Food Safety Management: Sistem, Standar, dan Praktik Pengendalian Keamanan Pangan dari Farm to Table

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

11 Desember 2025, 18.19

1. Pendahuluan

Keamanan pangan merupakan fondasi keberlanjutan industri makanan modern. Di tengah meningkatnya kompleksitas rantai pasok serta ekspektasi konsumen terhadap produk yang aman, higienis, dan berkualitas, perusahaan tidak lagi cukup mengandalkan inspeksi akhir sebagai jaminan mutu. Kasus keracunan makanan, kontaminasi silang, hingga penarikan produk (recall) menunjukkan bahwa kegagalan pada satu titik kecil dalam proses dapat berdampak sistemik pada kesehatan publik dan reputasi bisnis.

Food Safety Management hadir sebagai pendekatan menyeluruh untuk mencegah bahaya pangan melalui sistem yang terdokumentasi, terukur, dan terintegrasi. Ia mencakup penerapan standar global seperti GMP, HACCP, dan ISO 22000, serta memastikan pengendalian risiko pangan dilakukan secara proaktif dari tahap produksi awal hingga konsumsi akhir—sebuah konsep yang dikenal sebagai farm to table. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi risiko kontaminasi, tetapi juga meningkatkan efisiensi proses, memperkuat kepercayaan konsumen, dan membuka akses pasar ekspor yang mengutamakan standar keamanan ketat.

Tulisan ini menguraikan kerangka dasar manajemen keamanan pangan, jenis bahaya utama, prinsip-prinsip Good Manufacturing Practices, serta evolusi menuju sistem yang lebih komprehensif melalui HACCP dan ISO 22000. Pembahasan diperdalam dengan analisis mengapa keamanan pangan merupakan tanggung jawab kolektif lintas fungsi dalam organisasi serta bagaimana sistem ini mengelola risiko secara konsisten sepanjang rantai produksinya.

 

2. Fondasi Konseptual Sistem Manajemen Keamanan Pangan

Sistem Manajemen Keamanan Pangan (Food Safety Management System/FSMS) bertujuan memastikan bahwa setiap proses, bahan, fasilitas, dan personel beroperasi sesuai standar yang mencegah bahaya yang dapat membahayakan konsumen. Sistem ini bekerja dengan prinsip preventif: bukan menunggu masalah muncul, tetapi mengendalikan titik-titik kritis sebelum risiko berkembang menjadi insiden.

2.1. Pengertian Keamanan Pangan dan Lingkup Pengelolaannya

Keamanan pangan tidak hanya mencakup kesehatan produk akhir, tetapi seluruh kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa pangan “aman untuk dikonsumsi.” Lingkup pengelolaannya meliputi:

  • produksi bahan baku,

  • penanganan dan penyimpanan,

  • pemrosesan,

  • distribusi,

  • penyajian,

  • edukasi konsumen.

Pendekatan farm to table menekankan bahwa setiap aktor dalam rantai pangan memiliki tanggung jawab: petani, distributor, produsen, pengecer, hingga pelaku food service.

2.2. Tiga Kategori Bahaya Pangan yang Harus Dikendalikan

Bahaya pangan dibagi ke dalam tiga kategori utama, dan semuanya harus dikelola dalam FSMS:

a. Bahaya Biologis

Meliputi bakteri patogen (Salmonella, E. coli, Listeria), virus, parasit, maupun jamur. Bahaya ini sering muncul dari:

  • sanitasi buruk,

  • suhu penyimpanan tidak tepat,

  • kontaminasi silang,

  • praktik personal hygiene yang tidak memadai.

b. Bahaya Kimia

Dapat berasal dari:

  • residu pestisida,

  • logam berat,

  • bahan tambahan pangan yang melebihi batas,

  • pembersih dan desinfektan yang mengkontaminasi makanan.

Bahaya kimia identik dengan risiko jangka panjang karena efek toksik yang tidak selalu langsung terlihat.

c. Bahaya Fisik

Termasuk benda asing seperti:

  • pecahan kaca,

  • logam,

  • plastik,

  • serpihan kayu,

  • potongan alat produksi.

Bahaya fisik seringkali menjadi penyebab pengembalian produk karena dapat langsung melukai konsumen.

2.3. Prinsip Dasar yang Mendasari FSMS

FSMS dibangun di atas beberapa prinsip inti yang menjadi dasar implementasi standar global:

1. Pendekatan Preventif

Menghindari kontaminasi lebih efektif daripada menginspeksi dan memperbaiki setelah produk dibuat.

2. Pendekatan Sistematis dan Terukur

Semua prosedur harus terdokumentasi dengan jelas untuk memastikan konsistensi.

3. Evaluasi Berbasis Risiko

Setiap langkah proses dianalisis berdasarkan karakteristik bahaya dan probabilitas kejadiannya.

4. Tanggung Jawab Kolektif

FSMS bukan tugas departemen QA semata; operator, teknisi, manajemen, dan logistik turut berperan.

5. Continuous Improvement

Review berkala dilakukan untuk mengidentifikasi titik perbaikan terhadap proses dan dokumentasi.

2.4. Peran Good Manufacturing Practices (GMP) dalam FSMS

GMP adalah fondasi operasional dalam sistem keamanan pangan. Tanpa GMP yang kuat, HACCP dan ISO 22000 tidak dapat dilakukan dengan efektif. GMP meliputi:

  • desain fasilitas yang higienis,

  • pengendalian hama,

  • sanitasi peralatan dan lingkungan,

  • personal hygiene pekerja,

  • prosedur penerimaan bahan baku,

  • pemisahan area bersih dan kotor,

  • penyimpanan sesuai suhu dan karakteristik makanan.

GMP memastikan bahwa proses berjalan di lingkungan yang aman sehingga risiko bahaya dapat diminimalkan sejak awal.

2.5. Evolusi Menuju Sistem Manajemen Berstandar Global: HACCP dan ISO 22000

a. HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points)

HACCP berfokus pada:

  • identifikasi bahaya,

  • penentuan titik kendali kritis (CCP),

  • penetapan batas kritis,

  • monitoring,

  • tindakan korektif,

  • verifikasi,

  • dokumentasi.

Pendekatan ini sangat efektif untuk mengendalikan bahaya yang tidak dapat dideteksi melalui inspeksi akhir.

b. ISO 22000

Merupakan standar internasional yang memadukan GMP, HACCP, dan manajemen sistem (PDCA). ISO 22000 menekankan:

  • komunikasi interaktif,

  • manajemen risiko,

  • integrasi dengan standar lain seperti ISO 9001,

  • peningkatan berkelanjutan.

Standar ini membantu perusahaan memastikan rantai pangan yang aman dan dapat ditelusuri.

 

3. Implementasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan: Struktur, Mekanisme, dan Kontrol Kritis

Setelah memahami fondasi teoretis, tantangan terbesar organisasi adalah menerjemahkan prinsip-prinsip keamanan pangan ke dalam praktik operasional yang konsisten. Implementasi FSMS mencakup pembentukan struktur organisasi, penyusunan prosedur, pelatihan, validasi proses, hingga verifikasi berkelanjutan. Tujuannya adalah menciptakan sistem yang tidak hanya memenuhi regulasi tetapi juga benar-benar mengendalikan risiko pangan pada setiap tahap produksi.

3.1. Struktur Organisasi Keamanan Pangan

Sebuah FSMS yang efektif membutuhkan struktur organisasi yang jelas, biasanya terdiri dari:

  • Food Safety Team Leader (FSTL) → bertanggung jawab terhadap keseluruhan implementasi sistem.

  • Food Safety Team → terdiri dari personel QA, produksi, maintenance, purchasing, dan warehouse.

  • Hygiene & Sanitation Team → menjaga kebersihan fasilitas dan peralatan.

  • Internal Auditor → memastikan kepatuhan pada standar seperti HACCP dan ISO 22000.

  • Manajemen Puncak → memastikan alokasi sumber daya dan komitmen organisasi.

Struktur ini memastikan bahwa tanggung jawab keamanan pangan tidak terpusat, namun terdistribusi secara proporsional.

3.2. Pengendalian Bahan Baku dan Supplier Management

Keamanan pangan dimulai jauh sebelum proses produksi. Pengendalian bahan baku mencakup:

  • spesifikasi bahan yang ketat,

  • uji penerimaan kualitas (organoleptik, kimia, mikrobiologi),

  • sistem persetujuan pemasok (approved supplier list),

  • audit pemasok secara berkala,

  • ketertelusuran (traceability) dari asal bahan.

Karena banyak kontaminasi berasal dari bahan baku, proses ini menjadi garis pertahanan pertama dalam FSMS.

3.3. Pengendalian Lingkungan Produksi dan Tata Letak Fasilitas

Lingkungan produksi yang tidak terkontrol dapat menjadi sumber utama kontaminasi. Pengelolaan fasilitas mencakup:

  • pemisahan area bersih dan kotor,

  • kontrol ventilasi dan filtrasi udara,

  • penggunaan material bangunan yang mudah dibersihkan,

  • penempatan wastafel dan fasilitas cuci tangan,

  • alur pergerakan barang dan manusia yang mencegah kontaminasi silang.

Desain tata letak yang buruk berpotensi menyebabkan cross-contamination meskipun SOP telah dirancang dengan baik.

3.4. Pengendalian Proses Produksi

Beberapa aspek penting dalam pengendalian proses makanan meliputi:

  • waktu dan suhu produksi,

  • proses pemasakan dan pendinginan,

  • penyimpanan bahan setengah jadi,

  • pengendalian alat ukur dan thermometer,

  • validasi proses termal (misal pasteurisasi, sterilisasi).

Kesalahan kecil seperti suhu pendinginan yang lambat dapat memungkinkan pertumbuhan bakteri patogen secara eksponensial.

3.5. Personal Hygiene: Pilar Utama Pencegahan Kontaminasi

Dalam banyak insiden foodborne illness, pekerja menjadi vektor kontaminasi. Program personal hygiene harus mencakup:

  • kewajiban cuci tangan pada titik kritis,

  • kebersihan pakaian kerja dan penggunaan hairnet,

  • larangan penggunaan perhiasan,

  • pembatasan akses bagi pekerja yang sakit,

  • pelatihan kebiasaan higienis berkelanjutan.

Disiplin personal hygiene sering menentukan efektivitas keseluruhan FSMS.

3.6. Pengendalian Cleaning & Sanitizing

Program sanitasi mencakup:

  • prosedur pembersihan yang terdokumentasi (SSOP),

  • pemilihan bahan kimia pembersih yang aman,

  • frekuensi pembersihan area risiko tinggi,

  • verifikasi efektifitas sanitasi melalui swab test atau ATP test,

  • kontrol residu bahan kimia agar tidak mengkontaminasi makanan.

Sanitasi merupakan elemen yang sangat sering gagal dalam audit keamanan pangan, sehingga perlu perhatian khusus.

4. Analisis HACCP sebagai Kerangka Pengendalian Bahaya yang Terstruktur

Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) merupakan komponen inti FSMS yang menekankan pendekatan ilmiah untuk mengendalikan bahaya pangan. HACCP diterapkan melalui tujuh prinsip dasar yang saling berkaitan dan bekerja secara sistemik. Bagian ini menguraikan bagaimana analisis HACCP diterapkan untuk mengidentifikasi titik kritis dan memastikan produk selalu dalam kondisi aman.

4.1. Prinsip 1: Analisis Bahaya (Hazard Analysis)

Tahap pertama HACCP adalah menentukan bahaya apa saja yang mungkin muncul dalam setiap langkah proses. Analisis bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:

  • karakteristik bahan baku,

  • kondisi pemrosesan,

  • penyimpanan,

  • potensi kontaminasi silang,

  • konsumen akhir dan cara konsumsi.

Analisis yang tidak lengkap dapat menyebabkan CCP terlewat dan sistem tidak mampu mencegah risiko besar.

4.2. Prinsip 2: Penentuan Critical Control Points (CCP)

CCP adalah titik dalam proses di mana pengendalian sangat diperlukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dapat diterima. Contohnya:

  • suhu pemasakan minimal untuk membunuh bakteri patogen,

  • detektor logam untuk mencegah bahaya fisik,

  • proses pendinginan cepat untuk menghindari pertumbuhan mikroba.

Penentuan CCP dilakukan dengan decision tree yang standar untuk memastikan konsistensi analisis.

4.3. Prinsip 3: Penetapan Batas Kritis

Batas kritis adalah parameter yang tidak boleh dilampaui, seperti:

  • suhu minimal 75°C selama 15 detik,

  • kecepatan metal detector tertentu,

  • pH maksimum/minimum,

  • waktu pendinginan maksimal 2 jam.

Batas kritis harus didasarkan pada kajian ilmiah, standar regulator, dan validasi laboratorium.

4.4. Prinsip 4: Monitoring CCP

Monitoring memastikan CCP selalu berada dalam batas aman. Contoh monitoring:

  • pencatatan suhu memasak setiap batch,

  • pengecekan hasil metal detector,

  • verifikasi waktu pendinginan.

Monitoring harus dilakukan oleh personel terlatih dan menggunakan alat ukur yang terkalibrasi.

4.5. Prinsip 5: Tindakan Korektif

Jika monitoring menunjukkan CCP berada di luar batas kritis, tindakan korektif harus dilakukan segera. Tindakan dapat berupa:

  • pemisahan produk bermasalah,

  • pemrosesan ulang,

  • penghentian produksi,

  • investigasi akar penyebab.

Dokumentasi tindakan korektif sangat penting untuk audit dan perbaikan sistem.

4.6. Prinsip 6 & 7: Verifikasi dan Dokumentasi

a. Verifikasi

Meliputi:

  • audit internal HACCP,

  • pengujian produk secara berkala,

  • validasi proses termal.

Verifikasi memastikan sistem bekerja sesuai desain.

b. Dokumentasi

Semua prosedur, catatan monitoring, tindakan korektif, hasil verifikasi, dan perubahan proses harus terdokumentasi. Dokumentasi inilah yang membuktikan bahwa sistem berjalan konsisten.

 

4. Analisis HACCP sebagai Kerangka Pengendalian Bahaya yang Terstruktur

Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) merupakan komponen inti FSMS yang menekankan pendekatan ilmiah untuk mengendalikan bahaya pangan. HACCP diterapkan melalui tujuh prinsip dasar yang saling berkaitan dan bekerja secara sistemik. Bagian ini menguraikan bagaimana analisis HACCP diterapkan untuk mengidentifikasi titik kritis dan memastikan produk selalu dalam kondisi aman.

4.1. Prinsip 1: Analisis Bahaya (Hazard Analysis)

Tahap pertama HACCP adalah menentukan bahaya apa saja yang mungkin muncul dalam setiap langkah proses. Analisis bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:

  • karakteristik bahan baku,

  • kondisi pemrosesan,

  • penyimpanan,

  • potensi kontaminasi silang,

  • konsumen akhir dan cara konsumsi.

Analisis yang tidak lengkap dapat menyebabkan CCP terlewat dan sistem tidak mampu mencegah risiko besar.

4.2. Prinsip 2: Penentuan Critical Control Points (CCP)

CCP adalah titik dalam proses di mana pengendalian sangat diperlukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dapat diterima. Contohnya:

  • suhu pemasakan minimal untuk membunuh bakteri patogen,

  • detektor logam untuk mencegah bahaya fisik,

  • proses pendinginan cepat untuk menghindari pertumbuhan mikroba.

Penentuan CCP dilakukan dengan decision tree yang standar untuk memastikan konsistensi analisis.

4.3. Prinsip 3: Penetapan Batas Kritis

Batas kritis adalah parameter yang tidak boleh dilampaui, seperti:

  • suhu minimal 75°C selama 15 detik,

  • kecepatan metal detector tertentu,

  • pH maksimum/minimum,

  • waktu pendinginan maksimal 2 jam.

Batas kritis harus didasarkan pada kajian ilmiah, standar regulator, dan validasi laboratorium.

4.4. Prinsip 4: Monitoring CCP

Monitoring memastikan CCP selalu berada dalam batas aman. Contoh monitoring:

  • pencatatan suhu memasak setiap batch,

  • pengecekan hasil metal detector,

  • verifikasi waktu pendinginan.

Monitoring harus dilakukan oleh personel terlatih dan menggunakan alat ukur yang terkalibrasi.

4.5. Prinsip 5: Tindakan Korektif

Jika monitoring menunjukkan CCP berada di luar batas kritis, tindakan korektif harus dilakukan segera. Tindakan dapat berupa:

  • pemisahan produk bermasalah,

  • pemrosesan ulang,

  • penghentian produksi,

  • investigasi akar penyebab.

Dokumentasi tindakan korektif sangat penting untuk audit dan perbaikan sistem.

4.6. Prinsip 6 & 7: Verifikasi dan Dokumentasi

a. Verifikasi

Meliputi:

  • audit internal HACCP,

  • pengujian produk secara berkala,

  • validasi proses termal.

Verifikasi memastikan sistem bekerja sesuai desain.

b. Dokumentasi

Semua prosedur, catatan monitoring, tindakan korektif, hasil verifikasi, dan perubahan proses harus terdokumentasi. Dokumentasi inilah yang membuktikan bahwa sistem berjalan konsisten.

 

5. Studi Kasus, Tantangan Implementasi, dan Strategi Penguatan Sistem Keamanan Pangan

Implementasi sistem keamanan pangan sering kali menghadapi tantangan praktis, terutama ketika organisasi memiliki rantai produksi yang kompleks, sumber daya terbatas, atau budaya kerja yang belum sepenuhnya berorientasi pada keamanan pangan. Pada bagian ini, beberapa studi kasus memberikan gambaran bagaimana Food Safety Management bekerja dalam kondisi nyata serta apa yang menentukan keberhasilannya.

5.1. Studi Kasus 1: Kontaminasi Silang di Industri Pengolahan Daging

Sebuah fasilitas pengolahan daging mengalami temuan mikrobiologi tinggi pada produk akhir. Investigasi berdasarkan prinsip HACCP mengungkap bahwa:

  • area pemotongan tidak sepenuhnya terpisah dari area pengemasan,

  • peralatan pembersih digunakan bergantian tanpa sanitasi memadai,

  • beberapa pekerja memegang daging mentah sekaligus bahan siap kemas.

Dengan implementasi perbaikan berbasis MRA (Microbial Risk Assessment):

  • area kerja dipisahkan secara fisik,

  • prosedur sanitasi diperketat,

  • titik CCP baru ditambahkan pada tahapan pengemasan,

  • pelatihan higienis intensif diberikan kepada operator.

Hasilnya, tingkat kontaminasi menurun signifikan dan produk memenuhi standar keamanan eksport.

5.2. Studi Kasus 2: Temuan Benda Asing pada Produk Snack

Sebuah perusahaan makanan ringan menerima keluhan konsumen terkait serpihan plastik dalam kemasan. Dari analisis:

  • penyebab berasal dari patahnya komponen kecil mesin pengisi kemasan,

  • tidak ada metal detector untuk mendeteksi non-logam,

  • inspeksi visual tidak konsisten.

Perusahaan menerapkan beberapa langkah Kaizen:

  • pemasangan detektor berbasis X-ray,

  • penjadwalan perawatan preventif yang lebih ketat,

  • kontrol pemeriksaan kondisi mesin sebelum shift.

Kasus ini menunjukkan pentingnya menggabungkan aspek engineering dengan manajemen keamanan pangan.

5.3. Studi Kasus 3: Penyebab Foodborne Outbreak di Usaha Kuliner

Pada usaha kuliner, terjadi foodborne outbreak yang menyebabkan lebih dari 20 pelanggan mengalami keracunan makanan. Investigasi menemukan:

  • suhu penyimpanan bahan mentah tidak sesuai standar,

  • peralatan masak tidak dibersihkan dengan benar,

  • pekerja yang sakit tetap bekerja di dapur,

  • tidak ada prosedur dokumentasi HACCP maupun SSOP.

Setelah sistem keamanan pangan diterapkan:

  • kontrol suhu dilakukan secara ketat,

  • prosedur sanitasi diformalkan,

  • program personal hygiene diimplementasikan,

  • manajemen menerapkan food safety sebagai KPI operasional.

Perubahan sederhana ini mengurangi keluhan dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

5.4. Tantangan Implementasi Food Safety Management

Walaupun konsep FSMS sudah jelas, praktiknya sering menghadapi tantangan berikut:

a. Budaya Kerja yang Belum Food Safety–Oriented

Perusahaan yang melihat keamanan pangan sebagai beban biaya cenderung tidak konsisten dalam implementasi.

b. Kurangnya Pelatihan

Operator yang tidak memahami konsekuensi bahaya pangan sulit menjalankan SOP dengan disiplin.

c. Infrastruktur Fasilitas yang Tidak Memadai

Layout lama sering tidak mendukung pemisahan area bersih dan kotor.

d. Kompleksitas Rantai Pasok

Pemasok yang tidak menerapkan standar food safety menjadi titik lemah yang sulit dikendalikan.

e. Dokumentasi yang Tidak Konsisten

Tanpa dokumentasi yang baik, audit FSMS sering gagal dan tindakan korektif tidak terarah.

5.5. Strategi Optimalisasi Sistem Keamanan Pangan

Untuk memperkuat FSMS secara berkelanjutan, beberapa strategi dapat diterapkan:

1. Penguatan Pelatihan dan Kompetensi Personel

Pelatihan tidak cukup dilakukan sekali; harus terjadwal dan berbasis risiko.

2. Digitalisasi Monitoring

Penggunaan sensor suhu, software traceability, atau digital checklist membantu memastikan konsistensi data.

3. Audit Internal Berkala

Audit dilakukan dengan pendekatan risk-based untuk menemukan area dengan potensi kegagalan terbesar.

4. Pengawasan Ketat pada Supplier

Supplier harus dievaluasi melalui audit, COA, dan persyaratan minimum standar keamanan.

5. Penerapan Budaya Keamanan Pangan

Manajemen harus memberikan contoh, termasuk tidak mentoleransi pelanggaran kecil seperti menggunakan cincin atau makan dalam area produksi.

6. Integrasi FSMS dengan Sistem Mutu Lainnya

Menggabungkan ISO 22000 dengan ISO 9001 atau sistem halal dapat meningkatkan efisiensi dan kredibilitas perusahaan.

5.6. Dampak Strategis Implementasi FSMS Terhadap Industri

FSMS yang berjalan dengan baik memberikan keuntungan besar:

  • meminimalkan risiko recall dan kerugian finansial,

  • meningkatkan kepercayaan konsumen dan retailer besar,

  • memperluas peluang ekspor,

  • melindungi merek dan reputasi perusahaan,

  • mengurangi food waste,

  • meningkatkan efisiensi proses produksi.

Dengan kata lain, food safety bukan hanya kewajiban regulasi, tetapi strategi bisnis yang meningkatkan daya saing perusahaan.

 

6. Kesimpulan

Sistem Manajemen Keamanan Pangan merupakan kerangka kerja yang esensial untuk menjamin bahwa setiap produk makanan aman dikonsumsi dan memenuhi standar internasional. Melalui kombinasi pendekatan preventif, manajemen risiko, implementasi GMP, serta penerapan HACCP dan ISO 22000, organisasi mampu mengendalikan bahaya biologis, kimia, maupun fisik secara konsisten.

Studi kasus menunjukkan bahwa insiden keamanan pangan hampir selalu disebabkan oleh lemahnya kontrol dasar seperti personal hygiene, sanitasi, pemisahan area, dan ketidakkonsistenan monitoring. Tantangan seperti kurangnya pelatihan, budaya kerja yang tidak disiplin, serta ketidakmampuan mengelola pemasok dapat melemahkan FSMS, namun dapat diatasi melalui strategi penguatan yang tepat.

Pada akhirnya, FSMS bukan hanya alat untuk menghindari risiko, tetapi investasi strategis untuk meningkatkan efisiensi proses, memperkuat kepercayaan konsumen, dan menjaga keberlanjutan industri pangan. Perusahaan yang memiliki sistem keamanan pangan kuat akan mampu menghadapi perubahan pasar, regulasi, dan dinamika produk dengan lebih baik.

 

Daftar Pustaka

  1. Diklatkerja. Food Safety Management (Sistem Manajemen Keamanan Pangan).

  2. Codex Alimentarius Commission. (2020). General Principles of Food Hygiene CXC 1-1969.

  3. ISO. (2018). ISO 22000: Food Safety Management Systems — Requirements for Any Organization in the Food Chain.

  4. WHO. (2015). Estimates of the Global Burden of Foodborne Diseases.

  5. Mortimore, S., & Wallace, C. (2013). HACCP: A Practical Approach.

  6. Sprenger, R. (2018). Hygiene for Management: A Comprehensive Guide to Food Safety Practices.

  7. McLauchlin, J., & Little, C. (2007). Foodborne Pathogens.

  8. Marriott, N., & Gravani, R. (2006). Principles of Food Sanitation.

  9. Stevenson, K., & Bernard, D. (1995). Managing Food Safety: A HACCP Principles Guide for Operators.

  10. FAO. (2014). Practical Actions for Food Safety: Guidance for Food Business Operators.