Risiko Banjir

Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?

Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.

Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi

Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:

  • Berkurangnya kapasitas ekonomi dan fiskal,
  • Penurunan layanan publik (transportasi, kesehatan, pendidikan),
  • Berkurangnya tenaga sukarela untuk penanggulangan bencana,
  • Potensi “lingkaran setan kemunduran” komunitas rural.

Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.

Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data

Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.

Metode yang digunakan:

  • Survei rumah tangga (respons 7,8%) untuk mengukur kerentanan sosial, kapasitas coping, dan adaptasi.
  • Analisis spasial dengan ArcGIS untuk memetakan perubahan eksposur bangunan terhadap banjir (1998–2019) dan proyeksi masa depan.
  • Wawancara semi-terstruktur dengan pejabat, walikota, perencana, dan relawan bencana.
  • Analisis wacana kebijakan dan media.

Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur

1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas

  • 81,8% responden survei adalah pemilik rumah, mayoritas tinggal di rumah sendiri.
  • 75,1% responden pernah mengalami banjir; 38,7% pernah mengalami banjir kecil dan sebagian besar masih mengingat banjir besar 1965–1966.
  • Tingkat kohesi sosial tinggi: 45% aktif di organisasi lokal, hampir semua responden tinggal di area studi sejak lahir.
  • 10,7% rumah tangga memiliki anggota dengan kebutuhan khusus.
  • Tingkat kesiapsiagaan individu untuk banjir 2018: rata-rata 2,45 (skala 1–5), kesiapsiagaan komunitas 2,22, dan kesiapsiagaan otoritas publik 2,79.
  • Pengalaman banjir masa lalu meningkatkan kesiapsiagaan: Responden yang pernah mengalami banjir lebih siap menghadapi banjir berikutnya (χ2 (5) = 23.584; p < 0.001).
  • Faktor gender signifikan: Perempuan cenderung lebih siap secara individu dan dalam ekspektasi terhadap kejadian masa depan (F = 12.775, p < 0.000).

2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang

  • Jumlah bangunan di area rawan banjir justru meningkat meski populasi menurun.
  • Antara 1998–2019, di beberapa kota seperti Kötschach-Mauthen, bangunan di zona banjir naik 14%.
  • Proyeksi masa depan: jika semua lahan permukiman yang diizinkan dibangun, 31% (19 ha) tambahan lahan permukiman di Kötschach-Mauthen akan berada di zona rawan banjir.
  • Populasi Gailtal turun 7% (2001–2019), tapi bangunan di zona banjir terus bertambah.
  • Fenomena ini disebut “exposure paradox”: penurunan populasi tidak otomatis menurunkan eksposur terhadap banjir, karena pembangunan rumah baru (termasuk rumah kedua dan migrasi pensiunan kaya) tetap terjadi di area rawan.

3. Strategi Manajemen Risiko Banjir

  • Sejak 1970, Austria menginvestasikan sekitar EUR 60 juta untuk perlindungan banjir di Gailtal, dengan tambahan EUR 25–35 juta per tahun (2000–2019) untuk Carinthia.
  • Proyek besar:
    • St. Stefan (2013): EUR 5,1 juta, plus EUR 9 juta dari WLV untuk perlindungan sungai.
    • Kötschach-Mauthen (2017): EUR 11,5 juta, perlindungan terhadap banjir 100-tahunan.
    • Hermagor (2020): EUR 13 juta untuk pelebaran sungai dan retensi air.
  • Fokus utama tetap pada infrastruktur fisik: bendungan, pelebaran sungai, retensi air.
  • Pendanaan dan prioritas proyek tidak pernah mempertimbangkan indikator demografi sebagai syarat utama. Namun, komunitas mulai khawatir pendanaan bisa berkurang jika populasi terus turun.

4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah

  • Di tingkat negara bagian, isu demografi dan banjir diakui sebagai tantangan, namun jarang diintegrasikan dalam satu kebijakan.
  • Wacana publik dan media lebih banyak menyoroti solusi teknis (infrastruktur) dibanding adaptasi berbasis demografi.
  • Beberapa kebijakan mulai mempertimbangkan usia relawan, kebutuhan rumah tangga dengan anggota lanjut usia, dan urban sprawl akibat migrasi pensiunan.

Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal

  • Oktober 2018: hujan ekstrem menyebabkan jebolnya tanggul di Rattendorf, menenggelamkan 39 rumah, merusak jalan dan jembatan, dengan kerugian EUR 233 juta.
  • November 2019: banjir besar kembali terjadi, menyebabkan kerusakan “ratusan juta euro” di Carinthia, sekitar EUR 100 juta di sektor privat.
  • 5300 petugas pemadam kebakaran dan militer dikerahkan selama banjir 2018.
  • Komunitas menunjukkan proses pemulihan cepat, namun kompensasi kerugian dinilai masih rendah.

Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama

1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?

  • Studi ini menantang asumsi bahwa komunitas tua otomatis lebih rentan.
  • Di Gailtal, kohesi sosial tinggi, pengalaman banjir masa lalu, dan keterlibatan di organisasi lokal justru memperkuat kapasitas coping dan adaptasi.
  • Namun, jika proporsi lansia 80+ tahun terus naik, bisa terjadi “tipping point” di mana kapasitas komunitas benar-benar menurun.

2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?

  • Penurunan jumlah anggota rumah tangga (lebih banyak rumah satu-dua orang), kebijakan lokal yang ingin menarik penduduk baru, dan pembangunan rumah kedua berperan besar.
  • Zoning lahan permukiman sering dilakukan tanpa memperhatikan peta bahaya banjir yang baru tersedia bertahun-tahun setelahnya.
  • Migrasi “new highlanders” (pensiunan kaya) ke Alpen juga memperbanyak rumah di zona rawan.

3. Implikasi untuk Kebijakan

  • Pendanaan proyek banjir masih kuat, tetapi masa depan bisa berubah jika populasi terus turun dan cost-benefit ratio menurun.
  • Tantangan utama ke depan: bagaimana mempertahankan dan merawat infrastruktur perlindungan banjir dengan sumber daya manusia dan dana yang makin terbatas.
  • Kebijakan perlu mulai mengintegrasikan data demografi, proyeksi populasi, dan kebutuhan kelompok rentan dalam perencanaan risiko.

Perbandingan dengan Studi Global

  • Studi di Belanda, Jerman, dan AS juga menemukan bahwa penurunan populasi tidak selalu menurunkan eksposur banjir, terutama jika pembangunan rumah baru tetap terjadi di zona rawan.
  • Kohesi sosial dan pengalaman bencana masa lalu terbukti memperkuat resiliensi di banyak komunitas rural Eropa.
  • Namun, jika tren penuaan ekstrem berlanjut, banyak negara menghadapi tantangan serupa: kekurangan relawan, dana, dan kapasitas perawatan infrastruktur.

Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia

  • Banyak daerah pegunungan di Indonesia juga menghadapi migrasi keluar dan penuaan populasi, terutama di desa-desa terpencil.
  • Penting untuk tidak hanya fokus pada jumlah penduduk, tetapi juga pola pembangunan rumah, kohesi sosial, dan pengalaman bencana lokal.
  • Perencanaan tata ruang dan kebijakan banjir harus mengantisipasi “paradox eksposur”—jangan sampai pembangunan baru justru memperbesar risiko meski penduduk menurun.
  • Investasi pada kohesi sosial, edukasi risiko, dan dokumentasi pengalaman bencana sangat penting untuk membangun resiliensi jangka panjang.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual

Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.

Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.

Selengkapnya
Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Risiko Iklim

Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim

Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.

Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik

Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.

Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:

  • Badai tropis dan siklon: Probabilitas terkena dampak langsung mencapai 13% per tahun.
  • Banjir dan longsor: 69% wilayah memiliki kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap longsor, terutama akibat hujan ekstrem.
  • Wabah penyakit: Puerto Vallarta konsisten mencatat kasus dengue tertinggi di Jalisco, dan menjadi salah satu zona paling terdampak COVID-19 di negara bagian tersebut.

Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)

Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:

  • Network analysis untuk memetakan persepsi aktor terhadap akar masalah, tekanan dinamis, dan kondisi tidak aman.
  • Model PAR untuk mengidentifikasi rantai penyebab kerentanan dan merumuskan agenda aksi.
  • Diskusi terfokus untuk menyusun agenda manajemen risiko komprehensif, yang selaras dengan empat prioritas Sendai Framework.

Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta

Akar Masalah (Root Causes)

  • Minim insentif investasi pencegahan risiko: Pemerintah dan swasta lebih fokus pada reaksi pasca-bencana ketimbang pencegahan.
  • Lemahnya penegakan regulasi lingkungan: Banyak izin pembangunan diberikan di zona rawan banjir dan longsor.
  • Penghapusan Dana Bencana Alam (FONDEN): Sejak 2020, kota kehilangan sumber dana penting untuk mitigasi dan respons bencana.
  • Kurangnya koordinasi lintas pemerintah: Dua kota, dua negara bagian, dan beda partai politik membuat tata kelola metropolitan tidak sinkron.

Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)

  • Pertumbuhan penduduk dan infrastruktur pesat: 42,3% penduduk adalah migran, mendorong deforestasi, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan hotel di area mangrove.
  • Kurangnya perencanaan tata ruang metropolitan: Tidak ada program pengendalian penggunaan lahan lintas kota, meski sudah ada kesepakatan sejak 2012.
  • Kurangnya pengetahuan dan kesadaran risiko di masyarakat: Informasi risiko belum tersosialisasi dengan baik.
  • Sumber daya terbatas dan aliansi antar lembaga masih lemah.

Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)

  • Permukiman informal di zona rawan: Banyak rumah dan hotel berdiri di daerah banjir dan longsor.
  • Infrastruktur drainase dan pengendali banjir tidak memadai.
  • Ekonomi lokal rapuh, konflik antar pelaku wisata, dan masyarakat kurang terlatih menghadapi darurat.
  • Sistem manajemen risiko masih reaktif, belum berbasis pencegahan dan tata kelola metropolitan.

Bahaya (Hazards) dan Dampak

  • Banjir besar, longsor, badai tropis: Dalam 2000–2021, tercatat empat status darurat dan tujuh deklarasi bencana akibat fenomena hidrometeorologi.
  • Kerugian besar: Misal, Badai Kenna (2002, kategori 5) menyebabkan dua korban jiwa, 30.000 orang mengungsi, 95% rumah terdampak, dan kerugian USD 150 juta.
  • Wabah dengue dan COVID-19: Pada 2019–2020, Jalisco menempati peringkat pertama nasional kasus dengue. Zona hotel-komersial Puerto Vallarta paling rentan COVID-19.

Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis

Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:

1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem

  • Implementasi praktik konservasi tanah dan solusi berbasis alam (nature-based solutions).
  • Restorasi mangrove dan kawasan lindung seperti Estero El Salado dan Sierra Vallejo.

2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola

  • Penyusunan program tata ruang metropolitan berbasis DAS dan risiko.
  • Relokasi permukiman informal di zona rawan.
  • Pembaruan berkala dokumen perencanaan dengan partisipasi masyarakat.
  • Penguatan regulasi limbah, ekstraksi material, dan sistem pemantauan.

3. Infrastruktur

  • Pembangunan observatorium meteorologi dan pusat data risiko.
  • Penguatan infrastruktur pengendali banjir dan longsor.
  • Pemeliharaan dan perluasan sistem drainase.

4. Diseminasi dan Pelatihan

  • Sosialisasi tata ruang dan instrumen risiko ke publik.
  • Pelatihan kesiapsiagaan bencana untuk masyarakat dan sektor pertanian.

5. Aliansi Strategis

  • Koordinasi efektif lintas pemerintah (kota, negara bagian, pusat).
  • Pertukaran pengalaman dengan kota lain yang menghadapi risiko serupa.
  • Penguatan kolaborasi dengan akademisi nasional.

6. Pembiayaan

  • Mobilisasi sumber daya manusia, material, dan finansial untuk manajemen risiko.
  • Insentif investasi swasta dalam pencegahan risiko.

Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).

Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global

Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta

  • Partisipatif dan multidisipliner: Agenda disusun bersama pemangku kepentingan lintas sektor, meningkatkan rasa kepemilikan dan peluang implementasi.
  • Berbasis bukti dan sistemik: Model PAR memetakan rantai kerentanan dari akar hingga dampak, bukan sekadar reaksi terhadap bencana.
  • Selaras dengan standar internasional: Agenda mengadopsi prinsip Sendai Framework, SDGs, dan best practice manajemen risiko global.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Koordinasi lintas pemerintah masih lemah: Dua kota, dua provinsi, beda partai politik, dan regulasi yang belum terintegrasi.
  • Pendanaan dan sumber daya terbatas: Penghapusan FONDEN membuat kota sangat rentan jika terjadi bencana besar.
  • Implementasi agenda sangat tergantung pada kolaborasi dan komitmen politik lintas periode pemerintahan.
  • Partisipasi masyarakat dan pelaku usaha masih perlu diperluas, terutama dalam sosialisasi dan pengawasan tata ruang.

Studi Banding dan Tren Global

  • Mirip dengan tantangan di kota wisata lain (Bali, Phuket, Cartagena): Urbanisasi pesisir tanpa tata ruang berbasis risiko meningkatkan kerentanan.
  • Studi di Kolombia dan Bangladesh menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, lemahnya edukasi risiko, dan tata kelola yang tidak adaptif adalah akar masalah serupa.
  • Solusi berbasis alam dan tata ruang adaptif kini menjadi tren global, didukung lembaga internasional seperti UNDRR, World Bank, dan OECD.

Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia

  • Kota wisata pesisir di Indonesia (Bali, Lombok, Labuan Bajo, Manado) menghadapi tantangan serupa: pertumbuhan pesat, tekanan pariwisata, dan risiko bencana hidrometeorologi.
  • Pentingnya tata ruang berbasis risiko: Relokasi permukiman informal, perlindungan ekosistem pesisir, dan penguatan drainase mutlak diperlukan.
  • Perlu agenda aksi partisipatif: Libatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyusunan dan monitoring agenda manajemen risiko.
  • Kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah: Belajar dari Puerto Vallarta, integrasi tata kelola metropolitan dan insentif investasi swasta sangat penting.
  • Investasi pada edukasi dan sistem peringatan dini: Sosialisasi risiko dan pelatihan kesiapsiagaan harus menjadi prioritas utama.

Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif

Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.

Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.

Selengkapnya
Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”

Risiko Bencana

Mengapa Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) Gagal Memanfaatkan Pengetahuan Lokal? Studi Kritis atas Pengalaman Malawi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Antara Retorika dan Realitas Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

Dalam satu dekade terakhir, pendekatan Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dianggap sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Di atas kertas, CBDRR menjanjikan pelibatan aktif masyarakat dan pemanfaatan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) yang telah terbukti efektif dalam menghadapi bencana. Namun, apakah retorika ini benar-benar terwujud di lapangan? Paper Robert Šakić Trogrlić dkk. (2022) membedah secara mendalam praktik CBDRR di Malawi, salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Afrika Sub-Sahara, untuk melihat sejauh mana pengetahuan lokal benar-benar diintegrasikan dalam pengurangan risiko bencana.

Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Lower Shire Valley, angka-angka penting, serta mengaitkan hasilnya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang lain.

Teori Dasar: Pengetahuan Lokal dan Peran CBDRR

Pengetahuan lokal dalam konteks pengurangan risiko bencana meliputi segala hal yang diketahui masyarakat tentang bahaya alam, persepsi risiko, serta strategi adaptasi yang diwariskan dan terus berkembang seiring pengalaman menghadapi bencana. Pengetahuan ini sangat beragam, dinamis, dan sering kali lebih kontekstual dibanding pengetahuan saintifik dari luar. CBDRR sendiri lahir sebagai respons terhadap kegagalan pendekatan top-down yang sering mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat12.

Namun, meski dokumen internasional seperti Sendai Framework dan laporan IPCC menekankan pentingnya pengetahuan lokal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik. Studi global oleh GNDR (2019) menemukan hanya 16% masyarakat di negara rawan bencana merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengurangan risiko1.

Studi Kasus Malawi: Konteks, Metode, dan Angka Kunci

Latar Belakang Malawi

Malawi adalah negara kecil tanpa pantai di Afrika, dengan 51,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Negara ini sangat rentan terhadap banjir, kekeringan, dan bencana iklim lain. Setiap tahun, sekitar 100.000 orang terdampak banjir, dan pada 2015 serta 2019, banjir besar memengaruhi lebih dari satu juta jiwa dan menewaskan ratusan orang12.

CBDRR menjadi pendekatan utama di Malawi, didukung oleh kebijakan nasional seperti National Disaster Risk Management Policy (2015) dan Malawi Growth and Development Strategy III (2017-2022). Namun, implementasinya sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah daerah, NGO, dan komunitas lokal.

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan pada 2016–2017 di Lower Shire Valley, kawasan paling rawan banjir di Malawi (Chikwawa dan Nsanje). Data dikumpulkan melalui:

  • 15 Focus Group Discussions (FGD) dan 36 wawancara mendalam dengan masyarakat di 7 komunitas.
  • 3 FGD dengan NGO dan pemerintah lokal, serta 68 wawancara dengan pejabat pemerintah, NGO nasional, dan konsultan risiko banjir.
  • Analisis tematik menggunakan perangkat lunak NVivo untuk mengidentifikasi pola dan hambatan utama dalam integrasi pengetahuan lokal.

Temuan Utama: Lima Hambatan Utama Integrasi Pengetahuan Lokal dalam CBDRR

1. Praktik Partisipasi Komunitas yang Tidak Inklusif

Secara teori, CBDRR menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam identifikasi masalah dan solusi. Namun, di Malawi, partisipasi sering kali hanya formalitas. Komite seperti Village Civil Protection Committees (VCPC) menjadi “wajah komunitas”, tetapi seringkali tidak benar-benar mewakili suara seluruh warga. Banyak keputusan sudah ditentukan oleh pemerintah atau NGO sebelum konsultasi dengan komunitas. Selain itu, pemilihan anggota VCPC kerap dipengaruhi elite lokal, sehingga pengetahuan dan kebutuhan kelompok rentan (perempuan, lansia, minoritas) kurang terwakili. Hasilnya, pengetahuan lokal yang diakomodasi hanya milik segelintir orang, bukan komunitas secara menyeluruh12.

2. Keterbatasan Dana dan Kapasitas Pemerintah serta NGO

Desentralisasi tata kelola bencana di Malawi tidak diikuti dengan alokasi dana dan sumber daya manusia yang memadai. Komite di tingkat desa hingga distrik seringkali tidak memiliki dana operasional, staf, atau pelatihan yang memadai. Akibatnya, interaksi dengan masyarakat dan penggalian pengetahuan lokal sangat terbatas. NGO juga menghadapi kendala serupa: proposal proyek harus disusun cepat, sering tanpa riset mendalam, dan lebih banyak menggunakan data sekunder yang sudah usang. Kurangnya dana untuk tahap inisiasi (baseline study) membuat pelibatan pengetahuan lokal hanya menjadi pelengkap, bukan inti program12.

3. Lanskap Donor yang Tidak Fleksibel

Sebagian besar pendanaan CBDRR di Malawi berasal dari donor internasional yang cenderung lebih menyukai solusi berbasis teknologi atau “best practice” dari luar negeri. Proyek-proyek donor biasanya berjangka pendek, menuntut hasil cepat dan terukur, sehingga proses partisipatif yang membutuhkan waktu dan tenaga sering dikorbankan. Banyak NGO mengaku “menari mengikuti irama donor”, sehingga kebutuhan dan pengetahuan lokal sering diabaikan jika tidak sesuai dengan prioritas donor. Bahkan, ada kasus proyek yang meniru model dari India tanpa menyesuaikan konteks lokal Malawi12.

4. Kelemahan Konsolidasi dan Berbagi Informasi

Koordinasi antara pemerintah, NGO, dan komunitas masih lemah. Informasi hasil konsultasi atau pengetahuan lokal yang dikumpulkan NGO sering tidak sampai ke pemerintah daerah atau tidak terdokumentasi dengan baik. Contohnya, indikator peringatan dini berbasis lokal (seperti perilaku hewan atau perubahan alam) jarang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan bencana tingkat distrik. Akibatnya, pengetahuan lokal yang sudah didokumentasikan pun tidak dimanfaatkan secara optimal dalam pengambilan keputusan12.

5. Sikap dan Preferensi Stakeholder Eksternal

Banyak pejabat pemerintah dan staf NGO mengakui pentingnya pengetahuan lokal, tetapi dalam praktiknya lebih percaya pada data saintifik dan “modern”. Pengetahuan lokal sering dianggap tak berdasar, kuno, atau bahkan takhayul, kecuali sudah divalidasi secara ilmiah. Akibatnya, ada dikotomi tajam antara pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik, dan CBDRR justru gagal menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Sikap ini membuat komunitas merasa pengetahuan mereka tidak dihargai, sehingga partisipasi menjadi formalitas belaka12.

Studi Kasus dan Kutipan Nyata

  • Dalam satu FGD, warga mengeluhkan bahwa “pemerintah dan NGO datang sudah dengan rencana sendiri, kami hanya diberi tahu, bukan diajak memutuskan.”
  • Seorang anggota NGO di tingkat nasional mengakui, “kami sering tidak punya waktu dan dana untuk benar-benar memahami pengetahuan lokal, proposal harus cepat, hasil harus jelas.”
  • Dari segi donor, seorang peserta menyatakan, “kami hanya mengikuti apa yang diinginkan donor, kalau mereka tidak minta pengetahuan lokal, ya tidak kami masukkan.”
  • Di tingkat informasi, seorang pejabat lokal mengungkapkan, “laporan dari NGO sering tidak sampai ke kami, sehingga kami tidak tahu pengetahuan apa yang sudah digali dari masyarakat.”
  • Mengenai sikap, seorang staf NGO berkata, “kami sering menganggap pengetahuan lokal itu hanya mitos, padahal kadang sangat relevan.”

Analisis Kritis: Mengapa Gap Ini Terjadi?

Kelemahan Desain dan Implementasi CBDRR

CBDRR di Malawi secara struktural sudah mengadopsi sistem desentralisasi dan pelibatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini masih sangat top-down, baik karena tekanan donor, keterbatasan sumber daya, maupun budaya birokrasi yang belum sepenuhnya inklusif. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi staf pemerintah dan NGO dalam metode partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal memperparah masalah.

Tantangan Universal di Negara Berkembang

Temuan di Malawi bukan kasus tunggal. Studi serupa di Indonesia, Filipina, dan negara Afrika lain juga menemukan bahwa partisipasi komunitas dan integrasi pengetahuan lokal sering hanya menjadi jargon proyek. Kesenjangan antara retorika dan praktik ini diperkuat oleh dominasi pendekatan saintifik, tekanan donor, dan lemahnya kapasitas lokal.

Potensi Transformasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

  • Kebijakan harus lebih operasional: Pengakuan pentingnya pengetahuan lokal harus diterjemahkan ke dalam panduan teknis, indikator keberhasilan, dan mekanisme monitoring yang jelas.
  • Donor perlu lebih fleksibel: Skema pendanaan harus memberi ruang untuk proses partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal, bukan hanya output fisik.
  • Penguatan kapasitas lokal: Pelatihan metode partisipatif, dokumentasi, dan validasi pengetahuan lokal perlu menjadi bagian dari program pengurangan risiko bencana.
  • Ko-produksi pengetahuan: Kolaborasi antara saintis, pemerintah, dan masyarakat harus diarahkan pada penciptaan pengetahuan hibrida yang relevan secara lokal dan dapat diterima secara ilmiah.

Implikasi untuk Kebijakan dan Praktik Global

  • SDGs dan Sendai Framework menuntut pelibatan komunitas dan pengetahuan lokal, namun tanpa perbaikan sistemik, target ini sulit dicapai.
  • Negara berkembang harus belajar dari pengalaman Malawi: desentralisasi dan partisipasi harus didukung sumber daya, pelatihan, dan insentif yang memadai.
  • Industri dan NGO perlu mengadopsi pendekatan “learning by doing” dan refleksi kritis atas praktik partisipasi mereka.

Penutup: Menuju CBDRR yang Benar-Benar Inklusif

Studi Trogrlić dkk. menegaskan bahwa CBDRR di Malawi masih gagal memanfaatkan potensi pengetahuan lokal secara optimal akibat lima hambatan utama: partisipasi semu, keterbatasan dana dan kapasitas, tekanan donor, lemahnya konsolidasi informasi, dan bias terhadap pengetahuan saintifik. Tanpa transformasi mendasar dalam desain, implementasi, dan evaluasi, CBDRR berisiko menjadi sekadar formalitas, bukan motor perubahan nyata. Pelajaran dari Malawi sangat relevan untuk negara-negara lain yang ingin membangun ketangguhan bencana berbasis komunitas secara otentik dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Robert Šakić Trogrlić, Melanie Duncan, Grant Wright, Marc van den Homberg, Adebayo Adeloye, Faidess Mwale. (2022). Why does community-based disaster risk reduction fail to learn from local knowledge? Experiences from Malawi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 83, 103405.

Selengkapnya
Mengapa Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) Gagal Memanfaatkan Pengetahuan Lokal? Studi Kritis atas Pengalaman Malawi

Sosiohidrologi

Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Perubahan iklim tidak hanya membawa bencana, tapi juga keputusan keliru yang memperburuknya. Artikel karya Naufal dkk. (2023) ini mengungkap betapa adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di hulu Sungai Saddang, Sulawesi Selatan, justru menjadi pemicu deforestasi, erosi, hingga banjir di hilir. Dengan pendekatan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS), penelitian ini menelaah bagaimana respons masyarakat di enam desa (baik hulu maupun hilir) terhadap bencana iklim periode 2009–2020, dan bagaimana tindakan itu berujung pada maladaptasi sistemik.

Peralihan Komoditas: Dari Kopi ke Jagung

Pada tahun 2009, kekeringan ekstrem melanda desa-desa hulu seperti Ranga, Bokin, Paku, dan Randan Batu. Ribuan pohon kopi gagal panen dan sungai-sungai mengering. Sebagai respons:

  • Banyak petani beralih ke jagung dan singkong, karena dianggap lebih tahan kekeringan.
  • Pemerintah mendorong program swasembada jagung dengan subsidi benih dan pupuk (target 29 juta ton produksi pada 2014).
  • Hutan dibuka untuk ladang baru, terutama di lahan lereng curam (>45%).

Konversi ini didorong juga oleh pasar yang menjanjikan (jagung untuk pakan ternak), tetapi mengorbankan fungsi ekologis DAS.

Maladaptasi Hulu: Meningkatkan Risiko Bencana

Jagung ditanam secara monokultur, tanpa naungan dan dengan penggunaan pupuk kimia yang intensif. Ini menyebabkan:

  • Erosi berat di lahan miring.
  • Sedimentasi besar yang terbawa hingga ke hilir.

Pada 2020, hujan deras selama tiga hari memicu longsor di Randan Batu yang menewaskan satu warga dan menghancurkan rumah serta ladang.

Efek Domino di Hilir: Sungai Berubah Arah, Banjir Menjalar

Sedimentasi ekstrem menyumbat aliran sungai di Desa Paria. Akibatnya:

  • Sungai menyimpang dan memperbesar arus ke Desa Bababinanga.
  • Pada 2010, terjadi banjir besar yang:
    • Merendam 233 rumah
    • Merusak 600 ha sawah dan 400 ha tambak
    • Mengusir ratusan warga

Adaptasi masyarakat:

  • Petambak berubah jadi nelayan udang rebon.
  • Rumah panggung dipindahkan gotong royong ke lokasi lebih aman.

Namun sayangnya, bendungan pelindung yang dibangun pemerintah pasca-banjir rusak dalam dua tahun, contoh nyata kegagalan teknis dalam adaptasi.

Model Adaptasi Gagal: Perubahan Iklim dan Kebijakan Bertabrakan

Adaptasi petani terhadap kekeringan memicu maladaptasi berlapis:

  • Vulnerability shifting: banjir berpindah dari Paria ke Bababinanga
  • Eroding sustainability: penggunaan pupuk kimia, deforestasi, peningkatan emisi
  • Rebound vulnerability: adaptasi menimbulkan risiko baru, seperti longsor

Program pangan nasional yang seragam di seluruh Indonesia tidak mempertimbangkan topografi DAS Saddang yang curam dan rentan, sehingga memperparah kerusakan.

Dampak Positif? Ada, Tapi Bersyarat

Meskipun didominasi kerugian, beberapa dampak positif muncul:

  • Lahan timbul dari sedimentasi dimanfaatkan untuk pertanian jagung dan pisang.
  • Tradisi lokal mengatur kepemilikan lahan timbul berdasarkan kedekatan tanah.
  • Solidaritas sosial meningkat, seperti gotong royong memindahkan rumah saat banjir.

Namun, peneliti menegaskan: tanpa pengakuan hukum yang jelas dan pengelolaan partisipatif, keuntungan ini bersifat sementara.

Kesimpulan: Pelajaran dari Saddang

DAS bukan hanya jalur air, tapi juga jalur dampak. Apa yang terjadi di hulu akan selalu menular ke hilir. Studi ini menyimpulkan bahwa:

  • Adaptasi tidak boleh simplistik dan seragam.
  • Pendekatan lanskap DAS diperlukan untuk memahami kerentanan sistemik.
  • Program nasional harus disesuaikan dengan karakter lokal dan kapasitas sosial-ekologis desa.

Artikel ini juga merekomendasikan pemanfaatan penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis spasial untuk memantau dampak jangka panjang maladaptasi di masa depan.

Sumber : Naufal, N., Mappiasse, M. F., & Nasir, M. I. (2023). Adaptation from maladaptation: A case study of community-based initiatives of the Saddang watershed. Forest and Society, 7(1), 167–183.

Selengkapnya
Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Sosiohidrologi

Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.

Apa Itu Lubuk Larangan?

Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:

  • Kemarau ekstrem 1986–1987 yang membuat sungai kering dan warga kesulitan air minum.
  • Banjir besar awal 2000-an yang memusnahkan jembatan dan gagal panen padi.

Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.

Aturan Adat dan Sanksi Sosial

Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:

  • Kepala desa (Rio)
  • Tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda
  • Pemerintah dusun

Aturan utamanya:

  • Dilarang menangkap ikan sepanjang DAS pemukiman tanpa izin adat.
  • Penangkapan hanya diperbolehkan setahun sekali usai Idul Fitri, dalam acara panen adat.
  • Penangkapan harus dilakukan tanpa racun dan setrum, hanya boleh menggunakan jala, pancing, atau alat ramah lingkungan.

Sanksi adat bagi pelanggar:

  • Membayar 1 kambing, 20 gantang beras, dan 4 kayu kain.
  • Mengucap sumpah adat, yang dipercaya membawa kesialan turun-temurun bagi pelanggar dan keturunannya.

Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial

1. Ekologis

  • Menjaga populasi ikan lokal dan endemik seperti ikan Semah, Barau, Tilan, dan Belido.
  • Melindungi fungsi hidrologi sebagai sumber air, MCK, irigasi, hingga habitat satwa liar.

2. Ekonomi

  • Panen ikan tahunan menjadi sumber pendapatan kolektif.
  • Warga luar desa yang ikut menangkap ikan dikenai retribusi, menambah kas desa.
  • Potensi dikembangkan menjadi ekowisata berbasis konservasi.

3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:

  • Renovasi masjid dan madrasah
  • Pembangunan jembatan, kantor desa, dan jalan
  • Penguatan lembaga adat

Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal

Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:

  • Gotong-royong
  • Musyawarah untuk mufakat
  • Adat bersendikan syariat Islam

Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.

Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif

Metode penelitian yang digunakan:

  • Wawancara mendalam dengan Kepala Desa, tokoh adat, tokoh agama, dan pengelola.
  • Purposive dan snowball sampling untuk mendapatkan informasi hingga titik jenuh.
  • Lokasi utama penelitian: Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.

Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional

Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:

  • Kearifan lokal dapat menjadi instrumen hukum informal yang efektif.
  • Konservasi tidak harus berbasis proyek mahal, tapi bisa dibangun lewat kepercayaan dan partisipasi.
  • Pelibatan masyarakat adalah kunci pelestarian sumber daya alam jangka panjang.

Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.

Kesimpulan

Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.

Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.

Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.

Selengkapnya
Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan

Sosiohidrologi

Peneliti Soroti Kesenjangan dan Solusi Air Bersih untuk Penghidupan Pedesaan di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Air bersih bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan pembangunan berkelanjutan. Artikel ilmiah oleh Sameer H. Shah (2021) ini mengupas secara sistematis bagaimana konsep “keamanan air” diterapkan dan didefinisikan dalam konteks penghidupan pedesaan di negara-negara Global South selama dua dekade terakhir. Dengan meninjau 99 jurnal ilmiah terpublikasi antara 2000–2019, riset ini mengungkap kesenjangan konseptual, geografis, dan pendekatan solusi dalam diskursus keamanan air.

Mengapa Konsep Keamanan Air Masih Terbatas?

Hanya 30,3% artikel yang mendefinisikan dengan jelas istilah "keamanan air". Umumnya, definisi tersebut berhenti pada tingkat “kecukupan” air (misalnya: cukup untuk irigasi, konsumsi, dan sanitasi), namun tidak menyentuh aspek produktivitas, kesejahteraan, atau pemberdayaan. Ini menunjukkan pendekatan yang konservatif, yang hanya berfokus pada penghindaran risiko, bukan pada pembangunan kapasitas atau aspirasi hidup warga pedesaan.

Studi Kasus: Ketimpangan dan Solusi yang Canggung

Studi mencatat bahwa sebagian besar solusi berfokus pada:

  • Penambahan pasokan air (45,5%) seperti bendungan besar dan transfer antar-basin
  • Efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan pemanenan air hujan (38,4%)
  • Manajemen dan tata kelola air (75,8%), namun banyak masih bersifat teknokratis dan tidak menyentuh akar ketimpangan

Sebagai contoh, di Lebanon, petani di Lembah Sungai Litani bersedia membayar lebih demi pemasangan sistem irigasi efisien, menunjukkan ada kemauan kolektif masyarakat bila solusi dirancang inklusif.

Ketimpangan Sosial sebagai Akar Krisis

Riset menemukan bahwa:

  • Ketimpangan sosial, ekonomi, dan gender adalah penyebab mendasar air tidak dapat diakses secara adil
  • Hanya 14% solusi yang menyasar akar ketimpangan, seperti distribusi air untuk kelompok termarjinalkan dan pengakuan hak pengelolaan air oleh komunitas lokal

Contohnya, di beberapa wilayah Afrika dan Asia, komunitas adat dan perempuan sering kali dikecualikan dari pengambilan keputusan pengelolaan air.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Lebih dari 80% artikel mengidentifikasi pemerintah sebagai aktor utama dalam solusi air, namun tanggung jawab juga disematkan kepada:

  • Komunitas lokal (20,2%)
  • Petani dan asosiasi tani (21,2%)
  • Lembaga swadaya masyarakat (9%)

Sayangnya, partisipasi masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan pelengkap, bukan pusat dari perubahan kebijakan.

Ketimpangan Geografis dalam Penelitian

Mayoritas studi berfokus di India (21), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Wilayah seperti Afrika Tengah, Amerika Selatan bagian tengah, dan Afrika Utara nyaris luput, menunjukkan kebutuhan pemetaan ulang fokus geografis dalam riset air.

Rekomendasi Kritis: Arah Masa Depan

1. Ubah Fokus dari “Risiko” ke “Kesejahteraan”
Keamanan air harus diukur dari kemampuan orang untuk hidup bermartabat, bukan sekadar cukup minum.

2. Libatkan Ragam Penghidupan
Riset terlalu terfokus pada pertanian, padahal banyak komunitas hidup dari peternakan, perikanan, dan kerja informal.

3. Gugat Struktur yang Tidak Adil
Alih-alih solusi teknis, diperlukan transformasi sistemik: dari tata kelola, hukum air, hingga kepemilikan sumber daya.

4. Wawasan Skala Global
Dinamika air di satu wilayah dapat memengaruhi kawasan lain. Pendekatan multiskala dan lintas negara menjadi kunci menghadapi perubahan iklim dan pasar global.

Kesimpulan

Konsep keamanan air masih terlalu sempit jika hanya diukur dari jumlah air yang tersedia. Artikel ini menegaskan pentingnya menggeser pendekatan dari "sekadar cukup" menuju "keadilan dan kesejahteraan". Kesenjangan konseptual dan geografis dalam studi air harus segera dijembatani dengan riset interdisipliner, pendekatan hak asasi manusia, dan kebijakan berbasis komunitas.

Tanpa perubahan paradigma, penghidupan pedesaan di negara berkembang akan terus berada dalam lingkaran ketidakamanan air. Solusi sejati haruslah holistik, adil, dan berpihak pada yang selama ini tak bersuara.

Sumber : Shah, S. H. (2021). How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review. Water Policy, 23(5), 1129–1146.

Selengkapnya
Peneliti Soroti Kesenjangan dan Solusi Air Bersih untuk Penghidupan Pedesaan di Negara Berkembang
« First Previous page 15 of 1.117 Next Last »