Ketahanan pangan masih menjadi salah satu agenda strategis Indonesia. Sektor pertanian bukan hanya penopang penyediaan pangan nasional, tetapi juga sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani. Selama lebih dari satu dekade terakhir, kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto memang menurun secara bertahap, namun sektor ini tetap menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan dan daya tahan sosial masyarakat.
Tantangan besar muncul dari struktur pertanian yang masih tradisional, keterbatasan akses teknologi, hingga ketergantungan pada input produksi yang mahal. Pada saat yang sama, permintaan pangan domestik terus naik akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi. Kondisi ini menuntut strategi baru untuk memastikan produktivitas meningkat, harga stabil, dan kesejahteraan petani terjaga.
Peran Strategis Pertanian dalam Struktur Ekonomi dan Sosial
Pertanian tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar setelah industri, dengan lebih dari 39 juta orang bekerja di sektor ini. Produktivitas pertanian tidak hanya menentukan ketersediaan makanan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai, tetapi juga berpengaruh pada rantai nilai industri makanan, pakan ternak, dan sektor jasa pendukung. Ketika pertanian tumbuh, daya beli rumah tangga desa meningkat, dan efek ini merembet ke sektor-sektor produktif lain.
Namun transformasi struktural yang terjadi—ditandai menurunnya proporsi tenaga kerja pertanian—mencerminkan bahwa sektor ini membutuhkan modernisasi. Tanpa peningkatan produktivitas, pertanian berpotensi tertinggal dari laju pertumbuhan sektor lain yang lebih padat teknologi.
Ketahanan Pangan: Target Besar yang Memerlukan Reformasi
Pemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional dengan target peningkatan produktivitas petani hingga hampir empat kali lipat pada 2045. Tantangan utama adalah memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat di tengah defisit komoditas tertentu, volatilitas harga, dan ancaman perubahan iklim.
Upaya memperkuat ketahanan pangan diarahkan pada peningkatan produksi komoditas strategis, seperti beras, jagung, cabai, bawang, daging ayam, telur, dan minyak goreng. Jagung menjadi perhatian khusus karena perannya yang luas—sebagai bahan konsumsi, industri pangan, dan komponen utama pakan ternak. Data terbaru menunjukkan produksi jagung meningkat lebih dari 45% dalam satu dekade, menandakan potensi besar untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus menekan impor. Selain itu, konsumsi jagung per minggu sempat meningkat sebelum stabil kembali pada beberapa tahun terakhir, menunjukkan pergeseran pola konsumsi masyarakat.
Produksi yang Cukup, tetapi Belum Stabil Sepanjang Tahun
Tingginya produksi jagung nasional membuat Indonesia relatif mandiri untuk kebutuhan domestik. Namun produksi masih sangat musiman, dengan puncak panen yang terkonsentrasi pada kuartal awal setiap tahun. Setelah masa panen raya, produksi turun drastis sehingga terjadi ketidakseimbangan suplai yang memicu fluktuasi harga.
Dalam kondisi seperti ini, petani menjadi kelompok yang paling rentan. Ketika produksi tinggi tetapi harga jatuh, mayoritas petani merugi—terutama bagi mereka yang menanam jagung untuk memenuhi pasar pakan ternak yang menyerap lebih dari 70% total permintaan. Masalah ketidakstabilan harga ini sering kali lebih merugikan daripada tingginya biaya produksi.
Keterbatasan Program Bantuan Benih dan Tantangan Lapangan
Selama bertahun-tahun, pemerintah memberi dukungan berupa subsidi benih dan bantuan benih gratis. Program ini berambisi mendorong produksi, tetapi efektivitasnya beragam. Banyak petani mengeluhkan kualitas benih yang menurun, ketidaksesuaian varietas dengan kondisi lahan, hingga waktu distribusi yang tidak menentu.
Beberapa temuan lapangan menunjukkan bahwa satu jenis benih sering diberikan kepada kelompok petani yang memiliki karakteristik tanah berbeda. Kondisi tiap petak tanah sangat beragam—ada yang membutuhkan varietas tahan air, ada pula yang lebih cocok dengan varietas untuk lahan kering. Ketidaksesuaian ini berdampak pada hasil panen yang tidak optimal.
Selain itu, data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil petani yang benar-benar menerima bantuan benih, dan hasil panen mereka tidak selalu lebih tinggi dibanding petani yang menggunakan benih komersial. Struktur bantuan ini, meski penting, tidak cukup menjawab kebutuhan kompleks di lapangan.
Kredit sebagai Instrumen Kunci untuk Meningkatkan Produktivitas
Banyak petani tidak terutama kekurangan benih, tetapi kekurangan modal. Benih hanya mencakup sebagian kecil dari total biaya produksi—sekitar tiga sampai sembilan persen. Sisanya adalah biaya pupuk, tenaga kerja, peralatan, land clearing, dan irigasi.
Dalam kondisi harga komoditas yang fluktuatif dan biaya produksi yang tinggi, banyak petani harus meminjam dana dari lembaga informal dengan bunga tinggi. Ini membuat mereka rentan terhadap jeratan utang. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya telah membantu sebagian petani, tetapi aksesnya masih sangat terbatas. Hanya sekitar satu juta petani yang dapat memanfaatkannya, jauh lebih kecil dibanding jumlah petani nasional.
Kredit memberikan fleksibilitas yang jauh lebih besar dibanding bantuan benih. Di beberapa daerah Lampung, misalnya, dana kredit digunakan petani untuk menyewa lahan, memperbaiki tanah, membeli pupuk, hingga mengelola gulma. Petani dapat menyesuaikan prioritas sesuai kondisi lahan dan strategi usaha mereka sendiri—sebuah fleksibilitas yang tidak bisa diberikan oleh bantuan benih.
Di sisi lain, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam menunjukkan keberhasilan kebijakan kredit pertanian yang lebih terstruktur. Sistem kredit di kedua negara dibangun dengan instrumen pembiayaan yang jelas, insentif bunga rendah, hingga skema penjaminan bagi petani kecil. Praktik seperti ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia.
Teknologi Bioteknologi dan Peluang Barunya
Selain masalah modal, peningkatan produktivitas juga harus datang dari teknologi. Genetically Modified (GM) crops, terutama jagung GM, terbukti membantu petani mengurangi penggunaan pestisida, menekan biaya produksi, serta meningkatkan hasil panen. Petani di Lampung dan Sumbawa yang telah memakai benih GM merasakan efisiensi besar dalam tenaga kerja dan biaya pemeliharaan.
Secara global, banyak riset menunjukkan bahwa tanaman GM meningkatkan hasil panen lebih dari 20% dan mengurangi penggunaan pestisida hingga 37%. Namun adopsi teknologi ini di Indonesia masih sangat lambat akibat kerangka regulasi yang panjang dan persepsi publik yang negatif. Proses perizinan benih GM dapat memakan waktu dua tahun atau lebih, sementara uji keamanan berulang menyebabkan biaya tinggi bagi peneliti dan produsen benih.
Perbandingan dengan Filipina menunjukkan bahwa regulasi yang lebih sederhana, tetapi tetap berbasis sains, mampu mempercepat adopsi benih GM secara luas tanpa masalah keamanan yang berarti.
Kesimpulan: Transformasi Pertanian Harus Menyentuh Akar Masalah
Agar ketahanan pangan benar-benar tercapai, Indonesia perlu menyusun ulang pendekatan kebijakan pertanian. Bantuan benih tetap penting, tetapi tidak cukup. Dukungan harus diarahkan pada peningkatan modal petani, perbaikan infrastruktur, dan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi produksi. Kredit pertanian, teknologi GM, dan pendidikan penyuluh lapangan harus diperkuat secara bersamaan.
Pertanian Indonesia membutuhkan sistem yang memberi petani keleluasaan membuat keputusan sendiri, bukan sistem yang mengunci pilihan mereka pada satu jenis bantuan. Dengan modernisasi kebijakan dan teknologi, pertanian dapat menjadi sektor yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan jutaan keluarga petani.
Daftar Pustaka
ABC Sector Overview Report – Food and Agriculture Sector (pp. 56–81).