Mengapa K3 di Rumah Sakit Daerah Masih Berisiko Tinggi? Mengurai Temuan dan Arah Riset ke Depan

Dipublikasikan oleh Raihan

22 September 2025, 16.30

Freepik.com

Pendahuluan

Sektor kesehatan, khususnya di lingkungan rumah sakit, menghadapi risiko pekerjaan yang kompleks dan multidimensional. Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 2.78 juta pekerja di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan.1 Di Indonesia, data BPJS Ketenagakerjaan di Sumatera Barat mencatat lonjakan kasus kecelakaan kerja yang signifikan, dari 114.000 kasus pada 2019 menjadi 177.000 kasus pada rentang Januari hingga Oktober 2020, sebuah tren yang menggarisbawahi urgensi masalah ini.1 Dalam konteks ini, penelitian yang berjudul "Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung" (JIK, 2022) bertujuan untuk menginvestigasi pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) di RSUD Sijunjung.1

Penelitian ini mengadopsi pendekatan mixed-method concurrent embedded, yang menggabungkan studi kualitatif fenomenologis untuk mendeskripsikan pandangan informan dengan pendekatan kuantitatif deskriptif menggunakan kuesioner.1 Pendekatan metodologi ganda ini memungkinkan para peneliti untuk menangkap tidak hanya data statistik tentang keberhasilan atau kegagalan program, tetapi juga konteks dan narasi di baliknya. Temuan penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kesenjangan antara kebijakan yang ada dan implementasi di lapangan, yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan kasus kecelakaan kerja yang dilaporkan di RSUD Sijunjung dari tahun 2017 hingga 2020.1

 

Jalur Temuan: Analisis Komponen K3RS di RSUD Sijunjung

Analisis penelitian ini mengikuti kerangka manajemen K3RS yang terdiri dari tiga komponen utama: Input, Proses, dan Output. Temuan menunjukkan adanya kelemahan di setiap tahapan, yang secara kumulatif menjelaskan kondisi program yang tidak optimal.

 

Komponen Input

Pada tahap input, penelitian ini menyoroti beberapa temuan kritis. Meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kebijakan K3RS dalam bentuk surat keputusan dan SOP yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016, pelaksanaannya dinilai belum optimal karena sosialisasi yang tidak konsisten.1 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan tertulis saja tidak menjamin implementasi yang efektif. Keterbatasan lainnya terdapat pada sumber daya manusia (SDM). RSUD Sijunjung hanya memiliki satu orang ahli K3RS yang sudah bersertifikat, namun kuantitas ini tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/2010.1 Lebih jauh lagi, personil K3RS tersebut memiliki tanggung jawab pekerjaan ganda sehingga tidak dapat bekerja purna waktu.1 Situasi ini merupakan akar masalah yang menjelaskan mengapa elemen manajemen K3 lainnya seperti sosialisasi kebijakan dan pengawasan belum berjalan efektif. Kekurangan SDM yang berfokus penuh pada K3RS memicu serangkaian kegagalan sistemik, mulai dari kurangnya pengawasan rutin hingga kegagalan dalam melakukan manajemen risiko yang komprehensif.

Aspek pendanaan juga menjadi kendala. RSUD Sijunjung belum memiliki alokasi dana khusus per unit atau instalasi, melainkan menganggarkannya secara keseluruhan dalam rapat kerja tahunan.1 Penganggaran yang terpusat ini dapat membatasi fleksibilitas unit-unit kerja untuk mengatasi risiko spesifik yang mereka hadapi. Di sisi prasarana, meskipun alat pelindung diri (APD) dan alat pemadam api ringan (APAR) tersedia, jumlahnya belum mencukupi untuk seluruh gedung dan perlu diganti secara berkala.1 Secara spesifik, penelitian ini mencatat ketiadaan pintu darurat dan jalur evakuasi yang jelas di area berisiko tinggi seperti ruang OK (kamar operasi).1

 

Komponen Proses

Proses manajemen K3RS di RSUD Sijunjung juga menghadapi tantangan signifikan. Manajemen risiko, yang menjadi bagian terpenting dari program, belum dilaksanakan secara komprehensif sesuai dengan PMK 66 Tahun 2016.1 Meskipun ada kebijakan sejak tahun 2012, kurangnya identifikasi bahaya dan dokumentasi menjadi faktor kunci, yang kontras dengan peningkatan laporan kecelakaan kerja setiap tahunnya.1 Dalam hal pelayanan kesehatan kerja, penelitian mencatat bahwa upaya ini masih sangat minim. Meskipun rumah sakit berencana menganggarkan

medical check up (MCU) untuk pegawai di area berisiko tinggi, kegiatan promotif seperti kebugaran fisik dan mental, serta kegiatan preventif seperti imunisasi dan surveilans lingkungan, belum terimplementasi secara menyeluruh.1

Meskipun RSUD Sijunjung memiliki SOP untuk pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), masih terdapat kekurangan pada simbol dan rambu-rambu.1 Demikian pula, sistem pencegahan dan pengendalian kebakaran belum optimal karena tidak adanya peta jalur evakuasi dan titik kumpul yang jelas di setiap gedung.1 Secara umum, meskipun ada upaya untuk mengelola prasarana dan peralatan medis, penelitian menunjukkan bahwa implementasi proses inti ini masih memerlukan perbaikan dan pengawasan yang lebih ketat.

 

Komponen Output dan Temuan Kuantitatif

Secara keseluruhan, penelitian menyimpulkan bahwa komponen output—yang seharusnya mencerminkan keberhasilan implementasi—dinilai "belum optimal".1 Hal ini secara kuantitatif didukung oleh temuan deskriptif yang menunjukkan kurangnya pelaksanaan program K3 dari sudut pandang responden.

Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa 90% responden menyatakan pelaksanaan program kesehatan kerja di RSUD Sijunjung tidak baik, sementara hanya 10% yang menyatakan sebaliknya.1 Angka ini menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang sangat tinggi terhadap upaya kesehatan kerja. Untuk program keselamatan kerja, angkanya sedikit lebih baik, namun masih mengkhawatirkan:

80% responden menyatakan pelaksanaannya tidak baik, berbanding terbalik dengan hanya 20% yang menyatakan baik.1

Perlu dicatat adanya inkonsistensi data kuantitatif dalam abstrak paper itu sendiri, di mana abstrak berbahasa Indonesia mencantumkan 80% responden menyatakan minimnya pelaksanaan program kesehatan kerja, sementara abstrak berbahasa Inggris mencantumkan 90%.1 Meskipun kedua angka menunjukkan masalah yang serius, ketidakcocokan ini menunjukkan perlunya validasi data dan metodologi yang lebih ketat dalam penelitian lanjutan.

Survei ini melibatkan 31 responden, dengan mayoritas (67.7%) adalah perempuan, berusia antara 36-45 tahun (67.7%), dan memiliki pendidikan S1 (64.5%). Sebagian besar responden (87.1%) memiliki pengalaman kerja lebih dari 6 tahun.1

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Meskipun terfokus pada studi kasus tunggal, penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman implementasi K3RS di Indonesia, khususnya di konteks rumah sakit kelas C. Penelitian ini tidak hanya mengonfirmasi tantangan yang telah diidentifikasi dalam literatur lain, seperti kurangnya SDM dan pendanaan, tetapi juga memberikan validasi empiris yang spesifik.1 Pendekatan

mixed-method memberikan keunggulan analitis yang memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi bukan hanya apa yang salah, tetapi juga mengapa hal itu terjadi. Dengan menggabungkan data statistik dengan narasi dari wawancara, penelitian ini memberikan gambaran holistik tentang hambatan implementasi K3RS, mulai dari masalah struktural (SDM, dana) hingga masalah operasional (sosialisasi, pengawasan). Dengan demikian, studi ini berfungsi sebagai studi diagnostik yang berharga, yang mengidentifikasi celah-celah kritis yang memerlukan perhatian segera dan penyelidikan lebih lanjut oleh komunitas akademis.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Setiap penelitian memiliki keterbatasan, dan analisis ini mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan pertimbangan dalam penelitian berikutnya. Pertama, ukuran sampel kuantitatif yang relatif kecil (hanya 31 responden) dan kualitatif (7 informan) membatasi kemampuan untuk menggeneralisasi temuan ke populasi RSUD Sijunjung yang lebih besar (153 orang) atau, lebih jauh lagi, ke rumah sakit lain di Indonesia.1 Kedua, sifat studi kasus tunggal pada satu rumah sakit juga membatasi generalisasi; temuan ini mungkin unik untuk RSUD Sijunjung dan tidak representatif untuk rumah sakit lain, baik di kelas yang sama maupun yang berbeda.1 Ketiga, seperti yang telah dicatat, adanya inkonsistensi data kuantitatif di dalam abstrak itu sendiri memunculkan pertanyaan tentang validitas data dan konsistensi analisis.1

Keterbatasan ini membuka jalan untuk pertanyaan-pertanyaan penelitian yang krusial. Misalnya, apakah masalah yang ditemukan di RSUD Sijunjung, seperti kurangnya personel K3 purna waktu, merupakan masalah sistemik di sebagian besar rumah sakit kelas C di Indonesia? Apakah terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi pelaksanaan K3RS antara staf medis dan non-medis, atau antara staf dengan masa kerja yang lama dan yang baru? Faktor apa saja yang paling kuat memengaruhi keberhasilan sosialisasi kebijakan K3RS? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih terstruktur dan berwawasan.

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan keterbatasan dan pertanyaan terbuka dari paper ini, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat memajukan pemahaman dan praktik K3RS di Indonesia.

  1. Studi Komparatif Implementasi K3RS Lintas Kelas Rumah Sakit.
    Metode: Penelitian mixed-method yang sama, tetapi diterapkan di tiga kategori rumah sakit: Kelas A, B, dan C.
    Variabel Baru: Membandingkan ketersediaan dan implementasi K3RS berdasarkan kelas rumah sakit, termasuk variabel pembanding seperti rasio SDM K3 per jumlah pegawai, alokasi anggaran K3, dan tingkat kepatuhan terhadap PMK 66/2016.
    Justifikasi Ilmiah: Justifikasi untuk penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan sistemik dan praktik terbaik yang dapat diadopsi, serta untuk memahami apakah masalah yang ditemukan di RSUD Sijunjung merupakan karakteristik rumah sakit kelas C secara umum atau masalah spesifik di lokasi tersebut. Temuan ini dapat memberikan panduan kebijakan yang lebih bertarget untuk Kementerian Kesehatan.
  2. Penelitian Evaluasi Intervensi Pendidikan dan Pelatihan K3RS.
    Metode: Studi kuasi-eksperimental dengan desain pra-pasca (pre-post design) di mana satu unit kerja (kelompok intervensi) diberikan pelatihan K3 yang komprehensif, sementara unit lain (kelompok kontrol) tidak.
    Variabel Baru: Mengukur variabel perilaku seperti kepatuhan penggunaan APD, tingkat pelaporan insiden, dan pengetahuan tentang prosedur darurat sebelum dan sesudah intervensi.
    Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa sosialisasi kebijakan kurang optimal 1 mengindikasikan perlunya intervensi. Penelitian ini akan secara empiris mengukur efektivitas intervensi pendidikan dan pelatihan yang ditargetkan dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik K3 staf.
  3. Analisis Jalur (Path Analysis) Faktor-faktor Determinan Kinerja K3RS.
    Metode: Penelitian kuantitatif dengan sampel yang lebih besar, menggunakan survei terstruktur dan data sekunder (laporan insiden).
    Variabel Baru: Memasukkan variabel independen seperti ketersediaan SDM K3 purna waktu, alokasi dana khusus, frekuensi sosialisasi, dan kepemimpinan manajemen K3RS. Variabel dependennya adalah kinerja K3RS (misalnya, angka insiden/kecelakaan kerja).
    Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi beberapa faktor bermasalah 1 tetapi tidak mengukur dampak relatifnya. Analisis jalur akan membantu mengidentifikasi faktor mana yang memiliki pengaruh kausal paling kuat terhadap kinerja K3RS secara keseluruhan, sehingga investasi sumber daya dapat difokuskan pada area yang paling berdampak.
  4. Studi Fenomenologi Mendalam tentang Hambatan Implementasi Manajemen Risiko.
    Metode: Penelitian kualitatif murni dengan wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
    Variabel Baru: Konteks sosio-kultural di lingkungan kerja, persepsi risiko oleh staf di tingkat operasional, dan dinamika kekuasaan dalam pengambilan keputusan manajemen risiko.
    Justifikasi Ilmiah: Meskipun paper mengidentifikasi tidak adanya manajemen risiko yang optimal 1, alasannya belum sepenuhnya dijelaskan. Pendekatan fenomenologi akan menggali narasi dan pengalaman staf untuk mengungkap hambatan-hambatan tersembunyi seperti kurangnya kepercayaan pada sistem, ketakutan untuk melaporkan insiden, atau norma-norma budaya yang menghambat kepatuhan.
  5. Studi Kohort Longitudinal terhadap Dampak Program K3.
    Metode: Studi kohort prospektif yang melacak sekelompok staf RSUD Sijunjung atau rumah sakit serupa dari waktu ke waktu.
    Variabel Baru: Melacak insiden kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta mengukur variabel perilaku dan sikap secara berkala, selama satu tahun atau lebih.
    Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi tren peningkatan kecelakaan kerja dari 2017-2020.1 Penelitian kohort akan memberikan pemahaman yang lebih granular tentang tren ini dan memungkinkan para peneliti untuk mengukur dampak jangka panjang dari setiap intervensi atau perubahan kebijakan yang mungkin diterapkan oleh pihak rumah sakit.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kerangka kebijakan K3RS, kesenjangan yang signifikan dalam hal SDM, alokasi dana, dan implementasi proses inti seperti manajemen risiko dan pelayanan kesehatan telah menyebabkan kinerja program yang tidak optimal dan peningkatan angka kecelakaan. Meskipun hasil penelitian ini terbatas pada satu institusi, temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat untuk perbaikan kebijakan dan praktik, serta menjadi katalis untuk agenda penelitian yang lebih luas di bidang kesehatan masyarakat.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Kolaborasi ini idealnya melibatkan Universitas Andalas (sebagai institusi akademis yang telah memulai studi ini), Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung (sebagai mitra praktisi untuk implementasi dan pengujian intervensi), dan lembaga-lembaga yang menyediakan data makro dan kerangka kebijakan seperti Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau BPJS Ketenagakerjaan.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.33757/jik.v6i2.580