Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Implementasi ISO 9001 pada Proyek Konstruksi Inggris — dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

13 September 2025, 14.20

unsplash.com

Proyek konstruksi bukan sekadar urutan pekerjaan teknis—mereka adalah sistem kompleks yang melibatkan ratusan orang, multipel kontrak, pasokan material, jadwal yang saling terkait, dan risiko yang terus berubah. Dalam kondisi seperti itu, dokumen-dokumen standar mutu bisa saja terlihat sebagai “buku aturan” yang jauh dari realitas lapangan. Namun studi doktoral Mahmoud Aburas mencoba mematahkan anggapan itu dengan menempatkan ISO 9001 bukan sebagai simbol formalitas, tetapi sebagai kerangka kerja yang bila diadaptasi dan dihidupkan dapat menjadi pengungkit nyata bagi keberhasilan proyek.

Penelitian ini berangkat dari pertanyaan praktis: faktor mana yang benar-benar menentukan berhasil tidaknya implementasi ISO 9001 di proyek konstruksi Inggris? Dengan mencampurkan analisis literatur, survei kuantitatif, dan wawancara kualitatif, Aburas menyusun peta tindakan yang terdiri dari tujuh faktor utama dan 77 komponen operasional—bukan sekadar daftar prinsip, melainkan panduan langkah demi langkah untuk praktik sehari-hari. Temuan ini penting karena menempatkan perhatian pada bagaimana ISO dijalankan, bukan hanya apakah organisasi memilikinya.

Ada dua aspek yang membuat studi ini layak mendapat perhatian luas. Pertama, ia menggunakan pendekatan triangulasi: survei terhadap ratusan praktisi memberikan gambaran statistik; analisis statistik menunjukkan korelasi dan pola; wawancara mendalam kemudian memberikan konteks naratif yang menjelaskan mengapa pola itu muncul. Kedua, temuan yang muncul tidak selalu sejalan dengan harapan normatif standar—contoh paling menonjol adalah posisi evidence-based decision-making yang ternyata tidak dominan dalam praktik proyek, meski secara teoretis menjadi salah satu prinsip utama ISO 9001:2015. Ini bukan klaim remeh: ia memaksa pembaca—praktisi maupun regulator—untuk mempertanyakan bagaimana bukti dan pengalaman bercampur dalam pengambilan keputusan di lapangan.

Dalam praktik, proyek konstruksi menghadapi masalah yang nyata: perubahan desain di fase akhir, ketergantungan pada subkontraktor yang berbeda standar kerja, dan tekanan biaya yang membuat keputusan cepat menjadi lebih lazim daripada penelaahan panjang berbasis data. Dari sudut pandang ini, ISO 9001 yang berhasil bukan hanya soal memenuhi checklist audit; ia harus menjadi mekanisme manajemen perubahan, komunikasi antar-pemangku kepentingan, dan pembelajaran berkelanjutan. Aburas menunjukkan, melalui angka dan narasi, bahwa manajemen perubahan, keterlibatan tenaga kerja, dan kepemimpinan menjadi penentu utama apakah standar mutu itu "hidup" atau tetap menjadi dokumen prosedural.

Pendahuluan ini menekankan satu hal: relevansi studi bukan hanya akademis, melainkan sangat aplikatif. Jika diimplementasikan dengan konsistensi dan adaptasi lokal, rekomendasi penelitian dapat mengurangi klaim purna proyek, menekan waktu penyelesaian, dan memperbaiki arus kas para pelaksana. Lebih jauh lagi, temuan ini membuka ruang bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi pendekatan regulasi mutu—misalnya, memberi ruang bagi manajemen perubahan sebagai prinsip mutu formal—serta memberi sinyal pada manajer proyek bahwa menggabungkan pengalaman lapangan dengan dokumentasi bukti adalah jalan tengah yang harus dijalin, bukan dikedepankan salah satunya saja.

Mengapa temuan ini penting sekarang?

Proyek konstruksi itu seperti orkestra besar yang dimainkan di lingkungan yang selalu berubah: desain direvisi, cuaca mengguncang jadwal, subkontraktor datang dari kultur kerja berbeda—semua faktor ini membuat kualitas mudah tergelincir dan biaya melonjak. Aburas menempatkan ISO 9001 bukan sebagai dokumen semata, melainkan sebagai sistem manajerial yang harus “hidup” di lapangan. Dengan menggabungkan tinjauan literatur, survei kuantitatif, dan wawancara validasi, ia menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang benar-benar bekerja dalam konteks proyek konstruksi Inggris. 

Metodologi singkat (mengapa kita bisa percaya)

Studi ini menggunakan pendekatan triangulasi:

  • Survei online: 1.000 undangan → 124 respons (response rate 12.4%). Cronbach’s Alpha untuk instrumen = 0.845(memadai untuk reliabilitas). 
  • Analisis statistik: compare means, Kendall’s W, Kruskal–Wallis, Spearman. Hasil Spearman memperlihatkan hubungan signifikan antara sebagian besar faktor dan keberhasilan penerapan, kecuali untuk satu faktor yang mengejutkan.
  • Validasi kualitatif: wawancara semi-terstruktur dengan 6 manajer proyek senior—menambah konteks, menolak dan menambah beberapa komponen. 

Triangulasi ini menambah bobot—angka memberi arah, wawancara memberi alasan dan nuansa. Itu sebabnya temuan layak menjadi bahan kebijakan praktik. 

Temuan inti: 7 faktor yang harus diperhatikan

Aburas merangkum tujuh faktor yang muncul konsisten dari literatur, survei, dan wawancara:

  1. Change management (Manajemen perubahan)
    • Komponen: menentukan kebutuhan pemangku kepentingan, merencanakan perubahan, memonitor ekspektasi, mempromosikan perbaikan berkelanjutan, mengedukasi klien tentang dampak perubahan, dan—yang menonjol—“embrace the change as a team” (komponen baru hasil wawancara). Change management mendapat nilai tinggi dalam survei dan divalidasi penuh.
  2. Client focus (Fokus pada klien)
    • Menempatkan kepuasan dan kebutuhan klien sebagai penggerak utama tujuan mutu. Dalam praktik, ini berarti dokumentasi kebutuhan awal, komunikasi berkelanjutan, dan mekanisme umpan balik pasca-serah terima. 
  3. Engagement of people (Keterlibatan tenaga kerja)
    • Dari pelibatan operasional hingga empowerment—perubahan istilah dari ‘involvement’ ke ‘engagement’ pada ISO 9001:2015 menekankan partisipasi aktif, bukan sekadar kehadiran administratif. 
  4. Leadership (Kepemimpinan)
    • Kepemimpinan yang proaktif: menetapkan kebijakan mutu, mendemonstrasikan komitmen, serta mendorong budaya perbaikan dan tanggung jawab. Kepemimpinan menempati korelasi tertinggi (Spearman .601). 
  5. Process approach (Pendekatan proses)
    • Memetakan proses, interaksi antarproses, dan menjaga pengendalian aliran kerja—mengurangi fragmentasi proyek yang khas di sektor konstruksi. 
  6. Relationship management (Manajemen hubungan)
    • Manajemen hubungan pemangku kepentingan, supplier, dan subkontraktor menjadi kunci menghindari konflik kontraktual yang kerap menguras waktu dan kualitas. 
  7. Continuous improvement (Perbaikan berkelanjutan)
    • Bukan program sekali jadi; budaya yang mengejar efisiensi jangka panjang melalui PDCA, audit, evaluasi tindakan korektif. 

Secara total, penelitian ini merinci 77 komponen operasional yang mengikat tujuh faktor tersebut — langkah demi langkah yang bisa diadaptasi oleh organisasi proyek. 

1) Change management — 9 komponen. 

  1. Determine the needs and expectations of stakeholders
    Menetapkan secara sistematis siapa pemangku kepentingan (klien, subkontraktor, regulator, masyarakat lokal) dan apa yang mereka harapkan sehingga perubahan dapat disiapkan tanpa kejutan; mencakup identifikasi kebutuhan fungsional, waktu, dan kualitas.
  2. Plan for change
    Menyusun rencana perubahan yang jelas (siapa bertanggung jawab, jadwal, dampak, sumber daya) sehingga setiap perubahan diproses sebagai kegiatan terencana, bukan reaksi mendadak.
  3. Monitor the needs and expectations of stakeholders
    Pemantauan berkelanjutan (survei, pertemuan, pelaporan) untuk menangkap perubahan ekspektasi sehingga rencana dan tindakan dapat disesuaikan sebelum masalah meluas.
  4. Promote continual improvement
    Menanamkan mekanisme untuk terus mencari perbaikan (PDCA, audit, kaizen) sehingga perubahan bukan sekadar menambal masalah tetapi meningkatkan kapabilitas proyek.
  5. Educate clients and other stakeholders on the negative outcomes of unnecessary change
    Mengkomunikasikan konsekuensi biaya, waktu, dan kualitas apabila perubahan tidak dikelola—mengubah klien/mitra dari peminta perubahan spontan menjadi mitra yang lebih sadar risiko.
  6. Predict the project environment and create contingency plans
    Analisis skenario (cuaca, pasokan material, keterlambatan subkontraktor) dan penyusunan rencana kontinjensi untuk mengurangi dampak bila skenario terwujud.
  7. Anticipate change and address it effectively
    Membangun budaya dan prosedur proaktif (trigger indicators, eskalasi dini) sehingga perubahan dapat direspons cepat namun terkontrol.
  8. Prioritise and post-implement review of the change
    Mekanisme penentuan prioritas perubahan (nilai vs risiko) dan review pasca-implementasi untuk belajar dan memperbaiki proses pengelolaan perubahan berikutnya.
  9. Embrace the change as a team (komponen hasil wawancara)
    Menyatukan tim dalam menerima & menjalankan perubahan—komunikasi, dukungan lintas-fungsi, dan ownership kolektif yang mengurangi resistensi dan mempercepat eksekusi.

2) Client focus — 8 komponen. 

  1. Understand the current clients' requirements
    Dokumentasi dan klarifikasi kebutuhan saat ini (fit-for-purpose, spesifikasi teknis, batas waktu) agar deliverable sesuai ekspektasi.
  2. Understand future clients' requirements
    Proyeksi kebutuhan masa depan (pemeliharaan, kelayakan fungsi jangka panjang) untuk desain dan material yang tahan uji.
  3. Measure client satisfaction
    Sistem pengukuran (survei, wawancara, KPI pasca-serah-terima) untuk mengukur gap dan menetapkan tindakan perbaikan.
  4. Ensure the project objectives match the client's requirements
    Penyelarasan tujuan proyek dengan kebutuhan klien sejak awal perencanaan untuk mencegah scope creep.
  5. Ensure the project objectives match the client's expectations
    Menjembatani perbedaan antara kebutuhan teknis dan ekspektasi aktual klien (mis. estetika, kebersihan kerja, komunikasi).
  6. Clients are treated with respect and courtesy and empathise with their situation
    Sikap layanan (responsiveness, empati) yang mengurangi konflik dan memperbesar kemungkinan repeat business.
  7. Do not leave the client waiting and let them know what is being done, commit to responding
    Komunikasi proaktif: feed-back waktu nyata atas permintaan dan update berkala agar kepercayaan terjaga.
  8. Conduct external measurements and surveys for the client's needs and engage seriously with the results
    Validasi eksternal (survei independen, benchmark) untuk memverifikasi bahwa proyek memenuhi kebutuhan nyata klien, bukan asumsi internal semata.

3) Engagement of people — 9 komponen. 

  1. Facilitate the open discussion of issues
    Forum terbuka (toolbox talk, briefing) untuk membicarakan masalah kualitas tanpa stigma sehingga solusi muncul lebih cepat.
  2. Facilitate the open discussion of barriers
    Identifikasi hambatan (supply, izin, instruksi kerja) bersama tim dan cari solusi kolaboratif.
  3. Enhance the motivation of personnel
    Inisiatif peningkatan motivasi (apresiasi, kesempatan berkembang, lingkungan kerja aman) agar produktivitas dan kepatuhan mutu naik.
  4. Ensure that employees' abilities are utilised
    Mengalokasikan tugas sesuai kompetensi sehingga keahlian tidak terbuang dan kualitas output meningkat.
  5. Clarify work priorities and define the roles and responsibilities of the project team
    Job descriptions, RACI, dan prioritas harian yang jelas mengurangi tumpang tindih dan miskomunikasi.
  6. Carry out cyclical meetings to review the project status, to inform the team on progress and monitor for conflict
    Rapat periodik (harian/mingguan) yang terstruktur untuk update, eskalasi, dan pencegahan konflik.
  7. Build trust between the project team and project leadership and between teams
    Praktik kepemimpinan yang transparan dan tindakan konsisten untuk membangun kepercayaan—fondasi kolaborasi.
  8. Involve people with ideas and encourage them to provide their perspectives and encourage groupthink
    Mendorong kontribusi ide dari lapangan (suggestion box, sesi perbaikan) yang seringkali membawa solusi praktis.
  9. Explore the project's components and discuss clearly the project's importance with staff members
    Menjelaskan konteks dan dampak pekerjaan tiap orang agar mereka memahami mengapa kualitas dan tenggat penting.

4) Leadership — 12 komponen. 

  1. Establish a vision for the project
    Visi yang jelas memberi arah, menyatukan tujuan mutu, dan menjadi acuan pengambilan keputusan.
  2. Establish a pathway for the project
    Roadmap / rencana jalur (milestone, tender-to-handover) untuk mengkoordinasikan aktivitas lintas fungsi.
  3. Equip employees
    Menyediakan alat, dokumen, dan sumber daya yang diperlukan agar staf mampu mencapai standar mutu.
  4. Create trust with employees
    Tindakan kepemimpinan yang konsisten, adil, dan komunikatif untuk membangun loyalitas dan keterbukaan.
  5. Ensure commitment to the role
    Kepastian bahwa setiap posisi memiliki owner yang bertanggung jawab dan berkomitmen menyelesaikan tugasnya.
  6. Ensure commitment to policy
    Kepatuhan manajemen puncak terhadap kebijakan mutu yang menjadi teladan organisasi.
  7. Ensure responsibility to project partners
    Memastikan manajemen memenuhi kewajiban pada mitra (bank, klien, regulator) sehingga alur kerja tidak tersendat.
  8. Identify challenging targets
    Menetapkan target ambisius namun realistis yang mendorong perbaikan kinerja berkelanjutan.
  9. Ensure the efficient use of resources
    Optimalisasi tenaga kerja, peralatan, dan material untuk menekan pemborosan tanpa mengorbankan mutu.
  10. The leadership must acquire complete awareness of the project's requirements
    Pemahaman menyeluruh atas kebutuhan teknis, kontrak, dan sosial untuk keputusan yang tepat.
  11. Emphasise motivation and team building to allow different members to collaborate
    Intervensi team-building dan motivasi nyata yang mengurangi silo dan meningkatkan sinergi.
  12. Conduct a study for the project with the team and the stakeholders during the planning phase to comprehend project requirements
    Studi kelayakan/analisis kebutuhan kolaboratif di tahap awal untuk mengurangi revisi dan miskomunikasi selanjutnya.

(Catatan: beberapa komponen yang muncul di survei seperti “empower employees”, “reduce environmental impact”, dan “promote high-quality processes” mendapatkan penilaian rendah di beberapa responden sehingga tidak semua versi survei masuk daftar final—tetapi poin inti kepemimpinan di atas adalah yang tervalidasi).

5) Process approach — 14 komponen. 

  1. Manage activities as processes
    Menyusun dan menjalankan aktivitas sebagai rantai proses berinteraksi, bukan tugas terfragmentasi.
  2. Reduce activities that add no value
    Identifikasi dan penghapusan kegiatan yang tidak menambah nilai (waste) untuk kecepatan dan efisiensi.
  3. Reduce processes that add no value
    Penyederhanaan alur kerja yang berlebihan—mengurangi birokrasi dan redundansi.
  4. Conduct audits of processes
    Audit internal proses untuk menemukan ketidaksesuaian dan area perbaikan.
  5. Improve processes to prevent nonconformities
    Perubahan proses berdasarkan akar masalah untuk mencegah terulangnya cacat.
  6. Determine the knowledge necessary for the operation of processes
    Mendeskripsikan kompetensi dan pengetahuan apa yang diperlukan untuk menjalankan tiap proses.
  7. Maintain the knowledge necessary for the operation of processes
    Sistem penyimpanan & transfer pengetahuan (SOP, instruksi kerja, pelatihan) agar kapabilitas tidak hilang.
  8. Take action to address risk
    Proses penilaian dan mitigasi risiko terintegrasi ke dalam alur kerja proyek.
  9. Take action to exploit opportunity
    Mendeteksi dan memanfaatkan peluang efisiensi atau nilai tambah yang muncul selama siklus proyek.
  10. Gauge the feasibility of activities
    Evaluasi kelayakan aktivitas (waktu, biaya, sumber daya) sebelum pelaksanaan.
  11. Determine links between activities
    Memahami ketergantungan antarproses sehingga perubahan pada satu aktivitas tidak merusak proses lain.
  12. Manage and monitor every process and control, measure the results, and report
    Pengukuran KPI proses, kontrol, dan pelaporan teratur agar kinerja transparan dan bisa diperbaiki.
  13. Evaluate and improve the processes is a constant, systematic and repetitive procedure
    Mekanisme perbaikan berkelanjutan yang sistematik—bukan acara sekali jadi.
  14. Ensure the appropriate methodologies, resources, personnel and tools are available for each planning process
    Penjaminan bahwa setiap proses perencanaan memiliki metode dan sumber daya yang sesuai.
  15. Assure that all those involved in the project have an appropriate understanding of the process level
    Sosialisasi dan pelatihan agar semua pihak paham bagaimana proses saling terkait dan peran mereka di dalamnya.

6) Relationship management — 11 komponen. 

  1. Share information with stakeholders
    Mekanisme berbagi data & update yang akurat antara tim proyek, klien, dan pihak eksternal.
  2. Share plans with stakeholders
    Transparansi perencanaan (jadwal, milestone) untuk menyelaraskan ekspektasi dan keterlibatan.
  3. Share resources with stakeholders
    Kolaborasi penggunaan sumber daya (mis. peralatan, tenaga ahli) untuk efisiensi dan pengurangan backlog.
  4. Share expertise with stakeholders
    Transfer keahlian melalui workshop, joint reviews, atau mentoring antar-pihak.
  5. Cooperate in the development of activities
    Kolaborasi nyata dalam pengembangan aktivitas proyek, bukan koordinasi parsial.
  6. Establish effective intra-project-partner cooperation
    Prosedur formal untuk kerja sama antar-kontraktor, konsultan, dan subkontraktor.
  7. Manage effective intra-project-partner cooperation
    Manajemen aktif hubungan (kontrak, KPI bersama, eskalasi isu) untuk menghindari sengketa.
  8. Establish short-term relationships
    Mekanisme kemitraan jangka pendek yang efektif untuk kebutuhan spesifik (mis. trades tertentu).
  9. Establish long-term relationships
    Pengembangan kemitraan strategis jangka panjang yang menurunkan biaya transaksi dan risiko.
  10. Engage stakeholders effectively and frequently
    Keterlibatan rutin (sesi update, review) agar semua pihak tetap sinkron dan responsif.
  11. Ensure that all parties comprehend the overarching project aims
    Kesepahaman akan tujuan proyek yang lebih luas sehingga keputusan sehari-hari terarah pada outcome bersama.

7) Skills & training — 5 komponen. 

  1. Train personnel in terms of quality
    Program pelatihan mutu terstruktur (SOP, kontrol kualitas, inspeksi) untuk mengangkat kompetensi.
  2. Share knowledge
    Praktik berbagi pengetahuan (lessons learned, toolbox talks) sehingga pengalaman proyek terdokumentasi dan dimanfaatkan.
  3. Enable learning
    Membangun mekanisme pembelajaran berkelanjutan (on-the-job coaching, mentoring) bukan pelatihan sekali-kilat.
  4. Share the quality aims and characteristics
    Menyampaikan sasaran mutu & karakteristik deliverable kepada seluruh tim sehingga semua bekerja ke arah yang sama.
  5. Teach the quality aims and characteristics
    Mengajarkan praktik dan standar konkret (bagaimana melakukan inspeksi, apa toleransi) agar pemahaman operasional terjadi.

8) Continuous improvement — 8 komponen. 

  1. Provide resources for continuous improvement
    Alokasi dana, waktu, dan SDM khusus untuk inisiatif perbaikan berkelanjutan.
  2. Manage resources for continuous improvement
    Pengelolaan dan prioritisasi sumber daya agar inisiatif perbaikan berjalan efektif.
  3. Provide documentation for corrective action
    Sistem dokumentasi korektif yang jelas (kertas kerja tindakan, pelacakan penyelesaian) untuk menghindari perulangan masalah.
  4. Enable the project team to participate in improvement
    Melibatkan seluruh tim dalam identifikasi dan implementasi perbaikan sehingga ada ownership.
  5. Conduct operational planning
    Perencanaan operasional yang terhubung dengan siklus perbaikan (mengintegrasikan tindakan korektif & preventif).
  6. Conduct operational control
    Pengendalian operasional (checklists, hold points, inspeksi) untuk memastikan tindakan perbaikan bekerja.
  7. Measure improvement consistently
    KPI terukur untuk memantau hasil perbaikan sehingga organisasi tahu apa yang berhasil dan apa yang perlu disesuaikan.
  8. Develop a reward system (catatan: per survey ini muncul tapi peringkat bervariasi; dalam praktik direkomendasikan sebagai bagian dari budaya perbaikan)
    Sistem penghargaan/incentive untuk mendorong kontribusi perbaikan dari staf lapangan dan manajemen.

Fakta-fakta yang perlu disebarluaskan (bullet points)

  • 124 respons dianalisis; 117 (94.35%) berasal dari organisasi bersertifikat ISO 9001. Ini menunjukkan tingginya penetrasi sertifikasi di sampel studi. 
  • Reliabilitas instrumen: Cronbach’s Alpha 0.845
  • Spearman test: Semua faktor memiliki korelasi signifikan dengan keberhasilan implementasi kecuali evidence-based decision-making (p = 0.307). 
  • Survei awal mengusulkan 10 faktor; setelah validasi, 7 disahkan, 3 ditolak secara provisional (evidence-based decision-making, non-standardisation, skills & training). 

 

Cerita di balik angka: temuan yang mengejutkan

Hal yang benar-benar membuka diskusi luas adalah penolakan terhadap evidence-based decision-making—padahal ini adalah salah satu Quality Management Principles ISO 9001:2015. Wawancara mengungkap alasan praktis: banyak keputusan lapangan diambil berdasarkan pengalaman manajer yang “memutuskan cepat” di kondisi tertekan; bukti formal sering muncul setelah keputusan itu dibuat. Beberapa partisipan menyatakan, secara ringkas: “evidence is good, but experience usually takes the overriding factor”. Ini memunculkan dilema: apakah ISO harus mengakomodasi dinamika pengambilan keputusan yang didorong pengalaman tanpa mengabaikan pentingnya data?

Siapa yang paling terdampak — dan bagaimana implementasi mengubah permainan?

  • Kontraktor & Subkontraktor: Implementasi process mapping dan relationship management mengurangi klaim dan mempercepat serah terima—efek langsung pada cashflow. 
  • Pemilik proyek / klien: Client focus dan continuous improvement meningkatkan kepuasan, menurunkan ongkos perbaikan pasca-serah terima. 
  • Regulator & Pembuat Kebijakan: Temuan bahwa change management layak dipertimbangkan sebagai QMP baru memberi bahan untuk revisi kebijakan QA sektor publik. 

 

Kritik realistis — apa yang perlu diperhatikan

Tidak ada studi sempurna. Beberapa batasan penting:

  • Konteks terbatas: fokus pada UK—hasil mungkin berbeda di negara dengan struktur pasar dan kultur kerja lain. 
  • Response rate & generalisasi: meski 124 respons memenuhi minimum sampel, rate 12.4% mengindikasikan potensi bias non-respon. Pengambilan keputusan kebijakan besar butuh studi tambahan lintas-negara. 
  • Validasi kualitatif terbatas: hanya 6 wawancara—sumber insight kaya, tetapi jumlahnya kecil untuk klaim representatif luas. 
  • Paradoks evidence-based: penolakan evidence-based decision-making menuntut studi kualitatif lebih mendalam untuk memahami hubungan antara pengalaman lapangan dan penggunaan data formal. 

 

Rekomendasi praktis untuk manajer proyek (langkah demi langkah)

  • Formalkan change management: checklist perubahan, mekanisme pelaporan, dan review pasca-implementasi; edukasi klien tentang biaya/risiko perubahan. 
  • Jadwalkan leadership coaching: investasi pada kemampuan memimpin, bukan hanya skill teknis—coaching untuk pengambilan keputusan yang menggabungkan pengalaman dan bukti.
  • Terapkan process mapping sederhana: dokumen proses yang mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan—kurangi ambiguitas dan percepat eskalasi isu. 
  • Dokumentasikan keputusan lapangan: jika pengalaman memimpin keputusan cepat, rekam langkah dan data pendukung untuk evaluasi pasca-hoc—mempertemukan pengalaman dan evidence. 

 

Dampak nyata jika temuan ini diterapkan

Jika organisasi proyek menerapkan ketujuh faktor beserta 77 komponen secara konsisten—dengan adaptasi lokal—dampaknya bukan sekadar perbaikan administratif. Dari pengurangan klaim purna proyek hingga penurunan penundaan, studi ini memperkirakan bahwa implementasi terstruktur dapat memangkas biaya operasional proyek dan menurunkan frekuensi rework dalam jangka menengah. Secara ringkas: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional proyek secara signifikan dalam waktu lima tahun. 

 

Penutup

Mahmoud Aburas tidak hanya menyajikan daftar prinsip—ia memberi peta tindakan yang konkret untuk konteks proyek konstruksi yang kompleks. Studi ini menegaskan pentingnya kepemimpinan, keterlibatan tim, kepuasan klien, proses yang terstruktur, hubungan yang sehat antar-pihak, perbaikan berkelanjutan—dan menempatkan manajemen perubahan di barisan depan kebijakan mutu. Di saat yang sama, penolakan terhadap evidence-based decision-making membuka diskusi kritis: bagaimana menyelaraskan intuisi pengalaman lapangan dengan praktik berbasis bukti? Jawabannya akan menentukan apakah ISO 9001 berubah menjadi alat transformasi nyata atau tetap menjadi dokumen prosedural semata.

Sumber Artikel:

Aburas, M. (2020). Critical success factors for implementing ISO 9001 in UK construction projects. University of Salford (United Kingdom).