Air Bersih

Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Keberlanjutan PAMSIMAS Penting untuk Masa Depan Air Bersih Indonesia?

Akses air minum layak dan sanitasi aman adalah fondasi kesehatan dan kemajuan desa. Namun, tantangan besar masih membayangi Indonesia, terutama di wilayah pedesaan yang sering tertinggal dalam hal infrastruktur dan pengelolaan air bersih. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) hadir sejak 2006 sebagai salah satu inisiatif terbesar di dunia untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga 2022, PAMSIMAS telah menjangkau lebih dari 25,6 juta penduduk di lebih dari 37.000 desa di 37 provinsi1.

Namun, pertanyaan besarnya: apakah sistem air bersih yang dibangun benar-benar berfungsi dan bertahan lama? Artikel ini merangkum temuan riset terbaru tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberfungsian (functionality) PAMSIMAS, lengkap dengan data, studi kasus, dan refleksi kritis untuk masa depan air bersih desa yang lebih berkelanjutan.

Gambaran Umum: Capaian dan Tantangan PAMSIMAS

Statistik Kunci PAMSIMAS

  • Jumlah proyek: 28.936 sistem PAMSIMAS di 33 provinsi (data 2020)2.
  • Status fungsional: 85,4% berfungsi penuh, 9,1% sebagian, 5,5% tidak berfungsi.
  • Wilayah tertinggi tidak berfungsi: Kalimantan (8,6%), Sulawesi (8,5%).
  • Wilayah terbaik: Bali (100% sistem berfungsi penuh), Lampung (97%).
  • Rata-rata penerima manfaat per desa: 510 jiwa (median), dengan variasi antar wilayah.
  • Jenis sambungan: 83,9% sambungan rumah tangga, 16,1% sambungan komunal.

Tantangan Utama

  • Kesenjangan geografis: Wilayah timur Indonesia lebih rentan terhadap kegagalan sistem.
  • Kondisi keuangan pengelola desa: Hanya 62% rata-rata desa yang memiliki kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan)1.
  • Partisipasi perempuan: Rata-rata hanya 25% anggota pengelola air desa adalah perempuan, jauh di bawah target 40% yang diamanatkan PAMSIMAS.
  • Risiko iklim: Drought (kekeringan) dan kenaikan muka air laut mengancam lebih dari 12.000 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa1.

Studi Kasus: Kinerja dan Risiko Sistem Air Bersih Desa

1. Fungsi Sistem di Berbagai Provinsi

Analisis data nasional menunjukkan 15 provinsi memiliki proporsi sistem berfungsi penuh di bawah 87%. Bali menjadi satu-satunya provinsi dengan 100% sistem berfungsi. Di sisi lain, Kalimantan dan Sulawesi mencatat tingkat kegagalan tertinggi, menandakan perlunya perhatian khusus untuk wilayah ini1.

2. Dampak Risiko Iklim

  • Kekeringan: 13 provinsi dikategorikan berisiko tinggi kekeringan, mengancam lebih dari 12.500 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa.
  • Kenaikan muka air laut: 15 provinsi berisiko tinggi banjir rob, berdampak pada 14.500 sistem dan 67 juta penduduk desa.
  • Kualitas air: Lima provinsi memiliki kurang dari 25% sumber air yang bebas kontaminasi feses, mengancam kesehatan masyarakat secara luas.

3. Kondisi Keuangan Pengelola Air Desa

Hanya enam provinsi yang masuk kategori rendah risiko keuangan (lebih dari 84% desa memiliki keuangan sehat). Sebaliknya, lebih dari 15.000 sistem PAMSIMAS berada di provinsi dengan risiko keuangan tinggi, melayani sekitar 43 juta penduduk desa1.

Analisis Faktor Penentu Keberfungsian Sistem PAMSIMAS

1. Manajemen dan Tata Kelola

  • Desa dengan manajemen pengelola air (BPSPAMS/KPSPAMS) yang baik (memiliki daftar aset, pembukuan, rencana kerja, dan kemitraan) jauh lebih mungkin memiliki sistem yang berfungsi penuh.
  • Kombinasi manajemen kuat, kondisi keuangan sehat, dan sambungan rumah tangga meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh hingga 98% (baseline 87%)2.

2. Sistem Pembayaran dan Tarif Air

  • Tidak adanya sistem pembayaran air meningkatkan risiko sistem tidak berfungsi hingga 20 kali lipat dibandingkan desa yang menerapkan tarif2.
  • Sistem komunal lebih sering tidak menarik iuran dibandingkan sambungan rumah tangga (38,9% vs 3,5%).

3. Jenis Sambungan

  • Sambungan rumah tangga jauh lebih andal: hanya 0,6% yang tidak berfungsi, dibandingkan 31,1% pada sambungan komunal.

4. Partisipasi Perempuan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan air desa berkorelasi positif dengan keberfungsian sistem.
  • Hanya 32,5% desa yang memenuhi target minimal 40% perempuan di pengelola air desa, menandakan perlunya penguatan aspek gender.

5. Partisipasi Masyarakat

  • Menariknya, tingginya partisipasi masyarakat awal justru berkorelasi dengan sistem yang tidak berfungsi. Hal ini diduga karena euforia awal tidak selalu berlanjut menjadi kepemilikan dan tanggung jawab jangka panjang2.

6. Investasi Per Kapita

  • Investasi per kapita yang tinggi (umumnya di wilayah terpencil dan rumah tersebar) justru berkorelasi negatif dengan keberfungsian sistem. Hal ini menandakan perlunya studi kelayakan ekonomi yang lebih matang sebelum membangun sistem di wilayah-wilayah ini.

Studi Kasus: Dampak Kombinasi Faktor pada Keberfungsian Sistem

Skenario optimis dari model Bayesian menunjukkan bahwa kombinasi tiga faktor utama—manajemen baik, kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan), serta sambungan rumah tangga—dapat meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh dari 87% menjadi 98%2. Sebaliknya, sistem tanpa pembayaran dan hanya sambungan komunal memiliki peluang kegagalan hingga 23%.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

1. Perkuat Tata Kelola dan Monitoring

  • Perlu penguatan kapasitas dan monitoring pengelola air desa (BPSPAMS/KPSPAMS), termasuk pelatihan manajemen dan pelaporan keuangan.
  • Pengumpulan data dan update sistem secara berkala harus menjadi standar, agar pemerintah pusat dapat memantau dan mengintervensi lebih cepat.

2. Wajibkan Sistem Pembayaran Air

  • Sistem tanpa iuran terbukti tidak berkelanjutan. Pemerintah dan fasilitator desa harus memastikan setiap sistem air menerapkan tarif yang realistis dan adil.

3. Dorong Sambungan Rumah Tangga

  • Sambungan rumah tangga lebih berkelanjutan daripada sistem komunal. Perlu insentif dan kemudahan agar masyarakat mau berinvestasi pada sambungan pribadi.

4. Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

  • Target minimal 40% perempuan di pengelola air desa harus ditegakkan dan dikawal, karena terbukti meningkatkan keberfungsian sistem.

5. Studi Kelayakan Ekonomi di Wilayah Tertinggal

  • Untuk wilayah dengan rumah tersebar dan akses sulit, perlu pendekatan investasi berbeda agar tidak membebani masyarakat dan meminimalisir kegagalan sistem.

6. Antisipasi Risiko Iklim

  • Daerah rawan kekeringan dan kenaikan air laut harus menjadi prioritas adaptasi, misalnya dengan diversifikasi sumber air, perlindungan sumber air, dan teknologi tahan iklim.

Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global

Penelitian terkait di Afrika menunjukkan pola serupa: sistem air desa yang dikelola komunitas sering gagal jika tidak ada pembayaran, manajemen lemah, atau investasi tidak efisien. Namun, Indonesia punya keunikan dalam skala program dan tantangan geografis. Negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman PAMSIMAS dalam mengintegrasikan aspek gender, monitoring nasional, serta adaptasi terhadap risiko iklim.

Tantangan dan Peluang Masa Depan

  • Data dan monitoring: Masih banyak data yang tidak lengkap, terutama dari wilayah terpencil. Perlu inovasi digital untuk pelaporan berbasis aplikasi.
  • Keadilan sosial: Desa dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung lebih rentan kegagalan sistem. Subsidi silang dan bantuan teknis perlu diprioritaskan.
  • Kesiapan menghadapi perubahan iklim: PAMSIMAS generasi baru harus lebih responsif terhadap risiko iklim dan inklusi sosial (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion/GEDSI).

Kesimpulan: Menuju Sistem Air Bersih Desa yang Tangguh dan Inklusif

Keberhasilan PAMSIMAS tidak hanya diukur dari jumlah sistem yang dibangun, tetapi dari berapa banyak yang benar-benar berfungsi dan bertahan lama. Kunci keberlanjutan ada pada tata kelola yang baik, sistem pembayaran yang adil, keterlibatan perempuan, serta adaptasi terhadap risiko iklim dan sosial. Dengan pembenahan di titik-titik kritis ini, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam penyediaan air bersih desa yang tangguh dan inklusif.

Sumber artikel:
D. Daniel, Trimo Pamudji Al Djono, Widya Prihesti Iswarani. (2023). Factors related to the functionality of community-based rural water supply and sanitation program in Indonesia. Geography and Sustainability, 4, 29–38.

Selengkapnya
Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Risiko Bencana

Strategi Struktural dalam Mengurangi Risiko Bencana Hidrometeorologi di Sri Lanka: Studi Kasus, dan Implikasi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, dan erosi pantai semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan urbanisasi yang pesat. Sri Lanka, sebuah negara kepulauan di Asia Selatan, menjadi salah satu contoh nyata di mana bencana-bencana ini berdampak besar pada kehidupan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan wilayah. Menurut data, rata-rata 1,98 juta penduduk Sri Lanka terdampak bencana hidrometeorologi setiap tahun antara 2009–2018, dengan kerugian ekonomi yang sangat signifikan1.

Artikel ilmiah “An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka” oleh Kanchana Ginige dkk. (2022) membedah secara komprehensif efektivitas, tantangan, dan kebutuhan pengembangan langkah-langkah struktural (structural measures) untuk mitigasi bencana hidrometeorologi di Sri Lanka. Resensi ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus konkret, mengaitkan dengan tren global, serta memberikan analisis kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.

Apa Itu Langkah Struktural dalam Mitigasi Bencana?

Langkah struktural adalah intervensi fisik atau rekayasa teknik yang bertujuan mengurangi dampak bencana, misalnya pembangunan bendungan, tanggul, kanal, tembok laut, sistem drainase, dan penguatan lereng. Langkah ini berbeda dengan langkah non-struktural seperti edukasi, peringatan dini, atau kebijakan tata ruang. Di negara berkembang seperti Sri Lanka, langkah struktural sering menjadi andalan utama karena dianggap memberikan perlindungan langsung dan nyata terhadap bahaya fisik1.

Ragam dan Kondisi Langkah Struktural di Sri Lanka

Tipe-Tipe Langkah Struktural

Berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara dengan 12 pakar dari berbagai institusi kunci (Dinas Irigasi, NBRO, Coast Conservation Dept, dan lainnya), langkah struktural di Sri Lanka dikategorikan menurut jenis bencana sebagai berikut:

  • Banjir: Bendungan, embung, kanal, tanggul, pintu air, sistem pompa, dinding penahan banjir, sandbag, dan kanal drainase.
  • Erosi Pantai: Tembok laut, revetment batu, breakwater, groin, beach nourishment.
  • Kekeringan: Embung dan bendungan (namun jumlahnya sangat terbatas untuk mitigasi kekeringan).
  • Longsor: Dinding penahan, soil nailing, sistem drainase lereng, rumah tahan longsor, shotcrete, serta solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS)1.

Sebagian besar langkah struktural di Sri Lanka bersifat permanen dan “hard engineering”, sementara solusi temporer atau berbasis alam masih terbatas penerapannya.

Kondisi Terkini: Tantangan Usia dan Teknologi

Salah satu temuan penting adalah banyak infrastruktur pengendali banjir dan erosi di Sri Lanka sudah berusia tua—mayoritas dibangun sebelum tahun 1980-an. Akibatnya, efektivitasnya menurun, sering mengalami overtopping (air melimpas tanggul), dan tidak mampu mengimbangi perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk dan urbanisasi1.

Sebagai contoh, proyek-proyek pengendalian banjir di DAS Kelani, Gin, dan Nilwala sudah sangat membutuhkan rehabilitasi. Banyak struktur ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan saat ini karena perubahan tata guna lahan dan peningkatan populasi di sekitar area rawan banjir.

Studi Kasus: Banjir di Kota Rathnapura

Kota Rathnapura, pusat perdagangan batu permata di Sri Lanka, menjadi studi kasus utama dalam paper ini. Kota ini hampir setiap tahun mengalami banjir besar akibat curah hujan tinggi dan letaknya di dataran banjir Sungai Kalu. Pada banjir besar tahun 2017, 206 keluarga dan 1.203 jiwa terdampak, 80% area kota terendam selama 2–5 hari. Kerusakan meliputi infrastruktur, lahan pertanian, dan korban jiwa1.

Sebagai respons, Dinas Irigasi mengusulkan pembangunan tanggul besar dari Warakatota Bridge hingga Ayurveda Office untuk melindungi kota. Studi kelayakan menunjukkan bahwa biaya pembangunan sistem perlindungan penuh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor tahun 2017. Ini memperkuat argumen bahwa investasi besar di awal pada langkah struktural akan membuahkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.

Kekurangan dan Tantangan Implementasi

1. Usia Infrastruktur

Mayoritas struktur pengendali banjir dan erosi sudah tua, sehingga efektivitasnya menurun drastis. Banyak struktur dibangun sebelum 1980-an dan belum diperbarui secara signifikan.

2. Kurangnya Langkah untuk Kekeringan

Dibandingkan dengan banjir dan erosi, langkah struktural untuk mitigasi kekeringan sangat minim. Padahal, kekeringan menjadi penyumbang terbesar kerugian ekonomi di sektor kesehatan, dengan rata-rata US$52,8 juta per tahun, 78% dari total biaya bencana kesehatan1.

3. Praktik Konstruksi yang Buruk

Karena keterbatasan anggaran, Sri Lanka kerap membangun struktur pelindung pantai dengan biaya rendah tanpa studi kelayakan menyeluruh. Akibatnya, sering terjadi kebocoran, cacat konstruksi, dan bahkan keruntuhan.

4. Dampak Lingkungan

Beberapa proyek besar seperti Uma Oya Multipurpose Project dan Mahaweli Reservoir menyebabkan kerusakan lingkungan serius: erosi tanah, pencemaran air tanah, gangguan pada habitat satwa, dan intrusi air asin.

5. Kerusakan Infrastruktur Sekitar

Pembangunan struktur besar kadang merusak infrastruktur sekitar, seperti sumur dan jaringan air bersih, akibat aktivitas pengeboran dan penggalian.

6. Kurangnya Koordinasi dan Kerangka Keputusan

Tidak ada kerangka pengambilan keputusan yang konsisten berbasis analisis biaya-manfaat (Cost-Benefit Analysis/CBA) atau cost-effectiveness analysis (CEA) seperti yang lazim di Eropa atau Jepang. Akibatnya, prioritas proyek sering berubah tergantung pergantian pemerintahan dan tekanan sosial.

7. Keterbatasan Teknologi dan Dana

Sri Lanka belum mampu mengadopsi teknologi mutakhir seperti di Jepang atau Belanda, baik karena keterbatasan dana maupun sumber daya manusia.

Biaya dan Manfaat: Analisis Ekonomi dan Sosial

Manfaat Utama

  • Perlindungan jiwa dan aset: Mengurangi korban jiwa dan kerugian harta benda secara signifikan.
  • Pengembangan ekonomi: Infrastruktur yang aman mendorong investasi dan pertumbuhan kota.
  • Pengembangan lahan dan stabilitas kota: Wilayah yang terlindungi dari bencana menjadi lebih layak huni dan berkembang.
  • Manfaat tambahan: Beberapa struktur memungkinkan pengembangan wisata, perikanan, dan rekreasi.

Biaya dan Tantangan

  • Biaya awal tinggi: Investasi besar diperlukan untuk pembangunan dan penggantian struktur.
  • Biaya pemeliharaan: Struktur tua membutuhkan biaya perawatan dan rehabilitasi yang terus meningkat.
  • Dampak sosial: Proyek besar kadang memerlukan relokasi warga, yang menimbulkan masalah kompensasi dan kehilangan nilai historis tanah.
  • Dampak lingkungan: Struktur besar dapat mengganggu ekosistem lokal dan mengubah pola alami bencana.
  • Risiko residual: Tidak ada struktur yang mampu memberikan perlindungan 100%; risiko sisa tetap ada dan harus dikelola dengan langkah non-struktural.

Perbandingan Global: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

Jepang:

Setelah tsunami 2011, Jepang membangun tanggul laut raksasa, penguatan tebing, dan jalan-jalan baru yang ditinggikan. Namun, investasi besar ini hanya mungkin dilakukan oleh negara dengan sumber daya ekonomi besar. Jepang juga mengombinasikan langkah struktural dengan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat.

Belanda:

Belanda menerapkan pendekatan multifungsi pada tanggul dan bendungan, mengintegrasikan fungsi perlindungan banjir dengan transportasi, rekreasi, dan perumahan. Analisis biaya-manfaat menjadi standar dalam setiap pengambilan keputusan.

Sri Lanka:

Sri Lanka masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi, pemeliharaan, dan integrasi antara langkah struktural dan non-struktural. Namun, ada potensi besar untuk mengadopsi solusi berbasis alam (NbS) dan teknologi tepat guna yang lebih murah dan ramah lingkungan.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Rehabilitasi dan Penggantian Infrastruktur Tua
    • Prioritaskan peremajaan struktur pengendali banjir dan erosi yang sudah tua.
  2. Pengembangan Langkah Struktural untuk Kekeringan
    • Investasi pada embung bawah tanah dan perlindungan air tanah.
  3. Peningkatan Kapasitas Teknologi dan SDM
    • Transfer teknologi dari negara maju dan pelatihan tenaga ahli lokal.
  4. Integrasi Analisis Biaya-Manfaat dalam Pengambilan Keputusan
    • Terapkan CBA dan CEA untuk memastikan efisiensi dan efektivitas investasi.
  5. Kombinasi dengan Langkah Non-Struktural
    • Edukasi masyarakat, sistem peringatan dini, dan tata ruang berbasis risiko.
  6. Adopsi Solusi Berbasis Alam
    • Kembangkan NbS seperti reforestasi, bioengineering lereng, dan buffer zone pantai.
  7. Peningkatan Koordinasi Antar Lembaga
    • Bentuk badan khusus yang terintegrasi untuk mitigasi bencana hidrometeorologi.

Penutup: Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Pengalaman Sri Lanka menegaskan bahwa investasi pada langkah struktural harus diimbangi dengan inovasi, pemeliharaan, dan integrasi kebijakan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang juga rawan bencana hidrometeorologi, bisa mengambil pelajaran penting: pentingnya investasi jangka panjang, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan sinergi antara langkah struktural dan non-struktural.

Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan mitigasi bencana akan semakin kompleks. Hanya dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan partisipatif, upaya pengurangan risiko bencana dapat memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.

Sumber artikel:
Ginige, Kanchana; Mendis, Kalindu; Thayaparan, Menaha. (2022). An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka. Progress in Disaster Science, 14, 100232.

Selengkapnya
Strategi Struktural dalam Mengurangi Risiko Bencana Hidrometeorologi di Sri Lanka: Studi Kasus, dan Implikasi Global

Risiko Banjir

Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?

Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.

Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi

Dampak Global dan Tren Masa Depan

  • Banjir dan kekeringan bersama-sama telah menyebabkan kematian lebih dari 166 ribu orang dan kerugian ratusan miliar dolar antara 2000–20202.
  • Dampak keduanya diproyeksikan meningkat akibat perubahan iklim yang memperbesar variabilitas curah hujan, perubahan tutupan lahan, dan pertumbuhan populasi.
  • Contoh nyata: Setelah kekeringan lima tahun (2012–2017), California dilanda hujan ekstrem yang merusak spillway Bendungan Oroville, memaksa evakuasi hampir 200.000 orang. Demikian pula, Drought Millennium di Australia (1997–2009) diakhiri oleh banjir besar yang menyebabkan kegagalan tanggul di Sungai Murray1.

Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga

  • Langkah DRR untuk satu bahaya bisa memperbesar risiko bahaya lain. Misal, bendungan yang dioptimalkan untuk penanggulangan banjir (menyimpan air rendah) bisa memperburuk risiko kekeringan, sedangkan jika dioptimalkan untuk kekeringan (menyimpan air tinggi) justru memperbesar risiko banjir jika terjadi hujan ekstrem1.
  • Dampak kebijakan juga sering tidak terduga: Pembangunan tanggul dan levee memangkas risiko banjir lokal, tapi menurunkan infiltrasi dan recharge air tanah, sehingga memperparah kekeringan. Sebaliknya, pengurasan bendungan untuk antisipasi banjir bisa menyebabkan kekurangan air saat musim kering13.

Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan

1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage

  • Tanggul dan Levee: Di Belanda, 5% kegagalan tanggul antara 1134–2006 dipicu kekeringan, seperti kegagalan tanggul Wilnis 2003 yang menyebabkan 600 rumah terendam dan 2.000 orang dievakuasi. Kekeringan membuat tanah gambut menyusut, menurunkan bobot tanggul, sehingga mudah tergelincir saat debit sungai naik1.
  • Bendungan: Di California, 40% kapasitas Folsom Reservoir harus disisihkan untuk pengendalian banjir, yang berarti cadangan air untuk kekeringan berkurang. Di India, kekeringan pasca-banjir Kerala 2018 diperparah karena bendungan sudah dikuras untuk antisipasi banjir1.
  • Subsurface Storage: Di Thailand, recharge air banjir ke akuifer (Managed Aquifer Recharge/MAR) menjadi solusi ganda untuk banjir dan kekeringan, namun jika over-pumping terjadi saat kekeringan, bisa memicu penurunan tanah dan memperbesar risiko banjir saat hujan deras13.

2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan

  • Dams mikro di Brasil: Lebih dari 3.000 dam kecil dibangun 2001–2009, meningkatkan kelembaban tanah, memperbaiki vegetasi, dan menurunkan risiko kekeringan. Namun, jika tidak dikelola baik, bisa meningkatkan sedimentasi dan risiko banjir lokal1.
  • Reforestasi: Di Jerman dan Fiji, reforestasi terbukti meningkatkan infiltrasi dan menurunkan risiko banjir, tapi di musim kering justru mengurangi aliran air dasar (baseflow), memperparah kekeringan1.
  • Teknologi irigasi hemat air: Penggantian irigasi banjir dengan drip irrigation menurunkan risiko kekeringan, namun bisa meningkatkan risiko banjir karena berkurangnya evaporasi dan meningkatnya limpasan saat hujan ekstrem3.

3. Migrasi dan Urbanisasi

  • Relokasi pasca-banjir di Mozambik: Lebih dari 40.000 keluarga dipindahkan dari zona banjir ke upland yang lebih rawan kekeringan. Produktivitas pertanian menurun, sehingga banyak yang kembali ke dataran rendah dan terpapar banjir ulang1.
  • Urbanisasi Dakar, Senegal: 40% migran baru antara 1998–2008 menempati zona rawan banjir. Urbanisasi memperbesar limpasan permukaan, memperparah risiko banjir, dan meningkatkan tekanan air bersih1.

4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan

  • Early Warning System (EWS): Salah input pada EWS banjir bisa menyebabkan pengurasan air bendungan yang tidak perlu, memperparah kekeringan jika hujan tidak datang. Sebaliknya, EWS kekeringan yang gagal bisa membuat petani gagal menanam atau panen saat musim hujan tiba-tiba datang1.

Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan

1. Fragmentasi Penanganan

Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.

2. Skala dan Kompleksitas

Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.

3. Data dan Monitoring

Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.

4. Dinamika Sosial dan Ekonomi

Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.

Best Practices dan Rekomendasi Global

1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko

  • Integrated Flood Management (IFM) dan Integrated Drought Management (IDM) menjadi kerangka utama yang direkomendasikan UNESCO dan lembaga internasional. IFM menuntut pengelolaan siklus air secara utuh, integrasi lahan-air, manajemen risiko & ketidakpastian, serta partisipasi multi-aktor52.
  • EPIC Response Framework menekankan pentingnya tata kelola lintas sektor, perencanaan multi-level (dari DAS hingga komunitas), investasi pada infrastruktur dan ekosistem, serta pengendalian penggunaan lahan dan air5.

2. Investasi pada Solusi Ganda

  • Room for the River (Belanda): Mengembalikan ruang sungai untuk banjir, sekaligus meningkatkan recharge air tanah dan konservasi ekosistem13.
  • Managed Aquifer Recharge (Thailand, California): Menyimpan air banjir di akuifer untuk digunakan saat kekeringan, mengurangi risiko keduanya secara bersamaan1.
  • Stormwater Control Measures (SCM): Green infrastructure seperti taman resapan, green roof, dan rain garden bisa menahan air saat banjir dan menyimpan air untuk musim kering13.

3. Tata Kelola dan Kelembagaan

  • Harmonisasi kebijakan lintas sektor dan negara sangat penting, terutama di DAS lintas negara seperti Volta Basin di Afrika Barat yang mengembangkan strategi bersama untuk banjir dan kekeringan4.
  • Partisipasi masyarakat dan multi-aktor: Semua pihak—pemerintah, swasta, LSM, komunitas—harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi52.

4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka

  • Sistem monitoring dan peringatan dini harus terintegrasi untuk banjir dan kekeringan, dengan data real-time dan akses terbuka bagi semua pemangku kepentingan52.
  • Pengumpulan paired-event case studies (banjir dan kekeringan berurutan di satu wilayah) sangat penting untuk pembelajaran dan evaluasi efektivitas kebijakan1.

Studi Banding dan Angka-Angka Kunci

  • Afghanistan (2017–2019): Kekeringan multi-tahun menyebabkan 9,8 juta orang rawan pangan. Hujan deras dan snowmelt tiba-tiba pada 2019 menyebabkan banjir besar, 65 korban jiwa, dan 200.000 terdampak1.
  • Corigliano-Rossano, Italia (2015): Banjir pluvial dengan curah hujan return period >100 tahun, terjadi saat puncak musim wisata, menyebabkan kerugian ekonomi besar karena eksposur tinggi6.
  • North Carolina, AS (2007–2009): Kekeringan ekstrem 27 bulan menyebabkan kerugian pertanian €535 juta, meski sistem peringatan dini berhasil mengurangi kerentanan dibanding periode 2000–20036.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Paper Ward dkk.

  • Menyajikan analisis interaksi banjir-kekeringan dengan contoh nyata lintas benua.
  • Memberikan kerangka konseptual dan tabel ringkasan dampak intervensi DRR pada kedua bahaya.
  • Menyoroti pentingnya integrasi data, tata kelola, dan partisipasi multi-aktor.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Banyak solusi masih bersifat “best practice” dan belum teruji di semua konteks, terutama di negara berkembang dengan kapasitas terbatas.
  • Perlu riset lebih lanjut tentang efektivitas jangka panjang solusi ganda, serta dampak sosial-ekonomi dari trade-off kebijakan.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasikan DRR banjir dan kekeringan dalam perencanaan nasional dan lokal: Hindari silo kebijakan dan pastikan satu intervensi tidak memperparah risiko lain.
  • Kembangkan sistem monitoring dan data terbuka untuk mendukung pengambilan keputusan adaptif.
  • Dorong inovasi teknologi dan solusi berbasis alam yang memberikan manfaat ganda.
  • Libatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi, serta perkuat edukasi risiko lintas bahaya.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif

Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.

Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.

Selengkapnya
Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Risiko Banjir

Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?

Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.

Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional

Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:

  • Tingkat ketidakpastian tinggi: Hubungan antara kedalaman air dan tingkat kerusakan sangat bervariasi antar bangunan, lokasi, dan jenis banjir.
  • Kurangnya faktor pelengkap: Banyak variabel penting lain (misal kecepatan arus, durasi banjir, kualitas bangunan, kontaminasi air) tidak masuk dalam model.
  • Keterbatasan data mikro: Kurva ini gagal menjelaskan variasi kerusakan di tingkat rumah tangga, padahal keputusan mitigasi sering diambil di level ini.

Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.

Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional

Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.

Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.

Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting

Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):

  1. Jarak bangunan ke sungai/tinggi lahan (31% mention rate, ranking 1)
    • Faktor utama yang menentukan probabilitas dan tingkat kerusakan. Semakin dekat ke sungai atau semakin rendah elevasi, risiko makin besar.
  2. Kecepatan dan arus air (7%, ranking 2)
    • Kecepatan arus (misal 3 m/s dengan head 1 m) bisa menyebabkan kerusakan struktural serius pada dinding rumah.
  3. Waktu respons penanganan (36%, ranking 3)
    • Semakin cepat tim restorasi tiba dan melakukan mitigasi (pengeringan, pembersihan), kerusakan bisa ditekan signifikan.
  4. Basement yang diubah jadi ruang tinggal (40%, ranking 4)
    • Basement yang difungsikan sebagai ruang tinggal (dengan material organik, karpet, drywall) jauh lebih rentan terhadap kerusakan dan jamur.
  5. Kewajiban mengikuti kode bangunan baru (31%, ranking 5)
    • Rehabilitasi rumah pasca-banjir seringkali harus mengikuti kode bangunan terbaru, menambah biaya dan kompleksitas.
  6. Durasi kejadian banjir (49%, ranking 6)
    • Semakin lama air menggenang, semakin besar kerusakan akibat kapilaritas, kelembaban, dan kontaminasi.
  7. Desain dan pemeliharaan sistem drainase dan air limbah (44%, ranking 7)
    • Drainase yang buruk atau tidak terawat menyebabkan backflow, limpasan, dan kerusakan lebih besar.
  8. Penataan lahan dan lanskap (49%, ranking 8)
    • Topografi, tingkat mineralisasi, vegetasi, dan kemiringan lahan sangat mempengaruhi arah dan akumulasi air.
  9. Kesiapan dan kompetensi pemerintah kota (11%, ranking 9)
    • Kota yang siap dan kompeten dalam respons serta edukasi risiko mampu menekan kerugian lebih baik.
  10. Jenis program kompensasi dan syarat klaim (13%, ranking 10)
  • Proses klaim yang lambat dan rumit memperparah kerusakan karena penundaan perbaikan.

Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Basement: Studi di Quebec (2011) pada 1.639 rumah terdampak banjir Richelieu menunjukkan 18% rumah tanpa basement, 25% unfinished, dan 57% finished basement. Basement finished jauh lebih rentan dan mahal diperbaiki.
  • Kode Bangunan: Koefisien kerusakan untuk rumah sebelum 1965 adalah 130 (basis 100 untuk rumah setelah 2022), artinya rumah tua 30% lebih rentan rusak.
  • Jenis tanah: Tanah liat (clay) memiliki koefisien kerusakan 120 (20% lebih tinggi dari pasir/sand).
  • Nilai bangunan: Nilai pengganti (replacement cost) rata-rata 1,5 kali nilai penilaian properti oleh kota (koefisien 150), sedangkan nilai isi rumah sekitar 35% dari nilai bangunan.
  • Durasi klaim: Rata-rata waktu penyelesaian klaim banjir di Quebec mencapai 221 hari (2019) dan 521 hari (2017), menunda pemulihan dan memperbesar kerugian sekunder.

Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi

1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?

Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.

2. Peran Sentral Pemerintah Kota

Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:

  • Melarang pembangunan di zona rawan banjir,
  • Mewajibkan standar bangunan tahan banjir,
  • Investasi pada sistem drainase dan edukasi publik.

3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan

Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:

  • Rumah di tanah liat: kerusakan 20% lebih tinggi dari rumah di pasir.
  • Rumah tua (sebelum 1965): kerusakan 30% lebih tinggi dari rumah baru.
  • Basement finished: kerugian lebih besar dibanding unfinished.

4. Keterbatasan dan Tantangan

  • Mayoritas pakar berasal dari industri asuransi, sehingga ada potensi bias pada faktor yang sering muncul di klaim.
  • Studi fokus pada rumah tinggal; perlu riset lebih lanjut untuk bangunan komersial dan infrastruktur.
  • Data mikro seperti jenis basement, kode bangunan, dan detail lanskap masih tersebar di banyak basis data, belum terintegrasi.

Perbandingan dan Relevansi Global

Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasi data mikro: Pemerintah kota perlu mengumpulkan dan mengintegrasikan data jenis basement, tahun bangunan, kode bangunan, jenis tanah, dan lanskap ke dalam sistem penilaian properti.
  • Reformasi penilaian risiko: Model estimasi kerusakan harus memasukkan koefisien penyesuaian untuk faktor-faktor utama, bukan hanya kedalaman air.
  • Peningkatan kesiapsiagaan kota: Investasi pada sistem drainase, edukasi risiko, dan percepatan proses klaim sangat krusial.
  • Kolaborasi lintas sektor: Asuransi, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja sama mengembangkan sistem mitigasi dan kompensasi yang lebih responsif.

Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif

Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.

Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.

Selengkapnya
Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Perubahan Iklim

Mengurai Tantangan Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh: Dua Dekade Pasca-Tsunami

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Aceh, Laboratorium Kebijakan Bencana dan Iklim Indonesia

Dua puluh tahun setelah tsunami Samudra Hindia 2004 yang menewaskan 168.000 jiwa dan menyebabkan kerugian lebih dari USD 5,1 miliar di Aceh, provinsi ini menjadi laboratorium kebijakan pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi perubahan iklim (CCA) di Indonesia. Namun, di balik kemajuan masif pada infrastruktur, regulasi, dan kapasitas kelembagaan, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan DRR dan CCA secara efektif di level lokal. Paper Sofyan Sufri dan Jonatan Anderias Lassa (2024) mengupas secara kritis perjalanan, capaian, dan hambatan integrasi DRR-CCA di Aceh, khususnya di Banda Aceh, dengan menyoroti studi kasus, angka-angka kunci, dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Latar Belakang: Dari Tsunami ke Ancaman Multi-Bencana

Tsunami 2004 bukan hanya bencana terbesar di awal abad ke-21, tetapi juga pemicu perubahan geomorfologi besar di pesisir Aceh. Subsiden tanah 0,5–1 meter di kawasan pantai barat, selatan, dan barat daya membuat wilayah ini makin rentan terhadap banjir pesisir, rob, dan badai. Setelah tsunami, Aceh terus dilanda bencana hidrometeorologi:

  • Banjir besar akhir 2006 melanda 767 desa di tujuh kabupaten, menewaskan 47 orang, merugikan USD 210 juta, dan berdampak pada lebih dari setengah juta jiwa.
  • Setiap tahun, Aceh mengalami banjir, longsor, erosi pantai, cuaca ekstrem, dan kekeringan yang makin intens akibat perubahan iklim.

Data menunjukkan bahwa banyak masyarakat kembali bermukim di wilayah pesisir yang rawan banjir dan subsiden, didorong harga tanah murah, akses pekerjaan, dan kedekatan keluarga, meski risiko bencana meningkat.

Kerangka Konseptual: DRR dan CCA, Dua Sektor yang Sering Terpisah

DRR dan CCA sama-sama bertujuan mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana, namun secara kelembagaan dan operasional sering berjalan sendiri-sendiri. DRR di Indonesia dikelola oleh BNPB dan BPBD/BPBA di tingkat provinsi/kabupaten, sementara CCA dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dinas lingkungan hidup daerah.

  • DRR menangani semua jenis bahaya (geologi, hidrometeorologi, dll), fokus pada risiko saat ini dan jangka pendek.
  • CCA fokus pada bahaya terkait iklim (banjir, kekeringan, erosi, dll), dengan cakupan jangka menengah-panjang.
  • Kedua sektor menggunakan alat, pendekatan, dan istilah yang serupa (risiko, kerentanan, kapasitas adaptif, resiliensi), namun sering terjebak dalam “silo” birokrasi dan regulasi.

Studi Kasus: Banda Aceh dan Implementasi DRR-CCA

Kemajuan Kelembagaan dan Regulasi

Setelah tsunami, Aceh membentuk BPBA (2010) dan BPBD di 23 kabupaten/kota. Infrastruktur mitigasi bencana berkembang pesat:

  • 6 gedung evakuasi tsunami, 3 jalan evakuasi utama di Banda Aceh,
  • 85 taman memorial tsunami, museum tsunami, dan 11 sensor gempa,
  • 8 menara sirene (masih jauh dari ideal untuk garis pantai 800 km).

Regulasi kunci yang dihasilkan antara 2010–2022 meliputi Qanun Aceh tentang penanggulangan bencana, SOP sistem peringatan dini, rencana aksi DRR, hingga dokumen penilaian risiko terbaru (2021–2025).

Implementasi Adaptasi Iklim: ProKlim dan Tantangannya

Program Kampung Iklim (ProKlim) diperkenalkan KLHK di Aceh sejak 2012, dengan kegiatan seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan penguatan kapasitas adaptasi di 11 desa Banda Aceh. Namun, partisipasi masyarakat masih minim—hanya 1 dari 6 responden di Meuraxa-Lambung yang memahami ProKlim. Banyak warga mengaku tidak tahu tujuan program, merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan akhirnya tidak memiliki rasa kepemilikan.

Temuan Kunci: Empat Hambatan Integrasi DRR-CCA di Aceh

1. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi

DRR dan CCA dikelola oleh institusi berbeda, dengan budaya kerja, struktur, dan regulasi sendiri-sendiri.

  • BPBA/BPBD fokus pada penilaian risiko dan mitigasi bencana, tanpa melibatkan DLHK dalam tim penyusun.
  • DLHK lebih banyak menjalankan ProKlim yang sporadis dan terbatas pada pengurangan emisi, bukan adaptasi multi-bahaya.
  • Akibatnya, upaya DRR dan CCA sering tumpang tindih, tidak efisien, dan miskin sinergi.

2. Kurangnya Komitmen Politik

Wawancara dengan pejabat dan politisi lokal menunjukkan rendahnya kesadaran dan prioritas terhadap isu perubahan iklim.

  • Banyak pejabat masih menganggap perubahan iklim bukan isu mendesak di Aceh, lebih fokus pada respons darurat ketimbang adaptasi jangka panjang.
  • Anggaran DRR dan CCA sering kalah prioritas dibanding isu pendidikan, kesehatan, atau ekonomi.
  • Tidak ada alokasi dana khusus (earmarked) untuk integrasi DRR-CCA di tingkat kabupaten/desa.

3. Keterbatasan Pendanaan

Baik BPBA maupun DLHK mengeluhkan minimnya dana untuk DRR dan CCA, apalagi untuk integrasi keduanya.

  • BPBA mengaku kekurangan dana untuk program DRR, apalagi untuk kolaborasi lintas sektor.
  • ProKlim hanya didanai dari dana desa dan APBD/APBN, tidak ada dukungan khusus untuk integrasi dengan DRR.
  • Akibatnya, banyak program tidak berkelanjutan dan bergantung pada donor eksternal.

4. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat yang Lemah

Partisipasi masyarakat dalam program adaptasi iklim jauh lebih rendah dibanding program DRR berbasis komunitas (CBDRR).

  • ProKlim cenderung top-down, tanpa konsultasi berarti dengan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan.
  • Hanya 17% responden di tingkat desa yang paham ProKlim, dan banyak yang merasa tidak lagi terlibat setelah program berjalan.
  • Sebaliknya, program CBDRR seperti Desa Tangguh Bencana lebih berhasil membangun partisipasi dan rasa kepemilikan.

Studi Banding: Perbandingan dengan Daerah Lain dan Tren Global

  • Fragmentasi kelembagaan dan minimnya komitmen politik juga menjadi kendala utama di banyak negara Asia Tenggara dan Asia Selatan.
  • Studi di Sri Lanka, Filipina, dan Kenya menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA membutuhkan kepemimpinan politik, insentif fiskal, dan forum multi-pemangku kepentingan.
  • Inisiatif seperti Community-Based Climate Change Adaptation (CBCCA) terbukti lebih berkelanjutan jika mengadopsi prinsip partisipasi penuh, transfer pengetahuan lokal, dan pembagian manfaat yang adil.

Rekomendasi dan Agenda Perbaikan

  1. Perkuat Koordinasi Lintas Sektor: Bentuk task force atau forum multi-aktor di bawah Sekda untuk merumuskan kebijakan dan program integrasi DRR-CCA, dengan mandat jelas dan insentif kolaborasi.
  2. Dorong Komitmen Politik dan Anggaran: Jadikan DRR-CCA prioritas dalam rencana pembangunan daerah dan APBD, serta dorong insentif fiskal untuk program integrasi di tingkat desa.
  3. Transformasi Partisipasi Masyarakat: Terapkan pendekatan CBCCA berbasis pengalaman sukses CBDRR di Aceh, libatkan masyarakat sejak perencanaan, penilaian risiko, hingga monitoring.
  4. Penguatan Kapasitas dan Dokumentasi: Lakukan pelatihan lintas sektor, dokumentasi praktik baik, dan evaluasi berkala untuk memastikan pembelajaran berkelanjutan.
  5. Manfaatkan Dana Desa dan Program Nasional: Integrasikan DRR-CCA dalam prioritas penggunaan Dana Desa, serta sinergikan dengan ProKlim dan program Desa Tangguh Bencana.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Aceh menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau donor, melainkan butuh perubahan budaya kelembagaan, kepemimpinan politik, dan partisipasi masyarakat. Pengalaman Aceh sangat relevan untuk provinsi rawan bencana lain di Indonesia, serta negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa:

  • Hindari silo birokrasi, dorong sinergi lintas sektor.
  • Prioritaskan edukasi dan pelibatan masyarakat agar program adaptasi benar-benar berakar dan berkelanjutan.
  • Jadikan pengalaman lokal sebagai dasar inovasi kebijakan nasional.

Penutup: Menuju Integrasi DRR-CCA yang Inklusif dan Berkelanjutan

Studi Sufri & Lassa menegaskan bahwa dua dekade pasca-tsunami, Aceh telah mengalami kemajuan besar di bidang DRR dan adaptasi iklim, namun integrasi keduanya masih terhambat oleh fragmentasi kelembagaan, lemahnya komitmen politik, keterbatasan dana, dan minimnya partisipasi masyarakat. Transformasi menuju integrasi DRR-CCA yang efektif hanya bisa dicapai dengan kepemimpinan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama. Pelajaran dari Aceh menjadi cermin penting bagi Indonesia dan negara-negara lain dalam membangun ketangguhan iklim di era risiko multi-bencana.

Sumber asli:
Sofyan Sufri, Jonatan Anderias Lassa. (2024). Integration of disaster risk reduction and climate change adaptation in Aceh: Progress and challenges after 20 Years of Indian Ocean Tsunamis. International Journal of Disaster Risk Reduction, 113, 104894.

Selengkapnya
Mengurai Tantangan Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh: Dua Dekade Pasca-Tsunami

Risiko Banjir

Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.

Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.

Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS

NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).

Tiga prinsip utama NBS:

  • Bisa berdiri sendiri atau dikombinasikan dengan solusi lain,
  • Diterapkan pada skala lanskap,
  • Menjadi bagian integral dari desain kebijakan dan tindakan penanganan tantangan sosial.

Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.

Tantangan Merancang NBS yang Tangguh

Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.

Proses desain NBS tangguh meliputi:

  • Robust parameter design: Meningkatkan karakteristik fisik dan proses ekologis agar sistem tahan terhadap bencana ekstrem (misal, memperdalam furrow irigasi, memilih vegetasi tahan genangan).
  • Robust control: Menyediakan mekanisme kontrol dinamis (misal, pintu air, pompa, pengalihan aliran) agar fungsi ekosistem bisa diubah sementara saat terjadi bencana (misal, taman kota menjadi kolam retensi banjir).

Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand

Latar Belakang Wilayah

Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.

Sistem Kanal dan Furrow

  • Sistem utama: Kanal Raphiphat (kapasitas maksimal 215–170 m³/detik), kanal Rangsit (45 m³/detik), serta sub-kanal Klong 7–12 (masing-masing 15–30 m³/detik).
  • Area pertanian: 44,16 km² dari total 54,48 km² wilayah Nong Sua.
  • Sistem pengelolaan: Kolaborasi antara Royal Irrigation Department (RID), Hydro Informatics Institute (HII), dan komunitas petani.

Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)

Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.

Data dan Angka Kunci

  • Selama 32 tahun (1985–2016), tercatat 69 kejadian banjir besar di Thailand.
  • Pada 2011, curah hujan musiman mencapai 1823 mm (28% di atas rata-rata 2002–2010), menyebabkan banjir besar yang merusak enam kawasan industri dan menyebabkan 70% kerugian sektor manufaktur di Pathum Thani dan Ayutthaya.
  • Sistem irigasi tradisional mampu menampung limpasan banjir hingga 160 m³/detik, jauh di atas kapasitas desain kanal utama (40 m³/detik).

Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh

1. Desain Ketangguhan

  • Parameter kunci: Kedalaman furrow, jumlah pintu air (flow regulator), vegetasi tahan genangan, dan tanggul perimeter.
  • Intervensi: Setelah banjir 2011, petani memperdalam dan memperluas furrow, serta menambah pintu air di Klong 7–10 (misal, Klong 7 dari 1 menjadi 6 pintu air).
  • Integrasi infrastruktur abu-abu: Penggunaan flow regulator dan tanggul perimeter untuk mengendalikan genangan dan mencegah limpasan tak terkendali.

2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis

  • Menggunakan model hidrodinamika 1-D (MIKE HYDRO River) untuk mensimulasikan respons sistem terhadap berbagai skenario banjir (55–160 m³/detik).
  • Indikator robust analysis:
    • Lower resistance threshold: Titik air mulai naik di furrow (+1,53 m MSL).
    • Proportionality: Seberapa besar kenaikan air di furrow dan kanal utama terhadap peningkatan debit banjir.
    • Manageability: Kemampuan menjaga air di bawah level bed tanaman (+2,55 m MSL) dan tanggul perimeter (+2,91 m MSL).
    • Upper resistance threshold: Titik di mana air melebihi bed tanaman atau tanggul, menyebabkan kerusakan ekonomi dan lingkungan.

3. Hasil Evaluasi

  • Tanpa NBS, kanal utama akan meluap pada debit 70 m³/detik (30 m³/detik di atas kapasitas desain).
  • Dengan NBS, kanal mampu berfungsi hingga debit 160 m³/detik tanpa meluap, berkat penampungan air di furrow.
  • Efisiensi penyimpanan air di furrow Klong 7 dan 8 meningkat dari 82% dan 81% menjadi 96% dan 95% setelah penambahan pintu air.
  • Sistem ini juga menjaga air tetap di bawah level bed tanaman, sehingga kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi bisa diminimalkan.

4. Co-Benefits dan Batasan

  • Selain pengendalian banjir, air yang tertampung bisa digunakan untuk irigasi di musim kemarau, meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan petani.
  • Karakteristik tanah liat di Nong Sua (plasticity index 30–50%, liquid limit 60–80%) membuat air bisa ditahan lebih lama, namun membatasi infiltrasi dan pengisian air tanah.
  • Keterbatasan model: Studi hanya menggunakan model 1-D, sehingga belum mengevaluasi limpasan permukaan secara spasial penuh (butuh model 2-D untuk analisis lanjutan).

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Studi

  • Mengembangkan proses desain dan evaluasi NBS tangguh yang sistematis, bisa diadaptasi untuk berbagai konteks.
  • Studi kasus berbasis data nyata dan kolaborasi multi-aktor, sehingga hasilnya relevan untuk perumusan kebijakan.
  • Menunjukkan pentingnya integrasi NBS dan infrastruktur abu-abu (hybrid solution) untuk ketangguhan sistem.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Masih sedikit studi yang mengevaluasi NBS secara kuantitatif dan membandingkannya dengan solusi konvensional.
  • Keterbatasan data dan kapasitas teknis di banyak negara berkembang bisa menjadi hambatan implementasi.
  • Studi ini fokus pada banjir; aplikasi untuk kekeringan dan kawasan pesisir masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Perbandingan dengan Tren Global

  • Konsep serupa diterapkan di Belanda (“Room for the River”), Denmark (Cloudburst Management), dan Tiongkok (Sponge City), namun adaptasi lokal sangat penting.
  • Banyak negara kini mulai mengadopsi solusi berbasis alam untuk pengurangan risiko bencana, didukung kebijakan internasional (EU Green Deal, SDGs, Sendai Framework).

Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia

  • Wilayah dataran banjir di Indonesia (misal, Bekasi, Karawang, Semarang) dapat mengadopsi pendekatan serupa, mengoptimalkan sistem irigasi tradisional dan lahan pertanian sebagai penampung banjir musiman.
  • Penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam desain dan pengelolaan NBS, serta mengintegrasikan solusi dengan infrastruktur abu-abu.
  • Evaluasi kuantitatif dengan model hidrodinamika dan indikator robust analysis harus menjadi standar dalam perencanaan NBS.
  • Perlu penguatan kapasitas teknis, pendanaan, dan kolaborasi lintas sektor untuk implementasi skala besar.

Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam

Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.

Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.

Selengkapnya
Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand
« First Previous page 14 of 1.117 Next Last »