Kebijakan Publik

Registrasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE): Strategi Kebijakan Publik untuk Mobilitas Insinyur Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pedoman Registrasi ACPE menegaskan pentingnya sertifikasi dan pengakuan profesional lintas negara ASEAN melalui mekanisme Mutual Recognition Arrangement (MRA). Dengan adanya sistem registrasi daring, insinyur Indonesia tidak hanya mendapatkan pengakuan nasional, tetapi juga kesempatan bekerja dan berkolaborasi di tingkat regional ASEAN.

Bagi kebijakan publik, hal ini berarti peningkatan daya saing SDM teknik Indonesia. Dengan pengakuan ACPE, mobilitas tenaga kerja insinyur semakin terbuka, proyek lintas negara dapat dijalankan lebih efektif, serta standar keahlian profesional dapat diselaraskan dengan kebutuhan global. Hal ini sejalan dengan Peningkatan Kualitas Insinyur Melalui Sertifikasi Insinyur Profesional yang menegaskan sertifikasi sebagai jaminan kompetensi dan keselamatan publik.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif registrasi ACPE adalah meningkatnya kualitas dan kredibilitas insinyur Indonesia di pasar ASEAN. Insinyur yang tersertifikasi dapat lebih mudah berpartisipasi dalam proyek infrastruktur regional, meningkatkan transfer pengetahuan, serta memperkuat reputasi Indonesia dalam forum internasional.

Namun, hambatan tetap ada. Proses sertifikasi membutuhkan bukti kompetensi, pengalaman kerja, dan pemenuhan standar yang tidak semua insinyur Indonesia siap penuhi. Sosialisasi yang masih terbatas dan rendahnya kesadaran tentang manfaat ACPE juga menjadi kendala utama.

Peluang strategis terbuka luas jika pemerintah, perguruan tinggi, dan asosiasi profesi dapat bersinergi. Integrasi standar ACPE dalam kurikulum pendidikan teknik, program pelatihan berkelanjutan, dan penyederhanaan registrasi daring dapat memperluas jumlah insinyur Indonesia yang berdaya saing global. Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia dengan Best Practices Global juga menunjukkan pentingnya menutup gap antara standar lokal dan global agar ACPE lebih diakui.

5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis

  1. Integrasi ACPE dalam Kebijakan Nasional SDM Teknik
    Masukkan ACPE sebagai standar rujukan dalam pengembangan kompetensi insinyur nasional.

  2. Sosialisasi dan Edukasi Publik
    Perlu ada program kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya registrasi ACPE bagi insinyur muda.

  3. Insentif bagi Insinyur yang Tersertifikasi ACPE
    Berikan penghargaan atau akses prioritas untuk proyek strategis nasional bagi insinyur bersertifikat ACPE.

  4. Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Asosiasi Profesi
    Kampus teknik perlu memasukkan pemahaman tentang ACPE sejak dini agar lulusan siap menghadapi standar internasional.

  5. Digitalisasi dan Penyederhanaan Proses Registrasi
    Tingkatkan efektivitas sistem registrasi daring agar lebih transparan, cepat, dan mudah diakses oleh seluruh calon pendaftar.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Tanpa dukungan kebijakan publik, jumlah insinyur Indonesia yang terdaftar sebagai ACPE akan minim. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya partisipasi dalam proyek lintas negara, menurunnya daya saing SDM teknik nasional, serta semakin lebarnya kesenjangan dengan negara tetangga yang lebih proaktif.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia

Registrasi ACPE bukan sekadar formalitas, melainkan investasi strategis untuk meningkatkan mobilitas, kredibilitas, dan daya saing insinyur Indonesia di ASEAN. Dengan kebijakan publik yang mendukung sosialisasi, pelatihan, serta digitalisasi registrasi, Indonesia bisa memperluas kontribusinya dalam proyek infrastruktur regional dan memperkuat posisinya di kancah internasional.

Sejalan dengan itu, kursus seperti Pengendalian Kualitas Pekerjaan Konstruksi dapat menjadi pelengkap penting dalam membangun keahlian teknis dan standar mutu bagi insinyur profesional.

Sumber

  • Kementerian PUPR. Pedoman Registrasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) Secara Daring.

  • ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA) on Engineering Services.

Selengkapnya
Registrasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE): Strategi Kebijakan Publik untuk Mobilitas Insinyur Indonesia

Inovasi Kurikulum

Outcome-Based Education: Strategi Kebijakan Publik untuk Pendidikan Berkualitas

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Outcome-Based Education (OBE) merupakan pendekatan pendidikan yang berfokus pada pencapaian hasil belajar (learning outcomes) yang jelas, terukur, dan terarah. Alih-alih hanya menekankan proses, OBE memastikan bahwa lulusan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dunia kerja dan pembangunan nasional.

Bagi Indonesia, penerapan OBE sangat relevan dengan tantangan globalisasi, perkembangan teknologi, serta kebutuhan link and match antara pendidikan tinggi dengan industri. Dengan adanya kebijakan publik yang mendorong OBE, perguruan tinggi akan lebih fokus menghasilkan lulusan yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga terampil, adaptif, dan siap menghadapi tantangan pasar tenaga kerja.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi OBE dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas pendidikan, keselarasan antara kurikulum dan kebutuhan industri, serta peningkatan akreditasi lembaga pendidikan. Misalnya, mahasiswa yang belajar dengan kurikulum berbasis OBE akan lebih terukur dalam pencapaian keterampilan seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi.

Namun, hambatan juga muncul: keterbatasan pemahaman dosen mengenai filosofi OBE, infrastruktur penilaian yang belum siap, serta resistensi institusi yang masih nyaman dengan sistem lama. Biaya dan waktu untuk transformasi kurikulum juga cukup tinggi.

Peluang tetap terbuka jika pemerintah mengintegrasikan OBE dalam kebijakan nasional pendidikan tinggi. OBE bisa menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum vokasi, sertifikasi kompetensi, hingga penguatan learning outcomes di tingkat nasional.

Relevan dengan kursus Penerapan Education Management System ISO 21001:2018, yang membahas standar mutu pendidikan dan sistem manajemen yang mendukung hasil belajar yang jelas dan terukur. 

Selain itu, kursus Perencanaan Kualitas juga mendukung materi OBE, karena menekankan penyusunan standar mutu, kontrol proses, dan spesifikasi pendidikan yang diperlukan agar hasil belajar tidak hanya formalitas tetapi benar-benar menjadi kemampuan nyata mahasiswa. 

5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis

  1. Integrasi OBE dalam Sistem Akreditasi Nasional – Akreditasi perguruan tinggi harus memasukkan indikator keberhasilan learning outcomes.

  2. Pelatihan Dosen dan Tenaga Pendidik – Pemerintah mendukung program peningkatan kapasitas agar dosen memahami filosofi dan praktik OBE.

  3. Dukungan Infrastruktur Penilaian – Menyediakan sistem penilaian nasional berbasis OBE agar ketercapaian hasil belajar dapat diukur dengan jelas.

  4. Kemitraan dengan Industri – Libatkan sektor industri dalam perumusan learning outcomes untuk menjamin kesesuaian dengan kebutuhan kerja.

  5. Monitoring dan Evaluasi Nasional – Kembangkan mekanisme monitoring OBE untuk mengukur dampaknya terhadap kualitas lulusan.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Tanpa kebijakan publik yang kuat, OBE akan berhenti pada wacana. Perguruan tinggi tetap terjebak dalam sistem pengajaran tradisional, lulusan tidak sesuai kebutuhan industri, dan daya saing bangsa menurun di pasar global.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia

Penerapan OBE bukan hanya tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk menciptakan lulusan berkualitas tinggi yang adaptif dan siap menghadapi perubahan zaman. Dengan kebijakan publik yang mendukung, OBE dapat menjadi instrumen strategis untuk memperkuat daya saing Indonesia di dunia internasional.

Sumber

  • Outcome-Based Education (OBE): Defining the Process and Its Implementation.

Selengkapnya
Outcome-Based Education: Strategi Kebijakan Publik untuk Pendidikan Berkualitas

Inovasi Pendidikan

Relevansi Kebijakan Publik: Pendekatan Baru dalam Pendidikan Tinggi Teknik

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pendidikan tinggi teknik memegang posisi sentral dalam pembangunan nasional — ia yang mempersiapkan tenaga ahli yang akan merancang, membangun, dan memelihara infrastruktur serta industri masa depan. Artikel “New Approaches to Engineering Higher Education in Practice” menghadirkan berbagai strategi inovatif yang kini makin sering diterapkan: keterlibatan industri langsung dalam kurikulum, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran interdisipliner, serta integrasi pengalaman kerja nyata sebagai bagian dari pendidikan.

Temuan ini sangat krusial bagi kebijakan publik di Indonesia. Karena traditionalnya pendidikan teknik lebih fokus pada teori dan pengetahuan teknis saja, tanpa cukup pengalaman lapangan atau kolaborasi dengan industri. Kebijakan yang baru harus mampu mendorong perguruan tinggi teknik untuk menyesuaikan kurikulum agar lebih responsif terhadap kebutuhan industri, memperkuat kerja sama antara universitas dan sektor usaha, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih praktikal dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dalam praktiknya, pendekatan baru tersebut membawa dampak positif yang nyata. Mahasiswa teknik yang dilibatkan dalam proyek nyata atau magang industri menunjukkan kesiapan kerja lebih tinggi dan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan dunia profesional. Kolaborasi lintas disiplin memungkinkan pendekatan permasalahan yang lebih holistik dan inovatif, misalnya gabungan aspek teknik, manajemen, dan keberlanjutan.

Namun, ada sejumlah hambatan. Tidak semua perguruan tinggi memiliki fasilitas laboratorium atau bengkel praktik yang memadai; biaya untuk memperbarui fasilitas dan melatih dosen agar mampu mengajar dalam model pembelajaran baru bisa tinggi. Selain itu, ada kesenjangan antara standar teori akademik dan standar kebutuhan industri — kadang-kadang proyek industri mempercepat timeline sehingga mahasiswa belum siap. Tantangan budaya institusional juga muncul: resistensi terhadap perubahan dari metode pengajaran tradisional.

Peluangnya sangat besar jika kebijakan publik mendukung perubahan ini. Pemerintah dapat membantu dengan memberikan dukungan regulasi dan pendanaan untuk fasilitas laboratorium dan praktikum, insentif untuk program kolaborasi industri–kampus, serta mempromosikan metode pembelajaran aktif seperti project-based learning. Artikel Efektivitas Model Problem Based Learning dan Drill pada Pembelajaran Balok Sederhana adalah contoh nyata bagaimana model pembelajaran aktif dapat meningkatkan kompetensi teknis mahasiswa teknik.

Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis

  1. Pemerintah perlu menetapkan kerangka regulasi yang mendorong perguruan tinggi teknik untuk memasukkan pengalaman proyek nyata dan kolaborasi industri sebagai bagian kurikulum wajib.

  2. Alokasi dana dari pemerintah pusat dan daerah agar perguruan tinggi teknik mampu memperbarui dan meningkatkan fasilitas praktik dan laboratorium.

  3. Pelatihan dosen dan tenaga pendidik agar mereka mampu mengimplementasikan metode pembelajaran baru seperti project-based learning, experiential learning, dan interdisipliner.

  4. Peninjauan sistem akreditasi terhadap prodi teknik untuk menilai tidak hanya aspek teori tetapi juga kinerja praktikum, kolaborasi industri, dan hasil lulusan dalam dunia kerja.

  5. Dukungan kemitraan antara kampus, industri, dan pemerintah melalui program fasilitasi dan insentif bagi perguruan tinggi yang berhasil menjalin kerja sama signifikan.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, pendidikan teknik bisa tetap berjalan seperti sebelumnya — terpisah dari realitas industri, mahasiswa kurang siap kerja, lulusan mungkin kurang kompetitif, dan investasi infrastruktur perkuliahan tidak optimal.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia

Dengan tren global yang makin menekankan praktikalitas dan relevansi pendidikan tinggi teknik terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan industri, Indonesia harus segera menyesuaikan kebijakan publik pendidikan teknik. Pendekatan baru bukan hanya pilihan, tapi kebutuhan agar lulusan teknik bisa membawa inovasi, produktivitas, dan daya saing yang tinggi bagi bangsa.

Sumber

Selengkapnya
Relevansi Kebijakan Publik: Pendekatan Baru dalam Pendidikan Tinggi Teknik

Kesetaraan Gender

Kesetaraan Gender di Dunia Kerja: Refleksi dari Tesis Maria Barrett

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Tesis Maria Barrett memberikan gambaran mendalam mengenai bagaimana kesenjangan gender masih menjadi tantangan serius di dunia kerja profesional. Perempuan kerap menghadapi hambatan struktural berupa stereotip, diskriminasi, serta bias tidak langsung yang membatasi ruang gerak mereka dalam mengembangkan karier. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya terwujud, meskipun sudah banyak regulasi yang secara formal menjamin hak yang sama.

Bagi Indonesia, temuan ini sangat penting untuk kebijakan publik karena memperlihatkan kesenjangan antara regulasi dan implementasi nyata di lapangan. Tanpa kebijakan yang menekankan perubahan budaya organisasi dan penguatan mekanisme pengawasan, kesenjangan gender akan tetap bertahan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dari sisi dampak, kesenjangan gender menurunkan produktivitas dan efektivitas organisasi. Perempuan yang potensinya terhambat tidak hanya merugikan individu, tetapi juga membatasi inovasi serta daya saing nasional.

Hambatannya cukup kompleks, mulai dari bias dalam proses rekrutmen, ketidaksetaraan dalam akses promosi jabatan, hingga stereotip bahwa peran kepemimpinan lebih cocok dipegang laki-laki. Tantangan lain adalah budaya kerja yang belum ramah terhadap kebutuhan perempuan, misalnya dalam hal fleksibilitas jam kerja dan dukungan terhadap peran ganda.

Namun, peluang tetap terbuka lebar. Integrasi prinsip kesetaraan gender ke dalam regulasi ketenagakerjaan, pendidikan vokasi, hingga kebijakan organisasi dapat memperkuat partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Pendidikan dan pelatihan tentang inklusivitas, serta pemberian penghargaan bagi organisasi yang berhasil menerapkan prinsip kesetaraan, bisa menjadi langkah strategis untuk mendorong perubahan nyata.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Apabila isu kesetaraan gender tidak dijawab dengan kebijakan publik yang tegas, risikonya adalah perempuan akan terus mengalami marginalisasi. Indonesia juga berpotensi kehilangan kontribusi signifikan dari setengah populasi yang bisa memperkuat produktivitas dan inovasi. Lebih jauh lagi, kesenjangan gender yang dibiarkan dapat memperburuk ketidakadilan sosial dan menurunkan reputasi negara dalam kancah global.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia

Kesetaraan gender bukan sekadar isu moral, tetapi juga strategi pembangunan berkelanjutan. Tesis Maria Barrett mengingatkan bahwa perubahan hanya bisa terwujud jika kebijakan publik mampu melampaui regulasi formal dan masuk ke ranah implementasi yang konkret. Indonesia perlu memastikan bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, baik melalui kebijakan afirmatif, pendidikan, maupun reformasi budaya organisasi. Dengan begitu, kesetaraan gender dapat menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.

Sumber

  • Barrett, Maria (2022).

  • Literatur pendukung mengenai kesetaraan gender dan kebijakan ketenagakerjaan.

Selengkapnya
Kesetaraan Gender di Dunia Kerja: Refleksi dari Tesis Maria Barrett

Psikologi

Relevansi Trait Theory: Menghubungkan Kepribadian dengan Kepemimpinan dan Kebijakan Publik di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Teori sifat atau trait theory telah lama menjadi salah satu pendekatan utama dalam memahami perilaku manusia dan kepemimpinan. Meski sering dianggap klasik, teori ini masih relevan hingga sekarang karena mampu menjelaskan bagaimana karakteristik kepribadian tertentu—seperti kepercayaan diri, keterbukaan, empati, dan ketekunan—mempengaruhi efektivitas seseorang dalam memimpin maupun bekerja.

Bagi Indonesia, pemahaman ini penting karena kebijakan publik di bidang pendidikan, manajemen SDM, maupun pengembangan kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari aspek kepribadian. Dengan mengintegrasikan pendekatan trait ke dalam kebijakan, pemerintah dan lembaga dapat merancang program pelatihan serta evaluasi kerja yang lebih adil, berbasis pada potensi individu, bukan sekadar kualifikasi formal.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dalam implementasinya, trait theory dapat membantu lembaga pendidikan dan organisasi dalam mengidentifikasi bakat kepemimpinan sejak dini. Misalnya, siswa atau karyawan yang menunjukkan konsistensi, tanggung jawab, dan kemampuan komunikasi dapat diarahkan untuk peran kepemimpinan. Di sisi lain, hambatan muncul karena kecenderungan sebagian organisasi hanya menilai kinerja dari hasil akhir tanpa memperhatikan sifat dasar individu yang justru memengaruhi keberlangsungan kinerja jangka panjang.

Peluangnya sangat besar: organisasi dapat memanfaatkan analisis trait untuk menyusun strategi pengembangan SDM yang lebih personal. Hal ini sejalan dengan Kemampuan Kognitif dan Beban Psikologi dalam Bekerja, yang membahas bagaimana aspek psikologi memengaruhi performa kerja dan dapat dijadikan dasar evaluasi kebijakan SDM.

Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius

Jika kebijakan publik dan manajemen organisasi mengabaikan relevansi trait theory, risiko yang muncul adalah ketidakmampuan dalam mengidentifikasi potensi SDM secara tepat. Hal ini bisa menyebabkan salah penempatan posisi, rendahnya kepuasan kerja, hingga meningkatnya turnover. Dalam konteks kepemimpinan, mengabaikan faktor kepribadian berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak adaptif, kurang empatik, dan gagal menjaga stabilitas organisasi.

Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia

Trait theory menunjukkan bahwa sifat kepribadian adalah faktor penting dalam membentuk kualitas manusia di dunia kerja maupun kepemimpinan. Bagi Indonesia, kebijakan publik yang memperhatikan faktor kepribadian akan membantu memperkuat efektivitas pendidikan, memperbaiki sistem rekrutmen, serta meningkatkan kualitas pemimpin bangsa. Integrasi ini juga dapat diperkuat melalui pelatihan praktis seperti Seni Berkomunikasi dalam Dunia Kerja, yang relevan dengan pengembangan trait interpersonal seperti empati, asertivitas, dan keterampilan komunikasi.

Dengan demikian, trait theory tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga menjadi pilar penting dalam merumuskan kebijakan publik yang lebih manusiawi, berbasis pada potensi dan sifat alami setiap individu.

Sumber

  • Lawman (2021). The Relevance of Trait Theory.

  • Diklatkerja. Kemampuan Kognitif dan Beban Psikologi dalam Bekerja.

  • Diklatkerja. Seni Berkomunikasi dalam Dunia Kerja.

Selengkapnya
Relevansi Trait Theory: Menghubungkan Kepribadian dengan Kepemimpinan dan Kebijakan Publik di Indonesia

Manajemen Konstruksi

Praktik Keselamatan Konstruksi Berdasarkan Kelas Kontraktor

Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025


Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Ade Asmi, Aurino Djamaris, dan Ahmad Dasuqi Bin Dahlan (2023) berfokus pada evaluasi penerapan praktik keselamatan kerja di lokasi konstruksi dengan membandingkan empat kelas kontraktor (A, B, C, dan D). Latar belakang riset ini berpijak pada data statistik yang menunjukkan bahwa industri konstruksi di Malaysia memiliki tingkat kecelakaan fatal tertinggi dibanding sektor lain. Kondisi ini menegaskan urgensi penguatan implementasi budaya keselamatan.

Studi dilakukan dengan dua pendekatan utama: tinjauan literatur dan survei kuesioner. Dari literatur, 13 praktik inti keselamatan teridentifikasi, antara lain: penyediaan sumber daya keselamatan, pemeliharaan peralatan, program pelatihan pekerja, sistem keamanan lokasi, instruksi kerja, inspeksi rutin, penerapan standar keselamatan tinggi, strategi pencegahan risiko, kedisiplinan pekerja, kesiapsiagaan darurat, manajemen dan penegakan keselamatan, keterlibatan kontraktor profesional, serta penyediaan fasilitas keselamatan. Praktik-praktik ini kemudian digunakan sebagai indikator dalam kuesioner yang ditujukan kepada kontraktor dari kelas A hingga D.

Hasil survei yang diolah dengan SPSS menunjukkan tingkat reliabilitas instrumen yang sangat tinggi (Cronbach’s Alpha = 0,968), menandakan konsistensi kuat dari kuesioner. Temuan utama memperlihatkan adanya perbedaan signifikan dalam penerapan praktik keselamatan antar kelas kontraktor.

Secara kuantitatif:

  • Kontraktor Kelas A menempati peringkat terbaik dengan rata-rata skor 1,21 (lebih rendah = lebih baik, karena 1 = “Ya” untuk penerapan). Mereka menunjukkan kepatuhan tinggi dalam aspek inspeksi (1,15), kedisiplinan (1,00), dan kesiapsiagaan darurat (1,04).

  • Kontraktor Kelas B berada di tingkat menengah dengan rata-rata skor 1,56. Walaupun memiliki komitmen pada beberapa aspek, terdapat kelemahan pada perencanaan kerja (1,61) dan pelaksanaan program keselamatan standar (1,82).

  • Kontraktor Kelas C mencatat performa paling rendah dengan rata-rata skor 1,69. Mereka menunjukkan kelemahan serius pada aspek pelatihan pekerja (skor 2,00), manajemen keselamatan (2,00), serta keterlibatan kontraktor profesional (2,00).

  • Kontraktor Kelas D memiliki skor rata-rata 1,68, dengan kelemahan menonjol dalam pemeliharaan peralatan (1,89) dan inspeksi (1,89).

Analisis ini memperjelas bahwa perbedaan kelas kontraktor berdampak langsung pada kualitas praktik keselamatan. Kontraktor kelas atas (A) umumnya memiliki sumber daya dan sistem manajemen yang lebih baik, sementara kontraktor kelas bawah (C dan D) cenderung menghadapi kendala finansial, keterbatasan pengetahuan, dan lemahnya pengawasan.

Makalah ini berkontribusi penting dengan:

  1. Menyediakan gambaran komprehensif tentang perbedaan penerapan praktik keselamatan di berbagai kelas kontraktor.

  2. Menyusun 13 indikator keselamatan praktis yang dapat dijadikan tolok ukur standar di lapangan.

  3. Menyajikan bukti empiris berbasis data kuantitatif bahwa kontraktor kelas bawah membutuhkan dukungan tambahan untuk memperbaiki budaya keselamatan.

Secara konseptual, penelitian ini menegaskan bahwa regulasi dan slogan keselamatan belum cukup tanpa implementasi nyata yang merata di seluruh tingkatan kontraktor.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun riset ini memberikan kontribusi signifikan, terdapat sejumlah keterbatasan yang perlu dicatat:

  1. Lingkup geografis terbatas – Survei dilakukan di wilayah Kuala Terengganu sehingga hasil mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi nasional atau regional lainnya. Variasi regulasi lokal maupun kondisi proyek dapat memengaruhi praktik keselamatan.

  2. Metode survei bersifat deskriptif – Instrumen yang digunakan berbasis checklist biner (Ya/Tidak). Meskipun sederhana, metode ini kurang mampu menangkap intensitas, kualitas, atau konsistensi pelaksanaan praktik keselamatan. Misalnya, kontraktor yang menjawab “Ya” bisa saja hanya menerapkan sebagian dari standar.

  3. Fokus pada kontraktor, bukan pekerja lapangan – Persepsi pekerja, yang merupakan pihak paling terdampak, tidak digali secara langsung. Padahal, sikap pekerja terhadap disiplin, APD, atau pelatihan sangat memengaruhi efektivitas program keselamatan.

  4. Ketiadaan analisis hubungan kausalitas – Studi ini hanya memotret tingkat penerapan praktik, namun tidak meneliti kaitannya dengan angka kecelakaan nyata di proyek. Pertanyaan terbuka: apakah skor tinggi dalam pelatihan benar-benar berhubungan dengan penurunan insiden?

  5. Variasi antar fase proyek tidak diperhitungkan – Pentingnya tiap praktik keselamatan bisa berubah seiring fase proyek (misalnya, keamanan lokasi paling relevan saat tahap awal, sementara kesiapsiagaan darurat lebih kritis saat konstruksi berjalan). Riset ini belum menangkap dimensi temporal tersebut.
     

Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang tersisa antara lain:

  • Bagaimana hubungan antara skor praktik keselamatan dengan outcome keselamatan aktual (jumlah insiden, tingkat keparahan)?

  • Apakah intervensi regulasi yang lebih ketat dapat menutup kesenjangan antara kelas kontraktor?

  • Bagaimana peran subkontraktor dan pekerja informal yang sering kali tidak terikat langsung dengan regulasi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

  1. Analisis Kausalitas antara Praktik Keselamatan dan Tingkat Kecelakaan
    Studi lanjutan perlu menghubungkan data penerapan praktik keselamatan (misalnya skor rata-rata 1,21 untuk kelas A vs 1,69 untuk kelas C) dengan angka kecelakaan nyata di lapangan. Metode regression analysis atau structural equation modeling (SEM) dapat digunakan untuk menguji apakah variabel seperti pelatihan atau inspeksi rutin berkontribusi signifikan dalam menurunkan kecelakaan. Ini akan menjawab pertanyaan apakah praktik dengan skor rendah benar-benar berimplikasi pada outcome keselamatan.

  2. Pengembangan Instrumen Penilaian Multilevel (Manajemen dan Pekerja)
    Riset mendatang perlu menggabungkan persepsi manajer dengan pekerja lapangan. Misalnya, instrumen survei dapat dilengkapi skala Likert (1–5) untuk menilai kualitas pelaksanaan, serta focus group discussion dengan pekerja untuk memahami kendala kepatuhan. Hal ini akan memperlihatkan kesenjangan antara kebijakan manajemen dan realitas di lapangan.

  3. Studi Longitudinal Berdasarkan Fase Proyek
    Penelitian ke depan sebaiknya dilakukan secara longitudinal, mengikuti proyek dari tahap awal hingga akhir. Dengan begitu, dapat dipetakan perubahan relevansi setiap praktik. Contoh hipotesis: perencanaan kerja (skor kelas A = 1,00) paling krusial di awal, sementara kesiapsiagaan darurat (kelas A = 1,04) paling vital saat eksekusi proyek. Variabel temporal ini akan memperkaya pemahaman tentang dinamika praktik keselamatan.

  4. Perbandingan Lintas Wilayah dan Lintas Negara
    Karena konteks studi ini terbatas di Kuala Terengganu, riset lebih luas perlu dilakukan lintas negara berkembang, seperti Indonesia, Thailand, atau Vietnam. Perbandingan ini dapat mengidentifikasi faktor kontekstual (regulasi, budaya keselamatan, kapasitas finansial) yang memengaruhi implementasi. Dengan memasukkan variabel moderasi seperti tingkat penegakan hukum, peneliti dapat menilai apakah kelemahan kelas kontraktor C/D bersifat lokal atau global.

  5. Integrasi KPI Keselamatan dengan Indikator Kinerja Proyek
    Studi selanjutnya dapat mengembangkan model integratif yang menghubungkan praktik keselamatan dengan kinerja proyek lain (biaya, waktu, mutu). Pendekatan multi-criteria decision making (MCDM) dapat digunakan untuk menimbang trade-off. Misalnya, apakah investasi pada pelatihan rutin (skor rendah di kelas C dan D) berdampak pada efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi insiden keterlambatan akibat kecelakaan. Hal ini akan memperkuat argumen bahwa keselamatan bukan sekadar beban, tetapi investasi strategis.

Penelitian Ade Asmi et al. (2023) berhasil mengidentifikasi perbedaan nyata dalam penerapan praktik keselamatan berdasarkan kelas kontraktor, dengan data kuantitatif yang menunjukkan bahwa kontraktor kelas A lebih konsisten dalam budaya keselamatan dibanding kelas C dan D. Namun, keterbatasan metodologis dan lingkup riset membuka peluang besar untuk studi lanjutan yang lebih komprehensif, lintas konteks, dan berbasis kausalitas.

Untuk memperkuat dampak, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Bakrie (Indonesia), Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM), serta lembaga pengawas keselamatan kerja nasional. Kolaborasi lintas institusi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan relevansi hasil penelitian demi terciptanya lingkungan konstruksi yang lebih aman.

Baca Penelitian Lengkapnya disini : A STUDY ON ASSESSING CONSTRUCTION SITE SAFETY PRACTICES AMONG CLASS OF CONTRACTORS. (2023). Jurnal Infrastruktur 9(2), 107-118. https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/infrastruktur/article/view/5604

 

Selengkapnya
Praktik Keselamatan Konstruksi Berdasarkan Kelas Kontraktor
« First Previous page 207 of 1.352 Next Last »