Mengapa Implementasi P3K di Industri Kapal Indonesia Jauh dari Ideal?

Dipublikasikan oleh Raihan

22 September 2025, 16.03

pexels.com

Pendahuluan dan Konteks Penelitian

Tingkat keparahan kecelakaan kerja merupakan salah satu indikator utama dari efektivitas manajemen keselamatan di sebuah perusahaan. Upaya untuk meminimalisir dampak dari insiden ini secara fundamental bergantung pada implementasi Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) yang cepat dan tepat.1 Perawatan yang diberikan segera setelah cedera dapat menjadi penentu kritis antara pemulihan yang cepat atau konsekuensi yang lebih serius, bahkan antara hidup dan mati.1 Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap penerapan P3K di lingkungan kerja berisiko tinggi adalah sebuah keharusan.

Secara global, data dari International Labour Organization (ILO) tahun 2018 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: lebih dari 2,78 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan, dengan tambahan 374 juta cedera non-fatal.1 Kawasan Asia dan Pasifik menyumbang dua pertiga dari total kematian ini. Konteks nasional di Indonesia juga tidak kalah genting. Data BPJS Ketenagakerjaan dari tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan fluktuasi angka kecelakaan yang tinggi, mencapai 123.000 kasus pada tahun 2017.1 Data regional bahkan menyoroti situasi yang lebih parah, dengan Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Selatan mencatat lonjakan dramatis hingga 24.910 kasus pada tahun 2014, menjadikannya provinsi dengan angka kecelakaan tertinggi pada tahun tersebut.1

Mengingat urgensi tersebut, penelitian ini memfokuskan analisis pada sebuah perusahaan konstruksi kapal di Makassar, PT. Industri Kapal Indonesia. Latar belakang penelitian ini diperkuat oleh data internal perusahaan yang menunjukkan tren peningkatan kasus kecelakaan kerja dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari 2 kasus pada tahun 2012 menjadi 7 kasus pada tahun 2015.1 Peningkatan signifikan ini secara empiris menjustifikasi kebutuhan untuk mengkaji secara spesifik bagaimana sistem P3K di perusahaan tersebut diimplementasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan P3K di industri yang memiliki kompleksitas dan risiko bahaya kerja yang tinggi, serta mengidentifikasi kesenjangan antara regulasi yang ada dengan praktik di lapangan.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian kualitatif-deskriptif ini memberikan kontribusi yang substansial dengan secara rinci memetakan ketidaksesuaian yang signifikan antara kepatuhan terhadap peraturan formal dan implementasi praktis di lapangan dalam industri konstruksi kapal di Makassar.1 Analisis ini melampaui sekadar mengonfirmasi adanya masalah, tetapi juga mengidentifikasi akar permasalahan yang bersifat manajerial, prosedural, dan kultural yang menciptakan jurang antara kebijakan dan praktik.

Temuan kunci pertama berpusat pada peran petugas P3K. Meskipun jumlah petugas P3K di perusahaan, yaitu 5 orang untuk 177 pekerja, telah memenuhi persyaratan kuantitatif yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, efektivitas operasional mereka terhambat oleh kegagalan sistemik.1 Penelitian ini secara kontradiktif menemukan adanya kurangnya pemantauan yang memadai dari penanggung jawab, tidak adanya tanda pengenal khusus bagi petugas di lapangan, dan ketiadaan buku laporan kegiatan P3K yang seharusnya menjadi alat dokumentasi esensial.1 Situasi ini mengindikasikan adanya "kesenjangan kepatuhan-implementasi" yang krusial. Perusahaan memenuhi persyaratan statis dengan merekrut jumlah petugas yang memadai, namun gagal dalam aspek kualitatif yang dinamis, seperti pengawasan, identifikasi, dan dokumentasi yang terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa audit kepatuhan yang hanya berbasis daftar periksa (checklist) tidak cukup untuk memastikan keselamatan kerja yang berkelanjutan; diperlukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap proses dan perilaku.

Aspek kedua yang menjadi sorotan adalah pelatihan dan sertifikasi petugas P3K. Penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar petugas (3 dari 5 orang) belum pernah mengikuti pelatihan khusus P3K, dan tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki lisensi atau sertifikat resmi.1 Temuan ini tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tetapi juga menciptakan risiko langsung terhadap respons kecelakaan. Penanganan yang tidak didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan yang terstandardisasi berpotensi memperparah cedera, bukan menyembuhkannya.1 Penegasan akan urgensi pelatihan ini didukung oleh temuan dari penelitian lain yang dikutip dalam paper, di mana pelatihan P3K terbukti meningkatkan pengetahuan peserta secara signifikan, dari rata-rata 65,75% sebelum pelatihan menjadi 89,75% sesudahnya, dengan nilai p-value 0.000, yang menunjukkan perbedaan rerata yang sangat signifikan.1 Data kuantitatif dari studi eksternal ini secara kuat mendukung justifikasi ilmiah akan perlunya pendidikan dan sertifikasi P3K yang wajib dan berkelanjutan.

Selanjutnya, penelitian ini secara rinci menguraikan kekurangan pada sarana dan prasarana P3K yang disediakan perusahaan.1

  • Ruang P3K: Tidak ada ruang khusus P3K yang tersedia di lokasi produksi. Meskipun perusahaan memiliki poliklinik, jaraknya dari area produksi cukup jauh.1 Hal ini menciptakan dikotomi antara ketersediaan dan aksesibilitas. Keberadaan poliklinik menjadi tidak efektif untuk penanganan darurat yang membutuhkan respons segera di lokasi kejadian.
  • Kotak P3K: Berdasarkan observasi, kotak P3K yang ada terbuat dari bahan plastik, tidak portabel, dan isinya tidak sesuai dengan standar yang berlaku.1 Ditemukan adanya bungkus makanan di dalamnya, isi yang tidak merata di setiap bagian produksi, dan ketiadaan buku panduan atau buku catatan kegiatan.1 Kurangnya perawatan dan isi yang tidak standar ini bukan hanya masalah ketidakpatuhan, tetapi juga mencerminkan budaya organisasi yang tidak memprioritaskan pemeliharaan alat-alat keselamatan. Kehadiran "pembungkus makanan" di dalam kotak P3K secara metaforis menunjukkan minimnya pengawasan dan penghormatan terhadap perlengkapan keselamatan yang vital.
  • Alat Evakuasi dan Transportasi: Ketiadaan tandu sebagai alat evakuasi dan tidak adanya mobil ambulans untuk merujuk korban.1 Penelitian menemukan bahwa mobil transportasi yang disediakan sejak tahun 2015 kini tidak dapat beroperasi karena kurangnya perawatan.1 Kondisi ini menggarisbawahi kegagalan dalam siklus manajemen aset K3. Investasi awal dalam fasilitas tidak diikuti dengan perawatan berkelanjutan, yang menunjukkan bahwa komitmen terhadap keselamatan bersifat reaksioner dan tidak terintegrasi dalam operasional sehari-hari.

Secara keseluruhan, temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa pemenuhan standar P3K tidak hanya sebatas menyediakan kuantitas personel yang sesuai, melainkan juga menuntut sistem manajemen yang terstruktur dan budaya organisasi yang mendukung keselamatan kerja secara holistik.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi P3K di satu perusahaan, terdapat beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui.1 Pertama, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, yang memungkinkan pemetaan rinci kondisi lapangan tetapi tidak dapat membangun hubungan kausalitas yang kuat. Artinya, kita tidak dapat secara definitif mengklaim bahwa kekurangan dalam P3K

menyebabkan peningkatan kecelakaan kerja, meskipun korelasi logisnya sangat kuat.

Kedua, lingkup penelitian yang terbatas pada satu perusahaan di Makassar membatasi generalisasi temuan. Meskipun kondisi yang ditemukan mungkin serupa dengan perusahaan lain di industri yang sama, validitasnya tidak dapat digeneralisasi tanpa penelitian dengan sampel yang lebih besar dan beragam.1 Selain itu, paper ini juga menyebutkan keterbatasan akses akibat pandemi COVID-19 yang membatasi kedalaman observasi lapangan, terutama pada bagian kotak P3K dan area kerja lainnya.1

Berdasarkan keterbatasan dan temuan yang ada, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk riset di masa mendatang:

  1. Apa faktor-faktor manajerial dan budaya organisasi yang menyebabkan kurangnya pengawasan, meskipun jumlah petugas sudah memadai? Apakah ini terkait dengan beban kerja, struktur hierarki, atau kurangnya akuntabilitas?
  2. Apakah terdapat korelasi kuantitatif yang signifikan antara tingkat kepatuhan P3K (misalnya, frekuensi pengawasan, kepemilikan sertifikat, kelengkapan fasilitas) dengan penurunan tingkat keparahan kecelakaan dan waktu respons?
  3. Bagaimana persepsi dan pengetahuan pekerja tentang P3K memengaruhi perilaku mereka dalam mematuhi protokol keselamatan dan penggunaan alat pelindung diri (APD)?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Kelima rekomendasi berikut disusun untuk menanggapi temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam penelitian ini, bertujuan untuk memajukan pemahaman dan praktik K3 di industri konstruksi kapal dan sektor lainnya.

  1. Studi Korelasional Kuantitatif tentang Keterkaitan P3K dan Indikator Kinerja K3
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini menyajikan tren peningkatan kecelakaan di PT. Industri Kapal Indonesia sebagai konteks, tetapi tidak menguji hubungan sebab-akibat. Penelitian kuantitatif diperlukan untuk mengukur secara statistik hubungan antara variabel implementasi P3K (misalnya, frekuensi pengawasan, kepemilikan sertifikat, kelengkapan fasilitas) dengan variabel hasil (misalnya, tingkat keparahan kecelakaan, jumlah hari kerja yang hilang).
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menggunakan desain penelitian korelasional atau kuasi-eksperimental dengan sampel yang lebih besar, mencakup beberapa perusahaan konstruksi kapal di Indonesia. Variabel independen akan mencakup kualitas implementasi P3K, sementara variabel dependennya adalah metrik K3 yang terukur.
    • Tautan ke Penelitian Saat Ini: Penelitian ini akan mengambil temuan kualitatif paper yang ada (kekurangan dalam pengawasan, pelatihan, fasilitas) dan mengkuantifikasikannya untuk membuktikan dampak nyata dan meyakinkan pemangku kepentingan industri.
  2. Analisis Kualitatif Mendalam tentang Hambatan Perilaku dan Budaya dalam Penerapan P3K
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini menyentuh aspek kurangnya kesadaran dan kedisiplinan, namun tidak menggali lebih dalam.1 Diperlukan pemahaman yang lebih kaya mengenai alasan di balik perilaku ini. Hambatan nyata seringkali bukan hanya kurangnya sumber daya, tetapi juga norma sosial, persepsi risiko yang menyimpang, dan beban kerja yang tinggi yang mengesampingkan prioritas keselamatan.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menggunakan pendekatan etnografi atau fenomenologi untuk melakukan observasi partisipatif dan wawancara mendalam dengan pekerja, petugas K3, dan manajemen. Fokusnya adalah pada variabel-variabel budaya dan perilaku, seperti motivasi, persepsi risiko, kepercayaan terhadap sistem P3K, dan interaksi sosial di tempat kerja.
    • Tautan ke Penelitian Saat Ini: Rekomendasi ini akan melengkapi temuan paper ini mengenai "kesenjangan kepatuhan-implementasi" dengan menjelaskan mengapa kesenjangan itu terjadi dari sudut pandang manusia dan budaya.
  3. Pengembangan dan Uji Coba Model Intervensi Pelatihan P3K Berbasis Digital
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan paper menunjukkan bahwa kurangnya sertifikasi dan waktu yang terbatas untuk pelatihan adalah hambatan utama bagi petugas P3K.1 Mengingat hasil uji test dari penelitian Nilamsari (2018) yang dikutip dalam paper ini, di mana pengetahuan P3K meningkat dari 65,75% menjadi 89,75% (p = 0.000) setelah pelatihan, validasi model pelatihan yang lebih efisien dan dapat diakses (misalnya, modul daring) sangat diperlukan.1
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Desain riset intervensi kuasi-eksperimental dengan pre-test dan post-test untuk membandingkan efektivitas modul pelatihan P3K konvensional vs. modul berbasis digital (misalnya, simulasi interaktif atau video). Variabel utama adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diukur melalui tes dan penilaian praktis.
    • Tautan ke Penelitian Saat Ini: Rekomendasi ini secara langsung menawarkan solusi praktis untuk masalah yang diidentifikasi dalam paper, yaitu ketiadaan waktu dan akses terhadap pelatihan P3K bersertifikasi.
  4. Studi Komparatif untuk Mengidentifikasi Praktik Terbaik P3K di Sektor Maritim Global
    • Justifikasi Ilmiah: Karena penelitian ini berfokus pada satu perusahaan di Makassar, generalisasi dan identifikasi "praktik terbaik" yang dapat diadaptasi menjadi terbatas. Dengan melakukan studi komparatif dengan perusahaan di negara lain yang memiliki standar K3 yang lebih maju, kita dapat mengidentifikasi model, kebijakan, dan inovasi yang berhasil diterapkan.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Analisis komparatif kasus (case study) dengan menggunakan kerangka regulasi dan data implementasi dari beberapa negara atau perusahaan terkemuka di sektor konstruksi kapal. Variabel pembanding akan mencakup struktur organisasi K3, sistem pelatihan, teknologi yang digunakan, dan metrik kinerja keselamatan.
    • Tautan ke Penelitian Saat Ini: Penelitian ini akan memperluas wawasan yang diperoleh dari paper ini dengan menyajikan "cetak biru" yang teruji secara global, menjembatani celah antara apa yang ada di Indonesia dan apa yang mungkin terjadi.
  5. Analisis Dampak Ekonomi dari Penerapan P3K yang Komprehensif
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini berfokus pada kepatuhan dan fasilitas, namun implikasi finansialnya belum dieksplorasi.1 Justifikasi ilmiah dan praktis untuk peningkatan P3K akan jauh lebih kuat jika didukung oleh data
      Return on Investment (ROI) dari investasi K3. Investasi awal dalam fasilitas dan pelatihan P3K seringkali dianggap sebagai biaya, bukan investasi.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Riset kuantitatif dengan pendekatan analisis biaya-manfaat. Metrik biaya akan mencakup biaya investasi P3K (pelatihan, peralatan, personel), sedangkan metrik manfaat akan mencakup penghematan yang diperoleh dari penurunan angka kecelakaan kerja (misalnya, klaim asuransi yang lebih rendah, biaya pengobatan yang berkurang, hilangnya waktu produksi yang minimal).
    • Tautan ke Penelitian Saat Ini: Rekomendasi ini akan memberikan argumen yang kuat dan berbasis data bagi manajemen perusahaan dan badan pemberi hibah untuk menginvestasikan lebih banyak pada sistem K3, dengan menunjukkan bahwa keselamatan yang lebih baik juga merupakan keputusan bisnis yang cerdas.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai tantangan dalam penerapan P3K di industri konstruksi kapal Makassar. Temuan menunjukkan bahwa meskipun kepatuhan formal ada dalam beberapa aspek, implementasi praktisnya masih jauh dari standar yang ditetapkan, terutama dalam hal pengawasan, pelatihan petugas, dan ketersediaan serta kualitas fasilitas P3K. Kesenjangan antara kebijakan dan praktik ini berpotensi meningkatkan risiko dan tingkat keparahan kecelakaan di lingkungan kerja.

Berdasarkan temuan ini, penelitian lebih lanjut sangat krusial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih terbuka dan untuk mengembangkan intervensi yang efektif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Universitas Muslim Indonesia (sebagai asal penelitian ini) untuk melanjutkan inisiatif akademik ini, Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan, dan PT. Industri Kapal Indonesia serta asosiasi industri terkait untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta memfasilitasi adopsi temuan riset menjadi praktik industri yang lebih baik.

Baca Selengkapnya disini: https://pasca-umi.ac.id/index.php/jmch/article/view/247/259