Optimalisasi Kinerja dan Analisis Mekanistik Pencernaan Anaerobik Air Limbah Tempe Industri: Studi Eksperimental Kritis terhadap Rasio Food-to-Microorganism (F/M)

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 21.54

unsplash.com

Pendahuluan dan Latar Belakang Masalah

1.1. Kontribusi Ekonomi dan Tantangan Lingkungan Industri Tempe Indonesia

Tempe memegang peranan vital dalam pangan dan ekonomi Indonesia, diakui sebagai sumber protein, serat, dan vitamin B yang bernilai.1 Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia, dengan perkiraan 81.000 perusahaan, yang mayoritas beroperasi pada skala kecil dan mikro, yang secara kolektif memberikan stimulasi ekonomi yang signifikan.1 Meskipun demikian, proses produksi tempe menghasilkan air limbah dalam jumlah besar dari kegiatan pencucian, perebusan, dan perendaman kedelai, dengan kuantitas yang diizinkan mencapai $10$ $\text{m}^{3}$ per ton bahan baku yang diolah.1

Jika dibuang tanpa perlakuan yang memadai, air limbah ini menimbulkan dampak lingkungan yang parah. Pembuangan langsung materi organik tinggi ke sungai menyebabkan oxygen depletion (penurunan kadar oksigen terlarut secara drastis), menciptakan kondisi anaerobik yang berbahaya bagi ekosistem air.1 Lebih jauh, proses dekomposisi dalam kondisi kekurangan oksigen di badan air yang kompleks dapat menghasilkan gas rumah kaca (GRK) seperti $\text{N}_{2}\text{O}$ dan metana ($\text{CH}_{4}$), yang berkontribusi terhadap isu perubahan iklim.1

1.2. Karakteristik Pencemar Air Limbah Tempe dan Ketidaksesuaian Baku Mutu

Air limbah tempe memiliki karakteristik sebagai limbah yang sangat organik dan asam. Data menunjukkan bahwa limbah cair industri memiliki nilai Chemical Oxygen Demand (COD) mencapai $13.850\pm618$ mg/L dan Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar $9.200\pm166$ mg/L.1 Kondisi pH air limbah mentah juga sangat rendah, berada pada kisaran $4.62\pm0.1$.1

Konsentrasi pencemar ini jauh melampaui standar efluen yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk air limbah industri olahan kedelai. Standar yang berlaku menetapkan batas maksimum COD $300$ mg/L, BOD $150$ mg/L, dan pH antara 6-9.1 Dengan membandingkan data ini, konsentrasi COD limbah mentah sekitar 46 kali lipat di atas batas yang diizinkan, sementara BOD sekitar 61 kali lipat. Perbedaan yang ekstrem ini menegaskan perlunya metode pengolahan yang sangat efisien untuk mereduksi beban organik. Pengolahan biologis, khususnya Pencernaan Anaerobik (Anaerobic Digestion - AD), adalah pilihan yang rasional karena efektivitasnya dalam menangani limbah dengan kandungan organik yang tinggi.1

1.3. Rasionalitas Pemilihan Pencernaan Anaerobik (AD)

Anaerobic Digestion (AD) dipilih sebagai solusi potensial karena sejumlah keuntungannya dalam mengolah limbah organik berkonsentrasi tinggi. AD membutuhkan energi yang lebih sedikit karena tidak melibatkan sistem aerasi yang intensif seperti proses aerobik.1 Selain itu, AD menghasilkan lumpur berlebih yang minimal dan memiliki operasional yang relatif sederhana. Keunggulan paling signifikan adalah potensi AD untuk menghasilkan biogas (metana), yang dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan, sehingga berpotensi mengurangi biaya pengolahan secara substansial.1

Meskipun AD sangat efektif untuk menghilangkan polutan organik dalam jumlah besar (bulk removal), efisiensi totalnya mungkin lebih kecil dibandingkan proses aerobik. Implikasinya, meskipun AD berhasil menghilangkan sebagian besar polutan (seperti yang ditunjukkan oleh penyisihan COD $67.7\%$ pada kondisi optimal 1), sisa COD efluen masih jauh di atas baku mutu. Oleh karena itu, penerapan AD yang efektif harus dilihat sebagai tahap pertama dan paling menguntungkan secara energi dalam sistem pengolahan multi-tahap (seperti anaerobik-aerobik) untuk menjamin kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.1

 

Kerangka Teoritis dan Parameter Kritis AD

2.1. Tinjauan Proses Biokimia Empat Tahap AD

Proses Pencernaan Anaerobik melibatkan empat tahap biokimia berturut-turut yang dikatalisis oleh komunitas mikroba 1:

  1. Hidrolisis: Tahap pertama di mana senyawa organik kompleks (karbohidrat, protein, lipid) dipecah menjadi monomer yang lebih sederhana, seperti asam amino, asam lemak, dan monosakarida.

  2. Asidogenesis: Monomer hasil hidrolisis diubah menjadi Volatile Fatty Acids (VFAs)—terutama asam asetat, propionat, dan butirat—serta gas dan amonia ($\text{NH}_{3}$).1 Tahap ini biasanya berlangsung sangat cepat.

  3. Asetogenesis: VFAs, kecuali asetat, diubah menjadi asetat, $\text{H}_{2}$, dan $\text{CO}_{2}$. Asetat adalah prekursor utama untuk pembentukan metana.

  4. Metanogenesis: Tahap akhir, di mana metana ($\text{CH}_{4}$) dihasilkan. Tahap ini didominasi oleh dua jalur: asetotropik (mengubah asetat menjadi metana dan $\text{CO}_{2}$) dan hidrogenotropik (menggunakan $\text{CO}_{2}$ dan $\text{H}_{2}$).1 Metanogenesis adalah tahap paling lambat dan paling sensitif, menentukan laju keseluruhan konversi energi sistem.

2.2. Peran Kritis Rasio Food-to-Microorganism (F/M)

Rasio Food-to-Microorganism (F/M), yang didefinisikan sebagai gCOD/gVSS, berfungsi sebagai indikator kunci keseimbangan antara beban substrat organik (makanan) dan biomassa mikroorganisme (inokulum) dalam reaktor.1 Keseimbangan ini menentukan stabilitas kinetika proses.

Ketidakseimbangan rasio F/M dapat memicu kegagalan sistem. Rasio F/M yang terlalu tinggi menyebabkan laju acidogenesis melebihi laju metanogenesis, mengakibatkan akumulasi VFAs yang berlebihan. Akumulasi asam ini secara drastis menurunkan pH, menghambat metabolisme mikroorganisme metanogenik, dan menekan produksi metana.1 Sebaliknya, rasio F/M yang terlalu rendah mengindikasikan keterbatasan substrat, di mana bioaktivitas mikroorganisme melambat secara signifikan, meskipun risiko penghambatan asam minimal.1 Oleh karena itu, mengoptimalkan F/M sangat penting untuk mencapai konversi organik maksimal dan produksi metana yang stabil.

2.3. Peran Signifikan Inokulum Lokal

Dalam studi ini, lumpur yang berasal dari digester biogas kotoran sapi digunakan sebagai inokulum.1 Sumber inokulum ini terbukti memainkan peran yang signifikan dalam mendorong dekomposisi anaerobik air limbah tempe industri.1 Perlakuan kontrol (tanpa inokulum tambahan) hanya menghasilkan volume biogas yang tidak signifikan, yang memperkuat pentingnya peran biomassa aktif dari inokulum.1

Inokulum ini sebelumnya diaklimatisasi melalui penyesuaian rasio campuran dengan air limbah tempe secara bertahap (75:25, 50:50, dan 25:75 volume/volume) untuk meningkatkan afinitas mikroorganisme terhadap substrat limbah tempe yang spesifik.1 Keberhasilan inokulum kotoran sapi ini memvalidasi pendekatan strategis dan berbiaya rendah. Karena industri tempe UMKM seringkali berada di dekat sumber kotoran ternak 5, pemanfaatan inokulum yang tersedia secara lokal dan alami ini memungkinkan integrasi yang mulus antara pengolahan limbah dan ketersediaan sumber daya bio-energi setempat, sebuah model yang sangat mendukung kelayakan ekonomi sirkular pada skala mikro.1

 

Data Input Awal dan Pengaturan Eksperimen

3.1. Karakterisasi Air Limbah Mentah dan Penyesuaian

Air limbah tempe industri yang digunakan menunjukkan Total Solids (TS) $13.635\pm280$ mg/L dan Total Alkalinity (TA) $2.000\pm86$ $\text{mg}/\text{L}$ ($\text{CaCO}_{3}$).1 Kandungan nitrogen totalnya tinggi, dengan $81.5\pm5$ mg/L berupa $\text{N-NH}_{3}$.1

Mengingat pH awal yang sangat asam ($4.62\pm0.1$), pH campuran substrat dan inokulum harus disesuaikan ke 7.8 menggunakan $\text{NaOH}$ 2M sebelum dimuat ke dalam reaktor.1 Penyesuaian ini menciptakan kondisi awal yang optimal dan membantu mencegah penghambatan metanogen akut di awal proses, yang sangat penting karena metanogen sensitif terhadap kondisi pH di bawah 6.8.1

3.2. Pengaturan Variasi Rasio F/M

Eksperimen dilakukan dalam reaktor batch terkontrol dengan volume kerja 4 L.1 Rasio F/M diatur dengan mempertahankan konsentrasi COD substrat yang sama (diencerkan 2 kali dari konsentrasi aktual) dan menyesuaikan Volatile Solids (VS) inokulum. Tiga rasio F/M yang diuji adalah: 0.56, 1.12, dan 1.92 gCOD/gVSS.1 Semua percobaan dilakukan pada kondisi mesofilik ($30\pm1^{\circ}\text{C}$).1

 

Kinerja Biogas dan Optimalisasi Rasio F/M

4.1. Produksi Metana Kumulatif dan Laju Kinetika

Kinerja proses AD selama 21 hari secara tegas menunjukkan korelasi antara rasio F/M dan produksi metana.

Rasio $\text{F}/\text{M}=1.12$ menghasilkan kinerja superior, mencatat total volume metana kumulatif tertinggi sebesar 8720 mL.1 Kinetika pada rasio ini dicirikan oleh stabilitas yang tinggi dan laju peningkatan yang konstan, mencapai laju produksi harian maksimum 740 $\text{mL}/\text{hari}$ pada Hari ke-16.1 Kinerja optimal ini mengindikasikan bahwa rasio $1.12$ menyediakan biomassa yang cukup untuk mengolah beban substrat, menjaga laju konversi asam yang efisien.

Rasio $\text{F}/\text{M}=1.92$ menghasilkan total metana 6840 mL, menempati posisi kedua.1 Namun, sistem ini menunjukkan fase lag yang lebih panjang di awal. Laju produksi metana sangat lambat, hanya mencapai 200 $\text{mL}/\text{hari}$ pada Hari ke-8.1 Perlambatan ini adalah tanda klasik penghambatan VFA akibat beban substrat yang tinggi, meskipun sistem akhirnya berhasil mengatasi hambatan tersebut dan laju produksi meningkat tajam setelah Hari ke-11.1

Rasio $\text{F}/\text{M}=0.56$ menghasilkan volume metana terendah, yaitu 2460 mL.1 Meskipun awalnya menunjukkan respons cepat (340 $\text{mL}/\text{hari}$ pada Hari ke-3), kinerja ini menjadi tidak stabil dan berfluktuasi.1 Produksi yang rendah ini disebabkan oleh keterbatasan substrat, yang menghambat laju metabolisme mikroorganisme secara keseluruhan.1

4.2. Efisiensi Penyisihan Zat Organik (COD Removal)

Efisiensi penyisihan zat organik merupakan indikator langsung keberhasilan konversi energi. Rasio $\text{F}/\text{M}=1.12$ juga mencatatkan penyisihan COD terbesar, sebesar $67.7\%$.1 Rasio $1.92$ menghasilkan penyisihan $58.9\%$, sementara $0.56$ hanya mencapai $38.4\%$.1

Optimalisasi pada $\text{F}/\text{M}=1.12$ adalah kunci untuk kelayakan implementasi komersial. Rasio ini memungkinkan memaksimalkan konversi energi ($8720$ mL $\text{CH}_{4}$) per unit biomassa yang diinvestasikan. Dalam konteks desain reaktor skala UMKM, F/M optimal ini meminimalkan ukuran reaktor yang dibutuhkan untuk mengolah sejumlah limbah tertentu, sambil memastikan produksi biogas tertinggi, yang pada gilirannya mengoptimalkan return on investment (ROI) dari perspektif waste-to-energy.

 

Analisis Dinamika Parameter Operasional

5.1. Analisis Fluktuasi pH: Indikator Stabilitas Proses

Semua reaktor menunjukkan penurunan pH awal dari nilai yang disesuaikan (7.8), dengan penurunan paling signifikan pada $\text{F}/\text{M}=1.92$, mencapai titik terendah 4.5.1 Penurunan akut ini adalah indikasi langsung dari produksi VFA yang cepat selama fase acidogenesis. Pola balik (turn-back) pH yang terjadi kemudian, di mana pH mulai meningkat, menandakan keberhasilan metanogen dalam mengkonsumsi VFA dan adanya peran alkalinitas.1 $\text{F}/\text{M}=1.12$ mencapai pH akhir $6.85$, yang berada dalam rentang optimal untuk metanogenesis ($6.8-7.2$), menegaskan stabilitas biokimia yang superior pada rasio ini.1

5.2. Keseimbangan Alkalinitas dan Peran Amonia

Kenaikan pH dan stabilisasi proses secara intrinsik didukung oleh alkalinitas sistem. Peningkatan alkalinitas selama proses AD disebabkan oleh produk dekomposisi protein, yaitu amonia ($\text{NH}_{3}$). Amonia memainkan peran buffering ganda: menetralkan VFAs melalui ionisasi dan bereaksi dengan $\text{CO}_{2}$ dan air untuk menghasilkan bikarbonat ($\text{HCO}_{3}^{-}$).1

Meskipun amonia bermanfaat, konsentrasi yang berlebihan dapat menghambat metanogen. Pada Hari ke-1, $\text{F}/\text{M}=1.12$ dan $1.92$ memiliki konsentrasi amonia $217$ $\text{mg}/\text{L}$ dan $226$ $\text{mg}/\text{L}$ masing-masing.1 Konsentrasi ini sedikit di atas batas amonia bebas yang disarankan (200 $\text{mg}/\text{L}$) untuk menghindari hambatan.1 Namun, karena produksi metana yang signifikan masih terjadi, hal ini mengindikasikan bahwa toksisitas amonia tidak bersifat akut. Mekanisme pengaturan pH awal ke 7.8 kemungkinan mempertahankan sebagian besar nitrogen dalam bentuk ion $\text{NH}_{4}^{+}$ yang tidak terlalu toksik, memungkinkan proses metanogenesis tetap berjalan.1 Penurunan konsentrasi amonia selama 21 hari juga menunjukkan transformasi amonia yang mendukung kapasitas buffering sistem.

5.3. Dinamika Volatile Fatty Acids (VFAs) dan Penghambatan

VFAs adalah produk antara vital, dan produksinya didominasi oleh asam asetat, diikuti oleh butirat dan propionat.1 Dominasi asetat adalah kondisi yang menguntungkan karena dapat langsung digunakan oleh metanogen.

Akumulasi VFA tertinggi terjadi pada $\text{F}/\text{M}=1.92$, di mana asam asetat mencapai $3000$ mg/L, mengkonfirmasi bahwa kelebihan substrat memicu acidogenesis yang tidak terkendali.1 Akumulasi besar ini menurunkan laju metabolisme metanogen, menyebabkan fase lag yang panjang dan laju konversi metana yang tertekan di awal.

Sebaliknya, pada $\text{F}/\text{M}=1.12$, meskipun asam asetat mencapai $1800$ mg/L, terjadi penurunan VFA yang paling tajam selama periode percobaan.1 Reduksi VFA mencapai $71.1\%$ untuk asam asetat, $90.1\%$ untuk butirat, dan $86.7\%$ untuk propionat.1 Penurunan yang cepat ini mencerminkan laju konversi metanogen yang cepat dan terkoordinasi, menegaskan bahwa keseimbangan biomassa-substrat pada rasio $1.12$ berhasil mencegah decoupling biokimia.

 

Diskusi Mendalam dan Implikasi Strategis

6.1. Mekanisme Penghambatan Metabolik pada F/M Tinggi

Kinerja sub-optimal pada $\text{F}/\text{M}=1.92$ disebabkan oleh fenomena decoupling antara laju pembentuk asam dan laju konsumsi asam. Ketika beban substrat terlalu tinggi, acidogenesis berlangsung sangat cepat, membanjiri sistem dengan VFA.1 Akumulasi asam ini tidak hanya menurunkan pH secara langsung tetapi juga menekan laju pertumbuhan populasi metanogen yang lambat. VFA yang menumpuk terbukti menjadi penghambat utama kinetika metana di awal proses.1 Meskipun $F/M=1.92$ memiliki potensi organik tertinggi, energi ini tidak dapat diakses secara efisien hingga sistem berhasil meningkatkan kapasitas buffering dan mengkonsumsi kelebihan VFA, yang membutuhkan waktu pemulihan yang signifikan setelah Hari ke-11.1

6.2. Potensi Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif

Produksi metana 8720 mL pada kondisi optimal adalah hasil yang dapat diterjemahkan langsung ke dalam potensi energi untuk industri tempe. Penerapan AD memberikan manfaat ganda bagi UMKM tempe: (1) Pengurangan pencemaran, dan (2) Penghematan biaya operasional melalui substitusi bahan bakar. Biogas yang dihasilkan dapat menggantikan bahan bakar tradisional (LPG atau kayu bakar) yang biasa digunakan dalam proses perebusan kedelai.5

Optimalisasi rasio $\text{F}/\text{M}=1.12$ secara fundamental mendukung model bisnis sirkular yang berkelanjutan. UMKM dapat mengubah limbah cair menjadi sumber pendapatan energi dan juga menghasilkan bio-slurry sebagai pupuk organik.5 Bagi industri kecil dengan margin keuntungan tipis, pengurangan biaya bahan bakar dan pengolahan limbah menjadi motivasi adopsi teknologi yang jauh lebih kuat dibandingkan sekadar kepatuhan regulasi lingkungan.

6.3. Kelayakan Penerapan Teknologi AD Skala UMKM

Mengingat kendala umum UMKM tempe—seperti keterbatasan lahan, biaya modal tinggi untuk IPAL konvensional, dan kurangnya pengetahuan teknis 3—implementasi AD harus difokuskan pada solusi yang disederhanakan dan terdesentralisasi. Instalasi biogas skala rumah tangga (misalnya, digester balon) atau sistem pengolahan komunal yang melayani beberapa produsen tempe adalah alternatif yang paling sesuai.5

Keberhasilan studi ini, yang memvalidasi penggunaan inokulum lokal dari kotoran sapi dan menetapkan F/M yang optimal, menyediakan dasar teknis yang kuat. Keberhasilan implementasi tergantung pada penyederhanaan operasional dan pemeliharaan rasio F/M yang optimal untuk mencegah kegagalan sistem yang disebabkan oleh ketidakseimbangan VFAs/pH, memastikan produksi metana yang stabil dan penghematan biaya produksi yang berkelanjutan.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

7.1. Kesimpulan Kritis Hasil Penelitian

Lumpur dari digester biogas kotoran sapi terbukti efektif sebagai inokulum untuk proses Pencernaan Anaerobik air limbah tempe industri.1 Rasio Food-to-Microorganism (F/M) adalah parameter operasional yang paling menentukan kinerja proses. Kondisi optimal dicapai pada $\text{F}/\text{M} = 1.12$, menghasilkan total produksi metana maksimum 8720 mL dan penyisihan COD tertinggi sebesar $67.7\%$ dalam 21 hari.1

Analisis dinamika parameter operasional menunjukkan bahwa kinerja yang terhambat pada F/M tinggi ($\text{F}/\text{M}=1.92$) secara langsung disebabkan oleh akumulasi Volatile Fatty Acids (VFAs). Akumulasi ini memicu penurunan pH yang menghambat laju metabolisme mikroorganisme metanogenik, menekan konversi asam menjadi metana di fase awal proses.1

7.2. Rekomendasi Teknis untuk Pengembangan Sistem Pengolahan

  1. Pengaturan Rasio F/M yang Tepat: Sistem AD harus dirancang untuk beroperasi pada atau mendekati rasio $\text{F}/\text{M} = 1.12$ ($\text{gCOD}/\text{gVSS}$) untuk menjamin stabilitas kinetik dan efisiensi konversi energi tertinggi.

  2. Kombinasi Pengolahan: Mengingat bahwa penyisihan COD $67.7\%$ masih menyisakan efluen yang jauh di atas batas baku mutu (COD $300$ mg/L) 1, sistem AD harus diintegrasikan sebagai tahap primer (pembentuk energi), diikuti oleh unit post-treatment aerobik (polishing) untuk memastikan kepatuhan efluen sebelum dibuang ke lingkungan.

  3. Pemanfaatan Inokulum Lokal: Disarankan untuk memanfaatkan sinergi agro-industri lokal dengan menggunakan lumpur kotoran sapi yang teraklimatisasi sebagai inokulum, karena terbukti efektif dan meminimalkan biaya input.1

7.3. Arahan Penelitian Masa Depan

  1. Validasi Kinetika Kontinu: Melakukan studi kinerja jangka panjang dalam konfigurasi reaktor kontinu (seperti UASB atau CSTR) untuk memvalidasi stabilitas operasional F/M 1.12 di bawah beban hidrolik dan organik yang berkelanjutan, yang lebih mewakili operasi industri nyata.

  2. Sinergi Ko-Digesti: Eksplorasi mendalam terhadap ko-digesti air limbah tempe dengan kotoran ternak sebagai ko-substrat, dengan fokus pada bagaimana komposisi campuran dapat secara optimal meningkatkan kapasitas alkalinitas sistem, meredam penghambatan VFA, dan memungkinkan peningkatan Organic Loading Rate (OLR) secara keseluruhan.

  3. Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi UMKM: Melakukan evaluasi tekno-ekonomi komparatif yang rinci untuk instalasi biogas komunal bagi UMKM, menggunakan data produksi metana yang teruji ($8720$ mL), untuk menyediakan dasar data yang kuat dalam mendukung kebijakan pendanaan dan adopsi teknologi ini di sektor industri skala kecil.


 

Sumber Artikel:

A comprehensive study on anaerobic digestion of organic solid waste: A review on configurations, operating parameters, techno-economic analysis and current trends - PMC - PubMed Central, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11630644/