Bayangkan sebuah skenario sederhana: Anda seorang montir hebat dari Jawa Tengah yang diterima kerja di Kuala Lumpur. Sudah dua tahun terbang tinggi menyalurkan keterampilan, tapi tiba-tiba bos baru minta bukti sertifikat kompetensi Anda. Surat rekomendasi bos lama ada, portofolio proyek ada, tapi kenapa tetap ditolak karena “sistim kami tak kenal itu”? Kisah seperti ini nyata terjadi pada tenaga kerja migran. Keterampilan yang kita bangun di satu negara, tidak selalu diakui begitu saja di negara tetangga. Pengalaman sehari-hari ini mengawali diskusi tentang bagaimana ASEAN mencoba merajut jembatan pengakuan skill antarbatas negara. Saya terinspirasi membaca paper Surono Surono dan Tetty Ariyanto (2024) yang membahas tuntas isu “How Can ASEAN Improve the Skills Recognition Framework for Migrant Workers?”. Hasil risetnya mengejutkan sekaligus membuka mata betapa pentingnya pengakuan kompetensi lintas negara bagi ekonomi kita[1][2].
Studi Ini Mengubah Cara Kita Melihat Pekerjaan Lintas Negara
Studi akademik ini menggunakan metode kualitatif berupa Research & Development dengan pendekatan studi kasus etnografi. Artinya, mereka menyelami implementasi Kerangka Pengakuan Keterampilan ASEAN (ASEAN Skills Recognition Framework, SRF) di lapangan[3]. Hasilnya? Ada kabar baik dan pelajaran penting. Di satu sisi, banyak negara ASEAN sudah menyelaraskan kerangka kualifikasi nasional mereka dengan Kerangka Referensi Kualifikasi ASEAN (AQRF). Jadi, sertifikat keterampilan seseorang secara teori lebih mudah “diterjemahkan” ke standar regional[3][2]. Ini seperti memiliki KTP keterampilan yang berlaku di banyak negara.
Namun, studi ini juga menemukan hambatan berat: “variabilitas dalam sistem pengakuan, kesadaran yang rendah, dan proses yang kompleks masih menghambat potensi kerangka ini”[4]. Artinya, banyak perbedaan aturan antarnegara, orang belum tahu prosedur pengakuan skill, dan birokrasi masih ribet. Dalam kenyataan sehari-hari, ini bisa bikin pegal-pegel: misalnya seorang perawat Filipina yang jago, tapi sertifikatnya dianggap “kurang relevan” di Malaysia, atau tukang las Indonesia yang dianggap belum berpengalaman karena tidak lulus ujian kompetensi setempat.
Penelitian ini menyoroti beberapa temuan kunci yang benar-benar bisa mengubah cara kita membaca data:
- 🚀 Hasilnya sudah terlihat: Banyak kemajuan sudah dicapai. Kerangka kualifikasi nasional sedang “di-AQRF-kan”, sehingga pengakuan lintas negara makin mungkin[3]. Secara praktis, hal ini bisa membuat proses pengakuan keterampilan pekerja migran lebih cepat dan andal.
- 🧠Inovasinya baru di mata awam: Konsep Recognition of Prior Learning (RPL) diperkenalkan untuk menghargai pengalaman kerja tanpa harus sekolah lagi[5]. Artinya, pendidikan atau pelatihan nonformal kita bisa diakui, asalkan terdokumentasi dan sesuai standar. Ini bisa jadi “jalan pintas” untuk pekerja migran yang punya pengalaman puluhan tahun di bidangnya.
- 💡 Pelajaran penting: Jangan terpaku pada birokrasi lama. Studi ini mengingatkan agar transparansi dan sosialisasi ditingkatkan[6]. Kerangka baik tak berguna jika orang tak tahu cara menggunakannya. Misalnya, program pengakuan skill harus disosialisasikan ke perusahaan dan calon pekerja migran supaya tidak cuma jadi “kertas mati”.
Penjelasan di atas tentu masih terlalu kering tanpa konteks. Lebih baik kita lihat data real: pernah ada temuan bahwa jika sertifikat kompetensi diakui di banyak negara, mobilitas tenaga kerja yang terampil meningkat tajam[2]. Organisasi seperti ILO bahkan menekankan bahwa pengakuan keterampilan dapat memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan menguntungkan pekerja, perusahaan, serta perekonomian negara[1]. Bayangkan, jika ada sinkronisasi keterampilan ini, Indonesia misalnya bisa mendapat lebih banyak insinyur dan pengrajin handal dari tetangga, tanpa kendala administrasi. Ekonomi ASEAN pun ikut untung karena sumber daya manusia jadi optimal.
Apa yang Bikin Saya Terkejut
Membaca studi ini, ada beberapa poin yang benar-benar bikin saya mengangguk heran (dalam arti positif!). Pertama, betapa kompleksnya proses pengakuan keterampilan migran. Faktanya, lembaga sertifikasi di tiap negara kadang kewalahan dengan beban administratif dan bahkan hambatan bahasa[7]. Ternyata ada kasus di mana bukti pelatihan dan pengalaman kerja seorang migran sulit dilacak karena data ada dalam bahasa lokal atau sistem arsip tak terintegrasi.
Kedua, pendekatan penelitian mereka menunjukkan betapa kaya perspektif sosio-kultural yang diperlukan. Saya kaget penelitian ini menggunakan kerangka serupa etnografi: mewawancarai pembuat kebijakan, sertifikasi, dan tentu saja pekerja migran sendiri di beberapa negara[4]. Dari sudut pandang orang awam seperti saya, ini menegaskan: kebijakan bukan cuma angka, tapi pengalaman nyata orang di lapangan. Analisisnya agak akademis, ya, tapi sangat membuka wawasan. Mungkin bagi yang belum akrab dengan istilah RPL atau AQRF, ini akan terasa berat. Sebagai catatan, formulasi seperti “melakukan penilaian kompetensi berbasis pekerjaan” mungkin bikin dahi berkerut bagi pendatang baru. Tapi keseluruhan paparan mereka dibuat agar kita “mempunyai roadmap” yang jelas untuk perbaikan kebijakan.
Ketiga, yang tak kalah mengagetkan: rekomendasi kebijakan praktisnya. Mereka menekankan “standarisasi dan pelatihan”[6]. Misalnya, menyelenggarakan lokakarya untuk sertifikasi agar penyelenggara lebih siap mengurus dokumen migran, atau membangun sistem informasi yang transparan agar semua bisa melihat status sertifikat secara daring[6]. Saya tiba-tiba berpikir, bagaimana kalau setiap pekerja migran punya akun portal skill? Ini super modern. Inovasi itu keren, tapi di Indonesia kita masih kesulitan akses e-governance; implementasinya mungkin harus bertahap.
Namun, dari semua yang hebat itu, ada kritik kecil dalam hati saya: pendekatan studinya terlalu teoritis untuk awam. Frasa seperti “mengintegrasikan kurikulum TVET dengan asesmen berbasis kompetensi”[8] memang penting, tapi butuh penerjemahan ke bahasa sehari-hari. Mungkin riset ini akan lebih ‘nendang’ kalau ada contoh studi kasus negara contohnya: misal pekerja migran di sektor apa yang paling terbantu, atau kisah nyata migran yang “dimekarkan sayapnya” dengan framework ini. Kritik lainnya: karena fokusnya ASEAN, detail soal perbedaan birokrasi tiap negara terkadang menurut saya kurang digali. Mungkin saya berharap ada wawancara dengan pekerja migran di sana-sini.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Setelah tahu apa saja yang terjadi di tingkat ASEAN, pertanyaan saya: Apa artinya bagi kita sebagai individu atau perusahaan? Ternyata cukup banyak pelajaran praktis. Misalnya, sebagai pekerja kita jadi sadar pentingnya mendokumentasikan setiap kursus atau pengalaman kerja. Ikut kursus tidak hanya buat resume, tapi bisa jadi modal RPL di luar negeri. Perusahaan juga perlu “sokong” karyawannya, misal dengan mendaftarkan sertifikasi secara internasional, karena itu meningkatkan daya saing talent mereka.
Kalau saya bekerja di sektor pendidikan vokasi atau pelatihan, ini berarti konten kursus harus standar ASEAN. Metode “ajar di sini, validasi di sana” harus dibangun. Salah satu rekomendasi mereka adalah merumuskan standar TVET di tiap bidang[9]. Bayangkan kurikulum teknologi informasi kita dikaitkan dengan standar serupa di ASEAN: lulusan Indonesia lebih mudah diterima perusahaan-perusahaan Malaysia atau Filipina.
Berikut beberapa tindakan ringan yang bisa diambil sekarang:
- 🚀 Evaluasi Sertifikat Sendiri: Cek apakah sertifikat kerja atau pelatihan Anda sudah sesuai standar nasional dan, kalau bisa, setidaknya mirip dengan standar ASEAN (AQRF)[2]. Jika belum, cari lembaga sertifikasi atau kursus tambahan yang diakui internasional.
- 🧠Pelajari Konsep RPL: Jika Anda punya pengalaman kerja lama, manfaatkan RPL. Banyak kursus online (seperti di DiklatKerja) yang mendorong peserta melakukan dokumentasi pengalaman kerja[5]. Hal ini bisa jadi portofolio saat melamar kerja di luar negeri.
- 💡 Ajak Diskusi di Tempat Kerja: Bagikan wawasan ini kepada rekan kerja atau manajemen. Banyak perusahaan besar sudah “go international”, jadi mengakui sertifikat karyawan adalah win-win: reputasi perusahaan naik, karyawan pun lebih termotivasi.
Opini pribadi saya, langkah-langkah rekomendasi studi ini idealnya dibarengi semangat “gotong-royong ASEAN”. Misalnya, pembuatan portal online yang menampung database sertifikasi tenaga kerja migran bisa jadi proyek bersama Kementerian Ketenagakerjaan dengan ASEAN. Sedikit kritik kecil lagi: kebijakan keren tanpa dukungan teknologi tidak berjalan sempurna. Mereka sendiri menyebut perlu riset lebih lanjut soal peran teknologi dalam pengakuan keterampilan[6]. Ini kesempatan kita untuk mendorong Smart ASEAN, seperti blockchain skill certificate yang sedang tren.
Jika semua skema ini berjalan, dampaknya nyata: tenaga kerja migran Indonesia di Malaysia atau Singapura misalnya bisa menyelesaikan proses pengakuan kemampuannya lebih cepat. Tidak perlu lagi buang waktu dan biaya untuk “kegiatan uji sertifikasi ulang” yang sebenarnya mirip dengan yang sudah diikuti. Dampak ekonomi makro: produksi dan proyek bisa dipercepat karena tenaga kerja tepat guna langsung dimanfaatkan. Dari perspektif sosial, pekerja merasa dihargai, tidak terjebak “underutilized” skill.
Sebagai simpulan kecil, studi Surono & Ariyanto ini layak mendapat perhatian karena menghubungkan masalah teknis kebijakan ASEAN dengan cerita manusia di lapangan. Meskipun bahasanya agak akademis untuk pembaca awam, esensinya sangat relatable. Banyak hal di sini yang bisa kita pikirkan ulang dalam konteks karier dan pelatihan kerja kita. Saya pribadi jadi makin sadar, bahwa globalisasi bukan cuma bicara bebas barang, tapi juga tentang pengakuan mutu sumber daya manusia antarnegara.
Jika Anda penasaran lebih dalam tentang kerangka pengakuan keterampilan ini atau butuh data sahih untuk diskusi kebijakan, silakan baca paper aslinya. Banyak detail dan analisis yang bermanfaat di sana. Baca paper aslinya di sini untuk memahami seluk-beluk SRF secara penuh.