Menggali Pengetahuan Lokal sebagai Kunci Pencegahan Longsor di Permukiman Informal Manado

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

19 Mei 2025, 09.10

Unsplash.com

Pendahuluan: Bencana Alam Bukan Sekadar Fenomena Alam

 

Selama ini, kajian teknis mengenai longsor di kawasan urban cenderung menitikberatkan pada faktor geologis dan infrastruktur fisik. Namun, penelitian terbaru dari MacAfee dkk. menyuguhkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual: mengintegrasikan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) ke dalam strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR), khususnya di permukiman informal Kota Manado. Artikel ini menyuarakan urgensi pengakuan terhadap LK sebagai sumber informasi penting, yang sering kali diabaikan dalam kebijakan dan praktik DRR konvensional.

 

Metodologi: Dari Wawancara ke Pemahaman Kontekstual

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 19 partisipan, transect walks, observasi etnografis, dan diskusi umpan balik. Fokus utama diarahkan pada satu permukiman di Kecamatan Singkil, Manado, yang dikenal rawan longsor. Warga yang diwawancarai terdiri dari individu yang tinggal di atas, di tengah, dan di bawah lereng, menciptakan gambaran utuh mengenai risiko dan dampaknya dari berbagai sudut pandang spasial.

 

Temuan Utama: Sampah sebagai Ancaman Longsor yang Terabaikan

 

Salah satu hasil paling signifikan dari studi ini adalah pengungkapan keterkaitan antara pengelolaan sampah padat (solid waste management/SWM) yang buruk dan meningkatnya risiko longsor. Warga mengidentifikasi bahwa tumpukan sampah di lereng tidak hanya mengganggu aliran air hujan, tetapi juga menambah beban dan melemahkan struktur tanah. Anehnya, faktor ini nyaris tidak diakomodasi dalam klasifikasi ilmiah mainstream seperti Varnes Classification, yang cenderung mengabaikan kontribusi aktivitas antropogenik secara spesifik.

 

Faktor-faktor Risiko yang Dikenali oleh Warga:

  • Curah hujan ekstrem dan tidak terprediksi karena perubahan iklim
  • Lereng terjal dengan tanah vulkanik yang porous
  • Pertumbuhan permukiman padat di lereng
  • Konstruksi rumah yang rapuh dan tanpa fondasi
  • Saluran drainase yang rusak atau tidak tersedia
  • Tumpukan sampah yang menghambat aliran air dan melemahkan tanah
  • Kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap warga yang tinggal di tanah tanpa legalitas

 

Analisis Tambahan: Ketimpangan Sosial dan "Politik Pengetahuan"

 

Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana stigmatisasi terhadap warga permukiman informal mempengaruhi akses mereka terhadap infrastruktur dasar seperti pengelolaan sampah. Pemerintah kota Manado tidak mengakui kawasan tersebut sebagai daerah kumuh dalam peraturan resmi, sehingga mereka tidak menerima bantuan seperti sistem drainase atau dinding penahan tanah.

 

Warga pun kerap disalahkan atas kondisi lingkungan dengan asumsi bahwa “kebiasaan buruk” mereka menjadi penyebab masalah. Padahal, mereka telah menunjukkan kesadaran tinggi terhadap risiko dan bahkan memiliki solusi lokal seperti membangun dinding dari karung pasir atau menanam kembali lereng yang gundul.

 

Studi Kasus: Longsor Akibat Sampah di Singkil

 

Salah satu narasumber yang rumahnya hancur akibat longsor tahun 2020 menjelaskan bahwa tanah yang dipenuhi sampah menjadi lebih rentan terhadap erosi. Air hujan membawa sampah ke bawah, memicu longsoran kecil yang berulang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara air, tanah yang gembur, dan sampah organik maupun plastik menciptakan kondisi kritis yang belum dijelaskan dalam literatur teknis secara komprehensif.

 

Perbandingan dan Relevansi Global

 

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Manado. Tragedi longsor sampah di Quezon City (Filipina, 2000) dan Ghazipur (India, 2017) menunjukkan bahwa “garbage landslides” merupakan bencana antropogenik yang nyata dan mematikan. Namun, kebanyakan riset masih berfokus pada landfill besar, bukan permukiman informal yang secara fungsional berperan seperti landfill tak resmi.

 

Studi ini memperlihatkan bahwa situasi di Manado memiliki kesamaan dengan area rentan di Brasil dan Kolombia, di mana warga juga menunjukkan kapasitas luar biasa dalam mengidentifikasi dan merespons risiko. Di Indonesia sendiri, praktik lokal seperti Mapalus (di Tomohon) atau Smong (di Simeulue) membuktikan kekuatan LK dalam merespons bencana.

 

Implikasi Praktis: Aksi Nyata dan Rekomendasi

 

Rekomendasi Praktis:

  • Edukasi warga agar menyimpan atau membuang sampah di area yang tidak rawan longsor
  • Pengembangan sistem pengelolaan sampah mikro berbasis komunitas
  • Pemberian alat pengaman bagi warga saat melakukan pembersihan pasca longsor

 

Rekomendasi Kebijakan:

  • Perluasan kriteria "pemukiman prioritas" untuk revitalisasi dengan mempertimbangkan risiko bencana
  • Integrasi antara program pengelolaan sampah dan program mitigasi bencana
  • Penguatan peran warga dalam penyusunan kebijakan DRR, tanpa membebani mereka sebagai aktor tunggal

 

Rekomendasi Riset Lanjutan:

  • Studi kuantitatif mengenai kontribusi masing-masing jenis sampah terhadap stabilitas lereng
  • Pengembangan model prediksi risiko longsor yang menggabungkan variabel antropogenik
  • Analisis perbandingan antara lokasi longsor dengan atau tanpa penumpukan sampah di lereng

 

Kritik dan Batasan Penelitian

 

Meskipun sangat kaya secara naratif, studi ini terbatas dari sisi ukuran sampel dan cakupan geografis. Penelitian lanjutan bisa memperluas pendekatan ke wilayah lain yang memiliki topografi serupa, serta mengembangkan metode pengukuran kuantitatif untuk memperkuat validitas temuan kualitatif ini.

 

Kesimpulan: Pengetahuan Lokal Bukan Pelengkap, Tapi Kebutuhan

 

Artikel ini bukan hanya menyoroti kekuatan pengetahuan lokal, tetapi juga menantang pendekatan DRR konvensional yang menempatkan teknokrat sebagai pusat pengambilan keputusan. Warga permukiman informal di Manado terbukti memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika risiko di lingkungan mereka. Pengabaian terhadap pengetahuan ini bukan hanya kelalaian, melainkan sebuah kegagalan struktural dalam membangun kota yang tangguh dan inklusif.

 

Oleh karena itu, pengintegrasian pengetahuan lokal bukanlah opsi tambahan, melainkan bagian esensial dari strategi DRR masa depan, terutama di wilayah yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis iklim secara bersamaan.

 

 

Sumber Paper:

MacAfee, E., Lohr, A. J., & de Jong, E. (2024). Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 111, 104710.

DOI: https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2024.104710