Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?
Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.
Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:
Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.
Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data
Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.
Metode yang digunakan:
Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur
1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas
2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang
3. Strategi Manajemen Risiko Banjir
4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah
Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal
Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama
1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?
2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?
3. Implikasi untuk Kebijakan
Perbandingan dengan Studi Global
Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual
Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.
Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.
Risiko Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim
Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.
Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.
Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik
Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.
Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:
Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)
Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:
Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta
Akar Masalah (Root Causes)
Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)
Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)
Bahaya (Hazards) dan Dampak
Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis
Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:
1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem
2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola
3. Infrastruktur
4. Diseminasi dan Pelatihan
5. Aliansi Strategis
6. Pembiayaan
Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global
Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta
Tantangan dan Keterbatasan
Studi Banding dan Tren Global
Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia
Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif
Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.
Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Antara Retorika dan Realitas Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Dalam satu dekade terakhir, pendekatan Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dianggap sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Di atas kertas, CBDRR menjanjikan pelibatan aktif masyarakat dan pemanfaatan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) yang telah terbukti efektif dalam menghadapi bencana. Namun, apakah retorika ini benar-benar terwujud di lapangan? Paper Robert Šakić Trogrlić dkk. (2022) membedah secara mendalam praktik CBDRR di Malawi, salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Afrika Sub-Sahara, untuk melihat sejauh mana pengetahuan lokal benar-benar diintegrasikan dalam pengurangan risiko bencana.
Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Lower Shire Valley, angka-angka penting, serta mengaitkan hasilnya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang lain.
Teori Dasar: Pengetahuan Lokal dan Peran CBDRR
Pengetahuan lokal dalam konteks pengurangan risiko bencana meliputi segala hal yang diketahui masyarakat tentang bahaya alam, persepsi risiko, serta strategi adaptasi yang diwariskan dan terus berkembang seiring pengalaman menghadapi bencana. Pengetahuan ini sangat beragam, dinamis, dan sering kali lebih kontekstual dibanding pengetahuan saintifik dari luar. CBDRR sendiri lahir sebagai respons terhadap kegagalan pendekatan top-down yang sering mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat12.
Namun, meski dokumen internasional seperti Sendai Framework dan laporan IPCC menekankan pentingnya pengetahuan lokal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik. Studi global oleh GNDR (2019) menemukan hanya 16% masyarakat di negara rawan bencana merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengurangan risiko1.
Studi Kasus Malawi: Konteks, Metode, dan Angka Kunci
Latar Belakang Malawi
Malawi adalah negara kecil tanpa pantai di Afrika, dengan 51,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Negara ini sangat rentan terhadap banjir, kekeringan, dan bencana iklim lain. Setiap tahun, sekitar 100.000 orang terdampak banjir, dan pada 2015 serta 2019, banjir besar memengaruhi lebih dari satu juta jiwa dan menewaskan ratusan orang12.
CBDRR menjadi pendekatan utama di Malawi, didukung oleh kebijakan nasional seperti National Disaster Risk Management Policy (2015) dan Malawi Growth and Development Strategy III (2017-2022). Namun, implementasinya sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah daerah, NGO, dan komunitas lokal.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan pada 2016–2017 di Lower Shire Valley, kawasan paling rawan banjir di Malawi (Chikwawa dan Nsanje). Data dikumpulkan melalui:
Temuan Utama: Lima Hambatan Utama Integrasi Pengetahuan Lokal dalam CBDRR
1. Praktik Partisipasi Komunitas yang Tidak Inklusif
Secara teori, CBDRR menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam identifikasi masalah dan solusi. Namun, di Malawi, partisipasi sering kali hanya formalitas. Komite seperti Village Civil Protection Committees (VCPC) menjadi “wajah komunitas”, tetapi seringkali tidak benar-benar mewakili suara seluruh warga. Banyak keputusan sudah ditentukan oleh pemerintah atau NGO sebelum konsultasi dengan komunitas. Selain itu, pemilihan anggota VCPC kerap dipengaruhi elite lokal, sehingga pengetahuan dan kebutuhan kelompok rentan (perempuan, lansia, minoritas) kurang terwakili. Hasilnya, pengetahuan lokal yang diakomodasi hanya milik segelintir orang, bukan komunitas secara menyeluruh12.
2. Keterbatasan Dana dan Kapasitas Pemerintah serta NGO
Desentralisasi tata kelola bencana di Malawi tidak diikuti dengan alokasi dana dan sumber daya manusia yang memadai. Komite di tingkat desa hingga distrik seringkali tidak memiliki dana operasional, staf, atau pelatihan yang memadai. Akibatnya, interaksi dengan masyarakat dan penggalian pengetahuan lokal sangat terbatas. NGO juga menghadapi kendala serupa: proposal proyek harus disusun cepat, sering tanpa riset mendalam, dan lebih banyak menggunakan data sekunder yang sudah usang. Kurangnya dana untuk tahap inisiasi (baseline study) membuat pelibatan pengetahuan lokal hanya menjadi pelengkap, bukan inti program12.
3. Lanskap Donor yang Tidak Fleksibel
Sebagian besar pendanaan CBDRR di Malawi berasal dari donor internasional yang cenderung lebih menyukai solusi berbasis teknologi atau “best practice” dari luar negeri. Proyek-proyek donor biasanya berjangka pendek, menuntut hasil cepat dan terukur, sehingga proses partisipatif yang membutuhkan waktu dan tenaga sering dikorbankan. Banyak NGO mengaku “menari mengikuti irama donor”, sehingga kebutuhan dan pengetahuan lokal sering diabaikan jika tidak sesuai dengan prioritas donor. Bahkan, ada kasus proyek yang meniru model dari India tanpa menyesuaikan konteks lokal Malawi12.
4. Kelemahan Konsolidasi dan Berbagi Informasi
Koordinasi antara pemerintah, NGO, dan komunitas masih lemah. Informasi hasil konsultasi atau pengetahuan lokal yang dikumpulkan NGO sering tidak sampai ke pemerintah daerah atau tidak terdokumentasi dengan baik. Contohnya, indikator peringatan dini berbasis lokal (seperti perilaku hewan atau perubahan alam) jarang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan bencana tingkat distrik. Akibatnya, pengetahuan lokal yang sudah didokumentasikan pun tidak dimanfaatkan secara optimal dalam pengambilan keputusan12.
5. Sikap dan Preferensi Stakeholder Eksternal
Banyak pejabat pemerintah dan staf NGO mengakui pentingnya pengetahuan lokal, tetapi dalam praktiknya lebih percaya pada data saintifik dan “modern”. Pengetahuan lokal sering dianggap tak berdasar, kuno, atau bahkan takhayul, kecuali sudah divalidasi secara ilmiah. Akibatnya, ada dikotomi tajam antara pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik, dan CBDRR justru gagal menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Sikap ini membuat komunitas merasa pengetahuan mereka tidak dihargai, sehingga partisipasi menjadi formalitas belaka12.
Studi Kasus dan Kutipan Nyata
Analisis Kritis: Mengapa Gap Ini Terjadi?
Kelemahan Desain dan Implementasi CBDRR
CBDRR di Malawi secara struktural sudah mengadopsi sistem desentralisasi dan pelibatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini masih sangat top-down, baik karena tekanan donor, keterbatasan sumber daya, maupun budaya birokrasi yang belum sepenuhnya inklusif. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi staf pemerintah dan NGO dalam metode partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal memperparah masalah.
Tantangan Universal di Negara Berkembang
Temuan di Malawi bukan kasus tunggal. Studi serupa di Indonesia, Filipina, dan negara Afrika lain juga menemukan bahwa partisipasi komunitas dan integrasi pengetahuan lokal sering hanya menjadi jargon proyek. Kesenjangan antara retorika dan praktik ini diperkuat oleh dominasi pendekatan saintifik, tekanan donor, dan lemahnya kapasitas lokal.
Potensi Transformasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Implikasi untuk Kebijakan dan Praktik Global
Penutup: Menuju CBDRR yang Benar-Benar Inklusif
Studi Trogrlić dkk. menegaskan bahwa CBDRR di Malawi masih gagal memanfaatkan potensi pengetahuan lokal secara optimal akibat lima hambatan utama: partisipasi semu, keterbatasan dana dan kapasitas, tekanan donor, lemahnya konsolidasi informasi, dan bias terhadap pengetahuan saintifik. Tanpa transformasi mendasar dalam desain, implementasi, dan evaluasi, CBDRR berisiko menjadi sekadar formalitas, bukan motor perubahan nyata. Pelajaran dari Malawi sangat relevan untuk negara-negara lain yang ingin membangun ketangguhan bencana berbasis komunitas secara otentik dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Robert Šakić Trogrlić, Melanie Duncan, Grant Wright, Marc van den Homberg, Adebayo Adeloye, Faidess Mwale. (2022). Why does community-based disaster risk reduction fail to learn from local knowledge? Experiences from Malawi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 83, 103405.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Perubahan iklim tidak hanya membawa bencana, tapi juga keputusan keliru yang memperburuknya. Artikel karya Naufal dkk. (2023) ini mengungkap betapa adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di hulu Sungai Saddang, Sulawesi Selatan, justru menjadi pemicu deforestasi, erosi, hingga banjir di hilir. Dengan pendekatan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS), penelitian ini menelaah bagaimana respons masyarakat di enam desa (baik hulu maupun hilir) terhadap bencana iklim periode 2009–2020, dan bagaimana tindakan itu berujung pada maladaptasi sistemik.
Peralihan Komoditas: Dari Kopi ke Jagung
Pada tahun 2009, kekeringan ekstrem melanda desa-desa hulu seperti Ranga, Bokin, Paku, dan Randan Batu. Ribuan pohon kopi gagal panen dan sungai-sungai mengering. Sebagai respons:
Konversi ini didorong juga oleh pasar yang menjanjikan (jagung untuk pakan ternak), tetapi mengorbankan fungsi ekologis DAS.
Maladaptasi Hulu: Meningkatkan Risiko Bencana
Jagung ditanam secara monokultur, tanpa naungan dan dengan penggunaan pupuk kimia yang intensif. Ini menyebabkan:
Pada 2020, hujan deras selama tiga hari memicu longsor di Randan Batu yang menewaskan satu warga dan menghancurkan rumah serta ladang.
Efek Domino di Hilir: Sungai Berubah Arah, Banjir Menjalar
Sedimentasi ekstrem menyumbat aliran sungai di Desa Paria. Akibatnya:
Adaptasi masyarakat:
Namun sayangnya, bendungan pelindung yang dibangun pemerintah pasca-banjir rusak dalam dua tahun, contoh nyata kegagalan teknis dalam adaptasi.
Model Adaptasi Gagal: Perubahan Iklim dan Kebijakan Bertabrakan
Adaptasi petani terhadap kekeringan memicu maladaptasi berlapis:
Program pangan nasional yang seragam di seluruh Indonesia tidak mempertimbangkan topografi DAS Saddang yang curam dan rentan, sehingga memperparah kerusakan.
Dampak Positif? Ada, Tapi Bersyarat
Meskipun didominasi kerugian, beberapa dampak positif muncul:
Namun, peneliti menegaskan: tanpa pengakuan hukum yang jelas dan pengelolaan partisipatif, keuntungan ini bersifat sementara.
Kesimpulan: Pelajaran dari Saddang
DAS bukan hanya jalur air, tapi juga jalur dampak. Apa yang terjadi di hulu akan selalu menular ke hilir. Studi ini menyimpulkan bahwa:
Artikel ini juga merekomendasikan pemanfaatan penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis spasial untuk memantau dampak jangka panjang maladaptasi di masa depan.
Sumber : Naufal, N., Mappiasse, M. F., & Nasir, M. I. (2023). Adaptation from maladaptation: A case study of community-based initiatives of the Saddang watershed. Forest and Society, 7(1), 167–183.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.
Apa Itu Lubuk Larangan?
Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:
Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.
Aturan Adat dan Sanksi Sosial
Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:
Aturan utamanya:
Sanksi adat bagi pelanggar:
Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial
1. Ekologis
2. Ekonomi
3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:
Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal
Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:
Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.
Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif
Metode penelitian yang digunakan:
Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional
Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:
Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.
Kesimpulan
Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.
Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.
Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air bersih bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan pembangunan berkelanjutan. Artikel ilmiah oleh Sameer H. Shah (2021) ini mengupas secara sistematis bagaimana konsep “keamanan air” diterapkan dan didefinisikan dalam konteks penghidupan pedesaan di negara-negara Global South selama dua dekade terakhir. Dengan meninjau 99 jurnal ilmiah terpublikasi antara 2000–2019, riset ini mengungkap kesenjangan konseptual, geografis, dan pendekatan solusi dalam diskursus keamanan air.
Mengapa Konsep Keamanan Air Masih Terbatas?
Hanya 30,3% artikel yang mendefinisikan dengan jelas istilah "keamanan air". Umumnya, definisi tersebut berhenti pada tingkat “kecukupan” air (misalnya: cukup untuk irigasi, konsumsi, dan sanitasi), namun tidak menyentuh aspek produktivitas, kesejahteraan, atau pemberdayaan. Ini menunjukkan pendekatan yang konservatif, yang hanya berfokus pada penghindaran risiko, bukan pada pembangunan kapasitas atau aspirasi hidup warga pedesaan.
Studi Kasus: Ketimpangan dan Solusi yang Canggung
Studi mencatat bahwa sebagian besar solusi berfokus pada:
Sebagai contoh, di Lebanon, petani di Lembah Sungai Litani bersedia membayar lebih demi pemasangan sistem irigasi efisien, menunjukkan ada kemauan kolektif masyarakat bila solusi dirancang inklusif.
Ketimpangan Sosial sebagai Akar Krisis
Riset menemukan bahwa:
Contohnya, di beberapa wilayah Afrika dan Asia, komunitas adat dan perempuan sering kali dikecualikan dari pengambilan keputusan pengelolaan air.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Lebih dari 80% artikel mengidentifikasi pemerintah sebagai aktor utama dalam solusi air, namun tanggung jawab juga disematkan kepada:
Sayangnya, partisipasi masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan pelengkap, bukan pusat dari perubahan kebijakan.
Ketimpangan Geografis dalam Penelitian
Mayoritas studi berfokus di India (21), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Wilayah seperti Afrika Tengah, Amerika Selatan bagian tengah, dan Afrika Utara nyaris luput, menunjukkan kebutuhan pemetaan ulang fokus geografis dalam riset air.
Rekomendasi Kritis: Arah Masa Depan
1. Ubah Fokus dari “Risiko” ke “Kesejahteraan”
Keamanan air harus diukur dari kemampuan orang untuk hidup bermartabat, bukan sekadar cukup minum.
2. Libatkan Ragam Penghidupan
Riset terlalu terfokus pada pertanian, padahal banyak komunitas hidup dari peternakan, perikanan, dan kerja informal.
3. Gugat Struktur yang Tidak Adil
Alih-alih solusi teknis, diperlukan transformasi sistemik: dari tata kelola, hukum air, hingga kepemilikan sumber daya.
4. Wawasan Skala Global
Dinamika air di satu wilayah dapat memengaruhi kawasan lain. Pendekatan multiskala dan lintas negara menjadi kunci menghadapi perubahan iklim dan pasar global.
Kesimpulan
Konsep keamanan air masih terlalu sempit jika hanya diukur dari jumlah air yang tersedia. Artikel ini menegaskan pentingnya menggeser pendekatan dari "sekadar cukup" menuju "keadilan dan kesejahteraan". Kesenjangan konseptual dan geografis dalam studi air harus segera dijembatani dengan riset interdisipliner, pendekatan hak asasi manusia, dan kebijakan berbasis komunitas.
Tanpa perubahan paradigma, penghidupan pedesaan di negara berkembang akan terus berada dalam lingkaran ketidakamanan air. Solusi sejati haruslah holistik, adil, dan berpihak pada yang selama ini tak bersuara.
Sumber : Shah, S. H. (2021). How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review. Water Policy, 23(5), 1129–1146.