Kesehatan Masyarakat
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
Pendahuluan
Sektor kesehatan, khususnya di lingkungan rumah sakit, menghadapi risiko pekerjaan yang kompleks dan multidimensional. Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 2.78 juta pekerja di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan.1 Di Indonesia, data BPJS Ketenagakerjaan di Sumatera Barat mencatat lonjakan kasus kecelakaan kerja yang signifikan, dari 114.000 kasus pada 2019 menjadi 177.000 kasus pada rentang Januari hingga Oktober 2020, sebuah tren yang menggarisbawahi urgensi masalah ini.1 Dalam konteks ini, penelitian yang berjudul "Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung" (JIK, 2022) bertujuan untuk menginvestigasi pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) di RSUD Sijunjung.1
Penelitian ini mengadopsi pendekatan mixed-method concurrent embedded, yang menggabungkan studi kualitatif fenomenologis untuk mendeskripsikan pandangan informan dengan pendekatan kuantitatif deskriptif menggunakan kuesioner.1 Pendekatan metodologi ganda ini memungkinkan para peneliti untuk menangkap tidak hanya data statistik tentang keberhasilan atau kegagalan program, tetapi juga konteks dan narasi di baliknya. Temuan penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kesenjangan antara kebijakan yang ada dan implementasi di lapangan, yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan kasus kecelakaan kerja yang dilaporkan di RSUD Sijunjung dari tahun 2017 hingga 2020.1
Jalur Temuan: Analisis Komponen K3RS di RSUD Sijunjung
Analisis penelitian ini mengikuti kerangka manajemen K3RS yang terdiri dari tiga komponen utama: Input, Proses, dan Output. Temuan menunjukkan adanya kelemahan di setiap tahapan, yang secara kumulatif menjelaskan kondisi program yang tidak optimal.
Komponen Input
Pada tahap input, penelitian ini menyoroti beberapa temuan kritis. Meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kebijakan K3RS dalam bentuk surat keputusan dan SOP yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016, pelaksanaannya dinilai belum optimal karena sosialisasi yang tidak konsisten.1 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan tertulis saja tidak menjamin implementasi yang efektif. Keterbatasan lainnya terdapat pada sumber daya manusia (SDM). RSUD Sijunjung hanya memiliki satu orang ahli K3RS yang sudah bersertifikat, namun kuantitas ini tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/2010.1 Lebih jauh lagi, personil K3RS tersebut memiliki tanggung jawab pekerjaan ganda sehingga tidak dapat bekerja purna waktu.1 Situasi ini merupakan akar masalah yang menjelaskan mengapa elemen manajemen K3 lainnya seperti sosialisasi kebijakan dan pengawasan belum berjalan efektif. Kekurangan SDM yang berfokus penuh pada K3RS memicu serangkaian kegagalan sistemik, mulai dari kurangnya pengawasan rutin hingga kegagalan dalam melakukan manajemen risiko yang komprehensif.
Aspek pendanaan juga menjadi kendala. RSUD Sijunjung belum memiliki alokasi dana khusus per unit atau instalasi, melainkan menganggarkannya secara keseluruhan dalam rapat kerja tahunan.1 Penganggaran yang terpusat ini dapat membatasi fleksibilitas unit-unit kerja untuk mengatasi risiko spesifik yang mereka hadapi. Di sisi prasarana, meskipun alat pelindung diri (APD) dan alat pemadam api ringan (APAR) tersedia, jumlahnya belum mencukupi untuk seluruh gedung dan perlu diganti secara berkala.1 Secara spesifik, penelitian ini mencatat ketiadaan pintu darurat dan jalur evakuasi yang jelas di area berisiko tinggi seperti ruang OK (kamar operasi).1
Komponen Proses
Proses manajemen K3RS di RSUD Sijunjung juga menghadapi tantangan signifikan. Manajemen risiko, yang menjadi bagian terpenting dari program, belum dilaksanakan secara komprehensif sesuai dengan PMK 66 Tahun 2016.1 Meskipun ada kebijakan sejak tahun 2012, kurangnya identifikasi bahaya dan dokumentasi menjadi faktor kunci, yang kontras dengan peningkatan laporan kecelakaan kerja setiap tahunnya.1 Dalam hal pelayanan kesehatan kerja, penelitian mencatat bahwa upaya ini masih sangat minim. Meskipun rumah sakit berencana menganggarkan
medical check up (MCU) untuk pegawai di area berisiko tinggi, kegiatan promotif seperti kebugaran fisik dan mental, serta kegiatan preventif seperti imunisasi dan surveilans lingkungan, belum terimplementasi secara menyeluruh.1
Meskipun RSUD Sijunjung memiliki SOP untuk pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), masih terdapat kekurangan pada simbol dan rambu-rambu.1 Demikian pula, sistem pencegahan dan pengendalian kebakaran belum optimal karena tidak adanya peta jalur evakuasi dan titik kumpul yang jelas di setiap gedung.1 Secara umum, meskipun ada upaya untuk mengelola prasarana dan peralatan medis, penelitian menunjukkan bahwa implementasi proses inti ini masih memerlukan perbaikan dan pengawasan yang lebih ketat.
Komponen Output dan Temuan Kuantitatif
Secara keseluruhan, penelitian menyimpulkan bahwa komponen output—yang seharusnya mencerminkan keberhasilan implementasi—dinilai "belum optimal".1 Hal ini secara kuantitatif didukung oleh temuan deskriptif yang menunjukkan kurangnya pelaksanaan program K3 dari sudut pandang responden.
Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa 90% responden menyatakan pelaksanaan program kesehatan kerja di RSUD Sijunjung tidak baik, sementara hanya 10% yang menyatakan sebaliknya.1 Angka ini menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang sangat tinggi terhadap upaya kesehatan kerja. Untuk program keselamatan kerja, angkanya sedikit lebih baik, namun masih mengkhawatirkan:
80% responden menyatakan pelaksanaannya tidak baik, berbanding terbalik dengan hanya 20% yang menyatakan baik.1
Perlu dicatat adanya inkonsistensi data kuantitatif dalam abstrak paper itu sendiri, di mana abstrak berbahasa Indonesia mencantumkan 80% responden menyatakan minimnya pelaksanaan program kesehatan kerja, sementara abstrak berbahasa Inggris mencantumkan 90%.1 Meskipun kedua angka menunjukkan masalah yang serius, ketidakcocokan ini menunjukkan perlunya validasi data dan metodologi yang lebih ketat dalam penelitian lanjutan.
Survei ini melibatkan 31 responden, dengan mayoritas (67.7%) adalah perempuan, berusia antara 36-45 tahun (67.7%), dan memiliki pendidikan S1 (64.5%). Sebagian besar responden (87.1%) memiliki pengalaman kerja lebih dari 6 tahun.1
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Meskipun terfokus pada studi kasus tunggal, penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman implementasi K3RS di Indonesia, khususnya di konteks rumah sakit kelas C. Penelitian ini tidak hanya mengonfirmasi tantangan yang telah diidentifikasi dalam literatur lain, seperti kurangnya SDM dan pendanaan, tetapi juga memberikan validasi empiris yang spesifik.1 Pendekatan
mixed-method memberikan keunggulan analitis yang memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi bukan hanya apa yang salah, tetapi juga mengapa hal itu terjadi. Dengan menggabungkan data statistik dengan narasi dari wawancara, penelitian ini memberikan gambaran holistik tentang hambatan implementasi K3RS, mulai dari masalah struktural (SDM, dana) hingga masalah operasional (sosialisasi, pengawasan). Dengan demikian, studi ini berfungsi sebagai studi diagnostik yang berharga, yang mengidentifikasi celah-celah kritis yang memerlukan perhatian segera dan penyelidikan lebih lanjut oleh komunitas akademis.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Setiap penelitian memiliki keterbatasan, dan analisis ini mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan pertimbangan dalam penelitian berikutnya. Pertama, ukuran sampel kuantitatif yang relatif kecil (hanya 31 responden) dan kualitatif (7 informan) membatasi kemampuan untuk menggeneralisasi temuan ke populasi RSUD Sijunjung yang lebih besar (153 orang) atau, lebih jauh lagi, ke rumah sakit lain di Indonesia.1 Kedua, sifat studi kasus tunggal pada satu rumah sakit juga membatasi generalisasi; temuan ini mungkin unik untuk RSUD Sijunjung dan tidak representatif untuk rumah sakit lain, baik di kelas yang sama maupun yang berbeda.1 Ketiga, seperti yang telah dicatat, adanya inkonsistensi data kuantitatif di dalam abstrak itu sendiri memunculkan pertanyaan tentang validitas data dan konsistensi analisis.1
Keterbatasan ini membuka jalan untuk pertanyaan-pertanyaan penelitian yang krusial. Misalnya, apakah masalah yang ditemukan di RSUD Sijunjung, seperti kurangnya personel K3 purna waktu, merupakan masalah sistemik di sebagian besar rumah sakit kelas C di Indonesia? Apakah terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi pelaksanaan K3RS antara staf medis dan non-medis, atau antara staf dengan masa kerja yang lama dan yang baru? Faktor apa saja yang paling kuat memengaruhi keberhasilan sosialisasi kebijakan K3RS? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih terstruktur dan berwawasan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan keterbatasan dan pertanyaan terbuka dari paper ini, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat memajukan pemahaman dan praktik K3RS di Indonesia.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kerangka kebijakan K3RS, kesenjangan yang signifikan dalam hal SDM, alokasi dana, dan implementasi proses inti seperti manajemen risiko dan pelayanan kesehatan telah menyebabkan kinerja program yang tidak optimal dan peningkatan angka kecelakaan. Meskipun hasil penelitian ini terbatas pada satu institusi, temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat untuk perbaikan kebijakan dan praktik, serta menjadi katalis untuk agenda penelitian yang lebih luas di bidang kesehatan masyarakat.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Kolaborasi ini idealnya melibatkan Universitas Andalas (sebagai institusi akademis yang telah memulai studi ini), Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung (sebagai mitra praktisi untuk implementasi dan pengujian intervensi), dan lembaga-lembaga yang menyediakan data makro dan kerangka kebijakan seperti Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau BPJS Ketenagakerjaan.
Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.33757/jik.v6i2.580
Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
Ringkasan Analitis: Disparitas Kinerja Keselamatan dan Celah Kritis dalam CSMS
Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor industri berisiko tinggi merupakan tantangan global yang mendesak. Menurut data dari International Labor Organization (ILO) tahun 2018, sebanyak 380.000 pekerja, atau 13,7% dari total 2,78 juta pekerja, meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.1 Situasi ini bahkan lebih kritis di negara berkembang seperti Indonesia, di mana tingkat kecelakaan kerja dilaporkan empat kali lebih tinggi dibandingkan negara industri.1 Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga menunjukkan angka yang signifikan, dengan 157.313 kecelakaan kerja pada tahun 2018 dan 130.923 kecelakaan dari Januari hingga September 2019.1
Di dalam konteks industri, tantangan ini semakin kompleks dengan adanya keterlibatan kontraktor. Sebuah studi evaluasi yang dilakukan oleh Wardhani (2022) pada PT Pupuk Kujang, sebuah perusahaan petrokimia yang memiliki risiko tinggi, secara spesifik mengkaji implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS). Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode observasi dan pendekatan cross-sectional untuk menilai efektivitas CSMS dalam memastikan keselamatan mitra kerja.1
Makalah ini menyajikan narasi logis yang berangkat dari evaluasi enam tahapan kunci dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang, yaitu identifikasi dan penilaian risiko, prakualifikasi, seleksi, kegiatan awal kerja, penilaian selama kerja, dan penilaian akhir kerja.1 Secara prosedural, semua tahapan ini telah dijalankan. Namun, penelitian ini berhasil mengidentifikasi sebuah anomali kritis yang merusak integritas seluruh sistem. Temuan menunjukkan bahwa pada tahap prakualifikasi, "sebelum dinyatakan lulus tahap penilaian prakualifikasi, kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender".1
Temuan ini sangat penting karena menunjukkan adanya disparitas kinerja keselamatan yang mencolok. Berdasarkan data dari International Association of Oil and Gas Producers (OGP) pada tahun 2018 yang dikutip dalam makalah ini, Fatal Accident Rate (FAR)—sebuah metrik kunci yang mengukur jumlah kecelakaan fatal per 1 juta jam kerja—menunjukkan perbedaan signifikan antara karyawan perusahaan dan kontraktor.
Kategori:
Karyawan Perusahaan
Kontraktor
Jumlah Kematian:
Karyawan Perusahaan: 2
Kontraktor: 29
Jam Kerja yang Dilaporkan:
Karyawan Perusahaan: 21% dari total
Kontraktor: 79% dari total
Fatal Accident Rate (FAR) per 1 Juta Jam Kerja:
Karyawan Perusahaan: 0,31
Kontraktor: 1,20
Data ini menunjukkan hubungan kausal yang kuat antara kegagalan implementasi CSMS dengan hasil keselamatan. Disparitas FAR yang hampir empat kali lebih tinggi pada kontraktor (1.20 vs. 0.31) bukanlah sekadar data statistik; ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistematis. Rantai sebab-akibatnya jelas: tingginya tingkat kecelakaan pada kontraktor (efek) disebabkan oleh praktik penunjukan pemenang tender yang tidak sesuai prosedur (sebab). Sistem seleksi yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" pertama untuk memastikan kontraktor memiliki kapabilitas K3 yang memadai, telah dilanggar.1
Implikasi dari temuan ini meluas melampaui PT Pupuk Kujang. Pelanggaran prosedur ini menunjukkan bahwa dokumen CSMS dan prosedur yang terperinci tidak secara otomatis menjamin kinerja keselamatan yang baik. Ada faktor-faktor non-teknis, seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi atau sosial, yang dapat merusak integritas seluruh sistem.1 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut disebabkan oleh "beberapa pertimbangan seperti harga penawaran, teknis, prioritas pada kontraktor lokal, dan pengalaman masa lalu kontraktor lokal sebagai mantan pekerja di perusahaan".1 Ini mengindikasikan bahwa CSMS tidak hanya merupakan masalah teknis-prosedural, tetapi juga masalah budaya organisasi dan komitmen kepemimpinan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi terpenting dari makalah ini adalah kemampuannya untuk menyingkap kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Alih-alih hanya menjelaskan bagaimana seharusnya CSMS bekerja, penelitian ini secara kritis menunjukkan di mana sistem tersebut dapat runtuh dalam praktik. Penemuan bahwa seorang kontraktor dapat memenangkan tender tanpa melewati proses prakualifikasi yang mengikat memberikan wawasan yang sangat berharga bagi praktisi dan akademisi.1
Makalah ini berfungsi sebagai studi kasus diagnostik yang kuat. Ini membuktikan bahwa keberadaan prosedur formal tidak cukup untuk menjamin kinerja keselamatan yang optimal jika komitmen untuk melaksanakannya tidak konsisten. Studi ini menggarisbawahi bagaimana faktor-faktor non-teknis, seperti "prioritas pada kontraktor lokal" atau "pertimbangan harga," dapat secara fundamental merusak efektivitas sistem manajemen keselamatan yang dirancang dengan baik.1
Secara tidak langsung, makalah ini juga menyoroti peran sentral dari komitmen manajemen yang otentik. Meskipun sistem dan prosedur ada, ketiadaan dukungan dan implementasi yang konsisten dari manajemen puncak dapat menyebabkan kegagalan sistematis. Ini merupakan kontribusi penting terhadap literatur K3 yang sering kali terlalu fokus pada aspek prosedural dan teknis, dan kurang memperhatikan aspek budaya dan kepemimpinan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi deskriptif dan cross-sectional, makalah ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui. Penelitian ini hanya memberikan "potret" atau gambaran kondisi pada periode waktu yang spesifik (Februari hingga April 2018), sehingga tidak dapat menangkap dinamika perubahan atau dampak jangka panjang dari implementasi CSMS.1 Selain itu, karena studi ini terbatas pada satu perusahaan (PT Pupuk Kujang), generalisasi temuan ke industri atau perusahaan lain menjadi terbatas.1
Keterbatasan ini membuka sejumlah pertanyaan penting yang memerlukan penelitian lebih lanjut:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat menjadi agenda penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.
Makalah ini memberikan dasar yang kuat untuk agenda riset yang lebih luas dan mendalam di bidang manajemen K3. Temuannya secara jelas menunjukkan bahwa ada celah yang signifikan antara prosedur yang dirancang dengan baik dan implementasi di lapangan. Disparitas tingkat kecelakaan antara karyawan dan kontraktor adalah manifestasi dari kegagalan ini, yang akarnya terletak pada faktor non-prosedural seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, lembaga riset industri, dan otoritas pemerintah untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menerjemahkan temuan riset menjadi kebijakan dan praktik yang lebih efektif.
(https://doi.org/10.20473/ijosh.v1lil.2022.1-11)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
Pendahuluan dan Konteks Penelitian
Tingkat keparahan kecelakaan kerja merupakan salah satu indikator utama dari efektivitas manajemen keselamatan di sebuah perusahaan. Upaya untuk meminimalisir dampak dari insiden ini secara fundamental bergantung pada implementasi Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) yang cepat dan tepat.1 Perawatan yang diberikan segera setelah cedera dapat menjadi penentu kritis antara pemulihan yang cepat atau konsekuensi yang lebih serius, bahkan antara hidup dan mati.1 Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap penerapan P3K di lingkungan kerja berisiko tinggi adalah sebuah keharusan.
Secara global, data dari International Labour Organization (ILO) tahun 2018 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: lebih dari 2,78 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan, dengan tambahan 374 juta cedera non-fatal.1 Kawasan Asia dan Pasifik menyumbang dua pertiga dari total kematian ini. Konteks nasional di Indonesia juga tidak kalah genting. Data BPJS Ketenagakerjaan dari tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan fluktuasi angka kecelakaan yang tinggi, mencapai 123.000 kasus pada tahun 2017.1 Data regional bahkan menyoroti situasi yang lebih parah, dengan Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Selatan mencatat lonjakan dramatis hingga 24.910 kasus pada tahun 2014, menjadikannya provinsi dengan angka kecelakaan tertinggi pada tahun tersebut.1
Mengingat urgensi tersebut, penelitian ini memfokuskan analisis pada sebuah perusahaan konstruksi kapal di Makassar, PT. Industri Kapal Indonesia. Latar belakang penelitian ini diperkuat oleh data internal perusahaan yang menunjukkan tren peningkatan kasus kecelakaan kerja dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari 2 kasus pada tahun 2012 menjadi 7 kasus pada tahun 2015.1 Peningkatan signifikan ini secara empiris menjustifikasi kebutuhan untuk mengkaji secara spesifik bagaimana sistem P3K di perusahaan tersebut diimplementasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan P3K di industri yang memiliki kompleksitas dan risiko bahaya kerja yang tinggi, serta mengidentifikasi kesenjangan antara regulasi yang ada dengan praktik di lapangan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian kualitatif-deskriptif ini memberikan kontribusi yang substansial dengan secara rinci memetakan ketidaksesuaian yang signifikan antara kepatuhan terhadap peraturan formal dan implementasi praktis di lapangan dalam industri konstruksi kapal di Makassar.1 Analisis ini melampaui sekadar mengonfirmasi adanya masalah, tetapi juga mengidentifikasi akar permasalahan yang bersifat manajerial, prosedural, dan kultural yang menciptakan jurang antara kebijakan dan praktik.
Temuan kunci pertama berpusat pada peran petugas P3K. Meskipun jumlah petugas P3K di perusahaan, yaitu 5 orang untuk 177 pekerja, telah memenuhi persyaratan kuantitatif yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, efektivitas operasional mereka terhambat oleh kegagalan sistemik.1 Penelitian ini secara kontradiktif menemukan adanya kurangnya pemantauan yang memadai dari penanggung jawab, tidak adanya tanda pengenal khusus bagi petugas di lapangan, dan ketiadaan buku laporan kegiatan P3K yang seharusnya menjadi alat dokumentasi esensial.1 Situasi ini mengindikasikan adanya "kesenjangan kepatuhan-implementasi" yang krusial. Perusahaan memenuhi persyaratan statis dengan merekrut jumlah petugas yang memadai, namun gagal dalam aspek kualitatif yang dinamis, seperti pengawasan, identifikasi, dan dokumentasi yang terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa audit kepatuhan yang hanya berbasis daftar periksa (checklist) tidak cukup untuk memastikan keselamatan kerja yang berkelanjutan; diperlukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap proses dan perilaku.
Aspek kedua yang menjadi sorotan adalah pelatihan dan sertifikasi petugas P3K. Penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar petugas (3 dari 5 orang) belum pernah mengikuti pelatihan khusus P3K, dan tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki lisensi atau sertifikat resmi.1 Temuan ini tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tetapi juga menciptakan risiko langsung terhadap respons kecelakaan. Penanganan yang tidak didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan yang terstandardisasi berpotensi memperparah cedera, bukan menyembuhkannya.1 Penegasan akan urgensi pelatihan ini didukung oleh temuan dari penelitian lain yang dikutip dalam paper, di mana pelatihan P3K terbukti meningkatkan pengetahuan peserta secara signifikan, dari rata-rata 65,75% sebelum pelatihan menjadi 89,75% sesudahnya, dengan nilai p-value 0.000, yang menunjukkan perbedaan rerata yang sangat signifikan.1 Data kuantitatif dari studi eksternal ini secara kuat mendukung justifikasi ilmiah akan perlunya pendidikan dan sertifikasi P3K yang wajib dan berkelanjutan.
Selanjutnya, penelitian ini secara rinci menguraikan kekurangan pada sarana dan prasarana P3K yang disediakan perusahaan.1
Secara keseluruhan, temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa pemenuhan standar P3K tidak hanya sebatas menyediakan kuantitas personel yang sesuai, melainkan juga menuntut sistem manajemen yang terstruktur dan budaya organisasi yang mendukung keselamatan kerja secara holistik.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi P3K di satu perusahaan, terdapat beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui.1 Pertama, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, yang memungkinkan pemetaan rinci kondisi lapangan tetapi tidak dapat membangun hubungan kausalitas yang kuat. Artinya, kita tidak dapat secara definitif mengklaim bahwa kekurangan dalam P3K
menyebabkan peningkatan kecelakaan kerja, meskipun korelasi logisnya sangat kuat.
Kedua, lingkup penelitian yang terbatas pada satu perusahaan di Makassar membatasi generalisasi temuan. Meskipun kondisi yang ditemukan mungkin serupa dengan perusahaan lain di industri yang sama, validitasnya tidak dapat digeneralisasi tanpa penelitian dengan sampel yang lebih besar dan beragam.1 Selain itu, paper ini juga menyebutkan keterbatasan akses akibat pandemi COVID-19 yang membatasi kedalaman observasi lapangan, terutama pada bagian kotak P3K dan area kerja lainnya.1
Berdasarkan keterbatasan dan temuan yang ada, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk riset di masa mendatang:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Kelima rekomendasi berikut disusun untuk menanggapi temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam penelitian ini, bertujuan untuk memajukan pemahaman dan praktik K3 di industri konstruksi kapal dan sektor lainnya.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai tantangan dalam penerapan P3K di industri konstruksi kapal Makassar. Temuan menunjukkan bahwa meskipun kepatuhan formal ada dalam beberapa aspek, implementasi praktisnya masih jauh dari standar yang ditetapkan, terutama dalam hal pengawasan, pelatihan petugas, dan ketersediaan serta kualitas fasilitas P3K. Kesenjangan antara kebijakan dan praktik ini berpotensi meningkatkan risiko dan tingkat keparahan kecelakaan di lingkungan kerja.
Berdasarkan temuan ini, penelitian lebih lanjut sangat krusial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih terbuka dan untuk mengembangkan intervensi yang efektif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Universitas Muslim Indonesia (sebagai asal penelitian ini) untuk melanjutkan inisiatif akademik ini, Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan, dan PT. Industri Kapal Indonesia serta asosiasi industri terkait untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta memfasilitasi adopsi temuan riset menjadi praktik industri yang lebih baik.
Baca Selengkapnya disini: https://pasca-umi.ac.id/index.php/jmch/article/view/247/259
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
I. Ikhtisar Metode Konstruksi Modern dan Tantangan Kinerja Kebakaran: Sebuah Perjalanan Logis dari Temuan
Analisis riset ini menguraikan perjalanan logis dari argumen utama paper, dimulai dari janji efisiensi MMC hingga tantangan fundamental yang ditimbulkannya bagi keselamatan kebakaran dan kerangka regulasi. Modern Methods of Construction (MMC) didefinisikan secara luas sebagai produk bangunan dan komponen yang sebagian besar dibuat di luar lokasi (off-site), termasuk sistem panel, fasad, dan modul volumetrik.1 Keunggulannya diuraikan secara eksplisit: efisiensi yang didapat dari integrasi proses desain, manufaktur, dan konstruksi, yang menghasilkan penghematan waktu pengiriman, biaya yang lebih dapat diprediksi, dan dampak lingkungan yang lebih kecil.1 Paper ini secara kuantitatif menyoroti konsep
pre-manufactured value (PMV), yang dihitung sebagai nilai yang diciptakan dari pekerjaan yang diselesaikan di luar lokasi, menunjukkan hubungan kuat antara efisiensi dan nilai ekonomi.1
Meskipun demikian, paper ini secara cermat beralih dari manfaat ke tantangan inheren. Dikatakan bahwa MMC "memperkenalkan kompleksitas yang meningkat dan dapat menghadirkan tantangan bagi pendekatan regulasi bangunan tradisional" yang berfokus pada inspeksi di berbagai titik dalam proses konstruksi.1 Tantangan ini secara deskriptif dianalisis dalam tiga domain utama:
Pertama, tantangan yang terkait dengan ruang kosong (void spaces). Paper ini mengidentifikasi bahwa ruang kosong sering kali diperlukan untuk memfasilitasi koneksi antar modul. Ruang kosong ini dapat "berpotensi berfungsi sebagai jalan untuk penyebaran api, asap, dan gas panas".1 Contoh spesifik dari Kebakaran Hotel Moorfield di Inggris dan rumah modular di Massachusetts, AS, menunjukkan bagaimana api dapat menyebar secara tersembunyi di dalam rongga, yang sulit dikendalikan oleh pemadam kebakaran.1 Paper ini secara eksplisit menggarisbawahi bahwa masalah ini tidak baru, namun diperburuk oleh sifat konstruksi modular.1
Kedua, tantangan yang terkait dengan bahan mudah terbakar. Paper ini mengutip beberapa studi yang mengidentifikasi kekhawatiran terkait panel aluminium komposit (ACM), panel terintegrasi struktural (SIPs), dan sistem kayu massal.1 Contoh spesifik dan yang paling menonjol adalah
Kebakaran Menara Grenfell, di mana seorang saksi ahli, Luke Bisby, menyatakan bahwa penyebab utama penyebaran api yang cepat dan luas adalah "kehadiran kaset fasad ACM berisi polietilena".1 Temuan uji coba skala penuh di Worcester Polytechnic Institute (Meacham et al. 2017) menunjukkan bahwa dalam sebuah tes, api menembus dan membakar inti busa EPS pada panel SIPs, yang menyebabkan hilangnya aksi komposit dan berkurangnya kekakuan lentur struktural.1
Ketiga, tantangan yang terkait dengan sambungan (joints and connections). Paper ini mencatat bahwa kegagalan sambungan akibat api bukanlah masalah baru (mengutip contoh World Trade Center 5).1 Namun, masalah ini menjadi sangat relevan dalam konteks MMC, terutama dengan sistem kayu massal (cross-laminated timber - CLT). Ditemukan bahwa
pembakaran yang membara (smoldering) dapat terjadi di dalam kayu massal, di ruang kosong, atau di belakang penutup, yang dapat melemahkan sambungan dalam jangka panjang dan sulit dipadamkan karena suhu yang relatif rendah.1
Analisis ini menyimpulkan bahwa tantangan-tantangan teknis ini menciptakan masalah regulasi yang lebih besar. Karena banyak komponen MMC "tertutup dari pandangan" setelah fabrikasi di pabrik, inspeksi di lokasi yang menjadi tulang punggung regulasi tradisional menjadi tidak mungkin.1 Hal ini menempatkan penekanan yang jauh lebih besar pada perlunya sistem kontrol kualitas di pabrik.
II. Kontribusi Utama Paper terhadap Bidang Ilmu Pengetahuan
Kontribusi utama paper ini adalah pergeseran dari pembahasan teknis yang terisolasi menjadi analisis sistemik. Paper ini tidak hanya mengumpulkan fakta, tetapi juga mensintesis literatur yang ada untuk menyoroti "persimpangan" antara MMC, kinerja api, dan kontrol regulasi, yang belum dieksplorasi secara mendalam sebelumnya.1 Paper ini menerapkan pendekatan
sistem sosiologis-teknis (sociotechnical systems approach), yang menyarankan bahwa regulasi harus mempertimbangkan interaksi kompleks antara teknologi, aktor, dan institusi.1 Ini adalah wawasan tingkat kedua yang penting, yang mengubah masalah dari murni teknis menjadi multidimensi.
Paper ini juga secara unik membandingkan bagaimana tiga tipologi regulasi yang berbeda menangani tantangan MMC, yaitu preskriptif, fungsional dengan pengawasan ketat, dan fungsional dengan pengawasan minimal.1
● Pendekatan Preskriptif (AS): Menggunakan model seperti International Code Council (ICC)/Modular Building Institute (MBI) 1200 yang secara eksplisit mengamanatkan sistem Jaminan Kualitas/Kontrol Kualitas (QA/QC) untuk fabrikasi di luar lokasi, melengkapi inspeksi di lokasi.1
● Pendekatan Fungsional dengan Pengawasan Ketat (Singapura & Jepang): Memiliki kerangka akreditasi dan persetujuan yang ketat, seperti PPVC Acceptance Framework oleh Building and Construction Authority (BCA) di Singapura, yang memastikan kepatuhan melalui audit pihak ketiga dan persetujuan pemerintah yang berlapis.1
● Pendekatan Fungsional dengan Pengawasan Rendah (Inggris & Jerman): Lebih bergantung pada tanggung jawab pemilik/pengembang dan keahlian insinyur kebakaran yang kompeten untuk memastikan kepatuhan, dengan panduan yang kurang spesifik untuk MMC.1
III. Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka untuk Komunitas Riset
Paper ini secara jujur mengidentifikasi keterbatasan penelitiannya sendiri, yang membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan riset yang lebih dalam. Makalah ini mengakui bahwa tinjauan literatur yang dilakukan adalah "terfokus" dan survei yang dilakukan hanya "terbatas" pada anggota Komite Kolaborasi Regulasi Antar-yurisdiksi (IRCC).1 Ini menunjukkan bahwa ada celah yang dapat diisi oleh riset yang lebih luas dan komprehensif. Meskipun demikian, pertanyaan terbuka yang paling signifikan terletak pada inti argumen paper itu sendiri: konfluensi antara MMC, kinerja api, dan kontrol regulasi belum dieksplorasi secara mendalam.1 Paper ini telah berhasil mengidentifikasi bahwa masalah MMC bukanlah masalah yang terisolasi, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara desain, material, dan regulasi yang tidak memadai. Analisis mendalam tentang bagaimana satu data memengaruhi yang lain—misalnya, bagaimana desain ruang kosong yang buruk (desain) berinteraksi dengan bahan yang mudah terbakar (material) dan kurangnya inspeksi di pabrik (regulasi) untuk menciptakan kegagalan yang tidak dapat diprediksi—masih kurang kuantifikasinya. Oleh karena itu, pertanyaan terbuka yang sebenarnya adalah: bagaimana kita bisa beralih dari pemahaman bahwa masalah ini ada menjadi pemahaman tentang mekanisme sebab-akibat yang tepat dan dapat dikuantifikasi di dalam sistem yang kompleks ini? Ini menuntut penelitian yang tidak hanya deskriptif tetapi juga eksperimental dan analitis.
V. Kesimpulan dan Ajakan untuk Kolaborasi
Paper ini memberikan landasan yang kuat untuk memahami bahwa tantangan yang ditimbulkan oleh Metode Konstruksi Modern (MMC) terhadap keselamatan kebakaran bukanlah semata-mata masalah teknis, melainkan masalah institusional dan regulasi yang membutuhkan pergeseran paradigma.1 Kekuatan paper ini terletak pada kemampuannya untuk mengidentifikasi "titik buta" dalam sistem yang ada, bukan hanya insiden tunggal.1 Paper ini secara efektif memparalelkan masalah teknis yang tidak terpisahkan dari masalah regulasi, yang menjadi fondasi untuk arah riset di masa depan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai yurisdiksi yang disebutkan dalam paper. Kolaborasi antara Inter-jurisdictional Regulatory Collaboration Committee (IRCC), International Code Council (ICC)/Modular Building Institute (MBI) di Amerika Serikat, Building and Construction Authority (BCA) di Singapura, dan lembaga riset seperti Worcester Polytechnic Institute (WPI) dan Research Institutes of Sweden (RISE) akan memfasilitasi pertukaran data, praktik terbaik, dan pengembangan metodologi penelitian yang tangguh.
Referensi Utama
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Disrupsi mendadak terhadap pengajaran tatap muka yang dipicu oleh pandemi COVID-19 pada tahun 2020 tidak hanya menjadi tantangan teknis, tetapi juga sebuah krisis eksistensial bagi banyak pendidik di seluruh dunia. Tesis doktoral karya Plamen Stoynov Kushkiev yang berjudul, "A critical exploration of the evolving identity and online pedagogical realisations of an EAP teacher during the COVID-19 pandemic," menyajikan sebuah penyelidikan yang sangat personal dan mendalam terhadap fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa di tengah peralihan darurat ke pengajaran jarak jauh, banyak penelitian berfokus pada aspek teknis atau persepsi siswa, namun kurang mengeksplorasi secara mendalam pengalaman internal dan evolusi identitas para guru itu sendiri.
Kerangka teoretis penelitian ini secara solid berlabuh pada pedagogi kritis Freire, yang menekankan hubungan dialogis antara guru dan siswa, serta pada konsep identitas guru sebagai sebuah konstruk yang cair, dinegosiasikan, dan sering kali menjadi lokasi pertarungan internal. Dengan menggunakan lensa autoetnografi—sebuah metode yang secara sadar menempatkan pengalaman pribadi peneliti sebagai data utama—studi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk secara kritis mengeksplorasi bagaimana identitas profesional dan realisasi pedagogis penulis sebagai seorang guru English for Academic Purposes (EAP) di sebuah perguruan tinggi publik di Kanada berevolusi selama transisi yang dipaksakan ke lingkungan pengajaran daring.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi autoetnografi kualitatif, sebuah pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk secara sistematis menganalisis pengalaman pribadinya guna memahami fenomena budaya dan sosial yang lebih luas. Metode ini dipilih untuk menangkap nuansa dan kompleksitas dari pergulatan identitas yang tidak dapat diungkap oleh survei kuantitatif atau wawancara eksternal.
Pengumpulan data utama dilakukan melalui catatan jurnal guru (teacher journal entries) yang dibuat dalam dua periode waktu yang berbeda:
Tranche Pertama: Dibuat selama transisi darurat awal pada Maret 2020, menangkap kebingungan, tekanan, dan adaptasi awal.
Tranche Kedua: Dibuat satu tahun kemudian, pada Mei 2021, dalam sebuah kelas yang sejak awal dirancang untuk daring, memungkinkan refleksi yang lebih matang.
Analisis data dilakukan secara tematik dan linguistik, di mana penulis secara cermat mengkodekan entri jurnalnya dan menganalisis pola-pola yang muncul, termasuk penggunaan pronomina ("saya" vs. "kami") dan kala verba (verb tenses) untuk mengungkap pergeseran dalam persepsi diri dan praktik pedagogis.
Kebaruan dari karya ini terletak pada penggunaan autoetnografi yang berani dan reflektif dalam konteks pendidikan EAP. Dengan mengubah lensa dari "melihat keluar" menjadi "melihat ke dalam," penelitian ini memberikan sebuah kontribusi yang unik dan otentik, menyajikan potret yang hidup mengenai bagaimana krisis eksternal dapat memicu renegosiasi fundamental terhadap siapa diri seorang guru di dalam ruang kelas.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis reflektif terhadap catatan jurnal menghasilkan serangkaian temuan yang melukiskan gambaran kompleks mengenai dampak transisi daring terhadap identitas dan praktik pedagogis penulis.
Regresi menuju Pedagogi yang Didominasi Guru: Salah satu temuan yang paling menonjol adalah adanya pergeseran yang tidak diinginkan dari filosofi pengajaran yang berpusat pada siswa menuju model yang lebih didominasi oleh guru. Sebelum pandemi, penulis secara sadar berupaya untuk menjadi fasilitator kerja kelompok dan mengurangi waktu bicara guru. Namun, di bawah tekanan pengajaran daring, ia menemukan dirinya kembali ke kerangka pelajaran yang lebih tradisional dan sintetik, di mana penyampaian konten diprioritaskan di atas pendekatan instruksional dan kebutuhan pembelajar. Hal ini tercermin dalam entri jurnal seperti, "Saya tidak bisa mencakup semua materi karena saya merasa itu terlalu banyak untuk satu kelas."
Pergeseran Identitas dari Fasilitator menjadi Manajer: Perubahan pedagogis ini secara langsung berdampak pada identitas profesional penulis. Analisis linguistik terhadap penggunaan pronomina menunjukkan adanya pergeseran fokus dari "kami" (yang menyiratkan dinamika kelas yang kolaboratif) menjadi "saya" (yang memposisikan guru sebagai agen tunggal yang mengelola dan menyampaikan informasi). Penulis merasa bahwa kecenderungan yang ada dalam repertoar mengajarnya untuk mengadopsi posisi yang lebih dominan sebagai "Manajer" menjadi diperkuat oleh realitas baru pengajaran daring.
Identitas sebagai Lokasi Pertarungan Internal: Transisi ini tidak berjalan mulus, melainkan dialami sebagai sebuah lokasi pertarungan dan konflik internal antara berbagai faset identitas guru. Penulis secara konstan berjuang untuk mendamaikan siapa dirinya (identitas yang terwujud dan refleksif) dengan citra yang mungkin diproyeksikan kepada para siswanya. Pengalaman ini digambarkan sebagai sebuah proses "deskilling" atau penurunan keterampilan, khususnya dalam kemampuannya untuk menciptakan ruang pendidikan yang berpusat pada siswa di bawah keadaan yang baru.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa peralihan darurat ke pengajaran daring, tanpa persiapan atau deliberasi yang memadai, dapat secara signifikan mengikis praktik pedagogis progresif dan memaksa para pendidik untuk kembali ke mode "bertahan hidup" yang lebih instruksional dan berpusat pada guru.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi autoetnografis, keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sangat subjektif dan tidak dapat digeneralisasi. Pengalaman, refleksi, dan interpretasi yang disajikan adalah milik satu individu dalam satu konteks spesifik.
Secara kritis, meskipun tesis ini memberikan wawasan yang sangat kaya mengenai dunia internal seorang guru, ia secara alami kurang memberikan penekanan pada perspektif atau hasil belajar siswa. Hubungan antara perubahan identitas guru dengan pengalaman belajar siswa tetap menjadi area yang sebagian besar belum dieksplorasi dalam karya ini.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Ia menyoroti bahwa dukungan bagi para guru selama transisi digital harus melampaui sekadar pelatihan teknis mengenai penggunaan perangkat lunak. Diperlukan juga dukungan untuk mengatasi tantangan pedagogis, emosional, dan identitas yang menyertai perubahan mendasar dalam praktik mengajar.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif berfungsi sebagai sebuah provokasi. Sebagaimana dinyatakan oleh penulis, hasil yang disajikan dapat mendorong para guru EAP lainnya untuk mengevaluasi secara kritis persepsi mereka sendiri terhadap praktik di kelas melalui prisma identitas mereka yang terus berubah. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode kualitatif lain (seperti studi kasus multi-situs atau narasi) untuk mengeksplorasi apakah pola regresi pedagogis dan pertarungan identitas ini merupakan fenomena yang lebih luas di kalangan pendidik selama pandemi.
Sumber
Kushkiev, P. S. (2022). A critical exploration of the evolving identity and online pedagogical realisations of an EAP teacher during the COVID-19 pandemic: an autoethnographic study at a Canadian public college. Doctoral Thesis, The University of Sheffield.
Industry 4.0 & Manufaktur
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah gelombang disrupsi teknologi yang mendefinisikan ulang lanskap industri global—sebuah fenomena yang dikenal sebagai Revolusi Industri Keempat (4thIR)—industri konstruksi sering kali dipersepsikan sebagai sektor yang lamban dalam beradaptasi. Karya T. O. Ayodele dan K. Kajimo-Shakantu yang berjudul, "The fourth industrial revolution (4thIR) and the construction industry - the role of data sharing and assemblage," secara tajam menginvestigasi salah satu prasyarat paling fundamental namun sering kali terabaikan untuk transformasi ini: data.
Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa meskipun 4thIR, dengan otomatisasi dan digitalisasinya, menawarkan potensi efisiensi yang luar biasa, realisasinya di sektor konstruksi sangat bergantung pada ketersediaan, aksesibilitas, dan perakitan data yang efektif. Kerangka teoretis yang diusung oleh para penulis memposisikan berbagi dan perakitan data bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai sebuah keharusan strategis. Hipotesis implisit yang mendasari studi ini adalah bahwa tanpa adanya perubahan fundamental dalam cara para pemangku kepentingan mengelola dan berbagi data, industri konstruksi akan terus tertinggal dan gagal memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh 4thIR. Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan krusial (nexus) antara praktik berbagi dan perakitan data dengan kesiapan industri konstruksi untuk menghadapi 4thIR.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi berbasis meja (desk-based study), yang secara esensial merupakan sebuah tinjauan literatur sistematis. Pendekatan ini memungkinkan sintesis pengetahuan dari berbagai penelitian sekunder yang telah ada untuk membangun sebuah argumen yang koheren. Proses metodologisnya melibatkan penelaahan terhadap literatur yang relevan mengenai peran data dalam mendorong otomatisasi di sektor konstruksi, tantangan-tantangan yang melekat dalam perakitan data, serta manfaat dari berbagi data bagi para pemangku kepentingan.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengumpulan data empiris baru, melainkan pada kontribusinya sebagai salah satu upaya awal untuk secara eksplisit membingkai kesiapan industri konstruksi menghadapi 4thIR dari perspektif kebutuhan data dan informasi. Dengan memetakan secara sistematis penghalang dan pendorong yang terkait dengan data, penelitian ini memberikan sebuah diagnosis konseptual yang berharga mengenai salah satu hambatan paling fundamental dalam proses digitalisasi sektor ini.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah studi literatur, temuan utama dari penelitian ini adalah identifikasi dan kategorisasi dari faktor-faktor kunci yang mempengaruhi ekosistem data di industri konstruksi.
Penghalang Sistemik terhadap Berbagi Data: Tinjauan literatur mengungkap adanya serangkaian hambatan yang bersifat struktural dan kultural, yang secara signifikan menghambat aliran data yang bebas dan efisien. Faktor-faktor ini antara lain:
Sifat Data yang Tidak Terstruktur: Data dalam proyek konstruksi sering kali datang dalam berbagai format yang tidak standar, sehingga sulit untuk diintegrasikan dan dianalisis secara sistematis.
Operasi Silo (Silo Operation): Industri konstruksi secara tradisional beroperasi dalam silo-silo disiplin (arsitek, insinyur, kontraktor) yang terpisah, di mana setiap pihak cenderung menyimpan datanya sendiri. Praktik ini secara fundamental bertentangan dengan kebutuhan akan platform data yang terintegrasi.
Masalah Kerahasiaan dan Keuntungan Pribadi: Data sering kali dianggap sebagai aset kompetitif yang berharga. Kekhawatiran akan kerahasiaan dan keinginan untuk mempertahankan keunggulan kompetitif atau keuntungan pribadi membuat banyak perusahaan enggan untuk berbagi data secara terbuka.
Manfaat Strategis dari Berbagi Data: Di sisi lain, penelitian ini menegaskan bahwa mengatasi hambatan-hambatan tersebut akan membuka serangkaian manfaat strategis yang signifikan. Manfaat utama yang diidentifikasi adalah peningkatan kepatuhan digital dan teknologi di dalam industri. Berbagi data yang efektif juga terbukti dapat mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan kolaborasi antar pemangku kepentingan, dan pada akhirnya meningkatkan kinerja proyek secara keseluruhan, yang memungkinkan perusahaan untuk tetap kompetitif di pasar yang semakin terdigitalisasi.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini melukiskan sebuah gambaran di mana budaya industri yang ada saat ini—yang ditandai oleh fragmentasi dan kurangnya kepercayaan—merupakan penghalang terbesar bagi kemajuan teknologi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu bahwa studi ini merupakan bagian dari sebuah penelitian empiris yang lebih besar yang sedang berlangsung, dan temuan yang disajikan merupakan agregasi dari perspektif yang ada dalam studi-studi sebelumnya.
Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa karena sifatnya sebagai tinjauan literatur, penelitian ini berhasil dalam memetakan "apa" saja penghalang dan manfaatnya, namun tidak dapat memberikan wawasan mendalam mengenai "mengapa" dan "bagaimana" dinamika ini terjadi dalam konteks spesifik (misalnya, di Afrika Selatan, tempat penulis berafiliasi). Studi ini mengidentifikasi masalah pada tingkat konseptual, namun investigasi empiris lebih lanjut diperlukan untuk memahami nuansa implementasi di lapangan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas. Ia berfungsi sebagai sebuah "panggilan untuk bertindak" (call to action) bagi industri konstruksi. Pesan utamanya adalah bahwa untuk dapat berpartisipasi penuh dalam 4thIR, industri harus terlebih dahulu merevolusi cara mereka mengelola dan berbagi data. Ini menuntut adanya upaya bersama untuk mengembangkan standar data, membangun platform kolaboratif, dan menciptakan kerangka kerja berbasis kepercayaan.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi konseptual yang kokoh. Langkah berikutnya yang paling logis adalah pelaksanaan penelitian empiris yang telah direncanakan oleh penulis. Studi selanjutnya harus berfokus pada investigasi mendalam terhadap penghalang-penghalang ini melalui studi kasus pada perusahaan-perusahaan konstruksi, serta merancang dan menguji model-model berbagi data baru yang dapat mengatasi masalah kerahasiaan dan persaingan sambil tetap mendorong kolaborasi.
Sumber
Ayodele, T. O., & Kajimo-Shakantu, K. (2021). The fourth industrial revolution (4thIR) and the construction industry - the role of data sharing and assemblage. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 654, 012013. https://doi.org/10.1088/1755-1315/654/1/012013