Pengantar: Ketika Bangunan Gagal Bukan Karena Rancangan
Industri konstruksi sering kali diasumsikan gagal karena aspek teknis—rancangan struktur yang lemah, material yang buruk, atau kesalahan dalam metode pelaksanaan. Namun, penelitian Yustinus Eka Wiyana membalikkan asumsi tersebut dengan mengungkap sisi gelap yang jarang dibicarakan: faktor non-teknis sebagai penyebab dominan kegagalan konstruksi dan bangunan.
Melalui pendekatan yang mendalam, studi ini menyuguhkan perspektif baru mengenai hubungan antara kompetensi sumber daya manusia dalam konstruksi—baik badan usaha maupun individu—dengan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu proyek. Paper ini tidak hanya relevan bagi akademisi, tetapi sangat penting dipahami oleh pelaku industri dan pengambil kebijakan pembangunan infrastruktur nasional.
Fokus Kajian: Kompetensi yang Diabaikan, Risiko yang Membesar
Penelitian ini secara khusus menganalisis pengaruh tiga elemen kompetensi utama dalam sektor konstruksi:
Sertifikat Badan Usaha (SBU)
Sertifikat Keahlian (SKA)
Sertifikat Keterampilan (SKT)
Ketiga sertifikat tersebut seharusnya menjamin profesionalisme dan kemampuan teknis serta manajerial dari pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Namun, dalam praktiknya, sertifikasi ini kerap hanya menjadi formalitas administratif yang tidak mencerminkan kompetensi nyata.
Dengan menggunakan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan dukungan data lapangan dari 34 proyek di Jawa Tengah, penelitian ini menyimpulkan bahwa kegagalan konstruksi dan bangunan memiliki hubungan struktural langsung dengan lemahnya kualitas SDM dan institusi yang terlibat.
Data & Temuan Lapangan: Fakta Tak Terbantahkan dari 34 Proyek
Dari 34 proyek yang diteliti, komposisi proyek cukup merata dari berbagai tingkatan skala, mulai dari mikro hingga menengah. Hasil observasi menunjukkan bahwa 35% proyek tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana tercantum dalam kontrak. Bahkan, 15% proyek terlambat penyelesaiannya, dengan durasi keterlambatan antara 18–58 hari atau sekitar 13–39% dari total waktu proyek.
Yang menarik, proyek-proyek yang mengalami kegagalan tersebar di 9 kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Semarang, Kudus, Blora, dan Magelang. Namun, ironisnya, kabupaten-kabupaten ini justru memiliki jumlah tenaga ahli dan terampil bersertifikat yang sangat terbatas. Di sebagian besar wilayah, jumlah tenaga ahli bersertifikat masih di bawah 500 orang, sementara tenaga terampil bersertifikat bahkan lebih rendah.
Analisis Tambahan: Sertifikasi Tanpa Validasi adalah Ancaman
Salah satu sorotan paling tajam dalam penelitian ini adalah lemahnya sistem validasi dalam proses penerbitan SBU, SKA, dan SKT. Banyak asosiasi yang mengeluarkan sertifikat tanpa melakukan uji kompetensi secara objektif. Ini menciptakan ilusi bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proyek memiliki kemampuan, padahal kenyataannya tidak demikian.
Hal ini berdampak langsung terhadap kualitas pekerjaan di lapangan. Ketiadaan keterampilan praktis, lemahnya manajemen risiko, serta ketidakpahaman terhadap standar mutu teknis menyebabkan keputusan yang keliru dalam pengadaan material, pengawasan pekerjaan, hingga pengendalian mutu.
Kasus Nyata: Ketika Sertifikasi Tidak Menjamin Kompetensi
Dalam salah satu proyek di Kota Salatiga, ditemukan keretakan struktural pada bangunan sekolah baru hanya dalam waktu 3 bulan setelah serah terima. Investigasi independen mengungkapkan bahwa pelaksana lapangan tidak memahami ketentuan teknis pengecoran lantai dua. Meski memegang SKT, pekerja tersebut tidak pernah mengikuti pelatihan teknis.
Di Blora, proyek drainase rusak hanya dalam hitungan minggu akibat ketebalan beton yang tidak merata. Pihak kontraktor memiliki SBU aktif, namun perusahaan tersebut ternyata hanya “meminjam nama” untuk memenuhi syarat lelang. Fenomena ini jamak terjadi, memperkuat temuan penelitian bahwa proses sertifikasi saat ini belum sepenuhnya menjamin kompetensi nyata.
Kritik terhadap Sistem Sertifikasi dan Manajemen SDM Konstruksi
Penelitian ini juga menyoroti bahwa problem sistemik dalam tata kelola SDM konstruksi adalah biang utama. Pemerintah selama ini lebih berfokus pada aspek pengawasan teknis pasif, tanpa memastikan bahwa aktor yang ditunjuk memang layak dari sisi kompetensi.
Selain itu, banyak tenaga kerja yang tidak mendapat akses pada pelatihan atau pembinaan kompetensi, apalagi di daerah-daerah. Disparitas kompetensi antara pusat dan daerah menciptakan kesenjangan kualitas proyek yang tajam. Di sisi lain, birokrasi sertifikasi yang rumit dan biaya tinggi menjadi penghambat partisipasi pekerja lokal.
Dampak Luas: Kerugian Ekonomi dan Sosial
Ketika bangunan gagal berfungsi atau mengalami kerusakan dini, bukan hanya uang negara yang terbuang. Masyarakat sebagai pengguna akhir menjadi korban langsung. Bangunan sekolah yang retak, puskesmas yang bocor, atau jembatan desa yang ambruk menimbulkan rasa tidak percaya publik terhadap pemerintah dan industri konstruksi.
Lebih jauh, kegagalan tersebut juga menimbulkan kerugian ekonomi sekunder—terhambatnya akses, meningkatnya biaya pemeliharaan, dan pemborosan anggaran. Oleh karena itu, isu non-teknis dalam konstruksi harus segera ditangani jika ingin mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Rekomendasi Strategis: Membangun dari SDM, Bukan Hanya Beton
Penelitian ini menyarankan beberapa langkah strategis, yang juga relevan untuk diterapkan secara nasional:
1. Reformasi Sistem Sertifikasi
Proses sertifikasi SBU, SKA, dan SKT harus melibatkan uji kompetensi berbasis praktik dan audit lapangan secara berkala. Asosiasi dan lembaga sertifikasi harus diawasi oleh badan independen yang memiliki kewenangan penuh.
2. Pemetaan dan Penguatan SDM Daerah
Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu memetakan jumlah dan kompetensi tenaga kerja konstruksi di wilayahnya. Program pelatihan berbasis komunitas dan kerja sama dengan politeknik lokal harus diintensifkan.
3. Digitalisasi Proses Tender dan Sertifikasi
Dengan menggunakan platform digital berbasis blockchain atau sistem database nasional, transparansi dan keabsahan data tenaga ahli dan badan usaha bisa lebih terjamin.
4. Integrasi Manajemen Risiko Non-Teknis
Pihak perencana dan pengawas harus mulai mengadopsi manajemen risiko yang tidak hanya memantau aspek teknis, tapi juga kompetensi pelaksana, reputasi kontraktor, dan histori proyek sebelumnya.
Kesimpulan: Tanpa SDM Kompeten, Pembangunan Akan Runtuh
Melalui pendekatan yang sistematis dan data lapangan konkret, paper ini berhasil membuktikan bahwa faktor non-teknis berperan besar dalam kegagalan konstruksi dan bangunan. Sertifikasi formal yang tidak diimbangi dengan kompetensi riil, kurangnya tenaga kerja terampil, serta lemahnya sistem pengawasan menjadi pemicu utama.
Untuk menjawab tantangan tersebut, industri konstruksi Indonesia harus berani melakukan reformasi mendalam, dimulai dari sistem manajemen SDM dan validasi kompetensi. Tanpa itu, pembangunan yang berkualitas hanya akan jadi ilusi di atas kertas kontrak.
Sumber Resmi:
Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Non-Teknis. Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 1.
Jurnal Wahana Teknik Sipil – Politeknik Negeri Semarang