Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 November 2025
Ketahanan pangan masih menjadi salah satu agenda strategis Indonesia. Sektor pertanian bukan hanya penopang penyediaan pangan nasional, tetapi juga sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani. Selama lebih dari satu dekade terakhir, kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto memang menurun secara bertahap, namun sektor ini tetap menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan dan daya tahan sosial masyarakat.
Tantangan besar muncul dari struktur pertanian yang masih tradisional, keterbatasan akses teknologi, hingga ketergantungan pada input produksi yang mahal. Pada saat yang sama, permintaan pangan domestik terus naik akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi. Kondisi ini menuntut strategi baru untuk memastikan produktivitas meningkat, harga stabil, dan kesejahteraan petani terjaga.
Peran Strategis Pertanian dalam Struktur Ekonomi dan Sosial
Pertanian tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar setelah industri, dengan lebih dari 39 juta orang bekerja di sektor ini. Produktivitas pertanian tidak hanya menentukan ketersediaan makanan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai, tetapi juga berpengaruh pada rantai nilai industri makanan, pakan ternak, dan sektor jasa pendukung. Ketika pertanian tumbuh, daya beli rumah tangga desa meningkat, dan efek ini merembet ke sektor-sektor produktif lain.
Namun transformasi struktural yang terjadi—ditandai menurunnya proporsi tenaga kerja pertanian—mencerminkan bahwa sektor ini membutuhkan modernisasi. Tanpa peningkatan produktivitas, pertanian berpotensi tertinggal dari laju pertumbuhan sektor lain yang lebih padat teknologi.
Ketahanan Pangan: Target Besar yang Memerlukan Reformasi
Pemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional dengan target peningkatan produktivitas petani hingga hampir empat kali lipat pada 2045. Tantangan utama adalah memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat di tengah defisit komoditas tertentu, volatilitas harga, dan ancaman perubahan iklim.
Upaya memperkuat ketahanan pangan diarahkan pada peningkatan produksi komoditas strategis, seperti beras, jagung, cabai, bawang, daging ayam, telur, dan minyak goreng. Jagung menjadi perhatian khusus karena perannya yang luas—sebagai bahan konsumsi, industri pangan, dan komponen utama pakan ternak. Data terbaru menunjukkan produksi jagung meningkat lebih dari 45% dalam satu dekade, menandakan potensi besar untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus menekan impor. Selain itu, konsumsi jagung per minggu sempat meningkat sebelum stabil kembali pada beberapa tahun terakhir, menunjukkan pergeseran pola konsumsi masyarakat.
Produksi yang Cukup, tetapi Belum Stabil Sepanjang Tahun
Tingginya produksi jagung nasional membuat Indonesia relatif mandiri untuk kebutuhan domestik. Namun produksi masih sangat musiman, dengan puncak panen yang terkonsentrasi pada kuartal awal setiap tahun. Setelah masa panen raya, produksi turun drastis sehingga terjadi ketidakseimbangan suplai yang memicu fluktuasi harga.
Dalam kondisi seperti ini, petani menjadi kelompok yang paling rentan. Ketika produksi tinggi tetapi harga jatuh, mayoritas petani merugi—terutama bagi mereka yang menanam jagung untuk memenuhi pasar pakan ternak yang menyerap lebih dari 70% total permintaan. Masalah ketidakstabilan harga ini sering kali lebih merugikan daripada tingginya biaya produksi.
Keterbatasan Program Bantuan Benih dan Tantangan Lapangan
Selama bertahun-tahun, pemerintah memberi dukungan berupa subsidi benih dan bantuan benih gratis. Program ini berambisi mendorong produksi, tetapi efektivitasnya beragam. Banyak petani mengeluhkan kualitas benih yang menurun, ketidaksesuaian varietas dengan kondisi lahan, hingga waktu distribusi yang tidak menentu.
Beberapa temuan lapangan menunjukkan bahwa satu jenis benih sering diberikan kepada kelompok petani yang memiliki karakteristik tanah berbeda. Kondisi tiap petak tanah sangat beragam—ada yang membutuhkan varietas tahan air, ada pula yang lebih cocok dengan varietas untuk lahan kering. Ketidaksesuaian ini berdampak pada hasil panen yang tidak optimal.
Selain itu, data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil petani yang benar-benar menerima bantuan benih, dan hasil panen mereka tidak selalu lebih tinggi dibanding petani yang menggunakan benih komersial. Struktur bantuan ini, meski penting, tidak cukup menjawab kebutuhan kompleks di lapangan.
Kredit sebagai Instrumen Kunci untuk Meningkatkan Produktivitas
Banyak petani tidak terutama kekurangan benih, tetapi kekurangan modal. Benih hanya mencakup sebagian kecil dari total biaya produksi—sekitar tiga sampai sembilan persen. Sisanya adalah biaya pupuk, tenaga kerja, peralatan, land clearing, dan irigasi.
Dalam kondisi harga komoditas yang fluktuatif dan biaya produksi yang tinggi, banyak petani harus meminjam dana dari lembaga informal dengan bunga tinggi. Ini membuat mereka rentan terhadap jeratan utang. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya telah membantu sebagian petani, tetapi aksesnya masih sangat terbatas. Hanya sekitar satu juta petani yang dapat memanfaatkannya, jauh lebih kecil dibanding jumlah petani nasional.
Kredit memberikan fleksibilitas yang jauh lebih besar dibanding bantuan benih. Di beberapa daerah Lampung, misalnya, dana kredit digunakan petani untuk menyewa lahan, memperbaiki tanah, membeli pupuk, hingga mengelola gulma. Petani dapat menyesuaikan prioritas sesuai kondisi lahan dan strategi usaha mereka sendiri—sebuah fleksibilitas yang tidak bisa diberikan oleh bantuan benih.
Di sisi lain, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam menunjukkan keberhasilan kebijakan kredit pertanian yang lebih terstruktur. Sistem kredit di kedua negara dibangun dengan instrumen pembiayaan yang jelas, insentif bunga rendah, hingga skema penjaminan bagi petani kecil. Praktik seperti ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia.
Teknologi Bioteknologi dan Peluang Barunya
Selain masalah modal, peningkatan produktivitas juga harus datang dari teknologi. Genetically Modified (GM) crops, terutama jagung GM, terbukti membantu petani mengurangi penggunaan pestisida, menekan biaya produksi, serta meningkatkan hasil panen. Petani di Lampung dan Sumbawa yang telah memakai benih GM merasakan efisiensi besar dalam tenaga kerja dan biaya pemeliharaan.
Secara global, banyak riset menunjukkan bahwa tanaman GM meningkatkan hasil panen lebih dari 20% dan mengurangi penggunaan pestisida hingga 37%. Namun adopsi teknologi ini di Indonesia masih sangat lambat akibat kerangka regulasi yang panjang dan persepsi publik yang negatif. Proses perizinan benih GM dapat memakan waktu dua tahun atau lebih, sementara uji keamanan berulang menyebabkan biaya tinggi bagi peneliti dan produsen benih.
Perbandingan dengan Filipina menunjukkan bahwa regulasi yang lebih sederhana, tetapi tetap berbasis sains, mampu mempercepat adopsi benih GM secara luas tanpa masalah keamanan yang berarti.
Kesimpulan: Transformasi Pertanian Harus Menyentuh Akar Masalah
Agar ketahanan pangan benar-benar tercapai, Indonesia perlu menyusun ulang pendekatan kebijakan pertanian. Bantuan benih tetap penting, tetapi tidak cukup. Dukungan harus diarahkan pada peningkatan modal petani, perbaikan infrastruktur, dan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi produksi. Kredit pertanian, teknologi GM, dan pendidikan penyuluh lapangan harus diperkuat secara bersamaan.
Pertanian Indonesia membutuhkan sistem yang memberi petani keleluasaan membuat keputusan sendiri, bukan sistem yang mengunci pilihan mereka pada satu jenis bantuan. Dengan modernisasi kebijakan dan teknologi, pertanian dapat menjadi sektor yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan jutaan keluarga petani.
Daftar Pustaka
ABC Sector Overview Report – Food and Agriculture Sector (pp. 56–81).
Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 03 Oktober 2025
Ancaman Ganda di Tengah Kota: Mengapa Pangan Terasing dari Tata Ruang?
Selama ini, permasalahan pangan kerap dianggap sebagai domain eksklusif disiplin ilmu pertanian. Namun, sebuah kajian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Reka Ruang menunjukkan adanya kontradiksi fundamental: Pangan, sebagai kebutuhan dasar manusia, telah lama terasing dari ilmu dan praktik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK).1 Selama puluhan tahun, fokus PWK terkunci pada isu-isu fisik dan infrastruktur, seperti perumahan, sistem transportasi, dan jaringan energi, sementara isu krusial yang menentukan kelangsungan hidup—ketahanan pangan—diabaikan dalam agenda strategis perencanaan.1
Kajian oleh Sri Tuntung Pandangwati dari Universitas Gadjah Mada menyoroti bahwa kegagalan untuk mengintegrasikan sistem pangan ke dalam kerangka tata ruang bukan sekadar kelalaian teknis. Kegagalan ini secara langsung mengancam ketahanan pangan masyarakat dan menghambat terwujudnya kota dan wilayah yang berkelanjutan.1 Meskipun permasalahan pangan itu kompleks, ia memiliki dimensi fisik keruangan yang jelas, seperti sistem distribusi, rantai pasok, dan ketersediaan lahan/sumber daya air. Mengingat tujuan utama perencanaan adalah peningkatan daya hidup dan kesejahteraan masyarakat, sudah selayaknya masalah pangan menjadi perhatian utama para perencana dan perancang kota.1 Konsep "Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Pangan" disajikan sebagai resep untuk membalikkan kondisi kritis ini, menuntut para perencana untuk mengintervensi sistem pangan melalui mekanisme tata ruang.
Krisis di Balik Data: Lenyapnya Lahan dan Tenaga Kerja
Apa yang membuat para peneliti urban terkejut adalah skala ancaman yang dihadapi Indonesia, yang terlihat jelas dari data kuantitatif terkait lahan dan demografi pertanian.
Ancaman pertama yang disoroti adalah kecepatan alih fungsi lahan yang mengkhawatirkan. Setiap tahun, diperkirakan 100.000 hektar sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian, mengancam keberlanjutan produksi pangan nasional.1 Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang betapa masifnya kehilangan ini, jumlah lahan sawah yang hilang per tahun hampir setara dengan lenyapnya lahan produksi pangan seluas
dua kali lipat wilayah kota Jakarta Pusat.1 Kehilangan lahan sebesar ini menimbulkan dampak yang serius bagi petani dan bagi keberlangsungan kualitas sumber daya pertanian di jangka panjang.1
Ancaman kedua adalah krisis sumber daya manusia yang bekerja di sektor pangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran tenaga kerja yang dramatis. Pada tahun 1986, sekitar separuh dari penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Namun, angka ini telah merosot tajam, hingga pada tahun 2017, tenaga kerja di sektor primer ini menurun menjadi hanya sekitar tiga puluh persen.1 Artinya, hanya dalam waktu tiga dekade, Indonesia telah kehilangan dua dari setiap lima pekerja di sektor pangan. Penurunan drastis ini, ditambah dengan panjangnya rantai pasok yang merugikan petani, telah menciptakan masyarakat kota yang teralienasi, kurang peduli terhadap asal muasal makanan dan jerih payah para petani.1
Kacamata Kuda PWK: Kritik Terhadap Pendekatan Lama
Keterbatasan kritis dalam praktik PWK di Indonesia yang disoroti oleh kajian ini adalah sempitnya fokus pada isu pangan. Diskusi mengenai pangan dalam konteks tata ruang selama ini hampir secara eksklusif terbatas pada upaya pelestarian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009.1
Walaupun LP2B merupakan upaya vital untuk melindungi lahan produktif, para perencana menghadapi tantangan implementasi yang besar. Pelaksanaan di daerah seringkali kurang efektif karena adanya konflik antara kebutuhan pengembangan daerah—yang membutuhkan konversi lahan—dengan upaya mempertahankan lahan pertanian, diperparah oleh kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah.1
Kritik yang lebih mendasar adalah bahwa fokus pada LP2B hanya menyentuh aspek ketersediaan lahan (produksi). Pendekatan ini mengabaikan dimensi kritis lain, seperti aksesibilitas, pemanfaatan, dan terutama pengelolaan limbah, padahal "permasalahan pangan itu kompleks dan memiliki dimensi fisik keruangan juga".1 Keterbatasan pembahasan irisan PWK dan pangan dalam konteks Indonesia (dibandingkan dengan literatur internasional) mengharuskan adanya terjemahan konsep global agar sesuai dengan karakter, kondisi, dan kebutuhan domestik.1
Resep Lima Dimensi: Membangun Sistem Pangan dari Ruang Kota
Perencanaan berwawasan pangan (FSP, Food Sensitive Planning) bertujuan memberikan dampak positif terhadap permasalahan ketahanan pangan melalui intervensi tata ruang. Kajian ini merangkum lima kelompok topik intervensi utama, yang harus diintegrasikan oleh para perencana untuk mencapai keberlanjutan kota.1
Dimensi 1: Ketersediaan – Menyelamatkan Lahan dan Mengaktifkan Pekarangan
Intervensi PWK dalam ketersediaan pangan harus melangkah melampaui regulasi LP2B menuju fasilitasi proaktif produksi pangan di dalam kota.
Transformasi Lahan Marginal melalui Pertanian Perkotaan
Solusi utama yang ditawarkan adalah akomodasi kegiatan Pertanian Perkotaan (Urban Agriculture—UA). UA dapat memanfaatkan lahan-lahan marginal di perkotaan, seperti lorong-lorong gang di permukiman, kolong jalan layang, teras, atap, dan dinding bangunan, mengubahnya menjadi ruang produktif.1 Meskipun UA sudah lama dikenal di Indonesia—termasuk melalui program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)—integrasi formalnya dalam rencana tata ruang masih minim.1
Peran perencana adalah mengidentifikasi lahan kosong yang potensial dan menjembatani komunitas petani kota dengan pemilik lahan (pemerintah atau swasta). Model ini, seperti yang sukses dilakukan gerakan 3000acres di Melbourne, Australia, menunjukkan bahwa pemetaan lahan kosong yang potensial dapat dilakukan melalui crowdsourcing dan kemudian diubah menjadi kebun pangan komunitas (community garden).1
Selain itu, perencanaan tata ruang lingkungan (RTBL) harus mengadopsi konsep productive landscape. Ini berarti tanaman yang bisa dikonsumsi (edible), seperti sayur, buah, dan herbal, harus menjadi elemen desain RTH dan bukan hanya tanaman dekoratif.1 Intervensi ini tidak hanya menambah ruang hijau, tetapi juga meningkatkan sense of place dan memperkuat modal sosial melalui pengelolaan komunal.1 Fasilitasi bank benih komunitas juga harus diintegrasikan untuk menjamin ketersediaan benih yang beragam dalam jangka panjang dan melestarikan varietas tanaman lokal.1
Dimensi 2: Aksesibilitas – Memutus Rantai Panjang dan Membasmi ‘Food Desert’
Aksesibilitas pangan sangat penting. Pengembangan pertanian di kawasan permukiman dapat mendekatkan penduduk dengan sumber pangan, menghemat waktu, dan memangkas biaya.1
Melawan Food Desert dan Ketidakadilan Spasial
Di negara maju, masalah food desert (daerah dengan akses rendah terhadap makanan segar dan sehat) telah menjadi masalah signifikan, yang menyebabkan ketergantungan pada makanan cepat saji dan memicu masalah kesehatan seperti obesitas.1 Meskipun tidak seekstrem di negara maju, fenomena ini mulai terasa di kota-kota besar di Indonesia. Fenomena ini merupakan manifestasi dari ketidakadilan spasial yang harus diatasi PWK.1
Perencana harus mengidentifikasi area-area permukiman yang memiliki aksesibilitas rendah terhadap sumber pangan sehat yang terjangkau. Intervensi tata ruang yang diperlukan meliputi:
Dimensi 3: Pemanfaatan – Gizi, Budaya, dan Legitimasi Kearifan Lokal
Dimensi pemanfaatan pangan terkait erat dengan keragaman pangan, status gizi, dan aspek kultural masyarakat.
Intervensi Gizi dan Stunting
PWK dapat berkontribusi dalam perbaikan gizi masyarakat melalui pemetaan spasial. Pemetaan daerah-daerah rawan stunting atau yang memiliki tingkat obesitas tinggi penting dilakukan untuk mengidentifikasi faktor keruangan yang berperan dan merumuskan intervensi yang relevan.1
Selain itu, desain kawasan harus mengakomodasi promosi pentingnya keanekaragaman pangan. Pemasangan papan-papan informasi di taman kota atau kebun komunitas mengenai manfaat dan nutrisi tanaman edible (seperti yang dilakukan di Melbourne, Australia) dapat mengedukasi masyarakat dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah.1
Melegitimasi Food Foraging (Ramban)
Secara kultural, konsep food foraging (mencari makanan liar), yang baru-baru ini populer di Barat, memiliki padanan tradisional yang kuat di Indonesia, dikenal sebagai ramban di Jawa.1 Kegiatan mencari bahan makanan dari tanaman liar ini merupakan alternatif tradisional yang memperkuat kedaulatan pangan non-komersial. Perencana harus mengidentifikasi lokasi-lokasi ramban dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan RTH perkotaan, tidak hanya untuk memperkaya sumber pangan, tetapi juga untuk melestarikan kearifan lokal.1
Dimensi 4: Pengelolaan Sampah Pangan – Siklus Ekonomi Sirkular
Sampah organik, terutama sampah dapur dan limbah pasar, harus diredefinisi dari masalah lingkungan menjadi sumber daya.
Merancang Jaringan Pengomposan Terpadu
PWK harus merencanakan jaringan pengelolaan sampah organik secara terpadu. Sampah harus dipilah dan dikomposkan, yang memberikan manfaat triple bottom line: meningkatkan ketersediaan pupuk organik (ekonomi), memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan (lingkungan), dan mendukung pertanian kota.1
Peran perencana mencakup pemetaan sumber sampah organik (permukiman, pasar, rumah makan), penentuan lokasi stasiun pengomposan komunal yang mudah diakses, dan penentuan jalur penyaluran kompos. Contohnya, model pengelolaan di South Melbourne Market yang mengolah limbah sayur dan buah menjadi kompos dengan bantuan cacing (worm composting), menunjukkan bahwa inovasi ini baik secara lingkungan maupun ekonomi.1
Selain itu, PWK perlu menyediakan alokasi ruang yang tepat untuk pemanfaatan limbah pangan, seperti peternakan maggot dan integrasi sistem aquaponics (mengombinasikan perikanan dan hidroponik), yang sesuai untuk lingkungan perkotaan.1
Dimensi 5: Lintas Dimensi – Sinergi Desa-Kota dan Teknologi Cerdas
Kelompok kelima ini mencakup isu-isu yang mengintegrasikan semua dimensi sistem pangan.
Keterkaitan Desa-Kota (Rural-Urban Linkages)
Perencanaan sistem pangan harus menjamin keterkaitan desa-kota secara adil. Fokus harus ditempatkan pada bagaimana petani desa dapat memanfaatkan pasar kota, dan bagaimana kota dapat memperoleh pasokan stabil tanpa merusak lingkungan perdesaan. Isu ini juga menyangkut aspek keadilan, kedaulatan, dan kesetaraan pangan (food equity, sovereignty, and justice) di seluruh wilayah.1
Urban Food Governance dan Smart Food City
Pengelolaan pangan perkotaan (urban food governance) membutuhkan kerangka kebijakan yang terpadu. Meskipun beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, telah memiliki Desain Besar Pertanian Perkotaan, koordinasi ini perlu diperkuat agar intervensi PWK tidak berjalan sendiri-sendiri.1
Akhirnya, integrasi teknologi cerdas (smart technology) sangat diperlukan. Konsep Smart Food City menuntut perencana untuk menggabungkan perencanaan kota cerdas dengan inovasi sistem pangan. Teknologi dapat digunakan untuk mendukung produksi (misalnya, smart dairy farming), mengoptimalkan rantai pasok, dan memfasilitasi pemasaran digital. Dalam konteks modern, infrastruktur digital kini menjadi lapisan penting dari perencanaan tata ruang untuk menjamin efisiensi dan keadilan pangan di masa depan.
Kritik Realistis dan Jalan ke Depan: Menanggalkan Kacamata Kuda PWK
Kajian ini, meskipun menyajikan kerangka konseptual yang kuat, menghadapi keterbatasan realistis, yaitu penerjemahan konsep global ke konteks domestik. Keterbatasan studi ini adalah bahwa kerangka yang disajikan bersifat sintesis dari literatur internasional dan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal yang unik.1
Opini dan Kritik Realistis: Keterbatasan utama dalam praktik PWK di Indonesia adalah kecenderungan untuk terlalu fokus pada aspek legalistik lahan (LP2B). Padahal, masalah pangan jauh melampaui produksi di desa; masalahnya kini berada pada distribusi, konsumsi, dan pengelolaan limbah di perkotaan.1 Implementasi yang efektif dari perencanaan berwawasan pangan ini sangat bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berbeda-beda di setiap daerah. Oleh karena itu, kreativitas dan inovasi para perencana di daerah sangat diperlukan untuk menerjemahkan kerangka lima dimensi ini agar sesuai dengan karakteristik dan isu strategis domestik.1
Perencanaan tata ruang harus kembali pada tujuan intinya: meningkatkan daya hidup dan kesejahteraan. Pangan harus dianggap sebagai infrastruktur keberlanjutan. Sudah saatnya PWK Indonesia bergerak dari sekadar kontrol regulasi lahan menjadi fasilitator proaktif yang membangun ketahanan pangan melalui intervensi spasial yang cerdas.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika konsep perencanaan tata ruang berwawasan pangan ini diterapkan secara komprehensif—melibatkan legalisasi lahan pertanian perkotaan, perancangan pasar tani, hingga pengembangan jaringan daur ulang limbah—Indonesia dapat membangun kota yang jauh lebih tangguh terhadap gejolak ekonomi dan lingkungan.
Implementasi yang terstruktur dan terpadu dari konsep ini berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah organik perkotaan hingga 15% dan secara signifikan meningkatkan pendapatan petani lokal melalui efisiensi rantai pasok yang lebih pendek, dalam waktu lima tahun ke depan. Dampak jangka panjangnya adalah kota yang tidak hanya mandiri dalam memenuhi sebagian kebutuhan pangan segar warganya, tetapi juga memiliki kualitas lingkungan yang lebih baik dan masyarakat yang lebih berkesadaran terhadap sistem pangan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Pandangwati, S. T. (2022). Perencanaan Tata Ruang Berwawasan Pangan: Sebuah Resep untuk Kota Berkelanjutan. Reka Ruang, 5(2), 100–116.