atau pembinaan kompetensi, apalagi di daerah-daerah. Disparitas kompetensi antara pusat dan daerah menciptakan kesenjangan kualitas proyek yang tajam. Di sisi lain, birokrasi sertifikasi yang rumit dan biaya tinggi menjadi penghambat partisipasi pekerja lokal.

 

Dampak Luas: Kerugian Ekonomi dan Sosial

 

Ketika bangunan gagal berfungsi atau mengalami kerusakan dini, bukan hanya uang negara yang terbuang. Masyarakat sebagai pengguna akhir menjadi korban langsung. Bangunan sekolah yang retak, puskesmas yang bocor, atau jembatan desa yang ambruk menimbulkan rasa tidak percaya publik terhadap pemerintah dan industri konstruksi.

 

Lebih jauh, kegagalan tersebut juga menimbulkan kerugian ekonomi sekunder—terhambatnya akses, meningkatnya biaya pemeliharaan, dan pemborosan anggaran. Oleh karena itu, isu non-teknis dalam konstruksi harus segera ditangani jika ingin mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

 

Rekomendasi Strategis: Membangun dari SDM, Bukan Hanya Beton

 

Penelitian ini menyarankan beberapa langkah strategis, yang juga relevan untuk diterapkan secara nasional:

 

1. Reformasi Sistem Sertifikasi

 

Proses sertifikasi SBU, SKA, dan SKT harus melibatkan uji kompetensi berbasis praktik dan audit lapangan secara berkala. Asosiasi dan lembaga sertifikasi harus diawasi oleh badan independen yang memiliki kewenangan penuh.

 

2. Pemetaan dan Penguatan SDM Daerah

 

Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu memetakan jumlah dan kompetensi tenaga kerja konstruksi di wilayahnya. Program pelatihan berbasis komunitas dan kerja sama dengan politeknik lokal harus diintensifkan.

 

3. Digitalisasi Proses Tender dan Sertifikasi

 

Dengan menggunakan platform digital berbasis blockchain atau sistem database nasional, transparansi dan keabsahan data tenaga ahli dan badan usaha bisa lebih terjamin.

 

4. Integrasi Manajemen Risiko Non-Teknis

 

Pihak perencana dan pengawas harus mulai mengadopsi manajemen risiko yang tidak hanya memantau aspek teknis, tapi juga kompetensi pelaksana, reputasi kontraktor, dan histori proyek sebelumnya.

 

Kesimpulan: Tanpa SDM Kompeten, Pembangunan Akan Runtuh

 

Melalui pendekatan yang sistematis dan data lapangan konkret, paper ini berhasil membuktikan bahwa faktor non-teknis berperan besar dalam kegagalan konstruksi dan bangunan. Sertifikasi formal yang tidak diimbangi dengan kompetensi riil, kurangnya tenaga kerja terampil, serta lemahnya sistem pengawasan menjadi pemicu utama.

 

Untuk menjawab tantangan tersebut, industri konstruksi Indonesia harus berani melakukan reformasi mendalam, dimulai dari sistem manajemen SDM dan validasi kompetensi. Tanpa itu, pembangunan yang berkualitas hanya akan jadi ilusi di atas kertas kontrak.

 

 

Sumber Resmi:

 

Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Non-Teknis. Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 1.

Jurnal Wahana Teknik Sipil – Politeknik Negeri Semarang

Selengkapnya
Kegagalan Konstruksi Bukan Karena Beton: Menguak Akar Non-Teknis di Balik Runtuhnya Proyek

Konstruksi

Menelusuri Akar Masalah Produktivitas Tenaga Kerja dalam Menurunkan Kualitas Proyek Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Kualitas, Pilar Ketiga yang Terlupakan

 

Selama bertahun-tahun, pengukuran produktivitas dalam industri konstruksi di Indonesia umumnya berfokus pada dua aspek utama: waktu dan biaya. Namun, dalam realitas proyek konstruksi modern, kualitas merupakan elemen penting yang tidak bisa diabaikan. Paper karya Anton Soekiman bersama Krishna S. Pribadi, Biemo W. Soemardi, dan Reini D. Wirahadikusumah dari Parahyangan Catholic University dan ITB, hadir menjawab tantangan ini dengan menelaah faktor-faktor produktivitas tenaga kerja yang berdampak langsung pada kinerja kualitas proyek bangunan di Indonesia.

 

Alih-alih sekadar mengejar kecepatan dan efisiensi biaya, penelitian ini menekankan pentingnya keterkaitan erat antara produktivitas tenaga kerja dan kualitas hasil pekerjaan. Sebab, proyek yang selesai tepat waktu dan hemat biaya, namun memiliki kualitas buruk, pada akhirnya merugikan semua pihak.

 

Metode Penelitian: Menggali Suara Praktisi Lapangan

 

Studi ini menggunakan pendekatan survei melalui kuesioner terhadap 51 responden dari berbagai latar belakang profesional seperti manajer proyek, pengawas lapangan, hingga pejabat pemerintah. Para responden berasal dari wilayah yang tersebar di Indonesia, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi. Menariknya, lebih dari 94% responden memiliki pengalaman kerja lebih dari lima tahun, menjadikan temuan penelitian ini memiliki dasar praktis yang kuat.

 

Kuesioner menilai 113 faktor yang telah dikelompokkan menjadi 15 kategori seperti supervisi, perencanaan pelaksanaan, desain, tenaga kerja, material, hingga faktor eksternal. Responden diminta menilai tingkat pengaruh masing-masing faktor terhadap kualitas proyek menggunakan skala 1 hingga 5. Hasilnya diolah menjadi indeks kepentingan untuk mengukur dampak relatif tiap faktor.

 

Temuan Kunci: Supervisi sebagai Titik Rawan

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok faktor supervisi merupakan penyumbang dampak negatif tertinggi terhadap kualitas proyek. Masalah seperti instruksi yang tidak jelas kepada pekerja, tidak adanya metode supervisi yang terstruktur, ketidakhadiran pengawas, dan rendahnya kompetensi supervisor dinilai sangat memengaruhi hasil akhir proyek.

 

Selain itu, perencanaan pelaksanaan yang buruk, termasuk dalam hal urutan kerja (sequencing) yang kacau, juga berkontribusi terhadap penurunan mutu konstruksi. Kepemimpinan yang lemah di lapangan, perubahan desain yang tidak dikomunikasikan dengan baik, serta rendahnya keterampilan dan pengalaman tenaga kerja, turut memperburuk situasi.

 

Hal menarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa faktor-faktor yang tampaknya teknis seperti material dan alat, justru memiliki dampak yang lebih kecil dibanding faktor-faktor yang sifatnya manajerial dan manusiawi. Ini menunjukkan bahwa akar dari banyak permasalahan kualitas bukan pada bahan bangunan atau teknologi, melainkan pada pengelolaan manusia di lapangan.

 

Analisis Lanjutan: Masalah Lama yang Belum Tuntas

 

Permasalahan seperti rendahnya keterampilan pekerja, ketidakhadiran pengawas, hingga komunikasi yang buruk sudah lama dikenal dalam dunia konstruksi Indonesia. Namun hingga kini, persoalan tersebut masih dominan. Ini menunjukkan bahwa sistem pelatihan dan manajemen tenaga kerja belum berhasil mengatasi tantangan dasar produktivitas.

 

Ketika seorang pekerja menerima instruksi yang tidak jelas, kesalahan pengerjaan sangat mungkin terjadi. Jika pengawas tidak hadir atau tidak kompeten, kesalahan tersebut tidak langsung terdeteksi dan bisa merembet menjadi cacat struktural. Ketika desain berubah tapi tidak segera disampaikan ke lapangan, pekerja tetap melanjutkan pekerjaan sesuai desain lama. Akibatnya, kualitas akhir proyek terganggu dan biaya perbaikan bertambah.

 

Studi Nyata: Proyek Gagal karena Salah Supervisi

 

Salah satu contoh konkret terjadi dalam proyek pembangunan fasilitas pemerintahan di Jawa Barat. Proyek ini mengalami keterlambatan hingga empat bulan dan menghadapi kritik tajam karena kualitas pekerjaan struktur bawah yang buruk. Setelah diaudit, ditemukan bahwa pengawas lapangan sering absen, terjadi miskomunikasi terkait perubahan desain pondasi, dan para pekerja tidak mendapatkan pelatihan mengenai metode pengecoran baru.

 

Temuan dalam kasus ini sangat mencerminkan isi paper yang dibahas. Persoalan yang terlihat sederhana seperti komunikasi dan kehadiran pengawas ternyata menjadi penentu kualitas proyek secara keseluruhan. Bahkan, meski material telah memenuhi spesifikasi dan alat berat tersedia, kegagalan tetap tidak terhindarkan karena lemahnya supervisi.

 

Keterkaitan dengan Tren Global

 

Fokus pada faktor manusia dalam produktivitas bukan hanya menjadi perhatian di Indonesia. Penelitian oleh Alinaitwe et al. (2007) di Uganda dan Enshassi et al. (2007) di Gaza menunjukkan kesamaan bahwa produktivitas sangat erat kaitannya dengan sistem manajemen tenaga kerja, pelatihan, dan koordinasi di lapangan. Meski setiap negara memiliki tantangan unik, akar permasalahannya sering kali serupa: SDM yang tidak dikelola secara efektif.

 

Namun, dalam konteks Indonesia, kompleksitas semakin tinggi karena keberagaman budaya, bahasa, dan struktur organisasi antarwilayah. Hal ini menjadi pembeda utama dan memperkuat urgensi pengembangan pendekatan supervisi yang adaptif dan kontekstual.

 

Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Perbaikan

 

Berdasarkan temuan paper ini, berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas proyek melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja:

  • Pertama, penting untuk meningkatkan kompetensi para pengawas lapangan. Ini bisa dilakukan melalui pelatihan teknis dan manajerial secara berkala. Sertifikasi profesi pengawas juga harus diwajibkan sebagai bagian dari sistem kualitas proyek nasional.
  • Kedua, perusahaan konstruksi perlu menerapkan metode supervisi yang terstandar. Penggunaan aplikasi digital untuk checklist pekerjaan harian dan inspeksi bisa membantu mengurangi human error serta meningkatkan transparansi.
  • Ketiga, perencanaan pelaksanaan perlu dibuat secara sistematis dan realistis. Simulasi urutan kerja serta pelibatan tim pelaksana dalam tahap perencanaan akan meningkatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap metode kerja.
  • Keempat, sistem komunikasi di lapangan harus diperkuat. Briefing rutin, dokumentasi perubahan desain secara real-time, serta penggunaan aplikasi komunikasi kerja (seperti WhatsApp Business atau Trello) dapat meningkatkan koordinasi antara tim perencana dan pelaksana.
  • Terakhir, pelatihan bagi tenaga kerja tidak boleh diabaikan. Keterampilan praktis seperti pengecoran, pemasangan rangka baja, atau pembacaan gambar kerja perlu terus diasah dengan metode belajar langsung yang aplikatif.

 

Kritik terhadap Penelitian

 

Meskipun penelitian ini menawarkan wawasan penting, masih terdapat beberapa keterbatasan. Jumlah responden relatif kecil dibanding luasnya cakupan industri konstruksi di Indonesia. Selain itu, sebagian besar responden berasal dari Pulau Jawa, padahal konteks konstruksi di wilayah Indonesia Timur atau luar Jawa bisa sangat berbeda. Penelitian lanjutan sebaiknya mengakomodasi lebih banyak responden dari wilayah timur serta mempertimbangkan pengaruh digitalisasi dalam supervisi modern.

 

Kesimpulan: Produktivitas Bukan Sekadar Kecepatan

 

Paper ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas proyek konstruksi tidak bisa dilepaskan dari perbaikan produktivitas tenaga kerja. Namun, produktivitas di sini tidak boleh semata-mata diartikan sebagai kecepatan bekerja, tetapi juga mencakup kemampuan bekerja dengan benar dan sesuai standar kualitas. Kualitas, pada akhirnya, adalah hasil dari keterampilan, komunikasi, kepemimpinan, dan sistem kerja yang menyatu.

 

Dalam era pembangunan masif dan kebutuhan infrastruktur berkualitas tinggi, temuan ini menjadi pengingat bahwa pembangunan yang baik dimulai dari manusia yang dikelola dengan baik. Kualitas proyek tidak bisa ditinggikan jika supervisi masih lemah, komunikasi masih buruk, dan pekerja masih belum terlatih. Maka, investasi pada manajemen tenaga kerja adalah investasi pada masa depan konstruksi Indonesia itu sendiri.

 

 

Sumber Referensi

 

Soekiman, A., Pribadi, K. S., Soemardi, B. W., & Wirahadikusumah, R. D. (2010). Labor Productivity Factors Affecting the Projects Quality Performance in Indonesia. Dipresentasikan dalam 5th ASEAN Post Graduate Seminar, Kuala Lumpur.

 

 

Selengkapnya
Menelusuri Akar Masalah Produktivitas Tenaga Kerja dalam Menurunkan Kualitas Proyek Konstruksi di Indonesia

Bencana Alam

Menggali Pengetahuan Lokal sebagai Kunci Pencegahan Longsor di Permukiman Informal Manado

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Bencana Alam Bukan Sekadar Fenomena Alam

 

Selama ini, kajian teknis mengenai longsor di kawasan urban cenderung menitikberatkan pada faktor geologis dan infrastruktur fisik. Namun, penelitian terbaru dari MacAfee dkk. menyuguhkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual: mengintegrasikan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) ke dalam strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR), khususnya di permukiman informal Kota Manado. Artikel ini menyuarakan urgensi pengakuan terhadap LK sebagai sumber informasi penting, yang sering kali diabaikan dalam kebijakan dan praktik DRR konvensional.

 

Metodologi: Dari Wawancara ke Pemahaman Kontekstual

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 19 partisipan, transect walks, observasi etnografis, dan diskusi umpan balik. Fokus utama diarahkan pada satu permukiman di Kecamatan Singkil, Manado, yang dikenal rawan longsor. Warga yang diwawancarai terdiri dari individu yang tinggal di atas, di tengah, dan di bawah lereng, menciptakan gambaran utuh mengenai risiko dan dampaknya dari berbagai sudut pandang spasial.

 

Temuan Utama: Sampah sebagai Ancaman Longsor yang Terabaikan

 

Salah satu hasil paling signifikan dari studi ini adalah pengungkapan keterkaitan antara pengelolaan sampah padat (solid waste management/SWM) yang buruk dan meningkatnya risiko longsor. Warga mengidentifikasi bahwa tumpukan sampah di lereng tidak hanya mengganggu aliran air hujan, tetapi juga menambah beban dan melemahkan struktur tanah. Anehnya, faktor ini nyaris tidak diakomodasi dalam klasifikasi ilmiah mainstream seperti Varnes Classification, yang cenderung mengabaikan kontribusi aktivitas antropogenik secara spesifik.

 

Faktor-faktor Risiko yang Dikenali oleh Warga:

  • Curah hujan ekstrem dan tidak terprediksi karena perubahan iklim
  • Lereng terjal dengan tanah vulkanik yang porous
  • Pertumbuhan permukiman padat di lereng
  • Konstruksi rumah yang rapuh dan tanpa fondasi
  • Saluran drainase yang rusak atau tidak tersedia
  • Tumpukan sampah yang menghambat aliran air dan melemahkan tanah
  • Kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap warga yang tinggal di tanah tanpa legalitas

 

Analisis Tambahan: Ketimpangan Sosial dan "Politik Pengetahuan"

 

Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana stigmatisasi terhadap warga permukiman informal mempengaruhi akses mereka terhadap infrastruktur dasar seperti pengelolaan sampah. Pemerintah kota Manado tidak mengakui kawasan tersebut sebagai daerah kumuh dalam peraturan resmi, sehingga mereka tidak menerima bantuan seperti sistem drainase atau dinding penahan tanah.

 

Warga pun kerap disalahkan atas kondisi lingkungan dengan asumsi bahwa “kebiasaan buruk” mereka menjadi penyebab masalah. Padahal, mereka telah menunjukkan kesadaran tinggi terhadap risiko dan bahkan memiliki solusi lokal seperti membangun dinding dari karung pasir atau menanam kembali lereng yang gundul.

 

Studi Kasus: Longsor Akibat Sampah di Singkil

 

Salah satu narasumber yang rumahnya hancur akibat longsor tahun 2020 menjelaskan bahwa tanah yang dipenuhi sampah menjadi lebih rentan terhadap erosi. Air hujan membawa sampah ke bawah, memicu longsoran kecil yang berulang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara air, tanah yang gembur, dan sampah organik maupun plastik menciptakan kondisi kritis yang belum dijelaskan dalam literatur teknis secara komprehensif.

 

Perbandingan dan Relevansi Global

 

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Manado. Tragedi longsor sampah di Quezon City (Filipina, 2000) dan Ghazipur (India, 2017) menunjukkan bahwa “garbage landslides” merupakan bencana antropogenik yang nyata dan mematikan. Namun, kebanyakan riset masih berfokus pada landfill besar, bukan permukiman informal yang secara fungsional berperan seperti landfill tak resmi.

 

Studi ini memperlihatkan bahwa situasi di Manado memiliki kesamaan dengan area rentan di Brasil dan Kolombia, di mana warga juga menunjukkan kapasitas luar biasa dalam mengidentifikasi dan merespons risiko. Di Indonesia sendiri, praktik lokal seperti Mapalus (di Tomohon) atau Smong (di Simeulue) membuktikan kekuatan LK dalam merespons bencana.

 

Implikasi Praktis: Aksi Nyata dan Rekomendasi

 

Rekomendasi Praktis:

  • Edukasi warga agar menyimpan atau membuang sampah di area yang tidak rawan longsor
  • Pengembangan sistem pengelolaan sampah mikro berbasis komunitas
  • Pemberian alat pengaman bagi warga saat melakukan pembersihan pasca longsor

 

Rekomendasi Kebijakan:

  • Perluasan kriteria "pemukiman prioritas" untuk revitalisasi dengan mempertimbangkan risiko bencana
  • Integrasi antara program pengelolaan sampah dan program mitigasi bencana
  • Penguatan peran warga dalam penyusunan kebijakan DRR, tanpa membebani mereka sebagai aktor tunggal

 

Rekomendasi Riset Lanjutan:

  • Studi kuantitatif mengenai kontribusi masing-masing jenis sampah terhadap stabilitas lereng
  • Pengembangan model prediksi risiko longsor yang menggabungkan variabel antropogenik
  • Analisis perbandingan antara lokasi longsor dengan atau tanpa penumpukan sampah di lereng

 

Kritik dan Batasan Penelitian

 

Meskipun sangat kaya secara naratif, studi ini terbatas dari sisi ukuran sampel dan cakupan geografis. Penelitian lanjutan bisa memperluas pendekatan ke wilayah lain yang memiliki topografi serupa, serta mengembangkan metode pengukuran kuantitatif untuk memperkuat validitas temuan kualitatif ini.

 

Kesimpulan: Pengetahuan Lokal Bukan Pelengkap, Tapi Kebutuhan

 

Artikel ini bukan hanya menyoroti kekuatan pengetahuan lokal, tetapi juga menantang pendekatan DRR konvensional yang menempatkan teknokrat sebagai pusat pengambilan keputusan. Warga permukiman informal di Manado terbukti memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika risiko di lingkungan mereka. Pengabaian terhadap pengetahuan ini bukan hanya kelalaian, melainkan sebuah kegagalan struktural dalam membangun kota yang tangguh dan inklusif.

 

Oleh karena itu, pengintegrasian pengetahuan lokal bukanlah opsi tambahan, melainkan bagian esensial dari strategi DRR masa depan, terutama di wilayah yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis iklim secara bersamaan.

 

 

Sumber Paper:

MacAfee, E., Lohr, A. J., & de Jong, E. (2024). Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 111, 104710.

DOI: https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2024.104710

Selengkapnya
Menggali Pengetahuan Lokal sebagai Kunci Pencegahan Longsor di Permukiman Informal Manado

Kontruksi Jalan

Mengungkap Tantangan dan Solusi Manajemen Kualitas Proyek Jalan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Jalan Rusak, Masalah Kualitas yang Sistemik

 

Infrastruktur jalan di Indonesia bukan hanya menjadi urat nadi mobilitas, tapi juga cerminan kematangan manajemen konstruksi nasional. Namun, realitas menunjukkan banyak proyek jalan yang tidak mencapai standar mutu. Dalam konteks ini, penelitian Febriane dkk. menghadirkan kontribusi penting untuk mengidentifikasi penyebab serta menawarkan solusi terhadap rendahnya mutu proyek jalan raya, khususnya di Indonesia. Dengan fokus pada proyek Manado Outer Ring Road (MOR) III, paper ini menjadi potret komprehensif bagaimana tiga aktor utama—pemerintah, kontraktor, dan konsultan pengawas—berinteraksi dalam proses mutu.

 

Metodologi Penelitian: Gabungan Delphi dan Focus Group

 

Penelitian ini menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui wawancara awal, dua putaran survei Delphi, serta wawancara kelompok terfokus. Tiga kelompok responden utama dilibatkan: perwakilan pemerintah (NRIA), konsultan pengawas, dan kontraktor proyek MOR III. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan utama:

 

Bagaimana proses manajemen mutu saat ini dijalankan?

Apa tantangan kritis yang dihadapi dalam implementasinya?

Bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi kendala tersebut?

 

Dengan nilai proyek mencapai Rp60 miliar, studi kasus MOR III menjadi representasi konkret dari persoalan nyata di lapangan.

 

Faktor Kunci yang Memengaruhi Kualitas Proyek Jalan

 

1. Dokumentasi Standar Kualitas yang Tidak Lengkap

 

Salah satu akar masalah utama adalah dokumen kualitas yang tidak memadai, termasuk form permintaan pekerjaan konstruksi dan checklist pengawasan. Kondisi ini menghambat proses awal proyek, menyebabkan ketidakjelasan standar, dan memperpanjang waktu pelaksanaan.

 

Analisis Tambahan: Masalah dokumentasi ini juga umum ditemukan dalam proyek skala kecil-menengah, terutama di daerah dengan kapasitas manajerial terbatas. Dalam era digital, penerapan e-QMS bisa menjadi solusi yang layak diterapkan secara bertahap.

 

2. Kompetensi Tim Proyek

 

Banyak proyek melibatkan tenaga kerja dan tim yang belum cukup berpengalaman, terutama pada pihak kontraktor dan konsultan. Ketidakhadiran tenaga ahli dalam rapat prapelaksanaan memperburuk komunikasi dan pengambilan keputusan teknis.

 

Opini: Ini menunjukkan perlunya standarisasi kompetensi minimal dan sertifikasi profesi teknis yang lebih ketat dalam pengadaan jasa konstruksi pemerintah.

 

3. Keterlibatan Stakeholder yang Tidak Merata

 

Konsultan pengawas kerap diperintahkan oleh pemilik proyek untuk bekerja tanpa kelengkapan dokumen, menyebabkan kebingungan dalam eksekusi. Selain itu, kurangnya independensi konsultan dalam mengawasi proyek milik pemerintah menjadi isu krusial.

 

Perbandingan: Di negara maju seperti Jepang, konsultan bersifat independen dan memiliki otoritas penuh dalam sistem audit mutu proyek, mencegah konflik kepentingan.

 

Kendala Sistemik dalam Proyek Jalan di Indonesia

 

A. Ketimpangan Kapasitas antara Kontraktor Besar dan Kecil

 

Distribusi proyek nasional kepada kontraktor kecil-menengah sebagai bagian dari pelatihan kerja justru menyumbang pada ketimpangan mutu. Kontraktor besar memiliki sistem manajemen mutu dan sumber daya yang matang, sementara yang kecil masih tertatih memahami dasar-dasar QMS.

 

B. Politik dan Nepotisme

 

Pengaruh politik dalam penunjukan kontraktor menurunkan objektivitas pemilihan dan membuka peluang bagi penyedia jasa yang tidak kompeten untuk terlibat dalam proyek bernilai besar.

 

C. Kurangnya Sistem Monitoring dan Evaluasi

 

Minimnya penerapan SOP dan pemeriksaan mutual checks (MC-0) pada fase awal konstruksi menghambat pengukuran kualitas secara konsisten.

 

Rekomendasi dan Strategi Solutif

 

1. Kewajiban Sertifikasi dan Audit Internal

 

Perlu diterapkan kewajiban memiliki sertifikasi ISO 9001 bagi semua kontraktor, terutama yang menangani proyek jalan nasional. Selain itu, perlu dibuat sistem audit internal bersama antara pemilik proyek, konsultan, dan kontraktor.

 

2. Digitalisasi Proses Mutu

 

Penggunaan sistem digital (misalnya Building Information Modeling dan e-QMS) bisa mempermudah pengumpulan dan evaluasi dokumen mutu. Sistem ini juga meningkatkan transparansi proses antara pihak-pihak yang terlibat.

 

3. Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan

 

Pelatihan berkala mengenai proses mutu dan manajemen proyek sangat dibutuhkan, terutama bagi kontraktor kecil. Pemerintah dapat menjadikan hasil riset ini sebagai modul pelatihan dalam coaching clinic proyek strategis nasional.

 

Studi Kasus Tambahan: Proyek yang Gagal karena Lemahnya Sistem Mutu

 

Beberapa kecelakaan konstruksi besar seperti ambruknya LRT Jakarta (2018) dan proyek tol Bekasi–Cawang (2018) mencerminkan lemahnya sistem manajemen mutu dan keselamatan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar teknis, melainkan sistemik dan manajerial.

 

Kesimpulan: Menuju Budaya Mutu di Industri Konstruksi Indonesia

 

Penelitian ini memperlihatkan bahwa kualitas proyek jalan di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kecanggihan alat atau material, melainkan juga oleh interaksi manusia dan sistem dokumentasi yang baik. Dengan pendekatan berbasis data, riset ini menjadi rujukan penting untuk perumusan kebijakan, pelatihan praktisi, hingga standar pemilihan kontraktor.

 

Membangun budaya mutu tidak bisa instan. Perlu sinergi antara pemerintah sebagai pemilik proyek, kontraktor sebagai pelaksana, dan konsultan sebagai pengawas independen. Kesadaran kolektif ini menjadi kunci utama dalam membenahi wajah infrastruktur nasional menuju pembangunan berkelanjutan.

 

 

Sumber Artikel:

 

Febriane, D., Huda, N., & Widiyanto, A. (2024). Management of Road Construction Projects. The TQM Journal. https://doi.org/10.1108/TQM-04-2022-0132

Selengkapnya
Mengungkap Tantangan dan Solusi Manajemen Kualitas Proyek Jalan di Indonesia

Krisis Air

Menyelami Krisis Air Malang: Resensi Kritis Tesis Arief Riyadi tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Tata Ruang Wilayah

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Air, Ruang, dan Ancaman Keberlanjutan

Dalam era pembangunan masif seperti sekarang, persoalan lingkungan hidup, khususnya air, kian mendesak. Salah satu pendekatan ilmiah yang berpotensi menjembatani kebutuhan ekologis dan pembangunan adalah kajian daya dukung dan daya tampung air. Tesis Arief Riyadi berjudul "Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang)" merupakan telaah mendalam tentang bagaimana air, sebagai sumber daya vital, seharusnya menjadi parameter utama dalam penyusunan rencana tata ruang.

Konteks Studi: Mengapa Malang?

Wilayah Malang Raya terdiri dari Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, yang seluruhnya berada di daerah hulu DAS Brantas. Kawasan ini bukan hanya sumber air penting bagi Jawa Timur, tetapi juga zona rawan degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa dari 12 sub DAS di Malang, empat (Metro, Bango, Amprong, dan Manten) menjadi fokus utama karena melewati lebih dari satu wilayah administrasi. Di sinilah krisis lintas batas menjadi nyata, namun sering diabaikan dalam perencanaan ruang.

Permasalahan Utama: Defisit Air dan Tata Ruang yang Lumpuh

Tesis ini menunjukkan bahwa degradasi kualitas air dan penurunan debit mata air di kawasan seperti Gunung Arjuna dan Toyomarto bukan mitos. Survei LSM Ecoton pada 2010 membuktikan debit air menyusut signifikan. Lebih jauh, data DLH Malang 2016–2017 menunjukkan mayoritas titik pengamatan air sudah masuk kategori "cemar ringan". Ini mengindikasikan bahwa tata ruang eksisting tidak selaras dengan kapasitas ekologis wilayah.

Metodologi: Kuantifikasi Realitas Ekologis

Menggunakan pendekatan kuantitatif, Arief menggabungkan analisis indeks pencemaran air (Pollution Index) dan perhitungan daya dukung berdasarkan curah hujan, pertumbuhan penduduk, serta luas tangkapan air. Data diambil dari 20 titik sungai selama dua tahun (2016–2017). Ini bukan riset satu waktu, melainkan rangkaian monitoring yang memungkinkan penilaian tren jangka menengah, sebuah kelebihan penting yang jarang ditemukan dalam studi lingkungan serupa.

Temuan Penting: Wilayah Kritis dan Aman

Sub DAS Metro dan Bango sudah melewati ambang kritis sebelum 2015. Sebaliknya, Sub DAS Amprong dan Manten diprediksi masih mampu memenuhi daya dukung hingga 2030. Namun, kualitas air di keempat sub DAS tersebut sudah tercemar sejak dari hulu. Artinya, pendekatan spasial tidak cukup—perlu strategi ekosistem menyeluruh yang mengintegrasikan hulu dan hilir.

Daya Tampung dan Pencemaran: Hulu pun Tak Lagi Aman

Menggunakan metode indeks pencemaran air, hasilnya mencemaskan: pencemaran ringan sudah terjadi bahkan di titik-titik hulu. Parameter seperti BOD, COD, Nitrat, dan Detergen melebihi baku mutu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya volume air yang berkurang, tetapi juga kualitas air yang terus menurun. Lebih parah, kondisi ini tidak berkorelasi langsung dengan musim hujan atau kemarau. Dengan kata lain, pencemaran bersifat struktural, bukan musiman.

Studi Komparatif: Malang dalam Lanskap Global

Jika dibandingkan dengan studi serupa di Provinsi Henan (Cina) atau DAS Tieling di Liao River, Tiongkok, temuan ini konsisten: alih fungsi lahan dan peningkatan kepadatan penduduk tanpa mitigasi daya dukung menyebabkan krisis air. Namun, di negara-negara tersebut, perencanaan berbasis WECC (Water Environmental Carrying Capacity) sudah terintegrasi dengan tata ruang. Indonesia masih tertinggal.

Kelemahan Penataan Ruang di Indonesia

Salah satu kritik utama Arief adalah lemahnya integrasi antara KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Keduanya seperti dua dokumen yang berjalan sendiri. Hal ini sejalan dengan temuan Santoso (2014) bahwa rencana tata ruang di Jawa Timur sering tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Akibatnya, daerah yang secara ekologis tidak layak dibangun tetap dilegalkan.

Rekomendasi Tesis: Solusi Nyata, Bukan Simbolik

  1. Integrasi Data Spasial dan Lingkungan: Pemerintah daerah harus memiliki basis data terpusat yang menggabungkan informasi geospasial dengan parameter ekologis.
  2. Zonasi Berbasis Ekologi: Sub DAS dengan daya dukung kritis harus dijadikan zona konservasi dengan pelarangan pembangunan baru.
  3. Pendekatan Pentahelix: Pelibatan masyarakat, swasta, akademisi, dan media dalam pengelolaan sub DAS sangat mendesak.
  4. Revisi RTRW: RTRW harus direvisi secara berkala berdasarkan hasil monitoring daya dukung dan daya tampung.
  5. Penguatan Perda Lingkungan: Perlu regulasi tegas yang mengatur pengendalian limbah domestik dan industri.

Nilai Tambah Tesis ini: Komprehensif dan Terapan

Tesis ini bukan hanya analitis tetapi aplikatif. Arief Riyadi, dengan latar belakang sebagai praktisi lapangan (mantan fasilitator USAID dan konsultan sanitasi), memahami kompleksitas pengelolaan lingkungan di level kebijakan dan lapangan. Inilah yang membuat studinya kaya: ia tidak berhenti pada angka, tetapi menawarkan solusi yang realistis, bukan utopis.

Penutup: Dari Tesis ke Kebijakan Publik

Tesis ini menyajikan kerangka pikir yang kuat bahwa pembangunan ruang tidak bisa dilepaskan dari kapasitas lingkungan. Pendekatan daya dukung dan daya tampung air menjadi alat penting untuk menakar apakah suatu wilayah siap menampung beban pembangunan. Jika tidak, maka bencana ekologis hanyalah soal waktu.

Sumber: Riyadi, A. (2018). Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang). Tesis Magister. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

 

Selengkapnya
Menyelami Krisis Air Malang: Resensi Kritis Tesis Arief Riyadi tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Tata Ruang Wilayah
« First Previous page 402 of 1.350 Next Last »