Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Proyek konstruksi bukan sekadar urutan pekerjaan teknis—mereka adalah sistem kompleks yang melibatkan ratusan orang, multipel kontrak, pasokan material, jadwal yang saling terkait, dan risiko yang terus berubah. Dalam kondisi seperti itu, dokumen-dokumen standar mutu bisa saja terlihat sebagai “buku aturan” yang jauh dari realitas lapangan. Namun studi doktoral Mahmoud Aburas mencoba mematahkan anggapan itu dengan menempatkan ISO 9001 bukan sebagai simbol formalitas, tetapi sebagai kerangka kerja yang bila diadaptasi dan dihidupkan dapat menjadi pengungkit nyata bagi keberhasilan proyek.
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan praktis: faktor mana yang benar-benar menentukan berhasil tidaknya implementasi ISO 9001 di proyek konstruksi Inggris? Dengan mencampurkan analisis literatur, survei kuantitatif, dan wawancara kualitatif, Aburas menyusun peta tindakan yang terdiri dari tujuh faktor utama dan 76 komponen operasional—bukan sekadar daftar prinsip, melainkan panduan langkah demi langkah untuk praktik sehari-hari. Temuan ini penting karena menempatkan perhatian pada bagaimana ISO dijalankan, bukan hanya apakah organisasi memilikinya.
Ada dua aspek yang membuat studi ini layak mendapat perhatian luas. Pertama, ia menggunakan pendekatan triangulasi: survei terhadap ratusan praktisi memberikan gambaran statistik; analisis statistik menunjukkan korelasi dan pola; wawancara mendalam kemudian memberikan konteks naratif yang menjelaskan mengapa pola itu muncul. Kedua, temuan yang muncul tidak selalu sejalan dengan harapan normatif standar—contoh paling menonjol adalah posisi evidence-based decision-making yang ternyata tidak dominan dalam praktik proyek, meski secara teoretis menjadi salah satu prinsip utama ISO 9001:2015. Ini bukan klaim remeh: ia memaksa pembaca—praktisi maupun regulator—untuk mempertanyakan bagaimana bukti dan pengalaman bercampur dalam pengambilan keputusan di lapangan.
Dalam praktik, proyek konstruksi menghadapi masalah yang nyata: perubahan desain di fase akhir, ketergantungan pada subkontraktor yang berbeda standar kerja, dan tekanan biaya yang membuat keputusan cepat menjadi lebih lazim daripada penelaahan panjang berbasis data. Dari sudut pandang ini, ISO 9001 yang berhasil bukan hanya soal memenuhi checklist audit; ia harus menjadi mekanisme manajemen perubahan, komunikasi antar-pemangku kepentingan, dan pembelajaran berkelanjutan. Aburas menunjukkan, melalui angka dan narasi, bahwa manajemen perubahan, keterlibatan tenaga kerja, dan kepemimpinan menjadi penentu utama apakah standar mutu itu "hidup" atau tetap menjadi dokumen prosedural.
Pendahuluan ini menekankan satu hal: relevansi studi bukan hanya akademis, melainkan sangat aplikatif. Jika diimplementasikan dengan konsistensi dan adaptasi lokal, rekomendasi penelitian dapat mengurangi klaim purna proyek, menekan waktu penyelesaian, dan memperbaiki arus kas para pelaksana. Lebih jauh lagi, temuan ini membuka ruang bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi pendekatan regulasi mutu—misalnya, memberi ruang bagi manajemen perubahan sebagai prinsip mutu formal—serta memberi sinyal pada manajer proyek bahwa menggabungkan pengalaman lapangan dengan dokumentasi bukti adalah jalan tengah yang harus dijalin, bukan dikedepankan salah satunya saja.
Mengapa temuan ini penting sekarang?
Proyek konstruksi itu seperti orkestra besar yang dimainkan di lingkungan yang selalu berubah: desain direvisi, cuaca mengguncang jadwal, subkontraktor datang dari kultur kerja berbeda—semua faktor ini membuat kualitas mudah tergelincir dan biaya melonjak. Aburas menempatkan ISO 9001 bukan sebagai dokumen semata, melainkan sebagai sistem manajerial yang harus “hidup” di lapangan. Dengan menggabungkan tinjauan literatur, survei kuantitatif, dan wawancara validasi, ia menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang benar-benar bekerja dalam konteks proyek konstruksi Inggris.
Metodologi singkat (mengapa kita bisa percaya)
Studi ini menggunakan pendekatan triangulasi:
Triangulasi ini menambah bobot—angka memberi arah, wawancara memberi alasan dan nuansa. Itu sebabnya temuan layak menjadi bahan kebijakan praktik.
Temuan inti: 7 faktor yang harus diperhatikan
Aburas merangkum tujuh faktor yang muncul konsisten dari literatur, survei, dan wawancara:
Secara total, penelitian ini merinci 76 komponen operasional yang mengikat tujuh faktor tersebut — langkah demi langkah yang bisa diadaptasi oleh organisasi proyek.
Fakta-fakta yang perlu disebarluaskan (bullet points)
Cerita di balik angka: temuan yang mengejutkan
Hal yang benar-benar membuka diskusi luas adalah penolakan terhadap evidence-based decision-making—padahal ini adalah salah satu Quality Management Principles ISO 9001:2015. Wawancara mengungkap alasan praktis: banyak keputusan lapangan diambil berdasarkan pengalaman manajer yang “memutuskan cepat” di kondisi tertekan; bukti formal sering muncul setelah keputusan itu dibuat. Beberapa partisipan menyatakan, secara ringkas: “evidence is good, but experience usually takes the overriding factor”. Ini memunculkan dilema: apakah ISO harus mengakomodasi dinamika pengambilan keputusan yang didorong pengalaman tanpa mengabaikan pentingnya data?
Siapa yang paling terdampak — dan bagaimana implementasi mengubah permainan?
Kritik realistis — apa yang perlu diperhatikan
Tidak ada studi sempurna. Beberapa batasan penting:
Rekomendasi praktis untuk manajer proyek (langkah demi langkah)
Dampak nyata jika temuan ini diterapkan
Jika organisasi proyek menerapkan ketujuh faktor beserta 76 komponen secara konsisten—dengan adaptasi lokal—dampaknya bukan sekadar perbaikan administratif. Dari pengurangan klaim purna proyek hingga penurunan penundaan, studi ini memperkirakan bahwa implementasi terstruktur dapat memangkas biaya operasional proyek dan menurunkan frekuensi rework dalam jangka menengah. Secara ringkas: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional proyek secara signifikan dalam waktu lima tahun.
Penutup
Mahmoud Aburas tidak hanya menyajikan daftar prinsip—ia memberi peta tindakan yang konkret untuk konteks proyek konstruksi yang kompleks. Studi ini menegaskan pentingnya kepemimpinan, keterlibatan tim, kepuasan klien, proses yang terstruktur, hubungan yang sehat antar-pihak, perbaikan berkelanjutan—dan menempatkan manajemen perubahan di barisan depan kebijakan mutu. Di saat yang sama, penolakan terhadap evidence-based decision-making membuka diskusi kritis: bagaimana menyelaraskan intuisi pengalaman lapangan dengan praktik berbasis bukti? Jawabannya akan menentukan apakah ISO 9001 berubah menjadi alat transformasi nyata atau tetap menjadi dokumen prosedural semata.
Sumber Artikel:
Aburas, M. (2020). Critical success factors for implementing ISO 9001 in UK construction projects. University of Salford (United Kingdom).
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Sebuah Karpet Merah Menuju Indonesia Maju 2045
Di tengah tantangan global dan domestik, termasuk dampak ekonomi yang signifikan dari pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah pekerjaan besar yang ibarat menggelar "karpet merah" menuju Indonesia maju 2045. Visi besar ini tidak hanya soal membangun jalan atau gedung, tetapi juga soal menumbuhkan peradaban dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, sebelum bisa melangkah maju, ada pekerjaan rumah mendesak yang harus diselesaikan: menyederhanakan birokrasi dan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.1
Materi penelitian mengungkapkan bahwa Indonesia dihadapkan pada ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan: setiap tahun, tersedia hanya 2,5 juta lapangan kerja, sementara 7 juta orang mencari pekerjaan. Pandemi COVID-19 semakin memperparah angka pengangguran yang sudah tinggi, dengan jutaan pekerja terdampak PHK atau dirumahkan.1 Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun, sebuah angka yang membutuhkan investasi baru sebesar Rp 4.800 triliun.1 Angka ini bukan hanya target ekonomi, melainkan juga sebuah misi untuk menampung 2 juta pekerja baru setiap tahunnya. Undang-Undang Cipta Kerja, yang digarap dengan metode
Omnibus Law, hadir sebagai jawaban fundamental untuk melakukan reformasi struktural, menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sinilah peran vital sektor jasa konstruksi—sebagai tulang punggung pembangunan infrastruktur—mulai dirombak secara mendasar.1
Mengurai Benang Kusut: Mengapa Peraturan Jasa Konstruksi Harus Dirombak?
Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, sektor jasa konstruksi menghadapi tantangan regulasi yang kompleks dan birokrasi yang membelit. Kondisi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business atau EoDB) Indonesia masih berada di posisi ke-73 secara global, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke-12), Thailand (ke-21), dan bahkan Vietnam (ke-70).1
Kerumitan ini bukanlah sekadar angka. Di balik peringkat yang rendah itu, terdapat fakta yang mengejutkan: 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang seringkali tumpang tindih, menciptakan inefisiensi birokrasi yang menjadi masalah utama bagi para pelaku usaha.1 Kondisi ini secara langsung menghambat laju investasi. Investor—baik domestik maupun asing—cenderung menghindari negara dengan proses perizinan yang rumit dan tidak pasti. Alih-alih mengalihkan fokus pada inovasi dan pengembangan usaha, energi pelaku industri justru terkuras habis untuk mengurus perizinan yang berbelit-belit.
Pemerintah memahami bahwa kerumitan regulasi ini menjadi hambatan utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Oleh karena itu, pendekatan omnibus law dalam UU Cipta Kerja bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tujuannya adalah untuk memangkas ribuan aturan yang tidak relevan dan menyinkronkan regulasi yang tersebar di berbagai sektor, termasuk jasa konstruksi, dalam satu payung hukum yang terintegrasi. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta ekosistem investasi yang lebih menarik, sekaligus memuluskan jalan bagi terciptanya lapangan kerja baru.1
Lompatan Revolusioner dalam Perizinan: Dari Biaya dan Waktu, Menuju Kemudahan dan Verifikasi
Perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU Cipta Kerja bagi sektor jasa konstruksi adalah revolusi dalam sistem perizinan. Sebelumnya, proses perizinan usaha terasa sangat membebani. Pelaku usaha memerlukan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah/kota, serta Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA), dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK) dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).1 Proses yang terfragmentasi ini tidak hanya memakan waktu lebih dari 20 hari, tetapi juga berpotensi menciptakan praktik pungutan liar dan ketidaktransparanan.1
Kini, semuanya disederhanakan secara dramatis. UU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan dari yang berbasis izin menjadi berbasis risiko (Risk Based Approach). Persyaratan berusaha kini hanya terdiri dari SBU, Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang seluruhnya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS).1
Lompatan ini bisa digambarkan seperti menaikkan efisiensi waktu secara signifikan. Jika dahulu mengurus IUJK bisa memakan waktu hingga 5 hari kerja dan penerbitan SBU/SKK membutuhkan waktu lebih dari 20 hari, kini semuanya menjadi jauh lebih cepat.1 Untuk izin usaha, pelaku kini bisa mendapatkan NIB secara daring, sementara penerbitan SBU dan SKK hanya membutuhkan waktu maksimal 15 hari. Kemudahan ini menjadi pengungkit utama dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) karena secara langsung mengurangi hambatan birokrasi, menghemat biaya, dan membebaskan pelaku usaha untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis.1
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, dokumen perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha konstruksi meliputi Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Keahlian (SKA), serta Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK). Setelah UU Cipta Kerja, dokumen-dokumen tersebut disederhanakan menjadi Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Badan Usaha (SBU), dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
Dalam hal penerbitan, dahulu IUJK diterbitkan oleh pemerintah daerah atau kota, sementara SBU, SKA, dan SKTK diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Pasca UU Cipta Kerja, penerbitan NIB, SBU, dan SKK dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, sehingga peran penerbitan bergeser dari level daerah ke level pusat dengan mekanisme daring.
Proses pengajuan perizinan juga berubah signifikan. Sebelumnya pengajuan IUJK berjalan terpisah dari registrasi SBU dan SKA sehingga proses administrasi cenderung terfragmentasi. Setelah reformasi melalui UU Cipta Kerja, semua perizinan diajukan lewat satu pintu OSS yang terintegrasi dengan sistem registrasi SBU dan SKK, sehingga prosedur lebih tersentralisasi dan terhubung.
Perbandingan waktu penyelesaian memperlihatkan percepatan di beberapa aspek: sebelum UU Cipta Kerja, penerbitan IUJK membutuhkan waktu sekitar 5 hari kerja, sedangkan penerbitan SBU dan SKTK sering memakan waktu lebih dari 20 hari kerja. Setelah perubahan regulasi, izin usaha berupa NIB dapat diperoleh secara langsung melalui layanan daring, sementara penerbitan SBU dan SKK dibatasi maksimal 15 hari kerja.
Dari sisi biaya dan kewajiban administrasi, sebelumnya registrasi untuk persubklasifikasi dilakukan secara periodik dan dikenakan biaya. Dalam skema baru pasca UU Cipta Kerja, pemilik SBU dan SKK hanya diwajibkan menyampaikan laporan kegiatan usaha tahunan dan tidak lagi dikenakan biaya untuk pendaftaran tersebut, sehingga beban finansial administratif pada titik registrasi berkurang.
Secara keseluruhan, transformasi ini menandai pergeseran dari proses perizinan yang terfragmentasi, lama, dan berbiaya ke sistem yang lebih terintegrasi, lebih cepat dalam beberapa prosedur, dan mengurangi biaya pendaftaran formal, sekaligus memusatkan penerbitan pada mekanisme OSS di tingkat pusat.
Reformasi Kelembagaan: Mengapa LPJK Kini Berada di Bawah Pemerintah?
Selain perizinan, UU Cipta Kerja juga membawa perubahan fundamental pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Dari lembaga independen dan mandiri yang diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 1999, LPJK bertransformasi menjadi lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).1
Perubahan ini, seperti yang diungkapkan oleh materi, membawa "harapan baru" bagi reformasi tata kelola jasa konstruksi.1 Dengan posisi baru ini, LPJK akan fokus pada pengembangan industri, seperti akreditasi asosiasi dan pembinaan profesional.1 Di satu sisi, langkah ini merupakan upaya strategis pemerintah untuk memiliki kendali langsung dan mengefisiensikan pembinaan industri. Sinkronisasi kebijakan dan percepatan pengambilan keputusan diharapkan dapat tercapai. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga memunculkan tantangan nyata. Status LPJK sebagai lembaga pemerintah bisa saja berisiko mengurangi dinamisme dan independensi yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat jasa konstruksi. Proses transisi yang melibatkan pembentukan tim penyelenggara dan penetapan aturan baru—yang harus selesai paling lambat akhir Desember 2021—membutuhkan koordinasi yang sangat ketat.1
Keputusan untuk menempatkan LPJK di bawah kendali pemerintah adalah taruhan besar. Pemerintah mengambil peran langsung yang sebelumnya diserahkan kepada masyarakat industri. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa pembinaan jasa konstruksi selaras dengan tujuan besar pembangunan nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Langkah ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak lagi melihat sektor ini sebagai entitas yang bisa berjalan sendiri, tetapi sebagai mitra kunci yang harus terintegrasi penuh dalam ekosistem kebijakan strategis nasional.1
Era Big Data Konstruksi: Teknologi sebagai Jantung Transparansi
Tujuan besar UU Cipta Kerja—yaitu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas—tidak akan tercapai tanpa dukungan teknologi. Di sinilah peran krusial Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan aplikasi pendukungnya, Sistem Informasi Pengalaman (SIMPAN), yang dikelola oleh Kementerian PUPR.1
SIMPAN secara spesifik dirancang untuk mengatasi masalah bottleneck yang selama ini terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. Dahulu, setiap kali sebuah perusahaan mengikuti lelang, mereka harus menyerahkan dokumen pengalaman yang sama secara berulang-ulang.1 Proses ini tidak hanya menghabiskan waktu dan tenaga, tetapi juga menjadi celah bagi praktik manipulasi. Dengan SIMPAN, proses evaluasi kini jauh lebih efisien. Aplikasi ini menyatukan data pengalaman dari berbagai sumber, seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (SIKI), untuk membentuk sebuah pangkalan data terintegrasi.1
Ini adalah langkah fundamental dari tata kelola yang berbasis dokumen menjadi tata kelola yang berbasis data. Pencatatan pengalaman badan usaha dan tenaga kerja tidak hanya mempermudah evaluasi tender, tetapi juga memungkinkan terbentuknya big data rantai pasok konstruksi yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision making tools).1 Analisis data yang komprehensif ini memungkinkan pemerintah dan pelaku industri merumuskan kebijakan yang lebih akurat dan tepat sasaran, misalnya dalam memprediksi ketersediaan material dan peralatan konstruksi atau mengidentifikasi tren profesionalisme penyedia jasa.
SIJK itu sendiri, seperti yang dijelaskan dalam materi, bukanlah sekadar satu aplikasi tunggal. Ia adalah sebuah ekosistem besar yang mengadopsi konsep data warehouse dan interoperabilitas.1 Konsep ini mirip dengan "super apps" yang mengintegrasikan berbagai layanan, di mana data dari setiap layanan dikumpulkan dan dianalisis secara terpusat untuk menghasilkan wawasan baru yang tidak bisa didapatkan jika data dilihat secara terpisah. Dengan demikian, teknologi menjadi jantung dari reformasi ini, memastikan bahwa setiap proses—dari perizinan hingga pengadaan—berjalan lebih transparan, efisien, dan akuntabel, secara langsung menekan potensi penyimpangan dan pungutan liar.1
Mengangkat Derajat Tenaga Kerja: Dari Sekadar Kertas, Menuju Kompetensi Nyata
Percepatan pembangunan infrastruktur tidak akan berhasil tanpa sumber daya manusia yang kompeten. Namun, sektor konstruksi Indonesia dihadapkan pada sebuah ironi: dari 8,5 juta tenaga kerja, hanya sekitar 8% saja yang memiliki sertifikat kompetensi.1 Situasi ini diperparah dengan praktik-praktik tak bertanggung jawab, seperti "jual beli sertifikat," di mana seseorang bisa mendapatkan sertifikat tanpa melalui proses uji kompetensi yang sesuai. Banyak pemilik sertifikat yang hanya menjadikannya sebagai pelengkap administrasi, tanpa menyadari tanggung jawab yang melekat di dalamnya.1
UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya secara tegas mengatasi masalah ini. Pemerintah kini menetapkan sanksi yang jelas bagi pelanggar, baik bagi tenaga kerja yang tidak bersertifikat, pengguna jasa yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa sertifikat, maupun lembaga yang tidak melaksanakan uji kompetensi sesuai ketentuan.1 Hal yang paling menarik adalah penekanan pada proses uji kompetensi yang ketat, yang mencakup uji tulis, uji praktik/observasi lapangan, dan/atau wawancara, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2021.1
Lebih dari itu, PP Nomor 14 Tahun 2021 juga membatasi jumlah sertifikat yang bisa dimiliki oleh seorang tenaga kerja konstruksi. Kebijakan ini secara langsung menyasar praktik "palugada" (apa lu mau, gue ada) yang selama ini merusak kredibilitas profesi.1 Dengan pembatasan ini, pemerintah mendorong setiap tenaga kerja untuk menjadi spesialis di bidangnya, memastikan bahwa sertifikat yang dimiliki benar-benar mencerminkan kompetensi nyata yang teruji. Ini adalah langkah krusial untuk meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur, meminimalkan potensi kegagalan bangunan, dan membangun kepercayaan publik serta investor bahwa setiap proyek strategis nasional dikerjakan oleh para profesional yang benar-benar ahli.1
Kesimpulan: Menuju Titik Balik Sejarah Infrastruktur Indonesia
Revolusi regulasi di sektor jasa konstruksi melalui Undang-Undang Cipta Kerja menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Dari kerumitan regulasi yang menghambat investasi, kini kita beralih ke sistem perizinan yang disederhanakan melalui satu pintu daring. Dari kelembagaan yang terfragmentasi, kini kita melihat LPJK sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan strategis pembangunan nasional. Dari tata kelola yang berbasis dokumen, kini kita melangkah menuju era big data yang menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Dan dari masalah sertifikasi yang meragukan, kini kita kembali pada penekanan kompetensi nyata dan profesionalisme.1
Jika diterapkan secara optimal, reformasi ini berpotensi besar untuk mendorong daya saing jasa konstruksi nasional, menarik investasi asing dan domestik, serta mempercepat pembangunan infrastruktur strategis. Langkah-langkah ini, secara kolektif, bisa secara substansial mengurangi biaya operasional dan birokrasi, yang berpotensi menurunkan biaya pembangunan proyek secara keseluruhan sambil tetap menjamin kualitas dan keamanan. Pada akhirnya, reformasi ini adalah pondasi fundamental untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi negara unggul dan berdaya saing global.1
Sumber Artikel:
Aprilia Gayatri dan Aulia Lintang Amurwaizzani, Pengaturan Jasa Konstruksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025
Pada era di mana klaim 'bangunan hijau' dapat menentukan akses modal dan reputasi perusahaan, kebutuhan untuk menilai sejauh mana sertifikasi bangunan benar-benar mencerminkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi mendesak. Skema BREEAM UK New Construction sering dipandang sebagai standar emas untuk menilai performa lingkungan dan kenyamanan pengguna. Namun, ketenaran bukanlah bukti kecukupan. Penelitian yang diulas di sini menyajikan analisis sistematik terhadap distribusi bobot dalam BREEAM, menanyakan apakah fokus penilaian tersebut selaras dengan tuntutan ESG yang semakin kompleks. Dengan mengurai bobot kategori dan kredensial yang diberikan pada tiap aspek, studi ini membuka jendela bagi pembaca untuk melihat: apa yang benar-benar diukur, apa yang mendapat prioritas, dan apa yang diabaikan.
Pendekatan penelitian bersifat ilmiah sekaligus pragmatis—bukan sekadar daftar nilai, tetapi pembacaan terhadap cerita di balik angka. Alih-alih menerima skor sebagai akhir dari sebuah narasi keberlanjutan, penulis menelusuri hubungan antara indikator teknis (misalnya efisiensi energi, pengelolaan limbah, kualitas udara dalam ruangan) dan indikator institusional yang lebih abstrak namun krusial (seperti transparansi rantai pasok, kebijakan anti-korupsi, dan perencanaan legacy). Hasil awalnya mengejutkan: distribusi bobot memperlihatkan kecenderungan kuat ke aspek lingkungan dan wellbeing pengguna, sementara governance—yang berfungsi sebagai pengawal integritas jangka panjang—mendapat porsi relatif kecil.
Hal ini penting karena governance bukan sekadar label birokratis; ia adalah rangka yang memastikan data yang dilaporkan dapat dipercaya, intervensi ramah lingkungan dapat dipelihara, dan manfaat sosial benar-benar mengakar. Ketika governance terpinggirkan, risiko greenwashing meningkat—proyek terlihat memenuhi standar di atas kertas tetapi praktik di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Demikian pula, ketika aspek pendidikan, transfer keterampilan, dan legacy planning tidak mendapat perhatian memadai, komunitas lokal berisiko tidak menikmati manfaat jangka panjang dari investasi infrastruktur.
Pendahuluan ini juga menempatkan BREEAM dalam konteks keputusan investasi. Untuk investor institusional yang mengandalkan sertifikasi sebagai penilaian risiko non-finansial, kesenjangan dalam penilaian governance merupakan sinyal peringatan. Bagi pengembang, temuan ini menawarkan peta jalan perbaikan: mengejar poin BREEAM tetap relevan, tetapi mengintegrasikan praktik tata kelola dan program sosial yang kuat akan memberi nilai tambah nyata dan mengurangi risiko reputasi.
Penelitian ini penting bukan hanya untuk akademisi—dampaknya langsung menyentuh kebijakan publik, strategi investasi, dan praktik konstruksi di lapangan. Ketika sebuah sertifikasi menjadi rujukan utama, regulasi dan insentif fiskal sering disusun berdasar standar itu; kelalaian dalam menilai governance dapat menghasilkan kebijakan yang nampak progresif namun rentan dieksploitasi. Pada bagian selanjutnya, pembaca akan menemukan uraian rinci tentang bagaimana bobot tiap kategori didistribusikan, contoh konkret kredit yang menonjol, serta analisis risiko yang muncul ketika aspek-aspek kritis dikesampingkan. Resensi ini akan berusaha menjaga keseimbangan antara pengakuan atas kontribusi BREEAM—terutama pada isu lingkungan dan wellbeing—dan kritik konstruktif yang menuntut perluasan fokus ke governance dan legacy.
Inti cerita: apa yang mengejutkan peneliti?
Studi dokumen ini menemukan pola yang jelas dan tajam:
Secara naratif: peneliti terkejut bahwa sebuah alat yang dipakai luas sebagai bukti komitmen keberlanjutan masih meninggalkan inti tata kelola yang sering menjadi penentu apakah inisiatif hijau benar-benar berkelanjutan dan transparan.
Mengapa temuan ini bisa mengubah dunia?
Bayangkan perusahaan pengembang yang memasang “label BREEAM” sebagai jaminan keberlanjutan pada portofolio propertinya. Jika penilaian lebih menitikberatkan pada pengurangan emisi dan efisiensi energi sementara mengabaikan rantai pasok, anti-korupsi, dan transfer keterampilan, investor dan publik bisa keliru menilai. Akibatnya:
Singkatnya: BREEAM sekarang memberi nilai pada “apa yang mudah diukur” — energi, transport, material — tetapi mengabaikan elemen yang sulit diukur namun krusial untuk kelangsungan dan legitimasi proyek.
Fakta menarik (dalam bullet — ringkas & bisa dikutip)
Apa arti angka-angka itu dalam bahasa sehari-hari?
Jika 54,13% dari perhatian penilaian ditempatkan pada lingkungan, bayangkan baterai smartphone yang naik dari 20% ke 74% — artinya, BREEAM sangat fokus untuk "mengisi ulang" performa lingkungan proyek. Namun, tata kelola hanya mendapatkan porsi kecil — seperti memberi pengisi daya cadangan kecil yang mungkin tidak cukup saat terjadi masalah besar.
Analisis kritis: apa yang kurang dan mengapa itu berbahaya
Rekomendasi realistis berdasarkan temuan paper
Peneliti menyarankan agar revisi BREEAM berikutnya mengadopsi kredit-kredit tersebut agar kerangka menjadi “one-stop shop” bagi perusahaan konstruksi yang ingin men-deliver ESG secara utuh.
Opini ringan tapi realistis
BREEAM telah berperan besar dalam memajukan standar lingkungan bangunan—itu fakta. Namun, mengandalkan BREEAM sebagai pengganti penuh laporan ESG adalah pendekatan yang setengah matang. Tanpa menambal lubang governance dan sosial yang diidentifikasi, label BREEAM berisiko menjadi alat pemasaran lebih dari instrumen transformasi. Jika revisi datang, skema ini bisa berubah dari “label teknis” menjadi “peta jalan perubahan” yang sesungguhnya.
Siapa yang paling terdampak?
Kesimpulan & dampak nyata (penutup sesuai instruksi)
Adewumi et al. menunjukkan: BREEAM New Construction efektif sebagai alat untuk menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dan kesejahteraan pengguna, tetapi kurang memadai bila tujuan Anda adalah membuktikan capaian ESG yang utuh — terutama untuk aspek governance yang sangat menentukan kredibilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Jika rekomendasi paper diadopsi—menambahkan kredit governance, EDI, legacy planning, dan emergency response—maka skema ini berpotensi menjadi platform tunggal yang dapat meningkatkan transparansi, mengurangi risiko reputasi, dan menurunkan biaya operasional proyek.
Jika diterapkan secara sistematis (misalnya mengadopsi revisi yang direkomendasikan pada portofolio pengembang besar dalam lima tahun), temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan risiko finansial terkait tata kelola hingga signifikan — sekaligus menurunkan emisi dan meningkatkan manfaat sosial bagi komunitas setempat
Sumber Artikel:
Adewumi, A. S., Opoku, A., & Dangana, Z. (2024). Sustainability assessment frameworks for delivering environmental, social, and governance (ESG) targets: a case of building research establishment environmental assessment method (BREEAM) UK new construction. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 31(5), 3779-3791.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Industri konstruksi Australia, serupa dengan tren global, telah lama terperangkap dalam masalah produktivitas yang buruk dan margin keuntungan yang stagnan atau menurun. Tesis karya Meiqiong Zhong yang berjudul, "Improving productivity of Australian construction firms," berangkat dari permasalahan kronis ini. Penulis mengidentifikasi bahwa meskipun banyak faktor telah diusulkan sebagai penyebab, solusi yang ada sering kali dianggap tidak memadai atau kurang memiliki kredibilitas untuk diadopsi secara luas oleh para praktisi. Akibatnya, para pelaku industri merasa kewalahan oleh banyaknya informasi dan mendambakan panduan yang lebih terfokus pada faktor-faktor paling krusial yang dapat memberikan dampak terbesar dengan sumber daya yang terbatas.
Dengan latar belakang ini, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut dengan menyelidiki secara empiris determinan utama dari kinerja produktivitas proyek konstruksi dan langkah-langkah perbaikannya dari perspektif industri Australia. Untuk mencapai tujuan ini, tiga pertanyaan penelitian fundamental dirumuskan:
(1) Apa saja determinan utama kinerja produktivitas proyek konstruksi?
(2) Hubungan kausal, mediasi, dan moderasi seperti apa yang ada di antara determinan-determinan tersebut, dan bagaimana mereka berinteraksi untuk mempengaruhi hasil produktivitas?
(3) Langkah-langkah apa yang ada untuk meningkatkan hasil produktivitas di industri konstruksi Australia?
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode survei deskriptif yang dilaksanakan dalam dua tahap utama. Tahap pertama, yang bersifat kualitatif, melibatkan tinjauan literatur naratif yang mendalam untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan variabel-variabel potensial yang mempengaruhi produktivitas ke dalam tema-tema atau konstruk teoretis. Tahap kedua, yang bersifat kuantitatif, menggunakan konstruk yang dihasilkan dari tahap pertama untuk merancang kuesioner daring yang disebar kepada para profesional industri—khususnya konsultan dan kontraktor—yang merupakan anggota dari Australian Institute of Quantity Surveyors (AIQS) dan Master Builders Australia (MBA).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik statistik yang canggih, yaitu Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Penggunaan PLS-SEM memungkinkan peneliti untuk tidak hanya mengidentifikasi korelasi, tetapi juga untuk menguji hubungan kausal, mediasi, dan interaksi yang kompleks antar konstruk yang telah diidentifikasi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada rigor metodologisnya dalam membangun dan memvalidasi sebuah model kausal yang terintegrasi. Alih-alih hanya menyajikan daftar faktor yang tidak terhubung, penelitian ini secara eksplisit memodelkan bagaimana berbagai kompetensi internal perusahaan berinteraksi secara dinamis untuk menghasilkan kinerja produktivitas, memberikan sebuah kerangka kerja berbasis bukti yang spesifik untuk konteks Australia.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan sebuah model yang menjelaskan bahwa kinerja produktivitas (Productivity Performance - Pp) sebuah perusahaan konstruksi ditopang oleh kekuatan di tiga area utama:
Kapasitas & Kapabilitas (Capacity & Capability - CC): Mencakup sumber daya inti perusahaan seperti tenaga kerja yang berpengalaman dan berkualitas, akses ke pendanaan, dan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru seperti manufaktur off-site.
Manajemen Proyek (Project Management - PM): Meliputi kompetensi dalam mengelola sumber daya proyek, koordinasi tim, manajemen risiko, dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan.
Manajemen Kontraktual & Keuangan (Contractual and Financial Management - CFM): Berfokus pada kemampuan untuk menjaga arus kas yang sehat, mengontrol biaya, mengelola klaim secara efektif, dan memanfaatkan teknologi digital untuk otomatisasi alur kerja.
Puncak dari temuan penelitian ini adalah hubungan kausal yang kompleks antar ketiga konstruk tersebut. Hasil analisis PLS-SEM menunjukkan bahwa meskipun Kapasitas & Kapabilitas (CC) memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan Kinerja Produktivitas (Pp), hubungan ini tidak terpengaruh oleh ukuran perusahaan. Namun, temuan yang paling signifikan dan mengejutkan adalah bahwa
kinerja yang optimal dan signifikan hanya tercapai melalui pengaruh mediasi dari interaksi antara kompetensi PM dan CFM. Dengan kata lain, baik PM maupun CFM secara individual tidak cukup kuat untuk menjadi mediator yang signifikan. Hanya ketika kedua fungsi manajemen ini bekerja secara sinergis, barulah kapasitas dan kapabilitas inti perusahaan (CC) dapat diterjemahkan secara efektif menjadi hasil produktivitas yang unggul.
Secara lebih spesifik, analisis mengidentifikasi lima indikator paling berpengaruh secara berurutan: alur kerja yang didukung teknologi digital dan pelacakan proyek real-time, tenaga kerja berpengalaman, kontrak relasional, perencanaan jaminan kualitas yang kuat, serta supervisi dan koordinasi proyek yang efektif.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitiannya. Ruang lingkup studi terbatas pada perusahaan konstruksi di Australia, khususnya anggota dari dua asosiasi industri, sehingga generalisasi harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, pembatasan akibat pandemi COVID-19 menghalangi pelaksanaan wawancara kualitatif yang awalnya direncanakan, yang mungkin dapat memberikan wawasan yang lebih dalam. Ukuran sampel yang dapat digunakan (285 responden), meskipun cukup untuk analisis PLS-SEM, berada di bawah ambang batas yang ideal untuk representasi penuh, sehingga temuan perlu diinterpretasikan dengan kehati-hatian.
Sebagai refleksi kritis, temuan mengejutkan mengenai efek mediasi interaktif antara PM dan CFM merupakan kontribusi statistik yang kuat, namun penelitian ini, karena sifat kuantitatifnya, tidak dapat sepenuhnya menjelaskan "mengapa" sinergi ini begitu krusial. Diperlukan investigasi kualitatif lebih lanjut untuk membongkar mekanisme di balik interaksi ini di tingkat operasional.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan ini menawarkan wawasan yang sangat berharga bagi para pemimpin perusahaan konstruksi. Pesan utamanya jelas: berinvestasi pada kapasitas inti (seperti merekrut talenta terbaik atau membeli teknologi baru) tidaklah cukup. Investasi tersebut hanya akan memberikan hasil maksimal jika didukung oleh sistem manajemen proyek dan manajemen keuangan/kontraktual yang tidak hanya kuat secara individual, tetapi juga terintegrasi dan bekerja secara sinergis. Ke-29 indikator yang diidentifikasi dalam studi ini dapat berfungsi sebagai daftar periksa praktis untuk audit internal dan perbaikan proses.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalur yang menarik. Ada kebutuhan mendesak untuk penelitian kualitatif guna mengeksplorasi secara mendalam mengapa interaksi antara PM dan CFM menjadi katalisator yang begitu kuat untuk produktivitas. Selain itu, mereplikasi studi ini dengan sampel yang lebih besar dan lebih beragam—mencakup perusahaan besar dan pemangku kepentingan lain seperti desainer dan pengembang—akan sangat bermanfaat untuk menguji kekokohan model ini. Studi komparatif di negara lain juga dapat memberikan wawasan tentang apakah dinamika sinergis ini bersifat universal atau spesifik konteks.
Sumber
Zhong, M. (2022). Improving productivity of Australian construction firms. Master of Philosophy Thesis, Bond University.
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental yang menghambat produktivitas industri konstruksi: inefisiensi kronis dalam proses logistik. Kegagalan dalam mengelola aliran material—yang termanifestasi dalam bentuk keterlambatan, pemborosan, dan pembengkakan biaya—telah mendorong perusahaan kontraktor utama untuk mengadopsi teknologi digital sebagai solusi. Meskipun potensi teknologi digital untuk meningkatkan komunikasi, otomatisasi, dan analisis data telah diakui secara luas, proses adopsinya di lingkungan konstruksi yang terfragmentasi dan berbasis proyek sering kali bersifat sporadis dan tidak terstruktur.
Kerangka teoretis yang dibangun oleh Gholami menyoroti adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) yang signifikan: riset yang ada cenderung berfokus pada adopsi dari perspektif perusahaan (firm-level), sementara dinamika di level proyek (project-level)—di mana teknologi sebenarnya diuji dan digunakan—kurang mendapat perhatian. Hal ini menjadi krusial karena sifat proses adopsi yang tidak pasti dan berkesinambungan sering kali berbenturan dengan sifat proyek konstruksi yang berjangka waktu terbatas.
Dengan berlandaskan pada teori adopsi teknologi (investigasi, keputusan, implementasi) dan manajemen rantai pasokan, penelitian ini merumuskan tiga pertanyaan penelitian esensial:
(1) Apa saja pendorong dan penghalang adopsi teknologi digital di level proyek?
(2) Apa saja efeknya terhadap proses logistik? dan
(3) Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari proses adopsi tersebut?
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif yang mendalam, yang dilaksanakan sebagai bagian dari proyek riset yang lebih besar bertajuk "The Connected Construction Site". Penelitian ini secara spesifik menginvestigasi serangkaian uji coba percontohan (pilot tests) dari berbagai teknologi digital dalam proyek-proyek konstruksi yang sedang berjalan di Swedia. Pendekatan ini memungkinkan pengumpulan data empiris yang kaya dari konteks dunia nyata. Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi metode, termasuk wawancara terstruktur dengan para pemangku kepentingan, kelompok diskusi terfokus (focus groups), dan observasi langsung yang disertai pengukuran kuantitatif (misalnya, jumlah panggilan telepon, waktu tunggu truk, dan jumlah langkah manajer stok per hari). Data kualitatif dari wawancara kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan analisis tematik dengan bantuan perangkat lunak NVivo. Untuk menjaga validitas, temuan-temuan dikirimkan kembali kepada para partisipan untuk divalidasi.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang tajam pada perspektif level proyek, sebuah sudut pandang yang secara eksplisit diidentifikasi sebagai celah dalam literatur yang ada. Dengan membumikan analisisnya pada uji coba percontohan yang nyata, penelitian ini berhasil melampaui diskusi teoretis dan menyajikan wawasan yang praktis dan dapat ditindaklanjuti mengenai dinamika adopsi teknologi dalam organisasi temporer seperti proyek konstruksi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan serangkaian temuan yang secara langsung menjawab ketiga pertanyaan penelitian.
Pendorong dan Penghalang (RQ1): Ditemukan bahwa adopsi teknologi di level proyek didorong oleh kebutuhan operasional yang konkret, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori utama: fungsi kontrol (kebutuhan akses informasi kuantitas material), visibilitas (mengetahui lokasi material yang akurat), konektivitas (menghubungkan rencana pengiriman, produksi, dan tata letak), serta koordinasi. Di sisi lain, implementasi terhambat oleh serangkaian tantangan yang signifikan, termasuk kualitas teknis yang rendah dan kompleksitas teknologi, sifat temporer dari proyek dan rantai pasokannya, otoritas manajer proyek yang dapat menghambat perubahan, serta lambatnya penerimaan di antara mitra kerja yang lebih tradisional.
Efek terhadap Proses Logistik (RQ2): Implementasi teknologi digital terbukti menghasilkan dampak positif yang terukur. Efek-efek ini mencakup perancangan ulang proses order-to-delivery dan logistik di lokasi, peningkatan efisiensi, koordinasi, lingkungan kerja, dan keselamatan, serta penurunan pemborosan waktu dan material. Salah satu temuan konseptual yang paling menarik adalah bagaimana inovasi digital (seperti kontainer pengiriman pintar) memungkinkan terjadinya decoupling—di mana lokasi konstruksi secara fisik dipisahkan dari rantai pasokan, namun secara digital tetap terintegrasi melalui sistem informasi. Hal ini memberikan fleksibilitas operasional sambil meminimalkan gangguan.
Pelajaran yang Dipetik (RQ3): Penelitian ini mengidentifikasi sebelas pelajaran penting yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok: konteks, prasyarat, dan kendala. Temuan kunci di sini adalah bahwa proses adopsi di lapangan bersifat iteratif, di mana pelajaran yang didapat dari uji coba percontohan secara langsung membentuk keputusan implementasi akhir. Namun, ditemukan pula sebuah masalah sistemik yang persisten:
kurangnya konsistensi dalam menerapkan teknologi yang sudah terbukti berhasil dari satu proyek ke proyek berikutnya. Adopsi sering kali bersifat ad hoc, didorong oleh inisiatif manajer proyek individual untuk memecahkan masalah lokal, dan ada kegagalan dalam mentransfer pengetahuan dan pelajaran yang didapat dari level proyek ke level perusahaan untuk adopsi skala besar.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya. Sifat studi kasus membatasi generalisasi temuan ke konteks yang lebih luas, dan diperlukan lebih banyak studi pembandingan (benchmarking) di proyek-proyek lain. Selain itu, terdapat potensi bias seleksi, karena semua partisipan berasal dari Swedia dan merupakan sukarelawan yang menunjukkan ambisi dan proaktivitas yang tinggi dalam menguji teknologi baru, yang mungkin tidak merepresentasikan industri konstruksi secara keseluruhan yang cenderung lebih resisten terhadap perubahan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Terlepas dari keterbatasannya, tesis ini memberikan kontribusi signifikan dengan mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai adopsi teknologi dari perspektif level proyek. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan empat rekomendasi konkret yang ditujukan bagi perusahaan kontraktor utama untuk mengatasi masalah adopsi yang bersifat ad hoc dan tidak konsisten.
Untuk penelitian di masa depan, penulis secara eksplisit menyarankan perlunya analisis dan validasi lebih lanjut terhadap keempat rekomendasi yang telah dirumuskan. Dengan menyediakan wawasan berbasis empiris mengenai dinamika di lapangan, karya ini meletakkan fondasi yang kuat bagi studi-studi selanjutnya yang bertujuan untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mendorong transformasi digital yang sistematis dan berskala besar di industri konstruksi.
Sumber
Gholami, Y. (2023). Investigating Adoption of Digital Technologies in Construction Projects. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1954. Linköping University. https://doi.org/10.3384/9789180750257
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 13 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah paradoks yang mendefinisikan industri konstruksi modern: di satu sisi, ia merupakan salah satu sektor paling berbahaya di dunia, dengan risiko dinamis (misalnya, tabrakan) dan statis (misalnya, paparan debu dan bahan kimia) yang melekat. Di sisi lain, meskipun berada di tengah era inovasi digital yang menawarkan berbagai alat canggih—seperti Kecerdasan Buatan (AI),
Building Information Modeling (BIM), Virtual Reality (VR), dan teknologi sensor—industri ini secara luas dipersepsikan sebagai tradisional dan lamban dalam mengadopsi perubahan.
Masalah inti yang diidentifikasi oleh penulis adalah adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) yang signifikan. Sebagian besar riset mengenai alat keselamatan digital telah dilakukan dalam lingkungan penelitian yang terkontrol atau proyek percontohan, sementara pengetahuan mengenai implementasinya di lingkungan lokasi konstruksi yang otentik dan kompleks masih sangat kurang. Dengan berlandaskan pada
Technology Acceptance Model (TAM) sebagai kerangka teoretis, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengidentifikasi berbagai teknologi dan alat digital yang relevan dalam konteks Swedia, serta untuk memperluas pemahaman mengenai sikap dan perilaku yang ada terhadap implementasi alat-alat tersebut dalam manajemen keselamatan konstruksi.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mengeksplorasi dimensi manusiawi dari adopsi teknologi, penulis mengadopsi metode penelitian kualitatif yang kuat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur dan kerja lapangan (fieldwork), yang memungkinkan penggalian wawasan yang kaya dan bernuansa dari berbagai pemangku kepentingan di industri konstruksi Swedia. Partisipan wawancara mencakup beragam peran, mulai dari pemimpin inovasi di perusahaan konstruksi besar, manajer dan pelatih keselamatan, CEO, manajer proyek, hingga desainer BIM/CAD. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan analisis tematik.
Kebaruan dari karya ini terletak pada fokusnya yang tajam untuk bergerak melampaui studi kelayakan teknis dan menyelami kompleksitas implementasi di dunia nyata. Dengan secara eksplisit menargetkan "sikap dan perilaku" di lingkungan konstruksi yang otentik, penelitian ini memberikan kontribusi unik dalam memahami mengapa adopsi teknologi keselamatan yang menjanjikan sering kali terhambat oleh faktor-faktor manusia dan organisasi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis tematik terhadap data wawancara dan observasi lapangan menghasilkan serangkaian temuan yang saling terkait, yang melukiskan gambaran kompleks tentang keadaan adopsi teknologi keselamatan saat ini.
Struktur Industri sebagai Penghalang Inheren: Ditemukan bahwa sifat industri konstruksi yang berbasis proyek dan tradisional menjadi tantangan fundamental. Setiap proyek konstruksi berfungsi seperti "perusahaannya sendiri", yang secara signifikan menghambat transfer pengetahuan (knowledge transfer) dari satu proyek ke proyek berikutnya. Akibatnya, banyak tim harus "memulai dari awal lagi" di setiap proyek baru, dan pelajaran berharga mengenai implementasi teknologi sering kali hilang. Terdapat pula kesenjangan digital yang jelas antara fase perencanaan dan produksi; sementara alat digital seperti BIM umum digunakan pada tahap desain, tahap konstruksi di lapangan sebagian besar masih bersifat analog, mengandalkan "pena, kertas, dan gambar cetak".
Sikap yang Ambivalen: Sikap para profesional terhadap teknologi baru bersifat ambivalen. Di satu sisi, ada antusiasme dan pandangan positif yang luas mengenai potensi alat digital untuk meningkatkan keselamatan. Namun, di sisi lain, ada juga skeptisisme dan "ketakutan akan hal yang tidak diketahui". Seorang manajer proyek bahkan secara terang-terangan menyatakan, "Saya takut pada AI," yang mencerminkan kekhawatiran mengenai sisi negatif dari implementasi yang belum sepenuhnya dipahami. Ada juga keraguan apakah para pekerja di lapangan, yang sering kali lebih tradisional, akan berhasil mengadopsi alat-alat baru tersebut.
Perilaku dan Budaya Organisasi: Penelitian ini mengungkap beberapa perilaku disfungsional yang menghambat kemajuan. Salah satu yang paling menonjol adalah budaya "saling menyalahkan" (blame game), di mana manajemen puncak cenderung menyalahkan pekerja di lapangan atas insiden keselamatan, alih-alih melihat masalah secara sistemik. Terdapat pula kontradiksi antara retorika manajemen puncak tentang pentingnya keselamatan dengan tindakan nyata mereka. Di tingkat pekerja, ditemukan bahwa motivasi untuk mengikuti aturan keselamatan sering kali bukan didasari oleh kesadaran akan keselamatan diri, melainkan untuk "tidak tertangkap" oleh pengawas, sebuah perilaku yang didorong oleh tekanan waktu yang ketat.
Hambatan Sistemik dan Prosedural: Kurangnya standardisasi menjadi masalah yang berulang. Hal ini tidak hanya berlaku pada proses kerja, tetapi juga pada kebijakan keselamatan itu sendiri. Ditemukan adanya kebingungan di kalangan pekerja karena perusahaan yang berbeda memiliki aturan yang berbeda—bahkan terkadang bertentangan—mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu, kurangnya pemahaman dan pelatihan mengenai cara menggunakan alat-alat baru secara efektif dapat menyebabkan demotivasi dan ketidakpercayaan, yang pada akhirnya menghambat adopsi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi kualitatif yang berfokus pada konteks Swedia, generalisasi temuan ke negara atau budaya industri lain harus dilakukan dengan hati-hati. Ketergantungan pada data wawancara, meskipun memberikan kedalaman, juga berarti bahwa temuan ini didasarkan pada persepsi dan pengalaman subjektif dari sekelompok individu yang terbatas.
Secara kritis, meskipun tesis ini berhasil mengidentifikasi adanya budaya "saling menyalahkan", analisis yang lebih dalam mengenai struktur kekuasaan organisasi dan insentif ekonomi (misalnya, bagaimana klausul kontrak dan model tender mempengaruhi prioritas keselamatan) dapat memperkaya pemahaman tentang akar penyebab perilaku tersebut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, penelitian ini menegaskan bahwa implementasi teknologi yang sukses membutuhkan lebih dari sekadar alat yang canggih; ia menuntut adanya kebijakan yang jelas dan konsisten, investasi dalam pendidikan dan pelatihan, komunikasi yang lebih baik antar semua pemangku kepentingan, dan yang terpenting, pergeseran budaya dari reaktivitas dan saling menyalahkan menuju proaktivitas dan tanggung jawab bersama.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi kasus longitudinal yang melacak proses implementasi satu alat digital spesifik dari awal hingga akhir proyek dapat memberikan data empiris tentang bagaimana sikap dan perilaku berubah seiring waktu. Penelitian kuantitatif pada skala yang lebih besar dapat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel budaya organisasi tertentu (misalnya, tingkat kepercayaan psikologis) dengan metrik adopsi teknologi dan tingkat kecelakaan. Terakhir, penelitian intervensi yang merancang dan menguji program untuk meningkatkan transfer pengetahuan antar proyek akan sangat berharga untuk mengatasi salah satu masalah paling mendasar yang diidentifikasi dalam studi ini.
Sumber
Matti, M., & Jahan Anwar Zahid, M. S. E. (2024). Perspectives on Implementation of Digital Tools and Technologies within Construction Safety Management: An Interview Study. Master of Science thesis, KTH Royal Institute of Technology.