Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pernah nggak, kalian dengar berita:
> “Ekonomi tumbuh 5 persen, inflasi terkendali, cadangan devisa aman...”
Lalu kalian nanya dalam hati,
> “Lho, tapi kenapa warung sebelah malah tutup, dan dompet saya tetap tipis, ya?”
Nah, kalau kalian pernah merasa begitu, berarti kalian sehat.
Karena tanda paling bahaya dalam ekonomi adalah … kita sudah berhenti bertanya.
.


Tubuh dan Ekonomi Sama-Sama Butuh Sirkulasi
Bayangkan tubuh manusia. Kalau darah hanya muter di kepala tapi nggak sampai ke kaki — apa yang terjadi? Ya, pusing di atas, kesemutan di bawah.
Ekonomi pun begitu. Kalau uang hanya berputar di segelintir orang — konglomerat, pejabat, atau penguasa modal — maka sistemnya pincang. Dan kalau uangnya bocor keluar negeri lewat impor, utang, atau gaya hidup mewah, ya seperti tubuh yang berdarah tanpa luka: kelihatannya sehat, tapi pelan-pelan sekarat.
.

Tumbuh ke Dalam, Bukan Menutup Diri
Ekonomi yang sehat itu bukan yang paling cepat tumbuh, tapi yang tumbuh ke dalam.
Apa maksudnya? Sederhana. Kita memperkuat akar dulu — hubungan antarwarga, produksi dalam negeri, nilai-nilai keadilan dan kepercayaan — baru nanti ranting dan daunnya tumbuh ke luar: ekspor, investasi global, dan sebagainya.
Nah, supaya paham bagaimana semuanya saling terhubung, kita masuk ke konsep keren, namanya Tauhidi System Thinking, alias TST.

Tauhidi System Thinking (TST) : Cara Berpikir yang Nggak Potong-Potong
Ilmu ekonomi modern suka memotong realitas: ekonomi di satu kotak, sosial di kotak lain, agama di rak sebelah.
Padahal, hidup itu satu paket — kayak nasi campur.
TST bilang:
> “Jangan potong realitas. Semua saling berhubungan, dan pusatnya adalah tauhid — kesatuan makna kehidupan.”
Dalam TST, hubungan antarvariabel itu melingkar, bukan linear. Bukan cuma A menyebabkan B, tapi A dan B saling memengaruhi. Itulah yang disebut
circular causation.
.


Ilustrasi Santai: Kafe Kampus
Bayangkan kampus kita punya kafe kecil. Pemiliknya dosen muda, baristanya mahasiswa, biji kopinya dari petani lokal, dan pelanggannya? Kita semua. Setiap cangkir kopi yang dibeli, uangnya nggak lari ke luar negeri. Sebagian buat gaji barista, sebagian buat beli biji kopi lokal, sebagian lagi buat beasiswa mahasiswa miskin.
Apa yang terjadi?
Petani sejahtera → kualitas kopi naik. Anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah.
Barista senang → pelayanan makin baik. Bisa nabung untuk menikah dan nyicil rumah subsidi.
Mahasiswa terbantu → bisa lanjut kuliah, lalu balik lagi jadi inovator ekonomi kampus.
Nah, itulah ekonomi tumbuh ke dalam versi sederhana. Uang, niat, dan hubungan sosial berputar seperti roda yang saling menguatkan.
.


Simulasi Verbal: Roda 3 Nilai
Coba bayangkan roda besar dengan tiga jari-jari utama:
1. Spiritual Value — niat dan etika: mulai dari kejujuran, amanah, dan niat baik.
2. Social Value — hubungan dan keadilan: tumbuhnya saling percaya, gotong royong, solidaritas.
3. Material Value — produktivitas dan kemakmuran: pendapatan meningkat, kesejahteraan merata.
Ketika niat baik melahirkan kepercayaan sosial, kepercayaan sosial melahirkan produktivitas, dan produktivitas disalurkan lagi lewat zakat, sedekah, dan tanggung jawab sosial, roda itu terus berputar. Nah, kalau salah satu macet — misalnya spiritualnya kering, maka sosialnya goyah, materialnya seret. Kalau roda ini terus berputar, itulah barakah yang sesungguhnya.
Spiritual memberi arah.
Sosial memberi tenaga.
Material memberi bentuk.
.


Semua Jurusan Bisa Paham Ini
Anak teknik sistem bilang: “Oh, ini kayak feedback loop, ya!”
Anak psikologi bilang: “Ini kayak self-efficacy, tapi versi sosial!”
Anak ekonomi bilang: “Ini kayak multiplier effect, tapi pakai hati nurani.”
Anak filsafat bilang: “Oh, ini tauhid yang beroperasi di dunia empiris!”
Dan dosen favoritnya hanya senyum sambil bilang,
> “Nah, itu dia ... semuanya nyambung.”
.

Studi Kasus: Desa Digital
Contoh nyata ada di banyak tempat.
Desa-desa digital di Jawa Tengah, Sulsel, dan NTB misalnya, membangun koperasi online yang menjual hasil panen langsung ke pembeli. Tidak lewat tengkulak, tidak lewat spekulan. Warga ikut menanam modal kecil, keuntungan dibagi untuk pelatihan dan pendidikan anak muda. Uang berputar di desa. Rasa percaya tumbuh.Inovasi jalan.
Ekonomi tumbuh ke dalam — bukan dengan proyek raksasa, tapi dengan trust dan value.
.


Tumbuh ke Dalam Dulu, Baru Keluar
Kemandirian bukan berarti anti-globalisasi.
Kita hanya perlu urutan yang benar: tumbuh ke dalam dulu, baru melebar ke dunia. Karena kalau akarnya kuat, pohon Indonesia tidak akan tumbang diterpa badai global.
.

Penutup: Ekonomi yang Menumbuhkan Manusia
Kalau ekonomi cuma menghitung angka, ia bisa lupa menghitung makna. Ekonomi tumbuh ke dalam bukan soal proteksi, tapi soal proyeksi nilai — bagaimana niat baik, kerja sosial, dan kesejahteraan material saling menumbuhkan.
> “Siapa yang mengenal keterhubungan segala hal,
> ia bekerja dengan hati yang utuh, bukan dengan logika yang tercerai.”
Jadi, tugas kita bukan sekadar menaikkan PDB, tapi memastikan roda tiga nilai itu terus berputar:
spiritual, sosial, material.
Dan kalau itu terjadi — ekonomi tak lagi hanya tumbuh, tapi juga menumbuhkan manusia. 
Ekonomi yang berputar bukan sekadar uang tapi perputaran nilai, niat, dan kasih sayang yang membentuk kemakmuran sejati.
.

Kosakata Paham
TST (Tauhidi System Thinking):
Kerangka berpikir holistik berbasis tauhid — menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan material dalam satu sistem sebab-akibat yang saling menguatkan.
Circular Causation:
Hubungan timbal balik dinamis antara variabel ekonomi dan nilai. Contohnya: kesejahteraan meningkatkan kepercayaan → kepercayaan meningkatkan efisiensi → efisiensi meningkatkan kesejahteraan.
Ekonomi Tumbuh ke Dalam:
Strategi pembangunan yang memperdalam basis produksi, memperkuat konsumsi domestik, dan memperluas rantai pasok lokal sebelum ekspansi keluar negeri.
Nilai Spiritual–Sosial–Material:
Tiga lapisan nilai yang menjaga keseimbangan antara orientasi makna, solidaritas, dan kesejahteraan nyata.
.

Pustaka Baca
1. Aziz, R. M. (2019). System as Integration Concept in Industrial Engineering and Islam. INCRE Conference.
2. Choudhury, M. A. (2014). The Dynamics of Circular Causation and the Islamic Political Economy. Palgrave Macmillan.
3. Stiglitz, J. E. (1998). Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Policies, and Processes. World Bank.
4. Yunus, M. (2017). A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions.
5. Todaro, M. & Smith, S. (2020). Economic Development, 13th ed. Pearson.
6. Laporan BPS, Bappenas, dan Bank Indonesia (2000–2024) — tren kontribusi konsumsi, industri manufaktur, dan investasi domestik.
Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pernahkah Anda bermimpi, anak Anda ketika berusia 12 tahun sudah memimpin tim kecil untuk membuat startup digital. Di usia 13 tahun, ia menjalankan kanal YouTube edukatif dengan ribuan penonton. Umur 15, ia kuliah online di universitas luar negeri. Menjelang 17, ia menulis buku dan menjadi junior mentor bagi adik-adik kelasnya.
>
“Mereka bukan sekadar pintar di atas kertas — mereka berdaya, berani, dan produktif sejak remaja.”
Fenomena ini lahir dari Homeschooling AI 2.0, versi belajar di rumah 2025 yang sepenuhnya digerakkan AI, diterapkan oleh puluhan ribu keluarga di Indonesia.
.

Sekolah yang Tak Lagi di Sekolah
Homeschooling konvensional sering membuat orang tua kewalahan: ibu menjadi guru penuh waktu, anak belajar delapan jam sehari, tugas menumpuk, dan interaksi sosial terbatas.
Sekarang, Homeschooling AI 2.0 mengubah semuanya:
>
"Anak-anak bukan hanya cepat menguasai akademik, tapi juga aktif berkarya dan berinteraksi sosial.”

Lima Pilar Homeschooling AI 2.0
1. AI Adaptive 90% Mastery
Anak melanjutkan pelajaran hanya jika menguasai 90% materi. Cepat, tepat, dan personal.
2. Dua Jam Akademik Inti
Fokus Matematika, IPA, Literasi, dan Bahasa Inggris. Sisanya untuk eksplorasi: coding, musik, olahraga, bisnis.
3. Orang Tua Sebagai Fasilitator & Guru Karakter
Membimbing agama, moral, disiplin, dan empati.
Membaca laporan AI dan berdialog reflektif.
Mengajarkan nilai yang AI tidak bisa ganti.
Akan lebih efektif dan ringan apabila beberapa keluarga membentuk kelompok atau komunitas belajar bersama, sehingga bisa berbagi peran.
>
“AI boleh jadi guru terbaik, tapi yang membuat anak menjadi manusia tetap orang tuanya.”
4. Produk Nyata Tiap Minggu
Video edukatif, blog, game, produk digital.
Filosofi: belajar bukan untuk ujian, tapi untuk berkarya.
5. Interaksi Sosial Rutin
Microschool meetups, debat, olahraga tim, simulasi bisnis.
Anak belajar kolaborasi dan sosial skills nyata.
.

Contoh Jadwal Harian
Jadwal ini menyeimbangkan akademik, kreativitas, life skills, dan sosial:
06:30–07:00 → Life Skills (memasak, mencuci, olahraga ringan)
07:00–09:00 → AI Learning (Math + Language Arts)
09:00–09:15 → Break & snack
09:15–10:00 → Project-based / Genius Hour (coding, musik, bisnis)
10:00–12:00 → Klub & sosial (debat, olahraga tim, drama, entrepreneurship)
12:00–13:00 → Makan siang + waktu main bebas
13:00–15:00 → Deep-dive passion project atau field trip (2–3x seminggu)
>
Highlight: Anak belajar tanggung jawab, mandiri, sekaligus tetap terhubung dengan dunia nyata.
.

Konteks Global
Homeschooling AI 2.0 sejalan dengan tren global:
Synthesis School (Amerika) – AI + proyek kreatif
School 21 (Inggris) – AI + debat & kepemimpinan
Byju’s Future Academy* (India) – Proyek nyata + AI
Di Indonesia, komunitas lokal seperti *Alpha School, Mangga AI, Skhole* mengadaptasi teknologi global, menekankan *karakter, kreativitas, dan kolaborasi sosial*.
>
“Pendidikan yang lengkap tidak hanya soal kecerdasan kognitif, tapi keseimbangan pikiran, karakter, dan kemandirian hidup.”
.

Masa Depan Dimulai di Rumah
Homeschooling AI 2.0 menanamkan *kemandirian, kreativitas, dan karakter*. Anak-anak belajar memimpin proyek, berkolaborasi, dan mengambil keputusan nyata — bukan karena ujian, tapi karena hidup mereka nyata.
Teknologi menjadi guru
Rumah menjadi kampus
Dunia menjadi laboratorium belajar
>
“Masa depan tidak menunggu sekolah memperbarui kurikulum; masa depan dimulai di rumah, di tangan anak-anak yang belajar dengan AI, kreatif, dan penuh semangat.”
.
Catatan Penting
.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pernahkah Anda merasa heran: ekonomi Indonesia katanya tumbuh, tapi kenapa lapangan kerja bagus masih sulit?
Mengapa kota makin ramai pusat belanja, tapi pabrik baru tidak banyak terdengar?
Mari kita mulai dengan satu rumus sederhana — jantung dari ekonomi makro:
> PDB = C + I + G + (X – M)
Di mana:
C adalah konsumsi rumah tangga,
I investasi,
G pengeluaran pemerintah, dan
X – M ekspor dikurangi impor.
Empat huruf ini — C, I, G, X-M — seperti empat pilar rumah besar bernama “ekonomi nasional”.
Kalau satu pilar tumbuh tidak seimbang, rumahnya berdiri, tapi miring. Dan itu yang sedang kita alami sekarang.

. Ketika C Jadi Raja, Tapi I Tak Sempat Naik Takhta
Sejak awal 2000-an hingga kini, sekitar 56–60 persen PDB Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Artinya, pertumbuhan ekonomi kita didorong oleh aktivitas belanja: dari beli makanan, baju, motor, sampai liburan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, setiap kali ekonomi tumbuh 5%, sekitar 3% di antaranya berasal dari konsumsi. Sekilas ini membanggakan — rakyat berdaya beli, pasar ramai.
Tapi di balik itu ada tanda tanya: apa yang sebenarnya tumbuh — daya beli, atau utang konsumtif?
Contoh: dalam 10 tahun terakhir, kredit konsumsi meningkat rata-rata 10–12% per tahun, sementara kredit investasi hanya naik 6–7%.
Artinya, uang berputar cepat, tapi lebih banyak ke mobil, rumah, dan gadget — bukan ke mesin produksi. Akibatnya, PDB memang naik, tapi kapasitas produksi nasional stagnan. Seperti rumah yang terus dipercantik catnya, tapi fondasinya tak pernah diperkuat.

. Investasi Kita Masih Dangkal
Kata “investasi” sering terdengar indah dalam pidato, tapi di lapangan, sebagian besar investasi masuk ke sektor non-produktif: real estat, otomotif, dan infrastruktur konsumtif.
Data BKPM dan BPS (2023) menunjukkan, porsi investasi ke manufaktur hanya sekitar 19–21% — padahal tahun 1990-an sempat mencapai 30%. Bandingkan dengan Korea Selatan di era 1980-an. Negara itu sengaja mendorong 40% investasinya ke sektor teknologi dan industri berat.
Pemerintah memberi kredit murah untuk riset baja dan mobil. Dalam dua dekade, mereka beralih dari pengimpor menjadi pengekspor otomotif terbesar dunia. Indonesia berbeda. Kita masih menjadi importer mesin, bukan pembuat mesin. Itulah kenapa meski ekonomi tumbuh, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya naik 3–4% per tahun (ILO, 2022). Sebagai perbandingan, Vietnam naik 5–6%, dan China mencapai 7% dalam periode yang sama.

. Skenario “Tumbuh ke Dalam"
Mari kita bayangkan:
Alih-alih memompa kredit konsumsi Rp200 triliun, pemerintah mengarahkan dana itu ke sektor yang membentuk rantai nilai domestik.
Misalnya:
Membiayai pabrik komponen otomotif di Tegal yang memasok industri mobil di Karawang.
Membangun klaster pangan olahan di Makassar agar hasil tani Sulawesi tidak berhenti di pasar lokal.
Menyambung petani singkong di Lampung dengan industri bioetanol nasional.
Menugaskan BUMN dan startup teknologi untuk mengembangkan mesin pertanian lokal berbasis IoT.
Kuncinya:
setiap rupiah berputar di dalam negeri minimal dua kali.
Dari petani ke pabrik, dari pabrik ke pasar, dari pasar ke inovasi baru.
Inilah yang disebut
domestic value chain strengthening — atau dalam bahasa kampung, “uang jangan cepat keluar pagar.”
Studi Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% keterkaitan industri dalam negeri (domestic linkages) bisa menambah 0,4% pertumbuhan PDB secara berkelanjutan dalam jangka menengah. Artinya, tumbuh dari dalam itu memang lebih lambat, tapi lebih kokoh.



. Belajar dari Jepang, Korea, dan China
Jepang setelah Perang Dunia II, nyaris bangkrut. Tapi mereka tahu, yang penting bukan sekadar ekspor, melainkan kemampuan membuat barang sendiri. Mereka bangun riset bahan, mesin, otomasi, dan mendidik insinyur dalam jumlah besar. MITI (Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang) jadi dapur kebijakan industri yang melibatkan kampus dan pengusaha.
Korea Selatan, setelah perang saudara, membangun ekonomi lewat import substitution dulu — mengganti barang impor dengan buatan lokal. Pemerintah memberi pinjaman jangka panjang untuk riset dan mesin. Dalam 20 tahun, mereka mencetak Samsung, LG, Hyundai.
China lebih telat, tapi lihai.
Awalnya menyalin teknologi, lalu memperdalam riset dan menciptakan versi sendiri. Kini, setiap kenaikan 1% PDB mereka membawa tambahan kapasitas teknologi, bukan sekadar volume dagang.
Indonesia punya peluang serupa, asal satu syarat dipenuhi:
menjadikan riset dan teknologi sebagai arus utama pembangunan.

. Riset: Mesin yang Sering Dibiarkan Mati
Kita sering bangga punya ilmuwan, tapi lupa memberi mereka bahan bakar. Total belanja riset Indonesia hanya 0,28% dari PDB (UNESCO, 2022) — tertinggal jauh dari Korea (4,9%) dan China (2,4%). Padahal, tiap kenaikan 1% investasi riset terhadap PDB bisa menambah produktivitas ekonomi 1,5–2% dalam lima tahun. Riset itu bukan hanya laboratorium dan jas putih. Ia adalah cara bangsa menemukan dirinya kembali — memahami potensi tanahnya, lautnya, dan otaknya sendiri. Kalau Korea punya chip, Jepang punya robot, maka Indonesia mestinya punya green technology berbasis biodiversitasnya.

. Menutup Kuliah: Ekonomi yang Berakar
Jadi, kenapa PDB kita naik tapi tidak memperkuat struktur ekonomi? Karena pertumbuhannya terlalu banyak berasal dari konsumsi, bukan dari penciptaan nilai baru. Ekonomi tumbuh karena ramai belanja, bukan karena pandai berproduksi. Pertumbuhan sejati, seperti kata almarhum dosen senior saya, bukan “seberapa cepat angka naik di layar,” tapi seberapa banyak anak bangsa yang belajar membuat sesuatu sendiri. Ekonomi yang tumbuh ke dalam itu ibarat pohon yang berakar sebelum berdaun. Daunnya memang tak langsung rindang, tapi akarnya dalam — kuat menghadapi badai.

Sumber Bacaan dan Data
Badan Pusat Statistik (2000–2024). Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha.
Bank Indonesia (2023). Laporan Perekonomian Indonesia.
World Bank (2023). Indonesia Economic Prospects: Growth with Depth.
Chang, H.-J. (2002). Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Anthem Press.
Amsden, A. (1989). Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford University Press.
Lin, J. Y. (2012). New Structural Economics: A Framework for Rethinking Development. World Bank.
OECD (2021). Science, Technology and Innovation Outlook: Strengthening Domestic R&D Ecosystems.
UNESCO Institute for Statistics (2022). Research and Development Expenditure Database.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 November 2025
Sektor ritel merupakan salah satu pilar penting ekonomi Indonesia, dengan kontribusi mencapai lebih dari 10% terhadap PDB nasional. Namun, di balik pertumbuhan tersebut tersembunyi tantangan besar: ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai yang berdampak serius terhadap lingkungan. Dalam konteks ekonomi sirkular, kemasan plastik menjadi fokus utama transformasi karena sifatnya yang masif digunakan, sulit terurai, dan berpotensi mencemari ekosistem darat maupun laut. Oleh karena itu, penerapan prinsip 9R dan kebijakan berbasis sirkularitas menjadi kunci untuk membangun rantai nilai ritel yang lebih efisien, hijau, dan bertanggung jawab.
Tantangan Implementasi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan analisis Bappenas, tingkat input material sirkular sektor kemasan plastik baru mencapai 6,92%, sementara tingkat daur ulang hanya 9,16%. Rendahnya angka ini mencerminkan masih terbatasnya infrastruktur, teknologi, dan sistem kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular di sektor ritel.
Beberapa isu utama yang diidentifikasi meliputi:
Pengelolaan sampah yang belum merata di tingkat daerah. Pengumpulan dan pemilahan limbah plastik masih terkonsentrasi di kota besar, sementara banyak wilayah belum memiliki sistem pengelolaan yang efektif.
Kurangnya intervensi di sisi hulu, terutama pada tahap desain produk. Redesain kemasan menjadi langkah penting untuk mengurangi penggunaan bahan baku baru dan meningkatkan potensi daur ulang.
Perlunya penguatan peran produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR). Sejauh ini baru 27 perusahaan yang menyusun peta jalan pengurangan sampah, dengan 8 di antaranya sudah melaporkan implementasi.
Pengelolaan kemasan plastik bernilai rendah (low value plastic) seperti multilayer packaging dan styrofoam masih minim, padahal volumenya sangat besar dalam aliran sampah nasional.
Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, serta Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Kebijakan-kebijakan ini menjadi dasar untuk membangun sistem sirkular yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Transformasi Menuju Ekonomi Sirkular
Model ekonomi linear tradisional—“ambil, buat, buang”—telah terbukti tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi sirkular menekankan desain produk yang memperpanjang umur material dan memaksimalkan nilai ekonominya. Pada sektor ritel, ini berarti memperkenalkan kemasan yang dapat digunakan ulang (reusable), desain yang mudah didaur ulang (recyclable), serta pengumpulan limbah yang terintegrasi. Program seperti Alner menunjukkan potensi model bisnis sirkular di mana konsumen membeli produk dengan kemasan yang dapat dikembalikan, sementara Chandra Asri Group membuktikan bahwa plastik bernilai rendah bisa dimanfaatkan sebagai campuran aspal ramah lingkungan.
Pembelajaran Internasional dan Skema EPR di Indonesia
Denmark menjadi contoh global dalam penerapan skema EPR (Extended Producer Responsibility) yang efektif, di mana seluruh produsen wajib bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah kemasannya. Prinsip serupa mulai diadopsi di Indonesia melalui pembentukan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), lembaga non-profit yang menghimpun pendanaan dari produsen untuk mendukung kegiatan pengumpulan dan daur ulang. Hingga 2024, IPRO telah mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 16.000 ton plastik berbagai jenis, menunjukkan peran nyata kolaborasi lintas industri dalam membangun ekosistem sirkular.
Penahapan dan Strategi Nasional
Peta jalan nasional ekonomi sirkular sektor ritel difokuskan dalam empat periode besar hingga 2045:
2025–2029: Pengembangan ekosistem redesain, sistem guna ulang, dan pengumpulan sampah.
2030–2034: Akselerasi pengadaan produk ramah lingkungan dan sistem guna ulang.
2035–2039: Implementasi masif solusi kemasan berkelanjutan.
2040–2045: Pengelolaan kemasan plastik yang berkelanjutan dan terintegrasi lintas sektor.
Empat strategi utama mendukung arah tersebut, yaitu:
Redesain & peningkatan kadar daur ulang kemasan plastik.
Pengelolaan kemasan bioplastik berbasis bahan hayati.
Pengembangan ekosistem guna ulang dan isi ulang.
Peningkatan pengumpulan, daur ulang, dan pemulihan energi dari sampah plastik.
Jika diterapkan optimal, strategi ini berpotensi mengurangi 21% timbulan sampah plastik nasional dan menambah Rp14,4 triliun pada PDB sektor ritel pada tahun 2030.
Kesimpulan
Transformasi ekonomi sirkular di sektor ritel Indonesia menandai babak baru dalam upaya menggabungkan tanggung jawab lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Kemasan plastik yang dulunya menjadi simbol limbah kini berpotensi menjadi sumber daya baru—asal didukung oleh kebijakan yang konsisten, inovasi teknologi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Dengan pendekatan yang terukur dan berkelanjutan, Indonesia berpeluang menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam membangun rantai nilai ritel yang hijau, efisien, dan inklusif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: KLHK RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Jakarta: BPOM.
Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO). (2024). Annual Progress Report 2023: Building a Circular Plastic Ecosystem. Jakarta: IPRO.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Plastic Outlook: Policy Scenarios to 2060. Paris: OECD Publishing.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: EMF.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Turning Off the Tap: How the World Can End Plastic Pollution and Create a Circular Economy. Nairobi: UNEP.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 November 2025
Transisi menuju ekonomi sirkular tidak hanya menuntut perubahan paradigma produksi dan konsumsi, tetapi juga pergeseran mendasar dalam tata kelola kebijakan dan sistem pembiayaan nasional. Di Indonesia, komitmen terhadap ekonomi sirkular semakin kuat sejak diterbitkannya Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular 2025–2045. Namun, keberhasilan implementasi strategi ini bergantung pada sejauh mana kebijakan lintas sektor dan sistem pendanaan publik–swasta dapat berjalan selaras dan saling memperkuat.
Integrasi Kebijakan dan Sinergi Antar-Sektor
Pemerintah Indonesia kini tengah berupaya mengintegrasikan prinsip ekonomi sirkular ke dalam berbagai kebijakan pembangunan, mulai dari RPJPN 2025–2045, RAN Net Zero Emission (NZE), hingga strategi industri hijau nasional. Sinergi ini mencakup harmonisasi antara kebijakan lingkungan, industri, energi, dan perdagangan untuk memastikan transisi menuju sirkularitas berlangsung efektif.
Dalam konteks kelembagaan, peran kementerian/lembaga (K/L) menjadi sangat penting — Bappenas berfungsi sebagai perancang arah strategis dan koordinasi lintas sektor, sementara Kementerian Keuangan menyediakan instrumen fiskal untuk mendorong adopsi praktik sirkular.
Selain itu, Green and Sustainable Public Procurement (G/SPP) telah mulai diterapkan di beberapa kementerian dan pemerintah daerah, menjadi katalis bagi permintaan terhadap produk sirkular. Namun, tantangan masih muncul dalam hal standarisasi produk, transparansi rantai pasok, serta kapasitas penyedia barang/jasa ramah lingkungan.
Strategi Pendanaan Ekonomi Sirkular
Pembiayaan menjadi kunci dalam menggerakkan transformasi ekonomi sirkular. Dalam konteks nasional, terdapat tiga pendekatan utama yang ditekankan dalam dokumen kebijakan:
Pendanaan Publik (Public Finance): diarahkan pada proyek-proyek strategis, seperti infrastruktur daur ulang, riset material berkelanjutan, dan dukungan UMKM hijau.
Pendanaan Swasta (Private Finance): difokuskan pada penciptaan insentif bagi investasi hijau melalui skema pajak, pembiayaan blended, dan obligasi hijau (green bonds).
Kemitraan dan Inovasi Keuangan (Blended Finance): menggabungkan dana publik dan swasta untuk memitigasi risiko investasi di sektor inovatif seperti eco-design, energi terbarukan, dan pengelolaan limbah industri.
Indonesia juga tengah mengembangkan taksonomi hijau nasional, yang bertujuan untuk mengarahkan aliran investasi ke sektor-sektor yang berkontribusi terhadap transisi hijau. Instrumen ini akan menjadi dasar dalam menentukan proyek yang memenuhi kriteria sirkularitas dan keberlanjutan.
Peran Pemerintah Daerah dan Sektor Swasta
Pemerintah daerah memegang peranan penting dalam memastikan kebijakan ekonomi sirkular dapat diimplementasikan secara kontekstual dan inklusif. Beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Bali telah memulai pilot project berbasis sirkular, seperti pengolahan limbah organik menjadi energi dan pengurangan plastik sekali pakai melalui kebijakan insentif. Sementara itu, sektor swasta berperan dalam inovasi rantai nilai — mulai dari eco-packaging, desain modular, hingga model bisnis berbasis sewa dan perbaikan.
Namun, integrasi antara sektor publik dan swasta masih menghadapi tantangan dalam bentuk keterbatasan data ekonomi sirkular, perbedaan kapasitas antarwilayah, serta kurangnya instrumen insentif jangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme koordinasi yang lebih dinamis antara K/L, pemerintah daerah, asosiasi industri, dan lembaga keuangan agar roadmap ekonomi sirkular dapat berjalan konsisten hingga 2045.
Kesimpulan
Keberhasilan ekonomi sirkular Indonesia tidak hanya diukur dari peningkatan rasio daur ulang atau efisiensi material, tetapi dari kemampuan sistem nasional untuk membangun ekosistem pembiayaan dan kebijakan yang inklusif dan adaptif. Integrasi lintas sektor, inovasi dalam pendanaan, dan peran aktif daerah menjadi tiga pilar utama dalam menjaga keberlanjutan transisi menuju ekonomi sirkular.
Dengan langkah-langkah yang terukur dan kolaborasi yang kuat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat ekonomi hijau di kawasan Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Strategi Pendanaan Hijau Nasional: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: Kemenkeu RI.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Financing Circular Economy Transitions in Emerging Economies. Paris: OECD Publishing.
United Nations Development Programme (UNDP). (2023). Circular Economy in Southeast Asia: Policy, Finance, and Innovation Pathways. Bangkok: UNDP Asia-Pacific.
World Bank. (2024). Indonesia Green Growth and Financing Framework. Washington, DC: World Bank Group.
Asian Development Bank. (2022). Green Finance Strategies for a Circular Economy in Asia. Manila: ADB Publications.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 November 2025
Ekonomi sirkular kini bukan lagi sekadar gagasan konseptual, tetapi telah menjadi kerangka strategis pembangunan nasional yang menuntut pengukuran konkret dan kebijakan yang terarah. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini diwujudkan melalui penerapan prinsip 9R—Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, dan Recover—yang diterapkan di seluruh rantai nilai industri. Melalui kerangka ini, pemerintah berupaya menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang efisien, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Kebijakan dan Indikator Utama Ekonomi Sirkular
Tiga arah kebijakan utama ekonomi sirkular Indonesia meliputi: (1) pengurangan penggunaan sumber daya, (2) perpanjangan daya guna produk dan material, serta (3) peningkatan daur ulang dan pemanfaatan sisa produksi dan konsumsi. Kebijakan ini tidak hanya menjadi panduan normatif, tetapi juga membentuk kerangka pengukuran nasional yang memfokuskan pada tiga indikator utama:
Tingkat Input Material Sirkular (Circular Input Rate) — mengukur efisiensi penggunaan bahan baku sekunder dan bahan terbarukan;
Tingkat Daya Guna (Usage Rate) — menilai ketahanan dan umur pakai produk;
Tingkat Daur Ulang (Recycling Rate) — menunjukkan efektivitas pengelolaan limbah menjadi bahan yang dapat digunakan kembali.
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat Circular Input Rate sebesar 9%, Usage Rate 4%, dan Recycling Rate 5%. Meski angka ini masih rendah, pencapaiannya menunjukkan fondasi awal menuju sistem ekonomi yang lebih efisien dan berorientasi sumber daya.
Indikator Pendukung dan Tantangan Implementasi
Selain indikator utama, dokumen nasional juga menetapkan indikator pendukung yang menilai kesiapan kelembagaan, pendanaan, infrastruktur, kesadaran publik, serta aksi nyata industri dan pemerintah. Namun, hasil evaluasi menunjukkan variasi kinerja di lima sektor prioritas—pangan, kemasan plastik, tekstil, elektronik, dan konstruksi. Misalnya, sektor pangan menunjukkan kinerja “0” (cukup) dalam kelembagaan dan infrastruktur, tetapi masih lemah dalam aspek pendanaan. Sementara itu, sektor elektronik mendapat skor “-1”, menandakan perlunya percepatan kebijakan seperti Extended Producer Responsibility (EPR) dan peningkatan infrastruktur daur ulang.
Tantangan lainnya muncul dari keterbatasan klasifikasi ekonomi nasional (KBLI) yang belum sepenuhnya menangkap model bisnis baru dalam ekonomi sirkular, seperti layanan reuse dan refill. Contohnya, startup Alner yang bergerak di bidang pengemasan ulang ramah lingkungan belum memiliki klasifikasi usaha spesifik, menunjukkan perlunya pembaruan sistem KBLI agar mampu mengakomodasi inovasi hijau.
Membangun Ekosistem Pendukung dan Sinergi Multi-Pihak
Keberhasilan ekonomi sirkular tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan, tetapi memerlukan ekosistem lintas-sektor yang terintegrasi. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kerangka regulasi yang adaptif, sementara sektor keuangan perlu memberikan insentif dan pembiayaan hijau. Di sisi lain, sektor pendidikan dan masyarakat harus memperkuat kesadaran serta menginternalisasi prinsip 9R dalam keseharian.
Kebijakan seperti Green/Sustainable Public Procurement (G/SPP) menjadi instrumen strategis yang potensial untuk memperluas pasar bagi produk sirkular. Namun, implementasinya masih terbatas pada beberapa provinsi pilot dan jenis produk tertentu, menandakan perlunya perluasan skala serta peningkatan koordinasi antar lembaga.
Kesimpulan
Indonesia telah memulai langkah penting menuju ekonomi sirkular, tetapi perjalanan menuju sistem yang sepenuhnya berkelanjutan masih panjang. Ke depan, tantangan utama bukan hanya meningkatkan angka sirkularitas, tetapi membangun sistem yang kolaboratif, terukur, dan adaptif terhadap inovasi industri hijau. Dengan memperkuat kerangka kebijakan, memperluas dukungan pendanaan, dan mempercepat integrasi data antar sektor, Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bappenas & UNDP. (2022). The Future is Circular: Circular Economy Opportunities in Indonesia. Jakarta: United Nations Development Programme Indonesia.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Material Resources Outlook to 2060: Economic Drivers and Environmental Consequences. Paris: OECD Publishing.
UNDP. (2023). Circular Economy in Southeast Asia: Policy, Finance, and Innovation Pathways. Bangkok: United Nations Development Programme Asia-Pacific.
World Bank. (2024). Greening Growth in Indonesia: Transitioning to a Circular and Low-Carbon Economy. Washington, DC: World Bank Group.