Infrastruktur & Pembangunan Berkelanjutan

Mewujudkan Infrastruktur Berkelanjutan: Pentingnya Multistage ESIA dalam Proyek Jalan Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pedoman yang diterbitkan oleh United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP, 2001) menjadi tonggak penting dalam memperbaiki praktik pembangunan jalan yang ramah lingkungan dan sosial di kawasan Asia-Pasifik. Dokumen ini menekankan bahwa kerusakan lingkungan akibat proyek jalan—seperti degradasi tanah, polusi air/udara, hingga gangguan sosial dan hilangnya warisan budaya—seringkali bersifat permanen.

Temuan utamanya menyoroti perlunya proses Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang bersifat multistage dan berkelanjutan, bukan sekadar formalitas pada tahap perencanaan awal. Pendekatan multistage ini memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dipantau dari tahap konsepsi, desain, konstruksi, hingga pascaoperasi.

Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Proyek infrastruktur jalan nasional seperti Jalan Tol Trans Jawa dan Jalan Trans Papua sering menghadapi kritik terkait dampak lingkungan dan sosial yang kurang terkelola. Integrasi multistage ESIA dapat menjadi landasan kebijakan baru dalam green infrastructure governance.

Untuk mendukung implementasi kebijakan ini, pelatihan profesional sangat dibutuhkan. Kursus yang relevan untuk meningkatkan kompetensi ini antara lain Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang membahas pentingnya AMDAL (setara ESIA di Indonesia).

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan ESIA secara bertahap dan berkelanjutan menawarkan sejumlah keunggulan, namun juga menghadapi tantangan kelembagaan dan teknis.

Dampak Positif

  • Peningkatan Kualitas Keputusan: Mencegah kerusakan lingkungan permanen dengan mengintegrasikan hasil ESIA ke dalam desain teknik di setiap tahapan proyek.

  • Transparansi dan Kepercayaan Publik: Keterlibatan publik dalam proses screening dan evaluation meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi potensi konflik sosial.

  • Efektivitas Mitigasi: Pemantauan berkelanjutan (monitoring and post-evaluation) menjamin bahwa upaya mitigasi yang direncanakan benar-benar efektif di lapangan.

Hambatan Utama

  • Kualitas Data: Kurangnya data lingkungan dan sosial yang akurat dan up-to-date mempersulit analisis awal yang komprehensif.

  • Koordinasi Kelembagaan: Tidak adanya struktur kelembagaan yang jelas (single window) dalam ESIA menyebabkan lemahnya koordinasi antar lembaga (PUPR, KLHK, Bappenas).

  • Partisipasi Rendah: Rendahnya kesadaran dan partisipasi publik, terutama di daerah terpencil, menghambat efektivitas kebijakan berbasis konsultasi.

Peluang

  • Digitalisasi Data: Penggunaan sistem geo-mapping dan data lingkungan terpadu membuka peluang untuk analisis dampak berbasis bukti (real-time).

  • Dukungan Global: Dukungan dari lembaga internasional (ADB, UNEP, OECD) dapat memfasilitasi adopsi standar ESIA komprehensif di Asia Tenggara.

  • Peningkatan Kapasitas Lintas Disiplin: Pelatihan seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam mengelola proyek yang kompleks.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk mengadopsi prinsip multistage ESIA dari ESCAP, Indonesia dapat menerapkan langkah-langkah berikut:

  1. Wajibkan Multistage ESIA untuk Proyek Strategis: Proses ESIA harus mencakup tahap screening, examination, analysis, monitoring, dan evaluation dengan laporan terbuka untuk publik di setiap fase.

  2. Bangun Kelembagaan Koordinatif Antarinstansi: Bentuk unit lintas kementerian (PUPR, KLHK, Bappenas) yang memiliki mandat jelas untuk memastikan kepatuhan ESIA di seluruh tahapan proyek.

  3. Tingkatkan Keterlibatan Publik dan Transparansi: Sediakan forum konsultasi dan sistem pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan aktif, bukan sekadar memenuhi syarat formal.

  4. Integrasikan Pelatihan Profesional Berkelanjutan: Tingkatkan kompetensi teknis melalui pelatihan khusus seperti Penerapan Environmental Management System ISO 14001:2015 atau kursus lain yang fokus pada Social Safeguard Management.

  5. Gunakan Teknologi Pemantauan dan Database Terpadu: Kembangkan dashboard nasional yang memanfaatkan citra satelit dan GIS untuk memantau dampak lingkungan dan sosial setiap proyek jalan secara real-time.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan multistage ESIA berpotensi gagal bila hanya dijadikan formalitas administratif tanpa komitmen implementatif yang kuat. Risiko kegagalan utamanya meliputi:

  • Disintegrasi Desain: Laporan ESIA tidak terintegrasi ke dalam desain teknik proyek, sehingga mitigasi dampak diabaikan saat konstruksi.

  • Penegakan Hukum Lemah: Minimnya sanksi atau penegakan hukum terhadap pelanggaran rekomendasi lingkungan dan sosial.

  • Akuntabilitas Profesional: Kurangnya akuntabilitas profesional dari konsultan ESIA dan pelaksana proyek.

Tanpa reformasi kelembagaan dan mekanisme sanksi yang tegas, pendekatan multistage ESIA berpotensi hanya menjadi dokumen tanpa makna substantif.

Penutup

Pedoman ESCAP ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan yang berkelanjutan memerlukan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pendekatan multistage ESIA menghadirkan model tata kelola pembangunan yang lebih adaptif, transparan, dan partisipatif.
Dengan menerapkan prinsip ini, Indonesia dapat memperkuat ketahanan sosial-lingkungan dalam proyek infrastruktur besar dan menghindari dampak jangka panjang yang merugikan.

Sumber

United Nations ESCAP. (2001). Multistage Environmental and Social Impact Assessment of Road Projects: Guidelines for a Comprehensive Process. New York: United Nations.

Selengkapnya
Mewujudkan Infrastruktur Berkelanjutan: Pentingnya Multistage ESIA dalam Proyek Jalan Nasional

Ekonomi Pembangunan & Infrastruktur Berkelanjutan

Mengintegrasikan Nilai Lingkungan dalam Analisis Biaya-Manfaat untuk Pembangunan Infrastruktur yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan Environmental Protection Agency (EPA, 2002) menyoroti kelemahan krusial dalam Analisis Biaya-Manfaat (CBA) tradisional proyek jalan: pengabaian dampak lingkungan. Selama ini, penilaian cenderung fokus pada efisiensi ekonomi jangka pendek (penghematan waktu, biaya transportasi), sementara biaya sosial jangka panjang dari kerusakan ekosistem, kebisingan, dan polusi udara jarang dihitung secara moneter.

Temuan ini sangat penting karena kebijakan investasi infrastruktur harus mencerminkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Mengabaikan dampak ekologis dapat menyebabkan:

  1. Kebijakan Investasi Tidak Berkelanjutan: Proyek yang secara ekonomi tampak menguntungkan ternyata menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang jauh lebih besar di masa depan.

  2. Ketidakadilan Antarwilayah: Daerah dengan kualitas lingkungan yang baik rentan dikorbankan demi efisiensi transportasi.

Bagi Indonesia, temuan ini relevan untuk perencanaan proyek jalan strategis seperti Tol Trans Jawa dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Integrasi nilai ekonomi dari faktor lingkungan adalah kunci untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya cepat, tetapi juga berkelanjutan dan inklusif.

Pelatihan di bidang ini sangat penting. Kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup dapat memperkuat pemahaman aparatur mengenai cara menginternalisasi biaya dan manfaat ekologis.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Mengintegrasikan faktor lingkungan dalam CBA dapat menghasilkan kebijakan jalan yang lebih berkelanjutan dan efisien.

  • Penggunaan data valuasi lingkungan membantu pemerintah menilai manfaat sosial yang lebih luas seperti kualitas udara dan keanekaragaman hayati.

Hambatan utama:

  • Keterbatasan data lingkungan dasar dan nilai ekonomi ekologis.

  • Kapasitas teknis rendah untuk mengaplikasikan metode valuasi seperti contingent valuation atau hedonic pricing.

  • Ketidakpastian ilmiah dalam mengukur preferensi masyarakat terhadap kualitas lingkungan.

Peluang:

  • Kemajuan teknologi spasial dan ekonomi lingkungan membuka jalan untuk penerapan CBA berbasis data.

  • Pelatihan di bidang Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik dapat memperkuat kemampuan teknokrat lokal.

  • Kolaborasi lintas lembaga (lingkungan, transportasi, dan ekonomi) dapat mempercepat adopsi pendekatan berbasis bukti.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Masukkan Valuasi Lingkungan dalam CBA Nasional
    Setiap proyek jalan besar perlu menghitung nilai ekonomi kerugian lingkungan dan manfaat ekologis.

  2. Bangun Basis Data Ekonomi-Lingkungan Terpadu
    Kembangkan sistem data spasial yang memuat indikator seperti kualitas udara, kebisingan, dan biodiversitas.

  3. Perkuat Kapasitas Teknis Aparatur Daerah
    Melalui kursus dan pelatihan seperti Kursus Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur, aparatur dapat memahami metodologi valuasi lingkungan.

  4. Gunakan Pendekatan Multi-Kriteria (MCA)
    Kombinasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk menilai proyek secara holistik.

  5. Dorong Partisipasi Publik dalam Penilaian Proyek
    Gunakan survei stated preference untuk merekam persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan proyek jalan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan dapat gagal jika valuasi lingkungan hanya dilakukan secara formalitas atau tanpa data valid. Penilaian yang tidak akurat dapat menyebabkan bias dalam keputusan investasi. Selain itu, jika penentuan nilai ekonomi lingkungan hanya menggunakan asumsi dari negara lain tanpa adaptasi lokal, hasilnya bisa menyesatkan.

CBA yang terlalu menekankan efisiensi ekonomi juga berpotensi mengabaikan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Oleh karena itu, dibutuhkan tata kelola berbasis multi-level governance agar keputusan pembangunan mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal.

Penutup

Laporan EPA menunjukkan bahwa menginternalisasi dampak lingkungan dalam CBA bukan sekadar langkah teknis, tetapi keharusan moral dan strategis. Indonesia perlu mengembangkan kerangka kerja penilaian ekonomi infrastruktur yang mengakui nilai ekologis dan sosial.

Melalui kebijakan berbasis data, partisipasi publik, dan peningkatan kapasitas kelembagaan, pembangunan jalan di Indonesia dapat menjadi simbol kemajuan yang tidak merusak, tetapi justru memperkuat keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Sumber

Environmental Protection Agency (EPA). (2002). Environmental Impacts and Parameters for Inclusion in the Economic Valuation of Road Schemes (2000-DS-1-M2). Economics for the Environment Consultancy (eftec).

Selengkapnya
Mengintegrasikan Nilai Lingkungan dalam Analisis Biaya-Manfaat untuk Pembangunan Infrastruktur yang Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Memperkuat Peran ESIA sebagai Instrumen Strategis Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) menegaskan bahwa proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan, bendungan, atau fasilitas energi, memiliki dampak lingkungan dan sosial yang kompleks. ESIA berperan penting untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dan berkeadilan sosial.

Temuan ini sangat penting bagi kebijakan publik karena ESIA bukan sekadar dokumen administratif, melainkan alat strategis untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Proses ini wajib mengidentifikasi risiko terhadap ekosistem, masyarakat lokal, serta dampak terhadap mata pencaharian penduduk terdampak.

Bagi Indonesia, hasil studi ESIA sangat relevan untuk memperkuat penerapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaga seperti Kementerian PUPR, KLHK, dan BRIN perlu memastikan bahwa setiap proyek infrastruktur nasional—seperti pembangunan IKN, jalan tol, dan bendungan—melalui kajian ESIA yang komprehensif.

Pelatihan yang relevan dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam menilai dampak lintas sektor secara objektif. Contoh pelatihan yang mendukung kompetensi ini adalah Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan ESIA yang baik di lapangan telah menunjukkan hasil positif, meskipun menghadapi sejumlah tantangan.

Dampak Positif Utama

  • Perlindungan Keanekaragaman Hayati – Melalui penerapan zona konservasi atau mitigasi habitat di sekitar area proyek.

  • Mitigasi Dampak Sosial – Seperti pemberian kompensasi yang adil bagi masyarakat terdampak dan implementasi program pemulihan ekonomi lokal.

  • Peningkatan Tata Kelola Proyek – Dengan kewajiban transparansi dan pelibatan masyarakat dalam proses konsultasi publik, mengurangi potensi konflik.

Hambatan Implementasi di Indonesia

  • Keterbatasan Data – Kurangnya data lingkungan dan sosial yang mutakhir membuat analisis ESIA terkadang kurang akurat dan berbasis asumsi.

  • Kapasitas Teknis Terbatas – Khususnya di daerah, kapasitas teknis lembaga pelaksana dan penyusun ESIA masih perlu ditingkatkan.

  • Rendahnya Partisipasi Publik – Keterlibatan masyarakat lokal seringkali bersifat formalitas, bukan konsultasi substantif.

Peluang

  • Integrasi Digital – Memanfaatkan sistem perencanaan digital seperti Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah (SILHD) untuk memantau efektivitas mitigasi.

  • Inovasi Berbasis Data – Kerja sama dengan akademisi dan sektor swasta untuk mengembangkan analisis dampak lingkungan berbasis data real-time (GIS dan remote sensing).

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk mengoptimalkan peran ESIA sebagai alat kebijakan strategis, diperlukan langkah-langkah berikut:

  1. Perkuat Standar Nasional ESIA: Pemerintah perlu memperbarui panduan pelaksanaan ESIA agar selaras dengan prinsip pembangunan hijau dan ekonomi sirkular.

  2. Bangun Kapasitas SDM Evaluator Lingkungan dan Sosial: Pelatihan Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi mitra strategis dalam melatih aparatur, konsultan, dan akademisi di bidang analisis dampak proyek.

  3. Dorong Transparansi dan Akses Publik terhadap Hasil ESIA: Hasil kajian dampak proyek harus dapat diakses publik secara daring untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat.

  4. Integrasikan ESIA dalam Siklus Penganggaran Proyek: Evaluasi sosial dan lingkungan wajib dilakukan sebelum alokasi dana proyek, bukan sesudahnya, agar mitigasi dapat menjadi bagian dari desain awal.

  5. Kembangkan Sistem Monitoring Berkelanjutan: Gunakan teknologi seperti Geographic Information System (GIS) dan remote sensing untuk memantau dampak proyek terhadap ekosistem dan komunitas secara periodik dan independen.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan ESIA berpotensi gagal bila hanya dijadikan syarat administratif tanpa tindak lanjut nyata. Kegagalan dapat terjadi jika:

  • Terdapat formalitas dalam pelaksanaan konsultasi publik, tanpa memasukkan masukan substantif dari warga terdampak.

  • Kurangnya mekanisme evaluasi pascaproyek, sehingga dampak lingkungan dan sosial jangka panjang tidak terpantau dan tidak ada perbaikan berkelanjutan.

  • Minimnya sanksi bagi proyek yang melanggar rekomendasi ESIA, yang menghilangkan daya paksa dari laporan tersebut.

Untuk menghindari hal ini, pemerintah harus memperkuat fungsi pengawasan dan memastikan bahwa pelaksanaan ESIA menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Penutup

Pelaksanaan Environmental and Social Impact Assessment adalah pilar penting menuju pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Melalui penerapan ESIA yang transparan, berbasis data, dan partisipatif, Indonesia dapat menyeimbangkan antara ambisi ekonomi dan tanggung jawab ekologis.

Sumber

Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) Final Report, 2021.

Selengkapnya
Memperkuat Peran ESIA sebagai Instrumen Strategis Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Konservasi Lingkungan

Pembangunan Jalan di Kawasan Konservasi: Mencari Titik Temu Ekonomi, Sosial, dan Ekologi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Penelitian oleh Elisther K. Ndyalusa dan Casmir Fabian Kitula (2023) menyoroti dampak sosial-ekonomi dari proyek pembangunan jalan di kawasan konservasi, khususnya di Ngorongoro Conservation Area, Tanzania. Studi ini menjadi penting karena menyoroti dilema klasik antara pelestarian lingkungan dan kebutuhan pembangunan ekonomi.

Dengan menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM), penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi.

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan? 

Temuan kunci dari studi Ndyalusa dan Kitula (2023) yang sangat relevan untuk kebijakan publik adalah peran kinerja sosial sebagai mediator antara proyek jalan dan kinerja ekonomi. Artinya, keberhasilan ekonomi (seperti pariwisata dan perdagangan) tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada bagaimana proyek tersebut:

  • Meningkatkan integrasi sosial: Memperkuat kohesi dan interaksi antar kelompok masyarakat lokal.

  • Memperluas akses layanan publik: Mempermudah masyarakat mencapai fasilitas pendidikan dan kesehatan.

  • Menciptakan peluang ekonomi lokal: Memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam rantai nilai pariwisata.

Dalam konteks kebijakan publik, hasil ini menekankan bahwa pembangunan infrastruktur di kawasan konservasi perlu dirancang secara berkelanjutan dan inklusif, dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekologis secara seimbang, bukan semata-mata fokus pada output fisik.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Pembangunan jalan di area konservasi menawarkan manfaat yang transformatif bagi masyarakat, namun membawa tantangan ekologis yang serius.

Dampak Positif dan Manfaat Inklusif:

  • Peningkatan Aksesibilitas Sosial: Jalan mempermudah akses masyarakat ke pendidikan, kesehatan, dan pasar, yang merupakan indikator penting dalam peningkatan kualitas hidup.

  • Pertumbuhan Ekonomi Lokal: Meningkatnya konektivitas menarik investasi pariwisata seperti hotel dan homestay, menciptakan ekonomi baru di pedesaan.

  • Integrasi Sosial: Infrastruktur jalan memperkuat interaksi antarkelompok masyarakat dan mendorong partisipasi ekonomi yang lebih luas.

Hambatan Utama dan Risiko Ekologis:

  • Risiko Ekologis Tinggi: Kerusakan habitat satwa liar dan meningkatnya aktivitas ilegal (perburuan dan penebangan liar) menjadi ancaman langsung terhadap fungsi konservasi.

  • Keterbatasan Standar Teknis: Jalan di kawasan konservasi sering kali memiliki standar teknis yang rendah, menyebabkan cepat rusak dan membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.

  • Kurangnya Koordinasi Lintas Sektor: Konflik kepentingan antara otoritas konservasi (yang fokus pada perlindungan) dan lembaga pembangunan nasional (yang fokus pada konektivitas) sering menghambat proyek.

Peluang Pembangunan Infrastruktur Hijau:

  • Penerapan Konsep "Eco-Road Design": Merancang jalan yang minim jejak ekologis, misalnya dengan koridor satwa liar dan sistem drainase yang mempertahankan siklus hidrologi alami.

  • Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan: Menggunakan infrastruktur jalan sebagai instrumen penggerak ekonomi wisata berbasis pelestarian lingkungan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis untuk Pembangunan Seimbang 

  1. Integrasikan Pembangunan Jalan dan Konservasi Lingkungan:

    • Gunakan pendekatan green infrastructure (infrastruktur hijau) untuk meminimalkan dampak ekologis, termasuk penyediaan jalur penyeberangan satwa.

  2. Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Lokal:

    • Libatkan warga sekitar kawasan konservasi sejak tahap perencanaan (co-design) hingga evaluasi proyek, memastikan mereka mendapat manfaat sosial-ekonomi yang adil.

  3. Perkuat Pengawasan dan Evaluasi Lingkungan:

    • Lakukan environmental monitoring rutin berbasis data satelit atau GIS untuk meminimalkan risiko terhadap biodiversitas secara real-time.

  4. Bangun Kapasitas Institusi Konservasi dan Transportasi:

    • Artikel seperti "Infrastruktur dan Ekonomi" dapat meningkatkan kemampuan aparatur dalam menganalisis trade-off antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  5. Dorong Investasi dalam Ekowisata Berbasis Infrastruktur Hijau:

    • Jadikan pembangunan jalan sebagai instrumen penggerak ekonomi wisata yang berkelanjutan di kawasan konservasi, yang keuntungannya juga dialokasikan untuk pemeliharaan lingkungan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan 

Kebijakan pembangunan jalan di kawasan konservasi dapat gagal apabila:

  • Aspek Lingkungan Diabaikan: Pembangunan jalan yang tidak disertai mitigasi memicu degradasi ekosistem yang tak terpulihkan, yang pada akhirnya merusak daya tarik wisata kawasan itu sendiri.

  • Fokus Hanya pada Ekonomi: Pembangunan yang mengabaikan kesejahteraan sosial masyarakat lokal dapat memicu konflik dan perlawanan, merusak social license to operate proyek.

  • Minimnya Koordinasi Lintas Sektor: Konflik yurisdiksi antara Kementerian PUPR/Transportasi dan Kementerian Lingkungan Hidup/Konservasi menghambat implementasi solusi terintegrasi.

Kegagalan ini dapat dihindari melalui tata kelola partisipatif dan evaluasi berbasis bukti, yang menjamin pembangunan jalan di kawasan konservasi berpihak pada manusia dan alam sekaligus. Pelatihan profesional di bidang manajemen infrastruktur dan analisis dampak sosial ekonomi sangat krusial dalam membekali aparatur pemerintah.

Penutup

Studi ini menegaskan bahwa pembangunan jalan di kawasan konservasi bukanlah hal yang mustahil, asalkan dilakukan dengan pendekatan berbasis bukti dan keseimbangan antara kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan integrasi kebijakan yang cermat, kawasan konservasi dapat menjadi contoh nyata model pembangunan infrastruktur hijau yang berkelanjutan dan inklusif.

Sumber

Ndyalusa, E. K., & Kitula, C. F. (2023). Assessment of Social-Economic Impact of Road Construction Projects in Conserved Areas: Evidence from Ngorongoro Conservation Area Authority in Tanzania. Accountancy and Business Review, 15(2), 36–45.

Selengkapnya
Pembangunan Jalan di Kawasan Konservasi: Mencari Titik Temu Ekonomi, Sosial, dan Ekologi

Kebijakan Publik

entingnya Pedoman EIA dalam Pembangunan Jalan yang Berkelanjutan di Rwanda

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Pembangunan infrastruktur jalan memiliki peran vital dalam pertumbuhan ekonomi dan konektivitas sosial di Rwanda. Lebih dari 95% perdagangan internasional negara ini dilakukan melalui jalur darat, menjadikan jaringan jalan sebagai tulang punggung mobilitas nasional. Namun, di balik manfaat ekonomi tersebut, proyek pembangunan jalan dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan jika tidak dilakukan dengan pendekatan berkelanjutan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Rwanda Environment Management Authority (REMA) menerbitkan “Sector Specific EIA Guidelines for Road Construction Projects”, yang berfungsi sebagai panduan bagi perencana, kontraktor, dan lembaga pemerintah dalam melaksanakan Environmental Impact Assessment (EIA) untuk proyek jalan.

Mengapa EIA Penting dalam Proyek Jalan: Strategi Mitigasi Kerusakan 

EIA merupakan proses sistematis untuk mengidentifikasi, memprediksi, dan menilai dampak positif maupun negatif dari suatu proyek terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam konteks pembangunan jalan, EIA membantu menekan potensi kerusakan yang mengancam keberlanjutan proyek dan lingkungan, seperti:

  • Pencemaran Udara dan Kebisingan: Akibat emisi kendaraan, penggunaan alat berat, dan pembakaran bahan bakar fosil selama dan setelah konstruksi.

  • Kerusakan Ekosistem dan Hilangnya Biodiversitas: Pembangunan jalan sering kali memotong atau mengganggu koridor satwa liar dan vegetasi penting, yang dapat menyebabkan fragmentasi habitat.

  • Ancaman Erosi dan Siklus Hidrologi: Penggalian tanah, penimbunan, dan perubahan tata air dapat meningkatkan risiko erosi tanah, banjir, serta mengubah pola aliran air dan kualitas air tanah.

  • Dampak Sosial Ekonomi: Termasuk relokasi masyarakat, gangguan mata pencaharian, dan perubahan tata guna lahan yang memicu konflik sosial.

Melalui EIA, keputusan pembangunan dapat dibuat berdasarkan informasi yang menyeluruh sehingga hasilnya tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan dan sosial.

Kerangka Hukum dan Kelembagaan yang Kokoh 

Panduan EIA ini didasarkan pada Organic Law No. 04/2005 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan di Rwanda. Dukungan kuat juga datang dari kebijakan nasional seperti National Transport Policy dan Road Maintenance Strategy, yang semakin mengintegrasikan aspek lingkungan.

Pelaksanaan EIA diperkuat melalui kolaborasi erat antara REMA (otoritas lingkungan), MININFRA (Kementerian Infrastruktur), dan otoritas lokal. Kolaborasi ini memastikan:

  1. Penegakan Hukum: Sanksi tegas bagi kontraktor yang melanggar standar lingkungan.

  2. Pelatihan Teknis: Peningkatan kapasitas bagi aparatur dan kontraktor lokal dalam menyusun Environmental Management Plan (EMP).

  3. Keterlibatan Masyarakat: Memastikan proyek mendapatkan social license to operate.

Tahapan Utama dalam Proses EIA: Menjamin Kepatuhan dan Keberlanjutan

Proses EIA dirancang untuk menjadi alat perencanaan yang preventif, bukan sekadar pelengkap administrasi. Tahapan utamanya meliputi:

  • Screening: Menentukan apakah proyek jalan memerlukan studi EIA lengkap berdasarkan skala, sensitivitas lokasi, dan potensi dampaknya.

  • Scoping: Mengidentifikasi isu-isu lingkungan dan sosial utama yang harus dianalisis, memastikan fokus studi sesuai dengan risiko yang paling relevan.

  • EIA Study dan Penyusunan EMP: Menyusun laporan dampak yang komprehensif dan merancang Rencana Pengelolaan Lingkungan (EMP) untuk memitigasi dampak negatif. EMP ini mencakup langkah-langkah spesifik, alokasi sumber daya, dan jadwal mitigasi.

  • Konsultasi Publik: Aspek vital akuntabilitas. Melibatkan masyarakat, Civil Society Organizations (CSOs), dan pihak berkepentingan untuk memastikan transparansi dan penerimaan sosial proyek, khususnya terkait isu kompensasi dan relokasi.

  • Monitoring dan Audit: Melakukan pemantauan berkelanjutan untuk memastikan pelaksanaan mitigasi sesuai rencana, diikuti dengan audit independen untuk menilai efektivitas mitigasi pasca-konstruksi.

Keterlibatan Publik dan Akuntabilitas: Kunci Penerimaan Sosial 

Salah satu aspek paling penting dari pedoman ini adalah partisipasi publik yang substansial. Konsultasi tidak hanya dilakukan sebagai formalitas, tetapi sebagai mekanisme integral untuk:

  1. Mengintegrasikan Pengetahuan Lokal: Memanfaatkan pemahaman masyarakat tentang risiko ekologi dan sosial di area proyek.

  2. Mencegah Konflik: Menyelesaikan isu-isu sensitif seperti relokasi lahan dan kompensasi secara adil dan transparan.

  3. Meningkatkan Kepemilikan (Ownership): Membuat masyarakat lokal merasa memiliki proyek dan berkomitmen pada kelestarian lingkungan pasca-konstruksi.

Untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam hal ini, pelatihan seperti "Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik" dari Diklatkerja dapat memberikan wawasan mengenai pendekatan holistik ini. hal ini relevan dengan artikel Infrastruktur dan Ekonomi yang membahas konteks ekonomi dan sosial pembangunan infrastruktur.

Kesimpulan: Instrument Strategis Pembangunan Berkelanjutan

Pedoman EIA untuk proyek jalan di Rwanda tidak hanya berfungsi sebagai alat administratif, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam mencapai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Dengan menerapkan panduan ini secara konsisten, Rwanda menetapkan standar bahwa pertumbuhan ekonomi melalui konektivitas jalan harus berjalan selaras dengan perlindungan modal alam dan kesejahteraan sosial, memastikan infrastruktur yang dibangun bermanfaat dalam jangka panjang tanpa menciptakan krisis lingkungan di masa depan.

Sumber

Gould, J., Peterman, A., & Smith, L. (2013). Economics of Road Maintenance. World Bank Technical Paper.

Selengkapnya
entingnya Pedoman EIA dalam Pembangunan Jalan yang Berkelanjutan di Rwanda

Sains & Teknologi

Mimpi "Kota Cerdas": Saat Infrastruktur Mulai Berkomunikasi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Untuk memahami solusi yang diusulkan, kita harus terlebih dahulu memahami dua konsep teknologi yang menjadi fondasinya: Internet of Things (IoT) dan Smart City (Kota Cerdas).

Penelitian ini mendefinisikan IoT sebagai paradigma komunikasi di mana "objek sehari-hari"—mulai dari lampu jalan, tempat parkir, hingga kendaraan itu sendiri—dilengkapi dengan mikrokontroler dan transceiver (pemancar-penerima). Ini memungkinkan mereka untuk berkomunikasi satu sama lain dan dengan pengguna, menjadi "bagian integral dari internet".1

Smart City, kemudian, adalah visi yang memanfaatkan jaringan IoT dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) ini. Tujuannya bukan sekadar soal teknologi canggih, melainkan untuk "meningkatkan kualitas hidup".1 Dengan menggunakan sensor untuk mengumpulkan data real-time dari seluruh penjuru kota—mulai dari sistem transportasi, pasokan air, pengelolaan limbah, hingga rumah sakit—otoritas kota dapat memantau apa yang sedang terjadi dan merespons inefisiensi dengan cepat. Ini adalah lompatan dari manajemen kota yang reaktif menjadi proaktif.1

Potensi ekonominya sangat besar. Studi ini mencatat bahwa pasar Smart City diperkirakan bernilai "ratusan miliar dolar pada tahun 2025".1 Namun, aplikasi yang paling mendesak mungkin adalah menjinakkan kekacauan di jalanan.

 

Tiga Pilar Penjinak Lalu Lintas: Apa Saja yang Bisa Diperbaiki?

Penelitian ini mengidentifikasi tiga area utama di mana intervensi IoT dan Big Data dapat secara drastis mengubah manajemen lalu lintas. Ini adalah aplikasi praktis yang sering kita dengar, tetapi paper ini menjelaskan mekanisme di baliknya.1

  • Lampu Lalu Lintas yang Dinamis: Selama ini, sebagian besar lampu lalu lintas beroperasi menggunakan timer statis yang kaku. IoT mengubah ini. Dengan sensor yang dipasang di persimpangan strategis, sistem dapat mengumpulkan "umpan data real-time" tentang volume kendaraan. Data ini kemudian dianalisis oleh Big Data untuk "mencari rute alternatif" dan "pensinyalan yang lebih baik".1 Lampu merah tidak lagi menyala tanpa alasan saat jalanan kosong, dan siklus lampu hijau dapat diperpanjang secara dinamis saat terjadi penumpukan.
  • Parkir Cerdas (Smart Parking): Salah satu kontributor terbesar kemacetan di pusat kota adalah pengemudi yang berputar-putar mencari parkir. Paper ini menyoroti bagaimana "kurangnya tempat parkir" dan "parkir paralel" telah memperburuk kemacetan di persimpangan penting.1 Solusinya adalah sensor berbasis IoT di setiap slot parkir yang memberikan informasi real-time tentang tempat kosong ke aplikasi pengemudi. Ini bukan sekadar teori. Penelitian ini mencatat bahwa kota-kota seperti Paris (Prancis) dan Kansas (AS) yang telah menerapkannya, telah menyaksikan "hasil yang luar biasa dengan pengurangan persentase dua digit dalam masalah parkir... dalam rentang waktu satu tahun".1
  • Bantuan Kecelakaan Cerdas (Smart Assistance): Ini adalah narasi tentang menyelamatkan nyawa. Kecelakaan di jalan adalah salah satu penyebab kematian tertinggi, dan faktor fatalnya sering kali adalah "bantuan dan pertolongan yang tidak tepat waktu".1 Dalam visi Smart City, "CCTV dan sensor di jalan" dapat secara otomatis mendeteksi anomali yang mengindikasikan kecelakaan. Sistem kemudian dapat "menemukan lokasi kecelakaan dan mengomunikasikannya ke ruang gawat darurat terdekat" secara instan, bahkan sebelum saksi mata sempat menelepon.1

Namun, ada kesenjangan yang menarik antara visi besar yang dijabarkan di atas dan proposal teknis spesifik yang diajukan dalam penelitian ini. Sementara IoT menjanjikan perbaikan parkir dan bantuan kecelakaan, sistem spesifik yang diusulkan oleh peneliti—sensor di tengah jalan—tampaknya sebagian besar hanya dirancang untuk mendukung aplikasi pertama: manajemen lampu lalu lintas yang dinamis.

 

Membedah Arsitektur: Proposal Peneliti untuk "Obat Macet" Berbiaya Rendah

Inti dari penelitian ini adalah proposal untuk Smart Traffic System (STS) berbiaya rendah yang dirancang untuk memberikan pembaruan lalu lintas secara instan.1 Arsitektur ini, seperti yang dijelaskan dalam model evaluasinya, terdiri dari tiga modul yang bekerja bersamaan.1

Modul 1: "Mata" di Jalan (Modul IoT)

Alih-alih mengandalkan CCTV yang mahal atau sistem loop induktif yang rumit, proposal ini mengandalkan "sensor pendeteksi kendaraan berbiaya rendah".1 Ini adalah "sistem saraf" digital kota. Sensor-sensor ini dimaksudkan untuk dipasang "di tengah jalan untuk setiap 500 meter".1

Cara kerjanya adalah sebagai berikut: setidaknya lima sensor dihubungkan satu sama lain dan berkomunikasi dengan satu "kit IoT" tunggal. Setiap kit IoT ini kemudian terhubung ke jaringan, terus-menerus memantau kendaraan yang lewat dan mengirimkan streaming pembaruan data mentah ke cloud untuk diproses.1

Modul 2: "Otak" Pusat (Modul Big Data Analytics)

Di sinilah data mentah diubah menjadi wawasan. Modul analitik ini menerima aliran informasi dari sensor, lengkap dengan "ID sensor" unik.1 Data streaming real-time ini kemudian "melakukan operasi analitik".1

Penelitian ini menyatakan bahwa ada "beberapa skrip analitik untuk menganalisis kepadatan lalu lintas dan memberikan solusi melalui analitik prediktif".1 Tujuannya adalah untuk menghitung berbagai faktor, seperti kekuatan sensor individu, detail kendaraan yang masuk dan keluar, serta kapasitas jalan. Namun, perlu dicatat bahwa paper ini sangat kabur secara teknis tentang algoritma atau model apa yang sebenarnya digunakan. Seperti yang akan kita lihat dalam hasil pengujian, fokusnya tampaknya lebih pada validasi sensor (menghitung mobil) daripada analitik prediktif (memprediksi kemacetan).

Modul 3: "Peta" untuk Pengemudi (Modul Interaksi Pengguna)

Hasil akhir dari analisis ini adalah "alat keputusan" bagi para pelancong.1 Data yang sudah diolah—yang menunjukkan "Kapasitas jalan, jumlah kendaraan yang ada, status"—akan disajikan kepada pengguna akhir. Interaksi ini dapat diakses melalui "Aplikasi seluler" atau "browser internet" dengan GPS yang diaktifkan, memberikan panduan real-time kepada pengemudi untuk menghindari area padat.1

 

Tembok Penghalang: Tiga Tantangan Terbesar Implementasi di Dunia Nyata

Meskipun visi ini tampak menjanjikan, penelitian ini secara jujur menjabarkan tiga tantangan besar dalam "Problem Statement" (Pernyataan Masalah). Ini adalah "biaya tersembunyi" dari sebuah kota cerdas, yang membentang jauh melampaui harga sensor.1

Tantangan 1: Infrastruktur Fisik yang Ada

Anda tidak bisa begitu saja menempelkan teknologi pintar di atas fondasi yang rapuh. Paper ini mencatat bahwa kota-kota saat ini "sudah menderita masalah infrastruktur seperti perencanaan jalan, zonasi, dan masalah terkait konstruksi lainnya".1 Menanam sensor IoT di jalan yang perencanaannya sudah kacau tidak akan menyelesaikan masalah mendasar dan justru "berpotensi menimbulkan masalah" baru.

Tantangan 2: Ketergantungan Mutlak pada Konektivitas

Sistem STS yang diusulkan sepenuhnya bergantung pada aliran data yang konstan. Solusi berteknologi tinggi ini "membutuhkan teknik transfer data berkecepatan tinggi" dan, secara realistis, "hanya dapat berfungsi di kota-kota dengan konektivitas internet yang baik".1 Ini menciptakan satu titik kegagalan (single point of failure) yang baru dan sangat berisiko. Paper ini memberikan peringatan keras: "Jika karena alasan apa pun konektivitas ini terhambat, seluruh kota cerdas dapat runtuh".1

Tantangan 3: Mimpi Buruk Keamanan Siber

Setiap sensor baru yang terhubung ke jaringan adalah pintu masuk baru bagi peretas. Penelitian ini menyoroti bahwa "jumlah perangkat yang mengakses jaringan pusat berarti lebih banyak peluang bagi peretas untuk melakukan serangan berbahaya mereka".1 Untuk melawannya, diperlukan "lapisan keamanan tambahan... untuk membuat solusi lalu lintas cerdas yang tak tertembus dan anti-peretasan," di samping menjaga privasi data—sebuah tantangan teknik dan legislatif yang sangat kompleks.1

Di sinilah letak kontradiksi utama dari penelitian ini. Sistem ini diusulkan dalam abstraknya sebagai "biaya rendah" (low cost).1 Namun, "Problem Statement" menjabarkan ekosistem pendukung yang sangat mahal. Sensornya mungkin murah, tetapi kebutuhan akan infrastruktur internet 5G berkecepatan tinggi yang universal, ditambah sistem keamanan siber berlapis yang "tak tertembus", sama sekali tidak murah. Fokus pada "biaya rendah" mungkin menyesatkan, karena tampaknya hanya memperhitungkan harga komponen sambil mengabaikan biaya sistemik implementasi skala penuh.

 

Dari Teori ke Jalanan: Apakah Sistem Ini Benar-Benar Berfungsi?

Tentu saja, sebuah proposal teknis tidak ada artinya tanpa pengujian. Bagian paling penting dari penelitian ini adalah analisis hasil, di mana sistem diuji di dua skenario dunia nyata: jalan raya perkotaan (urban highway) yang sibuk dan jalan kota (road of the city) yang lebih tenang.1

Studi Kasus 1: Ujian di Jalan Raya Perkotaan

Dalam uji coba singkat selama 9 menit di jalan raya, sistem ini diuji untuk menghitung volume kendaraan dan mengukur kecepatan. Hasilnya beragam. Sistem ini berhasil mendeteksi 43 dari total 48 kendaraan yang melintas.1 Ini adalah tingkat keberhasilan sekitar 89,6%—cukup baik untuk prototipe, tetapi belum cukup andal untuk manajemen lalu lintas kritis.

Di sinilah data menceritakan sebuah kisah yang mengejutkan. Mengapa 5 kendaraan lolos dari deteksi? Para peneliti menemukan kelemahan spesifik: "lima kendaraan yang terlewatkan... adalah truk kontainer".1 Sistem gagal karena, seperti yang dijelaskan dalam metodologi, ia menggunakan analisis video yang melacak perubahan nilai kecerahan/warna (HSV).1 "Nilai bagian depan dan belakang di truk kontainer berbeda," yang membingungkan algoritma deteksi.1 Ini bukan kesalahan kecil; ini menunjukkan kerapuhan dalam sistem. Sistem ini gagal mendeteksi jenis kendaraan komersial yang sangat umum dan krusial di jalan raya.

Namun, di sisi positif, dalam hal pengukuran kecepatan, sistem ini sangat akurat. Kecepatan rata-rata yang dihitung adalah 69,15 km/jam, angka yang "menunjukkan kesamaan" dengan kecepatan rata-rata dunia nyata di area tersebut, yang berkisar antara 65 dan 75 km/jam.1

Studi Kasus 2: Ujian di Jalanan Kota

Di lingkungan jalan kota yang lebih sederhana, kinerja sistem ini jauh lebih baik. Dalam skenario pengujian ini, ia bekerja hampir tanpa cela. Sistem "mendeteksi semua sepuluh kendaraan" (tingkat keberhasilan 100%), dengan satu-satunya pengecualian adalah "kendaraan yang masuk ke jalur yang berbeda," yang berada di luar cakupan pengujian.1

Akurasi kecepatan sekali lagi mengesankan. Sistem menghitung kecepatan rata-rata 44,14 km/jam. Angka ini sangat sesuai dengan kecepatan nyata di jalan tersebut, yang diverifikasi oleh peneliti berada di antara 35 dan 45 km/jam.1

 

Kritik Realistis dan Apa yang Belum Terjawab

Analisis hasil tes dan metodologi penelitian ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis yang melampaui "Problem Statement" yang diajukan oleh penulis sendiri.

Pertama, "Masalah Truk Kontainer".1 Kegagalan mendeteksi lebih dari 10% kendaraan di jalan raya—dan secara spesifik gagal mendeteksi truk barang—adalah masalah signifikan. Sistem manajemen lalu lintas yang tidak dapat diandalkan dalam menghitung volume angkutan berat akan gagal total dalam skenario logistik dan perencanaan infrastruktur di dunia nyata.

Kedua, dan mungkin yang paling penting, adalah kesenjangan metodologis yang aneh. Proposal (di Bagian III) secara jelas menjabarkan sistem "sensor... dipasang di tengah jalan".1 Namun, metode pengujian (di Bagian IV) dan hasil (di Bagian V) sepenuhnya didasarkan pada analisis "Data Video CCTV" dan ekstraksi "data piksel (HSV)".1

Ini adalah dua teknologi yang sama sekali berbeda. Satu adalah sensor fisik berbiaya rendah di aspal; yang lain adalah analisis perangkat lunak intensif komputasi dari umpan video yang ada. Paper ini tampaknya mengusulkan satu jenis sistem (sensor jalan) tetapi menguji sistem yang sama sekali berbeda (analisis video CCTV). Kesenjangan ini tidak pernah dibahas dan secara serius merusak validitas klaim "biaya rendah" tersebut, karena analisis video real-time memiliki rangkaian tantangan biaya, komputasi, dan privasinya sendiri.

Ketiga, janji "Big Data" dan "analitik prediktif" 1 yang ditekankan dalam abstrak sebagian besar tidak terwujud dalam pengujian. Hasil yang disajikan hanyalah jumlah kendaraan mentah dan kecepatan rata-rata. Ini adalah pengumpulan data (data collection), bukan analitik prediktif (predictive analytics). Paper ini berhasil memvalidasi metode (analisis CCTV) untuk mengumpulkan data, tetapi tidak menunjukkan bagaimana data tersebut akan digunakan untuk memprediksi kemacetan di masa depan.

 

Dampak Nyata: Masa Depan Bukan Menghitung Mobil, Tapi Menghitung Manusia

Terlepas dari keterbatasan dan kesenjangan metodologisnya, penelitian ini berhasil menyoroti sebuah kebenaran mendasar. Jika sistem seperti ini dapat disempurnakan dan diterapkan—mengatasi tantangan infrastruktur, keamanan, dan keandalan algoritmik—dampaknya akan sangat besar.

Seperti yang disimpulkan dalam paper ini, sistem yang berfungsi akan mewujudkan janji awal: "aliran kendaraan yang lebih baik di jalan," "tidak ada mobil, bus, dan truk yang idle dalam kemacetan," yang pada gilirannya berarti "waktu tempuh yang lebih rendah, pemanfaatan sumber daya alam (gas) yang tepat, dan lebih sedikit polusi".1 Para peneliti bahkan menyimpulkan dengan optimis bahwa "populasi yang melonjak tidak akan menjadi masalah jika data dan sensor digunakan secara mumpuni untuk mengelola lalu lintas".1

Namun, wawasan paling penting dari seluruh penelitian ini mungkin terkubur di kalimat terakhir kesimpulan, yang menunjuk ke pekerjaan di masa depan: menggunakan "sensor canggih... untuk mendeteksi sifat kapasitas kendaraan".1

Inilah revolusi yang sesungguhnya. Sistem saat ini, termasuk yang diuji dalam paper ini, pada dasarnya "bodoh" dalam hal efisiensi manusia. Mereka menghitung "satu kendaraan". Mereka tidak membedakan antara mobil sedan yang hanya membawa satu pengemudi dan bus kota yang membawa 80 penumpang. Keduanya dihitung sebagai satu unit lalu lintas.

Masa depan manajemen lalu lintas yang sesungguhnya, yang disinggung oleh penelitian ini, adalah sistem yang dapat memprioritaskan pergerakan manusia, bukan hanya pergerakan kendaraan. Jika diterapkan, teknologi ini dapat beralih dari sekadar mengurangi kemacetan menjadi secara fundamental mengubah cara kota mengalokasikan ruang jalan, memprioritaskan transportasi umum, dan menciptakan sistem perkotaan yang benar-benar efisien dan berpusat pada manusia dalam dekade berikutnya.

 

Sumber Artikel:

Chaubey, P. K. (2022). How IoT and Big Data Are Driving Smart Traffic Management and Smart Cities. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT), 11(07), 147–152. https://doi.org/10.17577/IJERTV11IS070084

Selengkapnya
Mimpi "Kota Cerdas": Saat Infrastruktur Mulai Berkomunikasi
page 1 of 1.266 Next Last »