Industri Kontruksi

Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh tantangan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Perubahan regulasi, tuntutan globalisasi, serta kebutuhan akan inovasi membuat industri ini membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan adaptif, kreatif, dan berwawasan luas. Namun, apakah lulusan pendidikan manajemen konstruksi benar-benar siap menghadapi tuntutan dunia kerja? Paper “Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP” oleh H. S. M. Hasan dkk. (2011) mengupas secara sistematis kesenjangan antara kompetensi lulusan dan harapan industri, khususnya di Malaysia, dengan menyoroti hasil survei dan analisis mendalam terhadap pelaku industri dan lulusan.

Artikel ini merangkum temuan utama paper, menyajikan data dan studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren pendidikan dan industri konstruksi global.

Latar Belakang: Kompetensi yang Dibutuhkan Industri Konstruksi

Industri konstruksi menuntut lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu bekerja lintas disiplin, adaptif terhadap perubahan, dan terampil dalam mengelola ketidakpastian. Lulusan manajemen konstruksi diharapkan dapat berkontribusi di berbagai sektor—mulai dari kontraktor, konsultan, pengembang, hingga lembaga publik dan swasta. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya gap antara teori yang dipelajari di kampus dan praktik di dunia kerja.

Metodologi: Survei dan Analisis Persepsi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei pos kepada 420 responden di Klang Valley, Malaysia, terdiri dari 210 karyawan dan 210 pemberi kerja di sektor konstruksi. Tingkat respons mencapai 71,4% (300 kuesioner kembali; 200 karyawan dan 100 pemberi kerja). Survei ini dirancang untuk menggali persepsi tentang:

  • Praktik inovasi dan indikator kinerja utama di industri konstruksi Malaysia,
  • Proses transfer pengetahuan dari pendidikan ke industri,
  • Hubungan dan pendanaan antara institusi pendidikan dan industri,
  • Profil demografi dan posisi responden.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan tabulasi frekuensi untuk menangkap pola persepsi dan pengalaman.

Temuan Utama: Kesenjangan Kompetensi dan Persepsi Industri

1. Spesialisasi Berlebihan dan Kurangnya Kolaborasi

Hasil survei menunjukkan bahwa industri terlalu menekankan spesialisasi dalam organisasi, sehingga terjadi kekurangan pertukaran ide antar departemen. Pegawai didorong untuk fokus pada bidang tertentu, yang menyebabkan keterampilan mereka hanya berkembang di area terbatas. Akibatnya, inovasi dan kolaborasi lintas bidang menjadi terhambat.

2. Perbedaan Harapan antara Industri dan Lulusan

Industri mengharapkan lulusan mampu langsung memenuhi target spesifik yang seringkali tidak sesuai dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan. Sementara itu, lulusan merasa bahwa nilai suatu mata kuliah atau pelatihan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan nyata di tempat kerja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.

3. Kekurangan Keterampilan Interpersonal dan Inovasi

Banyak pekerja baru dinilai kurang memiliki keterampilan interpersonal dan enggan menerapkan inovasi. Industri juga mengeluhkan minimnya budaya kritik konstruktif terhadap proyek yang gagal, sehingga pembelajaran dari kegagalan kurang optimal.

4. Perspektif Karyawan: Kurangnya Kesempatan Berinovasi

Lulusan sering kali tidak diberi ruang untuk berinovasi di tempat kerja, sehingga mereka cenderung berpindah ke perusahaan konsultan manajemen yang lebih terbuka terhadap ide baru. Universitas dianggap bertugas memperkenalkan pengetahuan baru dan melatih pola pikir kritis, sementara industri lebih fokus pada penerapan praktis.

5. Transfer Pengetahuan Butuh Waktu

Meskipun sebagian besar pengetahuan dan inovasi yang diperoleh di kampus dapat diterapkan di industri, lulusan membutuhkan waktu dan posisi yang cukup senior untuk benar-benar mengimplementasikannya.

Studi Kasus: Survei di Klang Valley, Malaysia

Survei dilakukan di kawasan metropolitan Klang Valley, pusat pertumbuhan ekonomi dan konstruksi di Malaysia. Dari 420 kuesioner yang dikirim, 300 kembali dan dianalisis. Temuan utama dari survei ini antara lain:

  • 71,4% tingkat respons menunjukkan tingginya minat dan relevansi isu ini di kalangan pelaku industri.
  • Mayoritas pemberi kerja menyoroti kekurangan kolaborasi lintas departemen dan kurangnya keterampilan interpersonal sebagai hambatan utama.
  • Karyawan muda merasa kurang diberi peluang untuk berinovasi dan mengembangkan kemampuan manajerial.
  • Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program formal untuk transfer pengetahuan atau pelatihan lintas bidang.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Menggunakan data primer yang representatif dari kawasan industri utama di Malaysia.
  • Menyoroti perbedaan persepsi antara tiga kelompok kunci: industri, akademisi, dan lulusan.
  • Memberikan rekomendasi praktis untuk memperkuat kolaborasi antara universitas dan industri.

Kelemahan dan Tantangan

  • Survei terbatas pada satu wilayah (Klang Valley), sehingga generalisasi ke seluruh Malaysia atau negara lain perlu kehati-hatian.
  • Tidak membedakan antara sektor konstruksi bangunan dan infrastruktur, padahal kebutuhan kompetensi bisa berbeda.
  • Analisis masih bersifat deskriptif; penelitian lanjutan dengan pendekatan kualitatif atau studi kasus mendalam akan memperkaya pemahaman.

Rekomendasi: Menutup Kesenjangan Kompetensi

Berdasarkan temuan, paper ini merekomendasikan beberapa langkah strategis:

  • Mendorong mobilitas internal: Lulusan sebaiknya diberi kesempatan rotasi antar departemen untuk memperluas wawasan dan keterampilan.
  • Perubahan budaya organisasi: Industri perlu lebih berinvestasi dalam pengembangan SDM dan mendorong kolaborasi lintas disiplin.
  • Kolaborasi kurikulum: Universitas dan industri harus bersama-sama merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan nyata, termasuk studi kasus dan magang.
  • Fokus pada efektivitas, bukan hanya efisiensi: Industri perlu mengutamakan pembelajaran dan inovasi, bukan sekadar target jangka pendek.
  • Peningkatan forum dan seminar internal: Organisasi didorong untuk mengadakan diskusi rutin berbagi praktik terbaik dan pembelajaran dari kegagalan.

Perbandingan dengan Tren Global

Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri bukan hanya masalah di Malaysia. Studi di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa lulusan teknik dan manajemen konstruksi sering kali membutuhkan pelatihan tambahan, terutama dalam soft skills, manajemen proyek, dan adaptasi teknologi baru. Negara-negara maju mulai mengadopsi model kolaborasi tripartit antara universitas, industri, dan asosiasi profesi untuk memperkuat link and match.

Implikasi untuk Industri Konstruksi dan Pendidikan Tinggi

  • Industri konstruksi perlu lebih terbuka pada inovasi, pembelajaran lintas disiplin, dan pengembangan SDM berbasis kompetensi.
  • Pendidikan tinggi harus responsif terhadap perubahan kebutuhan industri, memperbanyak studi kasus, magang, dan kolaborasi riset terapan.
  • Pemerintah dan asosiasi profesi dapat berperan sebagai fasilitator kolaborasi, penyusun standar kompetensi, dan pemberi insentif untuk program pelatihan bersama.

Penutup: Menuju Sinergi Pendidikan dan Industri

Paper Hasan dkk. menegaskan bahwa keberhasilan proyek konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM yang mampu menjembatani teori dan praktik. Kesenjangan antara pendidikan dan industri harus diatasi melalui kolaborasi, inovasi kurikulum, dan perubahan budaya organisasi. Dengan langkah strategis dan sinergi lintas sektor, industri konstruksi dapat menghasilkan tenaga kerja yang bukan hanya kompeten, tapi juga siap menghadapi tantangan masa depan.

Sumber asli:
H. S. M. Hasan, H. Ahamad, M. R. Mohamed. (2011). Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP. Procedia Engineering, 20, 291–297.

Selengkapnya
Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Sosiohidrologi

Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang terus menghadapi tekanan perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan, pemantauan hidrologi menjadi fondasi penting untuk memastikan pengelolaan air yang berkelanjutan. Sayangnya, biaya tinggi dan keterbatasan jaringan pemantauan membuat negara-negara berpenghasilan rendah sulit memperoleh data yang memadai. Artikel ilmiah dari Njue et al. (2019) mengusulkan solusi revolusioner: citizen science, yakni keterlibatan masyarakat umum dalam pengumpulan dan analisis data ilmiah, sebagai alternatif yang murah, partisipatif, dan efektif.

Mengapa Citizen Science Relevan untuk Hidrologi?

Pemantauan hidrologi konvensional mahal, memerlukan sensor otomatis, tenaga ahli, dan infrastruktur kompleks. Namun:

  • Banyak wilayah belum dipantau atau memiliki data hidrologi yang tidak memadai.
  • Peristiwa ekstrem seperti banjir atau kekeringan sering terlewat.
  • Negara-negara berpendapatan rendah seperti Kenya, Ethiopia, dan Tanzania mengalami kesenjangan data.

Citizen science menjembatani kesenjangan ini dengan:

  • Mengurangi biaya melalui pengumpulan data oleh sukarelawan.
  • Memperluas jangkauan spasial dan frekuensi pengukuran.
  • Meningkatkan literasi lingkungan masyarakat.

Temuan Kunci dan Angka-Angka dari Studi

  • Review dilakukan terhadap 71 studi dari tahun 2001 hingga 2018.
  • Sekitar 63% proyek citizen science fokus pada kualitas air, meski data tinggi muka air lebih mudah dikumpulkan.
  • 45% proyek berlangsung di Amerika Utara, 20% di Eropa, dan hanya 10% di Afrika serta 9% di Asia—menunjukkan adanya kesenjangan adopsi global.
  • Sebanyak 73% proyek bersifat "contributory", artinya masyarakat hanya berperan dalam pengumpulan data.

Studi Kasus Nyata: Teknologi, Data, dan Partisipasi

1. Kenya – Sondu Catchment

  • Digunakan alat murah seperti tampon detektor deterjen, turbidity tube, dan pengukuran nitrat dengan strip warna.
  • Data dikumpulkan dan dilaporkan melalui SMS oleh warga.
  • Tingkat akurasi pengukuran cukup tinggi dan komparabel dengan sensor otomatis.

2. CoCoRaHS (AS dan Kanada)

  • Jaringan pemantauan curah hujan oleh warga sejak 1998.
  • Lebih dari 20.000 partisipan menghasilkan data berkualitas tinggi.
  • Data digunakan oleh NOAA dan badan pemerintah untuk validasi radar dan peringatan dini.

3. CrowdHydrology (AS)

  • Warga mengirim pembacaan tinggi air melalui pesan teks.
  • Data dikalibrasi dengan sensor tekanan—hasilnya sangat akurat.

4. NetAtmo dan IoT

  • Sensor cuaca pribadi warga tersambung otomatis ke platform daring.
  • Memberikan data suhu, tekanan udara, kelembaban, curah hujan—sangat membantu dalam pemodelan hidrologi perkotaan.

Keunggulan dan Tantangan Citizen Science

Keunggulan:

  • Biaya rendah: proyek dapat dimulai dengan peralatan sederhana.
  • Skalabilitas tinggi: dari lokal hingga global.
  • Kualitas data baik, terutama jika warga mendapat pelatihan dan protokol jelas.
  • Data dapat diunggah secara real-time melalui aplikasi smartphone, SMS, atau web.

Tantangan:

  • Kekhawatiran akan kualitas dan validitas data dari warga biasa.
  • Rendahnya adopsi di negara berkembang karena kurangnya pelatihan, dukungan, dan infrastruktur.
  • Keterbatasan dalam desain partisipatif—mayoritas proyek masih bersifat top-down.

Aplikasi di Media Sosial dan Teknologi Terbuka

Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Flickr menjadi sumber data baru:

  • Video banjir, foto aliran air, atau laporan warga secara tidak langsung berkontribusi pada pemodelan banjir dan pemetaan kejadian ekstrem.
  • Studi di Prancis dan Argentina menunjukkan bahwa video warga dapat digunakan untuk mengestimasi debit dan kecepatan aliran.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Untuk Peneliti dan Akademisi:

  • Gunakan kombinasi metode tradisional dan partisipatif.
  • Kembangkan aplikasi yang mudah digunakan dan mampu memberi umpan balik otomatis.
  • Bangun proyek co-created agar warga juga terlibat dalam desain dan interpretasi hasil.

Untuk Pemerintah dan Lembaga Lingkungan:

  • Buat kebijakan yang mendukung integrasi data warga ke dalam sistem nasional.
  • Berikan insentif atau sertifikasi kepada warga yang berpartisipasi.

Untuk Platform Pembelajaran dan LSM:

  • Gunakan platform digital untuk pelatihan warga, seperti video daring, gamifikasi, dan aplikasi instruksional.
  • Promosikan konsep citizen scientist sebagai profesi masa depan.

Kesimpulan: Masa Depan Hidrologi Bersama Masyarakat

Artikel ini membuktikan bahwa citizen science mampu menghasilkan data hidrologi yang kredibel, luas, dan hemat biaya. Kuncinya adalah pelatihan, komunikasi dua arah, dan integrasi data ke dalam pengambilan keputusan. Dengan meningkatnya teknologi, smartphone, dan konektivitas internet, potensi untuk memobilisasi warga menjadi pengumpul data sains semakin besar, terutama di negara berkembang.

Citizen science bukan hanya strategi ilmiah, tapi juga gerakan sosial yang memperkuat hak masyarakat atas air, data, dan masa depan yang berkelanjutan.

Sumber : Njue, N., Kroese, J. S., Gräf, J., Jacobs, S. R., Weeser, B., Breuer, L., & Rufino, M. C. (2019). Citizen science in hydrological monitoring and ecosystem services management: State of the art and future prospects. Science of the Total Environment, 693, 133531.

Selengkapnya
Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Pembangunan Pedesaan

Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Transformasi Akses Air Minum di Era SDG

Bangladesh sering dipuji sebagai kisah sukses dalam memperluas akses air minum ke masyarakat pedesaan. Namun, di balik statistik capaian Millennium Development Goals (MDGs), terdapat dinamika baru yang kini menjadi tantangan utama di era Sustainable Development Goals (SDGs): pergeseran tanggung jawab penyediaan air minum dari negara ke individu dan rumah tangga. Paper “Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh” karya Alex Fischer dkk. (2020) membedah secara kritis fenomena pertumbuhan pesat self-supply—yakni sumur bor dan pompa air yang didanai dan dikelola sendiri oleh rumah tangga—beserta implikasi sosial, ekonomi, dan kelembagaannya.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Matlab dan Khulna, serta mengaitkan dengan tren global, tantangan regulasi, dan pelajaran bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

Latar Belakang: Dari Infrastruktur Publik ke Self-Supply

Evolusi Kebijakan dan Infrastruktur

Pada dekade 1970–1980-an, pemerintah Bangladesh bersama donor internasional membangun ratusan ribu sumur bor dangkal (shallow tubewell) sebagai respons terhadap epidemi kolera dan kontaminasi air permukaan. Namun, sejak 1990-an, terjadi desentralisasi dan liberalisasi pasar, sehingga pemasangan sumur bor mulai didominasi sektor swasta informal dan rumah tangga.

Data menunjukkan, antara 2012–2017, untuk setiap satu titik air publik yang dibangun pemerintah, terdapat 45 sumur bor baru yang dipasang secara privat. Akibatnya, jumlah infrastruktur air nasional lebih dari dua kali lipat sejak 2006. Rasio rumah tangga per sumur bor menurun drastis dari 57 pada 1982 menjadi kurang dari 2 pada 2017—menandakan hampir setiap rumah kini memiliki sumur sendiri. Penurunan harga riil sumur bor privat hingga 70% sejak 1982 turut mendorong tren ini.

Studi Kasus: Matlab dan Khulna—Dinamika Self-Supply di Lapangan

Matlab: Lonjakan Sumur Bor Privat

  • Populasi studi: 25.617 jiwa di 6.036 rumah tangga, tersebar di 10 desa.
  • Jumlah titik air (2017): 3.830, dengan 3.734 digunakan untuk kebutuhan domestik.
  • Dominasi privat: 95% sumur dangkal dan 72% sumur dalam dibiayai dan dikelola swasta.
  • Motivasi investasi: 94% rumah tangga memilih sumur privat demi kenyamanan akses pribadi, bukan karena kekhawatiran kualitas air.

Pertumbuhan sumur bor tetap eksponensial bahkan setelah krisis arsenik di awal 2000-an dan program pengujian massal. Pada 2017, dua pertiga sumur dangkal hanya dipakai satu rumah tangga, dan 90% sumur baru dipakai maksimal tiga rumah tangga—menandakan pergeseran dari model kolektif ke individual.

Khulna: Tantangan Salinitas dan Diversifikasi Sumber

  • Populasi studi: 34.639 jiwa, 2.805 sumur bor, 19 pond sand filter.
  • Pertumbuhan pesat: Jumlah sumur bor di Khulna meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir.
  • Diversifikasi: Selain sumur bor, masyarakat juga mengandalkan air hujan, filter pasir, dan vendor air karena masalah salinitas tinggi.
  • Kualitas air: Sepertiga sumur yang digunakan untuk minum melebihi ambang batas salinitas nasional (1.500 µS/cm).

Angka-Angka Penting: Skala, Investasi, dan Pola Konsumsi

  • Estimasi nasional (2017): 11,5–18,4 juta sumur bor di seluruh Bangladesh, dengan 8–15% saja yang dibiayai publik.
  • Investasi rumah tangga (2018): USD 177,6–253 juta untuk pemasangan dan pemeliharaan sumur bor baru.
  • Kontribusi ke sektor WASH: Investasi privat pada sumur bor mencapai 65% dari total belanja rumah tangga di sektor air dan sanitasi nasional.
  • Biaya pemasangan: Harga riil sumur bor privat turun dari USD 444 (1980) ke USD 125 (2017); biaya publik turun dari USD 444 ke USD 275.
  • Biaya operasional: Rata-rata USD 4,5–7,5 per tahun per sumur, tergantung usia infrastruktur.

Risiko dan Tantangan: Dari Kesehatan hingga Tata Kelola

1. Kesehatan dan Kualitas Air

  • Arsenik: Setelah program pengujian massal selesai pada 2006, sembilan juta sumur baru dipasang tanpa pengujian kualitas air.
  • Salinitas: Di wilayah pesisir, banyak sumur privat tidak layak konsumsi karena kandungan garam tinggi.
  • Minim pengujian: Hanya 1–3% biaya pemasangan sumur yang diperlukan untuk tes kualitas air, namun hampir tidak ada rumah tangga yang melakukannya.

2. Tata Kelola dan Regulasi

  • Sumur privat di luar regulasi: Tidak ada kewajiban izin, pengujian, atau pelaporan bagi sumur privat.
  • Pemerintah kehilangan kontrol: Tanggung jawab pengelolaan risiko air kini berpindah ke individu, bukan lagi kolektif atau negara.
  • Data nasional bias: Sistem monitoring pemerintah hanya menghitung infrastruktur publik, sehingga paparan risiko air tidak aman di level populasi terabaikan.

3. Ekonomi dan Ketimpangan

  • Akses makin merata: Standar deviasi rasio rumah tangga per sumur antar desa menurun dari 1,63 (2005) ke 0,38 (2017), menandakan distribusi akses makin setara.
  • Tapi... Desa termiskin justru mengalami lonjakan pemasangan sumur, yang bisa menambah beban ekonomi dan risiko kesehatan jika kualitas air buruk.

Analisis dan Tinjauan Kritis

Keberhasilan dan Dilema Self-Supply

  • Keberhasilan: Self-supply mempercepat capaian akses air, mengurangi ketergantungan pada negara dan donor, serta meningkatkan kenyamanan rumah tangga.
  • Dilema: Keberhasilan ini dibayar mahal dengan meningkatnya risiko kesehatan (arsenik, salinitas), hilangnya mekanisme kolektif pengelolaan risiko, dan lemahnya sistem monitoring.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • AS dan Eropa Timur: Sistem sumur privat juga lazim, tapi regulasi dan pengujian kualitas air lebih ketat, meski masih ada celah.
  • Afrika dan Asia: Self-supply makin diakui sebagai solusi alternatif, tapi tantangan kualitas air dan ketahanan infrastruktur serupa Bangladesh.

Peluang dan Rekomendasi

  • Blended finance: Pemerintah dapat memanfaatkan investasi privat melalui skema pembiayaan campuran, insentif pengujian air, dan sertifikasi sumur aman.
  • Regulasi progresif: Sertifikasi tukang bor, pelaporan sumur baru, dan integrasi data privat ke sistem nasional bisa jadi langkah awal.
  • Edukasi dan inovasi: Dorong rumah tangga untuk menguji air secara rutin lewat subsidi alat tes murah atau layanan keliling.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

  • Pemerintah: Harus berperan sebagai regulator risiko, bukan sekadar penyedia infrastruktur. Reformasi kebijakan air minum perlu mengatur peran, insentif, dan tanggung jawab semua aktor.
  • Industri: Pasar sumur bor dan alat tes air bisa berkembang pesat jika didukung regulasi dan edukasi.
  • Masyarakat: Perlu edukasi tentang pentingnya kualitas air, bukan hanya akses fisik.

Keterkaitan dengan Tren Global dan SDGs

Fenomena self-supply di Bangladesh menjadi cermin tantangan global dalam mencapai SDG 6.1 (air minum aman dan terjangkau untuk semua). Banyak negara kini menghadapi dilema serupa: bagaimana mengelola pertumbuhan infrastruktur privat tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan air? Bangladesh memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan akses harus diimbangi dengan tata kelola risiko dan regulasi yang adaptif.

Penutup: Menuju Tata Kelola Air Minum yang Berbasis Risiko

Studi Fischer dkk. menegaskan bahwa capaian akses air minum di Bangladesh tidak lepas dari investasi privat rumah tangga, namun keberlanjutan dan keamanan layanan sangat bergantung pada reformasi kelembagaan dan regulasi. Menuju SDG, pendekatan berbasis risiko—bukan sekadar infrastruktur—harus menjadi arus utama. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap sumur yang dibangun benar-benar memberikan air yang aman, bukan sekadar menambah angka statistik.

Sumber asli:
Alex Fischer, Rob Hope, Achut Manandhar, Sonia Hoque, Tim Foster, Adnan Hakim, Md. Sirajul Islam, David Bradley. (2020). Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh. Global Environmental Change, 65, 102152.

Selengkapnya
Membedah Fenomena Self-Supply Air Minum di Pedesaan Bangladesh: Antara Inovasi, Risiko, dan Tantangan Regulasi

Sosiohidrologi

Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Di era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, air menjadi sumber daya vital sekaligus sumber ketegangan. Artikel ilmiah oleh Döring, Kim, dan Swain (2024) menyoroti bagaimana bidang socio-hydrology—ilmu yang mengkaji interaksi antara masyarakat dan sistem hidrologi—dapat berkembang pesat bila diintegrasikan dengan riset perdamaian dan konflik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cara kita memahami konflik air, tetapi juga menawarkan cara baru untuk membangun perdamaian melalui tata kelola air yang lebih adil.

Mengapa Integrasi Socio-Hydrology dan Studi Konflik Penting?

Socio-hydrology berfokus pada dinamika sosial, kekuasaan, dan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan air, bukan hanya aspek teknis. Sementara itu, riset konflik dan perdamaian menyajikan kerangka analisis mengenai bagaimana air memicu konflik—dan lebih penting lagi—bagaimana air bisa menjadi alat perdamaian. Dua bidang ini memiliki potensi saling melengkapi untuk menghadapi tantangan besar abad ke-21: kekurangan air, ketidaksetaraan distribusi, dan krisis iklim.

Konflik dan Kerja Sama atas Air: Data dan Temuan Penting

  • 60% air tawar dunia berada di 310 sungai internasional dan lebih dari 500 akuifer lintas batas.
  • Konflik air muncul saat negara hulu dan hilir berbeda kepentingan—seperti terlihat dalam kasus Sungai Nil dan Yordan.
  • Namun, data menunjukkan kerja sama lebih dominan dibandingkan konflik bersenjata.
    • Contoh: Transboundary Freshwater Dispute Database (TFDD) dan International River Conflict and Cooperation dataset (IRCC) menyatakan sebagian besar konflik bersifat diplomatik.

Studi Kasus Empiris dan Data Global

  • Afrika Sub-Sahara dan Asia Tengah: sekitar setengah lahan pertanian mengalami kekurangan air minimal 5 bulan per tahun (Rosa et al., 2020).
  • Afghanistan, DRC, Liberia: pendekatan partisipatif dalam pengelolaan air pasca-konflik terbukti memperkuat perdamaian dan kesehatan masyarakat (Burt & Keiru, 2011).
  • Iraq Marshlands: proyek restorasi pascaperang oleh UNEP meningkatkan kualitas air dan mendorong pemulihan ekonomi, meski memunculkan tantangan tata kelola lokal (Aoki et al., 2011).

Pendekatan Kritis: Politik, Gender, dan Keadilan Air

Penelitian menunjukkan bahwa:

  • Perspektif teknokratis saja tidak cukup. Proyek besar seperti bendungan seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.
  • Kerangka ‘hydro-hegemony’ dan ‘water justice’ digunakan untuk menganalisis kekuasaan dan ketidakadilan dalam akses air.
  • Feminist political ecology mengungkapkan dampak tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan yang harus berjalan jauh untuk mengakses air bersih.

Peran Socio-Hydrology dalam Peacebuilding

Environmental peacebuilding menjadi pendekatan penting dalam pembangunan pascakonflik:

  • Air dapat berfungsi sebagai jalur diplomatik untuk memperkuat institusi pasca-perang.
  • Contoh nyata seperti Sungai Mekong dan Sungai Nil menunjukkan bahwa dialog air lintas negara bisa mengurangi ketegangan geopolitik.
  • Socio-hydrology mampu memberikan model sistemik berbasis data dan pendekatan sosial untuk restorasi sumber daya air, terutama di negara fragile.

Kritik dan Refleksi: Apa yang Kurang dan Harus Diperbaiki

Tantangan utama integrasi dua bidang ini adalah:

  • Masih adanya “silo ilmiah” antara ilmu sosial dan hidrologi.
  • Socio-hydrology sering mengedepankan positivisme, sedangkan ilmu sosial menuntut refleksi ontologis dan nilai-nilai lokal.
  • Kurangnya keterlibatan komunitas lokal dan suara kelompok rentan.

Namun, bila kolaborasi ini difasilitasi secara sistematis, hasilnya bisa membentuk kebijakan air yang lebih tangguh dan inklusif.

Relevansi dengan Target Global

Integrasi socio-hydrology dan studi konflik memiliki dampak langsung terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  • SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi
  • SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh
  • SDG 13: Aksi Iklim

Rekomendasi Kebijakan dan Penelitian

Untuk peneliti:

  • Gunakan data kuantitatif (seperti dataset WARICC atau TFDD) dan gabungkan dengan metode etnografi, wawancara, dan peta partisipatif.
  • Kaji kembali bias dalam desain studi, terutama yang hanya fokus pada konflik dan mengabaikan bentuk-bentuk kerja sama lokal.

Untuk pembuat kebijakan:

  • Prioritaskan restorasi sumber daya air sebagai bagian dari rekonstruksi pasca-konflik.
  • Terapkan pendekatan lintas disiplin yang menyertakan gender, keadilan sosial, dan analisis kekuasaan dalam proyek air.

Untuk masyarakat sipil dan organisasi internasional:

  • Dorong partisipasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan air.
  • Lakukan kampanye hak atas air sebagai hak asasi manusia.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa mengelola air tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga soal politik, keadilan, dan perdamaian. Integrasi antara socio-hydrology dan riset perdamaian memberi arah baru untuk menjawab tantangan air abad ke-21. Jika dikelola dengan cermat, air bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik. Ke depan, kolaborasi antardisiplin harus diperluas agar solusi terhadap krisis air bisa menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.

Sumber : Döring, S., Kim, K., & Swain, A. (2024). Integrating socio-hydrology, and peace and conflict research. Journal of Hydrology, 633, 131000.

Selengkapnya
Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global

Pembangunan Pedesaan

Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?

Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan

Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.

Sistem Kompleks dan Ketidakpastian

Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:

  • Jangka waktu panjang antara perencanaan dan realisasi membuat kebijakan mudah usang sebelum infrastruktur selesai dibangun.
  • Perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan selama proses berlangsung bisa mengubah kebutuhan dan prioritas masyarakat.
  • Keterbatasan data dan partisipasi menyebabkan kebijakan seringkali hanya didasarkan pada persepsi atau narasi dominan, bukan pada pemetaan kebutuhan nyata semua pemangku kepentingan1.

Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah

Latar Belakang Wilayah

Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.

Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog

Penelitian dilakukan melalui:

  • Wawancara dan diskusi kelompok dengan 17 pejabat muda (junior) dan 25 pejabat senior dari enam kota.
  • Analisis dokumen strategi, visualisasi, dan photovoice (peserta mengambil foto isu aksesibilitas di wilayahnya).
  • Workshop dan seminar yang mempertemukan pejabat lintas kota untuk mendiskusikan visi masa depan, tantangan, dan solusi.

Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan

Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:

  1. Warga Lokal: Fokus pada kebutuhan mobilitas penduduk tetap, terutama untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari.
  2. Kerja dan Rekreasi: Menyoroti pentingnya akses transportasi untuk komuter dan aktivitas waktu luang.
  3. Lingkungan Urban: Mengidealkan kota kecil dengan akses 15 menit ke segala layanan, namun mengabaikan realitas pedesaan yang lebih luas.
  4. Layanan Transportasi Publik: Menekankan pentingnya transportasi umum, namun seringkali hanya relevan untuk area dengan kepadatan penduduk cukup tinggi.

Narasi ini cenderung mengabaikan:

  • Kebutuhan kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, anak muda, migran baru).
  • Aksesibilitas untuk pelaku usaha, wisatawan, dan layanan penting seperti kesehatan, logistik, dan komunikasi digital.
  • Peran infrastruktur kritis non-transportasi (air bersih, listrik, internet) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan12.

Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang

1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif

Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.

2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran

Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.

3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan

Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:

  • Kurangnya jalur pejalan kaki dan sepeda yang aman.
  • Minimnya koneksi bus dan informasi perjalanan.
  • Stasiun kereta dan terminal bus yang terasa tidak aman dan kurang ramah pengguna.
  • Keterbatasan sinyal telepon dan internet di beberapa area1.

4. Ketimpangan dan Spiral Negatif

Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.

Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain

Tantangan Serupa di Negara Lain

  • Nordic Roadmap for Rural Development menyoroti pentingnya pendekatan berbasis tempat (“place-based”), inovasi tata kelola, dan keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan serupa di seluruh Skandinavia3.
  • OECD menekankan bahwa aksesibilitas bukan sekadar soal mobilitas, tetapi juga tentang kemudahan mengakses layanan, peluang kerja, pendidikan, dan rekreasi. Mobilitas tinggi tidak selalu berarti akses tinggi, dan sebaliknya4.
  • Studi tentang perumahan pedesaan di Swedia juga menegaskan pentingnya integrasi antara akses transportasi, ketersediaan layanan, dan kebijakan perumahan untuk mendukung keberlanjutan sosial dan ekonomi5.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:

  • Ketimpangan akses antara kota besar dan desa terpencil.
  • Kebutuhan akan narasi pembangunan yang lebih inklusif, tidak hanya berpusat pada kelompok mayoritas.
  • Pentingnya kolaborasi lintas wilayah dan pelibatan masyarakat dalam perumusan visi masa depan.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Pendekatan Paper

  • Menggunakan kombinasi pendekatan naratif dan sistem untuk membedah kebijakan infrastruktur.
  • Melibatkan visualisasi dan partisipasi aktif pejabat muda dan senior, memperkaya pemahaman lintas generasi dan lintas bidang.
  • Menyoroti pentingnya “deep shadows”—isu-isu yang sering luput dari narasi dominan namun krusial bagi keberlanjutan jangka panjang1.

Keterbatasan dan Tantangan

  • Narasi yang dihasilkan masih cenderung “tanpa wajah”—kurang menampilkan karakter nyata (hero, villain, victim) yang bisa memicu aksi kolektif.
  • Kurangnya data dan perspektif dari pelaku usaha, kelompok rentan, dan otoritas nasional membatasi cakupan analisis.
  • Visi masa depan cenderung homogen dan kurang berani mengambil posisi unik atau diferensiasi strategis.

Rekomendasi Praktis

  • Perluas dialog lintas kelompok: Libatkan pelaku usaha, komunitas, dan kelompok rentan dalam perumusan visi pembangunan.
  • Kembangkan narasi yang lebih kaya dan kritis: Jangan hanya mengandalkan cerita “warga lokal dan komuter”, tapi juga kebutuhan layanan dasar, logistik, dan peluang ekonomi baru.
  • Integrasikan data dan visualisasi: Gunakan data spasial, survei kebutuhan, dan visualisasi untuk mengidentifikasi “blind spot” dan prioritas nyata.
  • Dorong inovasi tata kelola: Bangun mekanisme kolaborasi yang jelas, adil, dan transparan antar wilayah, serta pastikan distribusi manfaat dan beban yang proporsional.
  • Fokus pada keberlanjutan jangka panjang: Jangan terjebak pada solusi jangka pendek atau tren sesaat; rancang kebijakan yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner

Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.

Selengkapnya
Membaca Masa Depan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Narasi, Infrastruktur, dan Tantangan Aksesibilitas di Swedia Tengah

Air Bersih

Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Akses air minum bersih adalah hak dasar, namun pada 2020, sekitar 387 juta orang di Afrika Sub-Sahara (SSA) masih belum memilikinya. Bahkan, 38% penduduk Kenya dan 55% penduduk Siaya County—wilayah studi utama dalam paper ini—masih bergantung pada sumber air yang tidak layak. Target SDG 6 “air bersih untuk semua” diprediksi sulit tercapai pada 2030, dengan 1,6 miliar orang di dunia tetap tanpa akses air aman jika tren saat ini berlanjut1.

Permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan air, tapi pada kegagalan proyek air minum untuk beroperasi secara berkelanjutan. Antara 30–60% sistem air di pedesaan SSA rusak atau tidak berfungsi setelah dibangun. Ironisnya, banyak proyek air hanya dinilai dari keberadaan infrastrukturnya, bukan dari fungsionalitas atau kualitas layanan. Akibatnya, ratusan juta dolar terbuang setiap tahun untuk membangun atau memperbaiki proyek yang gagal, menciptakan lingkaran setan kegagalan dan pemborosan dana pembangunan1.

Keterbatasan Pendekatan Lama: Fragmentasi dan Siloed Thinking

Literatur selama ini cenderung membahas kegagalan proyek air minum dari sudut pandang sempit—misal hanya aspek teknis, ekonomi, atau sosial saja. Pendekatan ini menutupi akar masalah dan mengabaikan keterlibatan multi-pemangku kepentingan lintas level, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga global. Padahal, proyek air minum adalah sistem kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, ekonomi, teknologi, lingkungan, tata kelola, dan politik di berbagai level1.

Framework Holistik: Holistic Integrated Framework (HIF)

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ornit Avidar mengembangkan Holistic Integrated Framework (HIF). Framework ini dirancang untuk mengevaluasi dan merencanakan keberlanjutan proyek air minum dengan mempertimbangkan:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan dari level global, nasional, regional, hingga komunitas.
  • Lima kategori utama faktor keberlanjutan: sosial-politik, ekonomi, teknologi, lingkungan, serta perencanaan dan manajemen.
  • Analisis interaksi dan feedback loop antar faktor dan antar level, sehingga akar masalah dan hubungan sebab-akibat dapat diidentifikasi secara komprehensif.

Dimensi HIF

  1. Vertikal (Stakeholders’ Levels):
    • Meta-global (lembaga internasional, donor, tren global)
    • Macro-nasional (pemerintah pusat, kementerian, regulasi nasional)
    • Meso-regional (pemerintah daerah, perusahaan air daerah, asosiasi lokal)
    • Mikro-lokal (komunitas, proyek, pengguna, komite air, pemimpin lokal)
  2. Horizontal (Faktor Keberlanjutan):
    • Perencanaan & Manajemen: Keterlibatan dalam desain, pengumpulan data, O&M, pelatihan, transparansi, exit strategy.
    • Sosial & Politik: Dinamika komunitas, budaya, sejarah, gender, partisipasi, pemberdayaan, kepercayaan, konflik.
    • Ekonomi & Pendanaan: Sumber dana, tarif, kemampuan dan kemauan membayar, keberlanjutan finansial, pendapatan lokal.
    • Teknologi: Kesesuaian teknologi, ketersediaan suku cadang, pelatihan, inovasi, biaya operasional.
    • Lingkungan: Konservasi, kualitas dan kuantitas air, perubahan iklim, dampak ekologis, keamanan air.

Framework ini juga merekomendasikan penilaian pada setiap tahap proyek: perencanaan, implementasi, pasca-implementasi, dan evaluasi.

Studi Kasus: Proyek Sidindi Malanga-African Development Bank (SM-ADB) di Siaya, Kenya

Gambaran Proyek

SM-ADB merupakan proyek flagship senilai $20 juta, bertujuan meningkatkan cakupan air bersih di Siaya County dari 25% menjadi lebih dari 50% populasi (sekitar 1 juta jiwa). Proyek ini didanai African Development Bank (ADB) dan pemerintah Kenya, serta dioperasikan oleh Siaya-Bondo Water and Sanitation Company (SIBO)1.

Secara teknis, proyek ini menggunakan sistem distribusi gravitasi yang ramah lingkungan dan hemat listrik, dengan target produksi air 24.200 m³/hari (peningkatan signifikan dari kapasitas awal 5.200 m³/hari). Namun, pada 2019, realisasi produksi hanya 7.760 m³/hari—jauh di bawah target.

Permasalahan Teknis dan Permukaan

  • Instalasi turbin air yang tidak sesuai (tidak cocok untuk air berlumpur dari Sungai Yala) menyebabkan kerusakan fasilitas.
  • 47% pipa air tidak aktif; dua dari sepuluh fasilitas utama tidak berfungsi.
  • Banyak pipa bocor atau rusak akibat kualitas pekerjaan kontraktor yang buruk.

Namun, analisis HIF menunjukkan bahwa masalah teknis hanyalah “puncak gunung es”.

Analisis Holistik: Akar Masalah dan Feedback Loop

  1. Meta-Global:
    • African Development Bank sebagai donor utama menentukan prioritas proyek (misal, fokus pada cakupan air di kota kecil), sehingga banyak komunitas pedesaan di sekitar proyek justru tidak terlayani.
    • Kontraktor asal Tiongkok memenangkan tender, namun hasil pekerjaannya buruk, memperparah masalah teknis.
    • Kurangnya supervisi dan akuntabilitas dari donor dan lembaga global.
  2. Macro-Nasional:
    • Pemerintah Kenya mengadopsi sistem devolusi (desentralisasi), namun proyek flagship tetap dikendalikan pusat, sehingga pemerintah daerah dan operator lokal tidak punya kuasa penuh.
    • Kebijakan dan pendanaan nasional tidak sinkron dengan kebutuhan daerah.
  3. Meso-Regional:
    • Pemerintah daerah (Siaya County) tidak bisa mengawasi atau mengintervensi proyek, meski bertanggung jawab kepada masyarakat.
    • SIBO sebagai operator hanya penerima proyek, tidak terlibat dalam implementasi, sehingga tidak siap mengelola fasilitas baru.
  4. Mikro-Lokal:
    • Masyarakat kecewa karena akses air tetap terbatas, banyak yang menolak membayar atau bahkan merusak infrastruktur.
    • Ketidakpercayaan dan demoralisasi muncul karena kegagalan proyek sebelumnya, memperkuat lingkaran setan kegagalan.

Feedback Loops yang Teridentifikasi

  • Lingkaran ekonomi: Proyek gagal menghasilkan pendapatan, sehingga tidak mampu membiayai perbaikan atau ekspansi, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan memperburuk keuangan perusahaan.
  • Lingkaran akuntabilitas: Banyaknya aktor pada berbagai level menyebabkan kebingungan tanggung jawab, sehingga tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab saat proyek gagal.
  • Lingkaran kemiskinan: Masyarakat miskin tidak mampu membayar air, perusahaan air kekurangan dana, sehingga layanan memburuk dan masyarakat makin miskin.
  • Lingkaran demoralisasi: Kegagalan berulang membuat masyarakat kehilangan harapan dan enggan berpartisipasi dalam proyek baru.

Pelajaran Penting dari Studi Kasus

  1. Kegagalan proyek air minum di SSA bukan sekadar masalah teknis, tapi hasil interaksi kompleks berbagai faktor lintas level.
  2. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan—dari donor global hingga komunitas lokal.
  3. Desain proyek harus mempertimbangkan konteks lokal, baik dari sisi teknologi, sosial-budaya, maupun ekonomi.
  4. Akuntabilitas dan supervisi harus jelas di semua level, agar tidak terjadi “no one is responsible” ketika proyek bermasalah.
  5. Feedback loop negatif harus diidentifikasi dan diputus, misal dengan memperkuat kapasitas operator lokal, memperbaiki sistem pendanaan, dan membangun kepercayaan masyarakat.

Nilai Tambah Framework HIF untuk Praktisi dan Peneliti

Framework HIF menawarkan alat analisis dan perencanaan yang lebih komprehensif dibanding pendekatan konvensional yang fragmentaris. Dengan memetakan semua aktor dan faktor, serta menganalisis interaksi dan feedback loop, HIF membantu:

  • Mengidentifikasi akar masalah yang tersembunyi di balik isu teknis.
  • Merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, misal dengan memperkuat kapasitas pengelola lokal, memperbaiki tata kelola, atau mengadaptasi teknologi.
  • Menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, sehingga investasi pembangunan tidak terbuang sia-sia.
  • Meningkatkan peluang tercapainya SDG 6 dan “Water for All” di Afrika Sub-Sahara dan negara berkembang lain.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Framework HIF sangat relevan untuk konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek air minum pedesaan. Namun, implementasi HIF membutuhkan sumber daya, waktu, dan komitmen lintas sektor yang besar. Tantangan lain adalah resistensi birokrasi dan budaya organisasi yang masih sering bekerja dalam silo. Meski begitu, pendekatan holistik seperti HIF penting untuk menghindari kegagalan proyek yang berulang.

Studi lain di Ghana dan Kenya juga menegaskan pentingnya partisipasi komunitas dan rasa kepemilikan dalam keberlanjutan proyek air minum. Namun, partisipasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh tata kelola yang baik, pendanaan berkelanjutan, dan teknologi yang sesuai2. HIF melengkapi temuan tersebut dengan menekankan pentingnya analisis multi-level dan multi-faktor.

Implikasi untuk Industri, Pemerintah, dan Donor

  • Donor internasional: Harus memastikan keterlibatan dan penguatan kapasitas aktor lokal, bukan sekadar transfer dana dan teknologi.
  • Pemerintah nasional dan daerah: Perlu memperjelas pembagian tugas, memperkuat supervisi, dan memastikan proyek sesuai kebutuhan lokal.
  • Operator air dan komunitas: Didorong untuk aktif dalam perencanaan, pemeliharaan, dan evaluasi proyek, serta membangun kepercayaan dan rasa kepemilikan bersama.

Kesimpulan

Keberlanjutan proyek air minum di pedesaan Afrika Sub-Sahara sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua faktor dan pemangku kepentingan lintas level. Framework HIF yang dikembangkan dalam studi ini menawarkan alat penting untuk mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan memutus lingkaran kegagalan proyek air minum. Dengan komitmen dan kolaborasi nyata, target “Water for All” bukanlah mimpi yang mustahil.

Sumber asli:
Ornit Avidar. (2024). A holistic framework for evaluating and planning sustainable rural drinking water projects in sub-Saharan Africa. Journal of Rural Studies, 107, 103243.

Selengkapnya
Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya
« First Previous page 274 of 1.349 Next Last »