Air Bersih
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Mengapa Keberlanjutan PAMSIMAS Penting untuk Masa Depan Air Bersih Indonesia?
Akses air minum layak dan sanitasi aman adalah fondasi kesehatan dan kemajuan desa. Namun, tantangan besar masih membayangi Indonesia, terutama di wilayah pedesaan yang sering tertinggal dalam hal infrastruktur dan pengelolaan air bersih. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) hadir sejak 2006 sebagai salah satu inisiatif terbesar di dunia untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga 2022, PAMSIMAS telah menjangkau lebih dari 25,6 juta penduduk di lebih dari 37.000 desa di 37 provinsi1.
Namun, pertanyaan besarnya: apakah sistem air bersih yang dibangun benar-benar berfungsi dan bertahan lama? Artikel ini merangkum temuan riset terbaru tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberfungsian (functionality) PAMSIMAS, lengkap dengan data, studi kasus, dan refleksi kritis untuk masa depan air bersih desa yang lebih berkelanjutan.
Gambaran Umum: Capaian dan Tantangan PAMSIMAS
Statistik Kunci PAMSIMAS
Tantangan Utama
Studi Kasus: Kinerja dan Risiko Sistem Air Bersih Desa
1. Fungsi Sistem di Berbagai Provinsi
Analisis data nasional menunjukkan 15 provinsi memiliki proporsi sistem berfungsi penuh di bawah 87%. Bali menjadi satu-satunya provinsi dengan 100% sistem berfungsi. Di sisi lain, Kalimantan dan Sulawesi mencatat tingkat kegagalan tertinggi, menandakan perlunya perhatian khusus untuk wilayah ini1.
2. Dampak Risiko Iklim
3. Kondisi Keuangan Pengelola Air Desa
Hanya enam provinsi yang masuk kategori rendah risiko keuangan (lebih dari 84% desa memiliki keuangan sehat). Sebaliknya, lebih dari 15.000 sistem PAMSIMAS berada di provinsi dengan risiko keuangan tinggi, melayani sekitar 43 juta penduduk desa1.
Analisis Faktor Penentu Keberfungsian Sistem PAMSIMAS
1. Manajemen dan Tata Kelola
2. Sistem Pembayaran dan Tarif Air
3. Jenis Sambungan
4. Partisipasi Perempuan
5. Partisipasi Masyarakat
6. Investasi Per Kapita
Studi Kasus: Dampak Kombinasi Faktor pada Keberfungsian Sistem
Skenario optimis dari model Bayesian menunjukkan bahwa kombinasi tiga faktor utama—manajemen baik, kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan), serta sambungan rumah tangga—dapat meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh dari 87% menjadi 98%2. Sebaliknya, sistem tanpa pembayaran dan hanya sambungan komunal memiliki peluang kegagalan hingga 23%.
Implikasi Praktis & Rekomendasi
1. Perkuat Tata Kelola dan Monitoring
2. Wajibkan Sistem Pembayaran Air
3. Dorong Sambungan Rumah Tangga
4. Tingkatkan Keterlibatan Perempuan
5. Studi Kelayakan Ekonomi di Wilayah Tertinggal
6. Antisipasi Risiko Iklim
Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global
Penelitian terkait di Afrika menunjukkan pola serupa: sistem air desa yang dikelola komunitas sering gagal jika tidak ada pembayaran, manajemen lemah, atau investasi tidak efisien. Namun, Indonesia punya keunikan dalam skala program dan tantangan geografis. Negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman PAMSIMAS dalam mengintegrasikan aspek gender, monitoring nasional, serta adaptasi terhadap risiko iklim.
Tantangan dan Peluang Masa Depan
Kesimpulan: Menuju Sistem Air Bersih Desa yang Tangguh dan Inklusif
Keberhasilan PAMSIMAS tidak hanya diukur dari jumlah sistem yang dibangun, tetapi dari berapa banyak yang benar-benar berfungsi dan bertahan lama. Kunci keberlanjutan ada pada tata kelola yang baik, sistem pembayaran yang adil, keterlibatan perempuan, serta adaptasi terhadap risiko iklim dan sosial. Dengan pembenahan di titik-titik kritis ini, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam penyediaan air bersih desa yang tangguh dan inklusif.
Sumber artikel:
D. Daniel, Trimo Pamudji Al Djono, Widya Prihesti Iswarani. (2023). Factors related to the functionality of community-based rural water supply and sanitation program in Indonesia. Geography and Sustainability, 4, 29–38.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, dan erosi pantai semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan urbanisasi yang pesat. Sri Lanka, sebuah negara kepulauan di Asia Selatan, menjadi salah satu contoh nyata di mana bencana-bencana ini berdampak besar pada kehidupan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan wilayah. Menurut data, rata-rata 1,98 juta penduduk Sri Lanka terdampak bencana hidrometeorologi setiap tahun antara 2009–2018, dengan kerugian ekonomi yang sangat signifikan1.
Artikel ilmiah “An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka” oleh Kanchana Ginige dkk. (2022) membedah secara komprehensif efektivitas, tantangan, dan kebutuhan pengembangan langkah-langkah struktural (structural measures) untuk mitigasi bencana hidrometeorologi di Sri Lanka. Resensi ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus konkret, mengaitkan dengan tren global, serta memberikan analisis kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.
Apa Itu Langkah Struktural dalam Mitigasi Bencana?
Langkah struktural adalah intervensi fisik atau rekayasa teknik yang bertujuan mengurangi dampak bencana, misalnya pembangunan bendungan, tanggul, kanal, tembok laut, sistem drainase, dan penguatan lereng. Langkah ini berbeda dengan langkah non-struktural seperti edukasi, peringatan dini, atau kebijakan tata ruang. Di negara berkembang seperti Sri Lanka, langkah struktural sering menjadi andalan utama karena dianggap memberikan perlindungan langsung dan nyata terhadap bahaya fisik1.
Ragam dan Kondisi Langkah Struktural di Sri Lanka
Tipe-Tipe Langkah Struktural
Berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara dengan 12 pakar dari berbagai institusi kunci (Dinas Irigasi, NBRO, Coast Conservation Dept, dan lainnya), langkah struktural di Sri Lanka dikategorikan menurut jenis bencana sebagai berikut:
Sebagian besar langkah struktural di Sri Lanka bersifat permanen dan “hard engineering”, sementara solusi temporer atau berbasis alam masih terbatas penerapannya.
Kondisi Terkini: Tantangan Usia dan Teknologi
Salah satu temuan penting adalah banyak infrastruktur pengendali banjir dan erosi di Sri Lanka sudah berusia tua—mayoritas dibangun sebelum tahun 1980-an. Akibatnya, efektivitasnya menurun, sering mengalami overtopping (air melimpas tanggul), dan tidak mampu mengimbangi perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk dan urbanisasi1.
Sebagai contoh, proyek-proyek pengendalian banjir di DAS Kelani, Gin, dan Nilwala sudah sangat membutuhkan rehabilitasi. Banyak struktur ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan saat ini karena perubahan tata guna lahan dan peningkatan populasi di sekitar area rawan banjir.
Studi Kasus: Banjir di Kota Rathnapura
Kota Rathnapura, pusat perdagangan batu permata di Sri Lanka, menjadi studi kasus utama dalam paper ini. Kota ini hampir setiap tahun mengalami banjir besar akibat curah hujan tinggi dan letaknya di dataran banjir Sungai Kalu. Pada banjir besar tahun 2017, 206 keluarga dan 1.203 jiwa terdampak, 80% area kota terendam selama 2–5 hari. Kerusakan meliputi infrastruktur, lahan pertanian, dan korban jiwa1.
Sebagai respons, Dinas Irigasi mengusulkan pembangunan tanggul besar dari Warakatota Bridge hingga Ayurveda Office untuk melindungi kota. Studi kelayakan menunjukkan bahwa biaya pembangunan sistem perlindungan penuh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor tahun 2017. Ini memperkuat argumen bahwa investasi besar di awal pada langkah struktural akan membuahkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.
Kekurangan dan Tantangan Implementasi
1. Usia Infrastruktur
Mayoritas struktur pengendali banjir dan erosi sudah tua, sehingga efektivitasnya menurun drastis. Banyak struktur dibangun sebelum 1980-an dan belum diperbarui secara signifikan.
2. Kurangnya Langkah untuk Kekeringan
Dibandingkan dengan banjir dan erosi, langkah struktural untuk mitigasi kekeringan sangat minim. Padahal, kekeringan menjadi penyumbang terbesar kerugian ekonomi di sektor kesehatan, dengan rata-rata US$52,8 juta per tahun, 78% dari total biaya bencana kesehatan1.
3. Praktik Konstruksi yang Buruk
Karena keterbatasan anggaran, Sri Lanka kerap membangun struktur pelindung pantai dengan biaya rendah tanpa studi kelayakan menyeluruh. Akibatnya, sering terjadi kebocoran, cacat konstruksi, dan bahkan keruntuhan.
4. Dampak Lingkungan
Beberapa proyek besar seperti Uma Oya Multipurpose Project dan Mahaweli Reservoir menyebabkan kerusakan lingkungan serius: erosi tanah, pencemaran air tanah, gangguan pada habitat satwa, dan intrusi air asin.
5. Kerusakan Infrastruktur Sekitar
Pembangunan struktur besar kadang merusak infrastruktur sekitar, seperti sumur dan jaringan air bersih, akibat aktivitas pengeboran dan penggalian.
6. Kurangnya Koordinasi dan Kerangka Keputusan
Tidak ada kerangka pengambilan keputusan yang konsisten berbasis analisis biaya-manfaat (Cost-Benefit Analysis/CBA) atau cost-effectiveness analysis (CEA) seperti yang lazim di Eropa atau Jepang. Akibatnya, prioritas proyek sering berubah tergantung pergantian pemerintahan dan tekanan sosial.
7. Keterbatasan Teknologi dan Dana
Sri Lanka belum mampu mengadopsi teknologi mutakhir seperti di Jepang atau Belanda, baik karena keterbatasan dana maupun sumber daya manusia.
Biaya dan Manfaat: Analisis Ekonomi dan Sosial
Manfaat Utama
Biaya dan Tantangan
Perbandingan Global: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?
Jepang:
Setelah tsunami 2011, Jepang membangun tanggul laut raksasa, penguatan tebing, dan jalan-jalan baru yang ditinggikan. Namun, investasi besar ini hanya mungkin dilakukan oleh negara dengan sumber daya ekonomi besar. Jepang juga mengombinasikan langkah struktural dengan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat.
Belanda:
Belanda menerapkan pendekatan multifungsi pada tanggul dan bendungan, mengintegrasikan fungsi perlindungan banjir dengan transportasi, rekreasi, dan perumahan. Analisis biaya-manfaat menjadi standar dalam setiap pengambilan keputusan.
Sri Lanka:
Sri Lanka masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi, pemeliharaan, dan integrasi antara langkah struktural dan non-struktural. Namun, ada potensi besar untuk mengadopsi solusi berbasis alam (NbS) dan teknologi tepat guna yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia
Pengalaman Sri Lanka menegaskan bahwa investasi pada langkah struktural harus diimbangi dengan inovasi, pemeliharaan, dan integrasi kebijakan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang juga rawan bencana hidrometeorologi, bisa mengambil pelajaran penting: pentingnya investasi jangka panjang, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan sinergi antara langkah struktural dan non-struktural.
Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan mitigasi bencana akan semakin kompleks. Hanya dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan partisipatif, upaya pengurangan risiko bencana dapat memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber artikel:
Ginige, Kanchana; Mendis, Kalindu; Thayaparan, Menaha. (2022). An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka. Progress in Disaster Science, 14, 100232.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?
Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.
Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi
Dampak Global dan Tren Masa Depan
Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga
Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan
1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage
2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan
3. Migrasi dan Urbanisasi
4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan
Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan
1. Fragmentasi Penanganan
Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.
2. Skala dan Kompleksitas
Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.
3. Data dan Monitoring
Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.
4. Dinamika Sosial dan Ekonomi
Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.
Best Practices dan Rekomendasi Global
1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko
2. Investasi pada Solusi Ganda
3. Tata Kelola dan Kelembagaan
4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka
Studi Banding dan Angka-Angka Kunci
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Paper Ward dkk.
Tantangan dan Keterbatasan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif
Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.
Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?
Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.
Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional
Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:
Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.
Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional
Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.
Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.
Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting
Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):
Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi
1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?
Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.
2. Peran Sentral Pemerintah Kota
Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:
3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan
Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:
4. Keterbatasan dan Tantangan
Perbandingan dan Relevansi Global
Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif
Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.
Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Aceh, Laboratorium Kebijakan Bencana dan Iklim Indonesia
Dua puluh tahun setelah tsunami Samudra Hindia 2004 yang menewaskan 168.000 jiwa dan menyebabkan kerugian lebih dari USD 5,1 miliar di Aceh, provinsi ini menjadi laboratorium kebijakan pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi perubahan iklim (CCA) di Indonesia. Namun, di balik kemajuan masif pada infrastruktur, regulasi, dan kapasitas kelembagaan, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan DRR dan CCA secara efektif di level lokal. Paper Sofyan Sufri dan Jonatan Anderias Lassa (2024) mengupas secara kritis perjalanan, capaian, dan hambatan integrasi DRR-CCA di Aceh, khususnya di Banda Aceh, dengan menyoroti studi kasus, angka-angka kunci, dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Latar Belakang: Dari Tsunami ke Ancaman Multi-Bencana
Tsunami 2004 bukan hanya bencana terbesar di awal abad ke-21, tetapi juga pemicu perubahan geomorfologi besar di pesisir Aceh. Subsiden tanah 0,5–1 meter di kawasan pantai barat, selatan, dan barat daya membuat wilayah ini makin rentan terhadap banjir pesisir, rob, dan badai. Setelah tsunami, Aceh terus dilanda bencana hidrometeorologi:
Data menunjukkan bahwa banyak masyarakat kembali bermukim di wilayah pesisir yang rawan banjir dan subsiden, didorong harga tanah murah, akses pekerjaan, dan kedekatan keluarga, meski risiko bencana meningkat.
Kerangka Konseptual: DRR dan CCA, Dua Sektor yang Sering Terpisah
DRR dan CCA sama-sama bertujuan mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana, namun secara kelembagaan dan operasional sering berjalan sendiri-sendiri. DRR di Indonesia dikelola oleh BNPB dan BPBD/BPBA di tingkat provinsi/kabupaten, sementara CCA dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dinas lingkungan hidup daerah.
Studi Kasus: Banda Aceh dan Implementasi DRR-CCA
Kemajuan Kelembagaan dan Regulasi
Setelah tsunami, Aceh membentuk BPBA (2010) dan BPBD di 23 kabupaten/kota. Infrastruktur mitigasi bencana berkembang pesat:
Regulasi kunci yang dihasilkan antara 2010–2022 meliputi Qanun Aceh tentang penanggulangan bencana, SOP sistem peringatan dini, rencana aksi DRR, hingga dokumen penilaian risiko terbaru (2021–2025).
Implementasi Adaptasi Iklim: ProKlim dan Tantangannya
Program Kampung Iklim (ProKlim) diperkenalkan KLHK di Aceh sejak 2012, dengan kegiatan seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan penguatan kapasitas adaptasi di 11 desa Banda Aceh. Namun, partisipasi masyarakat masih minim—hanya 1 dari 6 responden di Meuraxa-Lambung yang memahami ProKlim. Banyak warga mengaku tidak tahu tujuan program, merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan akhirnya tidak memiliki rasa kepemilikan.
Temuan Kunci: Empat Hambatan Integrasi DRR-CCA di Aceh
1. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi
DRR dan CCA dikelola oleh institusi berbeda, dengan budaya kerja, struktur, dan regulasi sendiri-sendiri.
2. Kurangnya Komitmen Politik
Wawancara dengan pejabat dan politisi lokal menunjukkan rendahnya kesadaran dan prioritas terhadap isu perubahan iklim.
3. Keterbatasan Pendanaan
Baik BPBA maupun DLHK mengeluhkan minimnya dana untuk DRR dan CCA, apalagi untuk integrasi keduanya.
4. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat yang Lemah
Partisipasi masyarakat dalam program adaptasi iklim jauh lebih rendah dibanding program DRR berbasis komunitas (CBDRR).
Studi Banding: Perbandingan dengan Daerah Lain dan Tren Global
Rekomendasi dan Agenda Perbaikan
Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Aceh menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau donor, melainkan butuh perubahan budaya kelembagaan, kepemimpinan politik, dan partisipasi masyarakat. Pengalaman Aceh sangat relevan untuk provinsi rawan bencana lain di Indonesia, serta negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa:
Penutup: Menuju Integrasi DRR-CCA yang Inklusif dan Berkelanjutan
Studi Sufri & Lassa menegaskan bahwa dua dekade pasca-tsunami, Aceh telah mengalami kemajuan besar di bidang DRR dan adaptasi iklim, namun integrasi keduanya masih terhambat oleh fragmentasi kelembagaan, lemahnya komitmen politik, keterbatasan dana, dan minimnya partisipasi masyarakat. Transformasi menuju integrasi DRR-CCA yang efektif hanya bisa dicapai dengan kepemimpinan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama. Pelajaran dari Aceh menjadi cermin penting bagi Indonesia dan negara-negara lain dalam membangun ketangguhan iklim di era risiko multi-bencana.
Sumber asli:
Sofyan Sufri, Jonatan Anderias Lassa. (2024). Integration of disaster risk reduction and climate change adaptation in Aceh: Progress and challenges after 20 Years of Indian Ocean Tsunamis. International Journal of Disaster Risk Reduction, 113, 104894.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.
Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.
Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS
NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).
Tiga prinsip utama NBS:
Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.
Tantangan Merancang NBS yang Tangguh
Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.
Proses desain NBS tangguh meliputi:
Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand
Latar Belakang Wilayah
Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.
Sistem Kanal dan Furrow
Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)
Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.
Data dan Angka Kunci
Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh
1. Desain Ketangguhan
2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis
3. Hasil Evaluasi
4. Co-Benefits dan Batasan
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Studi
Tantangan dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Tren Global
Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia
Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam
Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.
Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.