Sebuah Karpet Merah Menuju Indonesia Maju 2045
Di tengah tantangan global dan domestik, termasuk dampak ekonomi yang signifikan dari pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah pekerjaan besar yang ibarat menggelar "karpet merah" menuju Indonesia maju 2045. Visi besar ini tidak hanya soal membangun jalan atau gedung, tetapi juga soal menumbuhkan peradaban dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, sebelum bisa melangkah maju, ada pekerjaan rumah mendesak yang harus diselesaikan: menyederhanakan birokrasi dan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.1
Materi penelitian mengungkapkan bahwa Indonesia dihadapkan pada ketidakseimbangan yang mengkhawatirkan: setiap tahun, tersedia hanya 2,5 juta lapangan kerja, sementara 7 juta orang mencari pekerjaan. Pandemi COVID-19 semakin memperparah angka pengangguran yang sudah tinggi, dengan jutaan pekerja terdampak PHK atau dirumahkan.1 Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun, sebuah angka yang membutuhkan investasi baru sebesar Rp 4.800 triliun.1 Angka ini bukan hanya target ekonomi, melainkan juga sebuah misi untuk menampung 2 juta pekerja baru setiap tahunnya. Undang-Undang Cipta Kerja, yang digarap dengan metode
Omnibus Law, hadir sebagai jawaban fundamental untuk melakukan reformasi struktural, menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sinilah peran vital sektor jasa konstruksi—sebagai tulang punggung pembangunan infrastruktur—mulai dirombak secara mendasar.1
Mengurai Benang Kusut: Mengapa Peraturan Jasa Konstruksi Harus Dirombak?
Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, sektor jasa konstruksi menghadapi tantangan regulasi yang kompleks dan birokrasi yang membelit. Kondisi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business atau EoDB) Indonesia masih berada di posisi ke-73 secara global, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke-12), Thailand (ke-21), dan bahkan Vietnam (ke-70).1
Kerumitan ini bukanlah sekadar angka. Di balik peringkat yang rendah itu, terdapat fakta yang mengejutkan: 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang seringkali tumpang tindih, menciptakan inefisiensi birokrasi yang menjadi masalah utama bagi para pelaku usaha.1 Kondisi ini secara langsung menghambat laju investasi. Investor—baik domestik maupun asing—cenderung menghindari negara dengan proses perizinan yang rumit dan tidak pasti. Alih-alih mengalihkan fokus pada inovasi dan pengembangan usaha, energi pelaku industri justru terkuras habis untuk mengurus perizinan yang berbelit-belit.
Pemerintah memahami bahwa kerumitan regulasi ini menjadi hambatan utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Oleh karena itu, pendekatan omnibus law dalam UU Cipta Kerja bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tujuannya adalah untuk memangkas ribuan aturan yang tidak relevan dan menyinkronkan regulasi yang tersebar di berbagai sektor, termasuk jasa konstruksi, dalam satu payung hukum yang terintegrasi. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta ekosistem investasi yang lebih menarik, sekaligus memuluskan jalan bagi terciptanya lapangan kerja baru.1
Lompatan Revolusioner dalam Perizinan: Dari Biaya dan Waktu, Menuju Kemudahan dan Verifikasi
Perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU Cipta Kerja bagi sektor jasa konstruksi adalah revolusi dalam sistem perizinan. Sebelumnya, proses perizinan usaha terasa sangat membebani. Pelaku usaha memerlukan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah/kota, serta Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Kompetensi Ahli (SKA), dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK) dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).1 Proses yang terfragmentasi ini tidak hanya memakan waktu lebih dari 20 hari, tetapi juga berpotensi menciptakan praktik pungutan liar dan ketidaktransparanan.1
Kini, semuanya disederhanakan secara dramatis. UU Cipta Kerja mengubah pendekatan perizinan dari yang berbasis izin menjadi berbasis risiko (Risk Based Approach). Persyaratan berusaha kini hanya terdiri dari SBU, Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK), dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang seluruhnya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS).1
Lompatan ini bisa digambarkan seperti menaikkan efisiensi waktu secara signifikan. Jika dahulu mengurus IUJK bisa memakan waktu hingga 5 hari kerja dan penerbitan SBU/SKK membutuhkan waktu lebih dari 20 hari, kini semuanya menjadi jauh lebih cepat.1 Untuk izin usaha, pelaku kini bisa mendapatkan NIB secara daring, sementara penerbitan SBU dan SKK hanya membutuhkan waktu maksimal 15 hari. Kemudahan ini menjadi pengungkit utama dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) karena secara langsung mengurangi hambatan birokrasi, menghemat biaya, dan membebaskan pelaku usaha untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis.1
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, dokumen perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha konstruksi meliputi Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat Keahlian (SKA), serta Sertifikat Keterampilan Kerja (SKTK). Setelah UU Cipta Kerja, dokumen-dokumen tersebut disederhanakan menjadi Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Badan Usaha (SBU), dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
Dalam hal penerbitan, dahulu IUJK diterbitkan oleh pemerintah daerah atau kota, sementara SBU, SKA, dan SKTK diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Pasca UU Cipta Kerja, penerbitan NIB, SBU, dan SKK dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, sehingga peran penerbitan bergeser dari level daerah ke level pusat dengan mekanisme daring.
Proses pengajuan perizinan juga berubah signifikan. Sebelumnya pengajuan IUJK berjalan terpisah dari registrasi SBU dan SKA sehingga proses administrasi cenderung terfragmentasi. Setelah reformasi melalui UU Cipta Kerja, semua perizinan diajukan lewat satu pintu OSS yang terintegrasi dengan sistem registrasi SBU dan SKK, sehingga prosedur lebih tersentralisasi dan terhubung.
Perbandingan waktu penyelesaian memperlihatkan percepatan di beberapa aspek: sebelum UU Cipta Kerja, penerbitan IUJK membutuhkan waktu sekitar 5 hari kerja, sedangkan penerbitan SBU dan SKTK sering memakan waktu lebih dari 20 hari kerja. Setelah perubahan regulasi, izin usaha berupa NIB dapat diperoleh secara langsung melalui layanan daring, sementara penerbitan SBU dan SKK dibatasi maksimal 15 hari kerja.
Dari sisi biaya dan kewajiban administrasi, sebelumnya registrasi untuk persubklasifikasi dilakukan secara periodik dan dikenakan biaya. Dalam skema baru pasca UU Cipta Kerja, pemilik SBU dan SKK hanya diwajibkan menyampaikan laporan kegiatan usaha tahunan dan tidak lagi dikenakan biaya untuk pendaftaran tersebut, sehingga beban finansial administratif pada titik registrasi berkurang.
Secara keseluruhan, transformasi ini menandai pergeseran dari proses perizinan yang terfragmentasi, lama, dan berbiaya ke sistem yang lebih terintegrasi, lebih cepat dalam beberapa prosedur, dan mengurangi biaya pendaftaran formal, sekaligus memusatkan penerbitan pada mekanisme OSS di tingkat pusat.
Reformasi Kelembagaan: Mengapa LPJK Kini Berada di Bawah Pemerintah?
Selain perizinan, UU Cipta Kerja juga membawa perubahan fundamental pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Dari lembaga independen dan mandiri yang diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 1999, LPJK bertransformasi menjadi lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).1
Perubahan ini, seperti yang diungkapkan oleh materi, membawa "harapan baru" bagi reformasi tata kelola jasa konstruksi.1 Dengan posisi baru ini, LPJK akan fokus pada pengembangan industri, seperti akreditasi asosiasi dan pembinaan profesional.1 Di satu sisi, langkah ini merupakan upaya strategis pemerintah untuk memiliki kendali langsung dan mengefisiensikan pembinaan industri. Sinkronisasi kebijakan dan percepatan pengambilan keputusan diharapkan dapat tercapai. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga memunculkan tantangan nyata. Status LPJK sebagai lembaga pemerintah bisa saja berisiko mengurangi dinamisme dan independensi yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat jasa konstruksi. Proses transisi yang melibatkan pembentukan tim penyelenggara dan penetapan aturan baru—yang harus selesai paling lambat akhir Desember 2021—membutuhkan koordinasi yang sangat ketat.1
Keputusan untuk menempatkan LPJK di bawah kendali pemerintah adalah taruhan besar. Pemerintah mengambil peran langsung yang sebelumnya diserahkan kepada masyarakat industri. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa pembinaan jasa konstruksi selaras dengan tujuan besar pembangunan nasional dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Langkah ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak lagi melihat sektor ini sebagai entitas yang bisa berjalan sendiri, tetapi sebagai mitra kunci yang harus terintegrasi penuh dalam ekosistem kebijakan strategis nasional.1
Era Big Data Konstruksi: Teknologi sebagai Jantung Transparansi
Tujuan besar UU Cipta Kerja—yaitu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas—tidak akan tercapai tanpa dukungan teknologi. Di sinilah peran krusial Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan aplikasi pendukungnya, Sistem Informasi Pengalaman (SIMPAN), yang dikelola oleh Kementerian PUPR.1
SIMPAN secara spesifik dirancang untuk mengatasi masalah bottleneck yang selama ini terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. Dahulu, setiap kali sebuah perusahaan mengikuti lelang, mereka harus menyerahkan dokumen pengalaman yang sama secara berulang-ulang.1 Proses ini tidak hanya menghabiskan waktu dan tenaga, tetapi juga menjadi celah bagi praktik manipulasi. Dengan SIMPAN, proses evaluasi kini jauh lebih efisien. Aplikasi ini menyatukan data pengalaman dari berbagai sumber, seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem Informasi Konstruksi Indonesia (SIKI), untuk membentuk sebuah pangkalan data terintegrasi.1
Ini adalah langkah fundamental dari tata kelola yang berbasis dokumen menjadi tata kelola yang berbasis data. Pencatatan pengalaman badan usaha dan tenaga kerja tidak hanya mempermudah evaluasi tender, tetapi juga memungkinkan terbentuknya big data rantai pasok konstruksi yang dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision making tools).1 Analisis data yang komprehensif ini memungkinkan pemerintah dan pelaku industri merumuskan kebijakan yang lebih akurat dan tepat sasaran, misalnya dalam memprediksi ketersediaan material dan peralatan konstruksi atau mengidentifikasi tren profesionalisme penyedia jasa.
SIJK itu sendiri, seperti yang dijelaskan dalam materi, bukanlah sekadar satu aplikasi tunggal. Ia adalah sebuah ekosistem besar yang mengadopsi konsep data warehouse dan interoperabilitas.1 Konsep ini mirip dengan "super apps" yang mengintegrasikan berbagai layanan, di mana data dari setiap layanan dikumpulkan dan dianalisis secara terpusat untuk menghasilkan wawasan baru yang tidak bisa didapatkan jika data dilihat secara terpisah. Dengan demikian, teknologi menjadi jantung dari reformasi ini, memastikan bahwa setiap proses—dari perizinan hingga pengadaan—berjalan lebih transparan, efisien, dan akuntabel, secara langsung menekan potensi penyimpangan dan pungutan liar.1
Mengangkat Derajat Tenaga Kerja: Dari Sekadar Kertas, Menuju Kompetensi Nyata
Percepatan pembangunan infrastruktur tidak akan berhasil tanpa sumber daya manusia yang kompeten. Namun, sektor konstruksi Indonesia dihadapkan pada sebuah ironi: dari 8,5 juta tenaga kerja, hanya sekitar 8% saja yang memiliki sertifikat kompetensi.1 Situasi ini diperparah dengan praktik-praktik tak bertanggung jawab, seperti "jual beli sertifikat," di mana seseorang bisa mendapatkan sertifikat tanpa melalui proses uji kompetensi yang sesuai. Banyak pemilik sertifikat yang hanya menjadikannya sebagai pelengkap administrasi, tanpa menyadari tanggung jawab yang melekat di dalamnya.1
UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya secara tegas mengatasi masalah ini. Pemerintah kini menetapkan sanksi yang jelas bagi pelanggar, baik bagi tenaga kerja yang tidak bersertifikat, pengguna jasa yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa sertifikat, maupun lembaga yang tidak melaksanakan uji kompetensi sesuai ketentuan.1 Hal yang paling menarik adalah penekanan pada proses uji kompetensi yang ketat, yang mencakup uji tulis, uji praktik/observasi lapangan, dan/atau wawancara, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2021.1
Lebih dari itu, PP Nomor 14 Tahun 2021 juga membatasi jumlah sertifikat yang bisa dimiliki oleh seorang tenaga kerja konstruksi. Kebijakan ini secara langsung menyasar praktik "palugada" (apa lu mau, gue ada) yang selama ini merusak kredibilitas profesi.1 Dengan pembatasan ini, pemerintah mendorong setiap tenaga kerja untuk menjadi spesialis di bidangnya, memastikan bahwa sertifikat yang dimiliki benar-benar mencerminkan kompetensi nyata yang teruji. Ini adalah langkah krusial untuk meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur, meminimalkan potensi kegagalan bangunan, dan membangun kepercayaan publik serta investor bahwa setiap proyek strategis nasional dikerjakan oleh para profesional yang benar-benar ahli.1
Kesimpulan: Menuju Titik Balik Sejarah Infrastruktur Indonesia
Revolusi regulasi di sektor jasa konstruksi melalui Undang-Undang Cipta Kerja menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pembangunan Indonesia. Dari kerumitan regulasi yang menghambat investasi, kini kita beralih ke sistem perizinan yang disederhanakan melalui satu pintu daring. Dari kelembagaan yang terfragmentasi, kini kita melihat LPJK sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan strategis pembangunan nasional. Dari tata kelola yang berbasis dokumen, kini kita melangkah menuju era big data yang menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Dan dari masalah sertifikasi yang meragukan, kini kita kembali pada penekanan kompetensi nyata dan profesionalisme.1
Jika diterapkan secara optimal, reformasi ini berpotensi besar untuk mendorong daya saing jasa konstruksi nasional, menarik investasi asing dan domestik, serta mempercepat pembangunan infrastruktur strategis. Langkah-langkah ini, secara kolektif, bisa secara substansial mengurangi biaya operasional dan birokrasi, yang berpotensi menurunkan biaya pembangunan proyek secara keseluruhan sambil tetap menjamin kualitas dan keamanan. Pada akhirnya, reformasi ini adalah pondasi fundamental untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi negara unggul dan berdaya saing global.1
Sumber Artikel:
Aprilia Gayatri dan Aulia Lintang Amurwaizzani, Pengaturan Jasa Konstruksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.