Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Konstruksi Inggris – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025


Pendahuluan: Membuka Kotak Hitam Revolusi BIM

Latar Belakang Naratif dan Krisis Industri

Di seluruh dunia, sektor Arsitektur, Teknik, Konstruksi, dan Manajemen Fasilitas (AEC/FM) bergulat dengan tantangan yang telah berlangsung lama: produktivitas yang stagnan, tenaga kerja yang menua, dan keengganan sektor ini untuk merangkul inovasi secepat industri lain.1 Di pasar yang matang, seperti Inggris Raya, masalah-masalah ini menuntut solusi yang radikal, menjadikan kebutuhan untuk mengadopsi alat kolaborasi digital dan teknologi canggih sebagai keharusan untuk menjaga daya saing.1

Di tengah kebutuhan modernisasi ini, muncul satu teknologi yang diyakini mampu menjadi katalis perubahan transformatif: Building Information Modeling (BIM). BIM sering disalahartikan sebagai sekadar perangkat lunak pemodelan 3D. Namun, BIM jauh melampaui itu; ia adalah sistem manajemen informasi terpadu yang menghasilkan data bangunan yang terkoordinasi, konsisten, dan dapat dikomputasi, mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain, konstruksi, hingga tahap operasi pemeliharaan.1 Para peneliti dan praktisi percaya bahwa penerapan BIM adalah kunci untuk mengatasi resistensi sektor konstruksi terhadap inovasi dan modernisasi.1

Konteks Inggris Raya sebagai Laboratorium Global

Pemerintah Inggris, menyadari manfaat efisiensi dan koordinasi yang ditawarkan BIM, mengambil langkah berani pada tahun 2011 dengan menetapkan target Level 2 BIM untuk semua proses konstruksi di Inggris. Kebijakan ini mencapai puncaknya pada April 2016, ketika semua kontrak konstruksi yang didanai oleh pemerintah pusat wajib menggunakan BIM 3D yang sepenuhnya kolaboratif.1 Dengan demikian, menggunakan BIM bukan hanya masalah hukum, melainkan syarat kontrak untuk bekerja dengan klien terbesar di Inggris—pemerintah pusat.1

Mandat ini menjadikan Inggris Raya sebagai model studi kasus yang ideal, atau "laboratorium global", untuk menguji dampak kebijakan adopsi teknologi yang dipimpin pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Bahriye Ilhan Jones ini bertujuan untuk melampaui statistik kesadaran dan secara komparatif menilai sejauh mana adopsi aktif dan matang telah terjadi dalam kantor-kantor arsitektur Inggris selama periode kritis digitalisasi.1

Fokus Studi Eksklusif

Penelitian ini didasarkan pada kuesioner daring yang dikirimkan kepada anggota terdaftar Royal Institute of British Architects (RIBA), membandingkan respons dari tiga titik waktu: 2011, 2014, dan 2018. Interval 3,5 tahun ini dipilih untuk memberikan resolusi yang cukup dalam studi komparatif: tahun 2011 penting karena menjadi awal intensifnya diskusi BIM, sementara tahun 2018 krusial untuk mengukur dampak setelah mandat 2016 diterapkan.1 Data ini dianalisis menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis tentang penggunaan, kemampuan, pendorong, dan hambatan BIM di tingkat organisasi.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Arsitektur dan Konstruksi?

Peningkatan Signifikan, Tetapi Kesadaran Masih Tertinggal

Analisis data menunjukkan peningkatan utilisasi BIM yang jelas di kalangan kantor arsitektur Inggris seiring berjalannya waktu, membuktikan bahwa teknologi ini telah bergerak dari tahap konsep menjadi alat yang secara aktif diadopsi oleh organisasi.1

Pada tahun 2011, dari 43 perusahaan yang menanggapi, hanya 16 yang merupakan pengguna BIM, menempatkan tingkat pemanfaatan sekitar 37%. Namun, angka ini melonjak menjadi 21 pengguna dari 37 responden pada tahun 2014, mencapai hampir 57%. Peningkatan terus berlanjut hingga tahun 2018, di mana 28 dari 45 responden (lebih dari 62%) mengindikasikan bahwa mereka adalah pengguna BIM.1 Peningkatan utilisasi yang substansial ini, di mana perbedaan antara 2011 dan 2018 terbukti secara statistik signifikan, menunjukkan bahwa waktu dan intervensi kebijakan memiliki dampak krusial terhadap adopsi.1

Peningkatan adopsi yang signifikan ini merupakan penanda kemajuan digital. Apabila diukur dari perspektif manfaatnya, lompatan dramatis dalam pemanfaatan ini dapat dianalogikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengubah proses desain yang sarat kesalahan menjadi proses terkoordinasi yang secara inheren menghilangkan konflik. Bagi pengguna yang mahir, transisi ini setara dengan menciptakan lompatan efisiensi proyek hingga 43%—sebanding dengan menaikkan baterai sebuah proyek konstruksi dari 20% ke 70% akurasi estimasi biaya hanya dalam satu kali proses desain, berkat kemampuan BIM dalam menghasilkan Bill of Quantities (BoQ) dan estimasi biaya yang jauh lebih akurat.1

Demokratisasi BIM: Mitos Korporasi Raksasa Terbantahkan

Salah satu temuan yang paling mencengangkan dan menantang pandangan konvensional adalah bahwa BIM mulai lepas dari stigma sebagai alat eksklusif untuk korporasi besar dan proyek infrastruktur raksasa. Berlawanan dengan harapan awal bahwa BIM hanya terjangkau dan cocok untuk firma besar, data menunjukkan adanya tren demokratisasi teknologi ini.1

Fakta yang mendukung hal ini terlihat dari perluasan penggunaan BIM. Mulai tahun 2014, perusahaan-perusahaan mulai mengindikasikan bahwa mereka menggunakan BIM bahkan untuk proyek-proyek skala kecil (luas rata-rata di bawah 500 meter persegi). Lebih jauh, tingkat penggunaan BIM di perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 10 orang juga meningkat pesat selama periode studi.1

Perluasan adopsi ini ke perusahaan kecil dan proyek minor adalah sinyal kuat dari pasar. Meskipun biaya investasi awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan secara tradisional menjadi penghalang besar bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), perusahaan-perusahaan ini memilih untuk menyerap biaya tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa BIM telah beralih status dari optional luxury menjadi competitive necessity—keharusan kompetitif—yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kelangsungan bisnis, bahkan untuk pekerjaan sehari-hari.1 Ini menegaskan bahwa perusahaan kecil melihat nilai dalam BIM, dan tekanan pasar kini lebih besar daripada hambatan biaya awal yang menahan adopsi.

Matriks Kematangan: Dari Hype Menuju Realitas

Perbandingan historis juga mengungkap pola menarik dalam persepsi diri pengguna dan tingkat kematangan mereka. Para pengguna awal BIM pada tahun 2011, yang banyak di antaranya baru mengadopsi teknologi kurang dari satu tahun, cenderung menilai diri mereka sendiri sebagai pengguna 'Mahir' (Advanced) atau bahkan 'Ahli' (Expert).1 Penilaian diri yang terlalu optimistis ini mencerminkan user overconfidence yang umum terjadi pada tahap awal adopsi teknologi baru—semangat tinggi mengalahkan pengalaman nyata.

Namun, pada tahun 2018, gambaran kematangan menjadi lebih proporsional. Para pengguna baru pada tahun 2018 tidak lagi menunjukkan tingkat overconfidence yang sama, dan pengguna yang telah menggunakan BIM untuk jangka waktu yang lebih lama (BIM Age) cenderung menilai tingkat pengalaman mereka sebagai 'Ahli'.1 Hal ini menunjukkan bahwa industri telah mencapai tingkat kesadaran BIM yang lebih tinggi. BIM telah dipahami sebagai sebuah maraton, bukan sprint, dan pengalaman yang lebih lama secara signifikan berkorelasi dengan tingkat kepuasan yang lebih tinggi, yang menekankan bahwa manfaat sejati dari BIM membutuhkan waktu dan praktik berkelanjutan untuk direalisasikan.1

 

Pergeseran Motivasi: Dari Tekanan Kontrak menuju Kolaborasi Efektif

Pendorong Adopsi yang Beralih Fokus (BIM Reason)

Studi ini secara mendalam menguji mengapa perusahaan memilih BIM. Selama periode tujuh tahun studi, dua pilar motivasi utama untuk implementasi BIM tetap konstan: kebutuhan akan koordinasi dan keinginan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.1

Meskipun banyak faktor motivasi lain yang secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar tahun, dua pendorong utama menunjukkan lonjakan yang jelas: peningkatan produktivitas dan keunggulan kompetitif di tahun 2018 berbeda signifikan dibandingkan tahun 2011.2 Perbedaan signifikan ini terjadi pasca-mandat pemerintah tahun 2016, menandakan bahwa kebijakan tersebut berhasil memaksa perusahaan untuk berinvestasi pada kapabilitas terukur, sehingga membuat manfaat produktivitas dan daya saing menjadi lebih jelas.

Perubahan paling mendasar yang dicatat oleh penelitian ini adalah pergeseran fokus motivasi internal perusahaan.1 Di tahun-tahun awal, adopsi didominasi oleh kekuatan eksternal, terutama tuntutan pemilik/kontrak (owner/contract requirement). Namun, seiring waktu, motivasi telah bergeser ke arah kebutuhan yang timbul dari sifat proyek itu sendiri: kerja tim yang efektif, kolaborasi, dan kontrol ruang lingkup yang lebih baik.1

Pergeseran dari motivasi eksternal ke motivasi internal ini adalah indikator kuat kematangan. BIM tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk mematuhi kontrak. Sebaliknya, pengguna kini melihat nilai intrinsiknya dalam meningkatkan efisiensi operasional dan kolaborasi proyek. Ini adalah bukti bahwa industri secara fundamental mulai menerima digitalisasi.1

Klasifikasi Pendorong Berdasarkan Persepsi

Menariknya, meskipun studi global lain sering menyoroti kontrol biaya dan waktu sebagai manfaat utama, responden dalam penelitian ini mengklasifikasikan pendorong seperti "kontrol waktu, biaya, dan ruang lingkup yang lebih baik" sebagai pendorong yang relatif netral.1 Ini menunjukkan bahwa fokus utama kantor arsitektur dalam survei ini lebih tertuju pada aspek desain, mitigasi risiko konflik, dan kolaborasi tim, daripada langsung mengukur metrik kuantitas murni. Faktor-faktor pendukung lainnya yang mendorong utilisasi termasuk input simultan oleh banyak pengguna (multi user simultaneous input) dan potensinya dalam mengurangi limbah material (reducing waste).1

 

Mengukur Kedewasaan Digital: Dari Gambar 3D menjadi Intelijen Biaya

Kesenjangan Fungsionalitas BIM (BIM Function)

Analisis fungsionalitas BIM yang digunakan mengungkapkan adanya kesenjangan yang mencolok antara pengguna pemula dan ahli. Mayoritas pengguna BIM, terutama yang baru mengadopsi, secara umum menggunakan BIM untuk fungsi dasar: visualisasi 3D arsitektur, deteksi tabrakan (clash detection), resolusi konflik, dan pertukaran data proyek dasar.1

Namun, pengguna yang lebih berpengalaman telah memperluas penggunaan BIM ke peran yang jauh lebih canggih, yang menghasilkan nilai finansial dan kinerja mendalam. Fungsi-fungsi lanjutan seperti Estimasi Biaya (Cost Estimation), Bill of Quantities (BoQ), dan Analisis Data Kinerja Bangunan (Building Performance Data Analysis) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada pengguna tahun 2018 dibandingkan dengan pengguna tahun 2011.1 Ini menunjukkan bahwa BIM telah melampaui batasnya sebagai alat grafis, beralih menjadi alat analitik.

Korelasi Level-Fungsi: Uang Ada di Data

Penelitian ini menemukan korelasi yang sangat penting antara tingkat pengalaman BIM (BIM Level) dan kemampuan untuk memanfaatkan fungsi-fungsi canggih. Terdapat perbedaan yang jelas dan signifikan antara level pengalaman dengan rata-rata penggunaan fungsi estimasi biaya dan analisis kinerja bangunan.2

Rata-rata penggunaan fungsi estimasi biaya pada pengguna Ahli (BIM Level 4) jauh melampaui rata-rata penggunaan fungsi ini oleh pengguna Pemula (Beginner) dan Menengah (Intermediate). Pola yang sama diamati pada fungsi analisis kinerja bangunan, di mana rata-rata analisis kinerja bangunan yang dilakukan oleh ahli BIM Level 4 secara statistik signifikan lebih tinggi dibandingkan pengguna Pemula (Level 1).2

Temuan ini adalah penemuan kunci bagi industri. Manfaat terbesar dari BIM—kemampuan menghasilkan metrik kuantitatif dan akurat yang berdampak langsung pada anggaran dan kinerja bangunan—hanya dapat dicapai oleh pengguna yang telah mencapai tingkat kompetensi tinggi. Bagi pengguna Level 1, BIM mungkin terasa seperti alat visualisasi 3D yang mahal. Sebaliknya, bagi pengguna Level 4, BIM berfungsi sebagai pusat intelijen biaya yang terintegrasi, yang mampu mengubah alur kerja dan hasil proyek secara fundamental.

Manfaat yang Dihasilkan (BIM Gain)

Minimalisasi konflik desain (minimised design conflicts) tetap menjadi manfaat tertinggi yang diakui oleh pengguna BIM di semua tahun survei.1 Manfaat lain termasuk peningkatan hasil desain, komunikasi yang lebih baik, dan meningkatnya kepuasan pemangku kepentingan proyek.1

Menariknya, seiring dengan meningkatnya pengakuan terhadap pertukaran data proyek yang efektif sebagai keuntungan yang diperoleh, kemampuan BIM untuk menghasilkan peluang bisnis baru justru menurun.1 Ini menegaskan bahwa setelah mandat pemerintah 2016, fokus perusahaan beralih dari promosi eksternal (mencari pasar baru) ke internalisasi dan penyempurnaan proses kolaborasi untuk memenuhi standar BIM Level 2.

 

Tantangan yang Berubah: Bukan Lagi Sekadar Biaya Pelatihan

Hambatan Adopsi yang Mereda (Non-BIM Reason)

Bagi perusahaan yang belum mengadopsi BIM, hambatan teratas yang dilaporkan secara konsisten adalah kurangnya permintaan dari klien atau perusahaan lain.1 Meskipun demikian, kecenderungan penghalang ini menurun, menunjukkan bahwa kesadaran publik dan permintaan klien mulai meningkat.

Meskipun biaya awal investasi (perangkat lunak dan pembaruan perangkat keras) secara historis menjadi penghalang utama bagi UKM, rata-rata hambatan terkait biaya yang dilaporkan pada tahun 2018 secara statistik signifikan lebih rendah dibandingkan tahun 2011 dan 2014.1 Hal ini menunjukkan bahwa manfaat yang dirasakan, atau tekanan pasar, kini mulai menutupi biaya awal tersebut.

Evolusi Kendala Pengguna Aktif (BIM Disadvantages)

Bahkan bagi pengguna aktif, kekurangan staf yang berpengetahuan dalam penggunaan teknologi BIM tetap menjadi kesulitan utama yang dihadapi, meskipun frekuensinya menurun seiring waktu.1 Kurangnya kerja sama dari pemangku kepentingan yang berpartisipasi adalah hambatan berikutnya.1

Namun, seiring industri menjadi lebih dewasa, penelitian ini mengungkap pergeseran mendasar dalam jenis tantangan yang dihadapi. Masalah kini bergeser dari isu-isu 'periferal' menjadi masalah 'sentral' operasional yang jauh lebih kompleks.1

  • Masalah Periferal yang Mereda: Kurangnya dukungan manajemen puncak atau kurangnya standar BIM tidak lagi dianggap sebagai hambatan utama.1
  • Masalah Sentral yang Mendominasi: Kekhawatiran kini terkonsentrasi pada masalah terkait prosedur dan proses kerja yang ada dan masalah teknis yang secara langsung memengaruhi pertukaran data digital yang presisi.1

Ketika adopsi sudah berjalan (2018), masalah utama beralih ke integrasi mendalam: proses kerja lama perusahaan terbukti tidak kompatibel dengan alur kerja BIM yang baru, dan memastikan pertukaran data yang mulus antar pihak menjadi titik kritis operasional.1

Komponen Biaya yang Berubah (BIM Cost)

Perangkat lunak BIM tetap menjadi komponen biaya teratas bagi semua perusahaan selama periode studi, diikuti oleh pelatihan BIM dan perangkat keras baru atau yang ditingkatkan.1

Sebagai indikator kematangan pasar lainnya, rata-rata biaya pemasaran kapabilitas BIM pada tahun 2018 secara signifikan lebih rendah dibandingkan tahun 2011.1 Ini menegaskan bahwa BIM telah menjadi cost of entry (biaya masuk) dalam industri, bukan lagi Unique Selling Proposition (USP). Perusahaan kini harus menunjukkan efektivitas implementasinya, bukan sekadar menggunakan teknologi tersebut.

 

Kerangka Evaluasi Holistik: Peta Jalan untuk Adopsi Berkelanjutan

Mengingat bahwa manfaat finansial dan kinerja sejati BIM hanya dapat dirasakan oleh pengguna yang paling berpengalaman, dan hambatan utamanya kini adalah masalah proses internal, industri memerlukan alat sistematis untuk memandu dan mengukur adopsi.1

Studi ini mengusulkan Kerangka Evaluasi yang bertujuan untuk mencapai implementasi BIM yang berkelanjutan dan komprehensif. Kerangka ini dirancang untuk menilai kompetensi perusahaan berdasarkan tiga proses utama yang saling terkait: Formasi, Kemajuan, dan Hasil.1

  1. Evaluasi Formatif: Keputusan Investasi: Fase ini menentukan tujuan, lokasi, dan waktu dampak yang ditargetkan. Ini mencakup masukan, objektif (alasan motivasi), dan penilaian kesiapan awal, termasuk ketersediaan sumber daya fisik, finansial (pelatihan), dan waktu persiapan.1
  2. Evaluasi Kemajuan: Pelaksanaan dan Tantangan: Fase ini melacak alokasi sumber daya dan mencatat kesulitan yang muncul selama proses penggunaan teknologi. Ini melibatkan penugasan kegiatan kepada aspek SDM, teknologi, proses, dan biaya, serta pencatatan kesulitan yang dihadapi, seperti masalah prosedur lama dan masalah pertukaran data digital yang presisi.1
  3. Evaluasi Hasil (Outcome): Manfaat dan Dampak Nyata: Fase ini berfungsi untuk mengukur kinerja BIM yang sebenarnya, termasuk fungsi yang digunakan (misalnya estimasi BoQ), dan dampak yang diperoleh (misalnya minimalisasi konflik). Kerangka ini menekankan perlunya mengukur indikator kuantitatif dan 'hasil lunak' (soft outcomes).1

Kerangka kerja ini menuntut partisipasi pemangku kepentingan (stakeholder participation) di sepanjang siklus untuk memastikan umpan balik yang valid dan berkelanjutan, mengubah proses adopsi menjadi siklus peningkatan berkelanjutan.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Masa Depan Digitalisasi

Keterbatasan Studi dan Potensi Generalisasi

Studi ini, meskipun mendalam, secara eksklusif berfokus pada kantor arsitektur anggota RIBA di Inggris Raya.1 Fokus yang terbatas ini berisiko mengecilkan dampak hambatan secara umum. Kantor-kantor RIBA cenderung berada di garis depan praktik terbaik; oleh karena itu, tingkat adopsi yang dilaporkan mungkin lebih tinggi daripada rata-rata industri AEC secara nasional. Hambatan yang dihadapi oleh kontraktor skala kecil atau perusahaan di sektor lain mungkin jauh lebih parah, terutama dalam hal biaya dan kekurangan staf ahli.

Ancaman Inovasi yang Lebih Luas

Peneliti mengingatkan bahwa fokus yang berlebihan pada pencapaian 'BIM Level 2' berisiko membuat industri tertinggal dari gelombang teknologi berikutnya.1 Masa depan digital konstruksi terletak pada konvergensi BIM dengan Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), machine-learning, dan integrasi Geographic Information System (GIS) untuk menciptakan kota pintar (smart cities).1 Perusahaan yang puas dan berhenti pada fungsi BIM dasar (visualisasi 3D) berisiko menjadi usang dalam lima tahun ke depan.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata dan Visi Lima Tahun

Adopsi BIM di Inggris Raya menunjukkan peningkatan yang stabil dan matang, ditandai dengan pergeseran motivasi dari kepatuhan eksternal menuju keunggulan operasional internal, serta peningkatan pemanfaatan fungsi analisis biaya oleh pengguna yang paling berpengalaman. Namun, hambatan seperti biaya transisi awal dan kekurangan staf ahli masih membutuhkan intervensi terarah.

Pemerintah perlu memperkuat insentif yang secara spesifik menargetkan hambatan biaya dan pelatihan staf. Apabila kerangka evaluasi yang diusulkan ini diterapkan secara sistematis oleh perusahaan di pasar AEC yang maju—memungkinkan mereka beralih dari visualisasi 3D ke pemanfaatan fungsional penuh (estimasi biaya dan BoQ) yang terbukti dilakukan oleh pengguna ahli—maka manfaat yang terukur akan menjadi revolusioner.

Berdasarkan potensi signifikan dalam peningkatan akurasi estimasi biaya, penghilangan kesalahan desain, dan penghematan waktu proyek yang ditunjukkan oleh manfaat utama BIM 1: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya keseluruhan proyek konstruksi dan operasional hingga 15% melalui minimalisasi konflik desain dan estimasi kuantitas yang lebih akurat dalam waktu lima tahun, mengubah kerugian akibat kesalahan desain menjadi keuntungan digital yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

A STUDY OF BUILDING INFORMATION MODELING (BIM) UPTAKE AND PROPOSED EVALUATION FRAMEWORK, diakses Oktober 2, 2025, https://www.itcon.org/papers/2020_26-ITcon-Jones.pdf

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Konstruksi Inggris – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Konstruksi Malaysia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025


Mengapa Digitalisasi Konstruksi Malaysia Terancam Stagnasi? Menilik Paradoks Implementasi BIM

Pengenalan Konsep dan Krisis Kredibilitas

Model Maklumat Bangunan, atau yang lebih dikenal sebagai BIM (Building Information Modeling), merupakan pilar fundamental dalam transformasi industri konstruksi global. Dalam konteks revolusi industri keempat (Industri 4.0), BIM telah lama dipandang sebagai sebuah proses revolusioner yang mampu mendukung transformasi reka bentuk, meningkatkan kualitas proyek, mengurangi potensi konflik antardisiplin, dan secara signifikan meminimalkan pekerjaan ulang atau rework di tapak bina [1]. Sejak diperkenalkan oleh Jabatan Kerja Raya pada awal 2007, Pemerintah Malaysia telah menyadari bahwa kemajuan teknologi ini berfungsi sebagai pemangkin utama daya saing dan aktif mendorong penggunaannya dalam proyek-proyek konstruksi nasional [1].

Potensi keuntungan yang dijanjikan BIM sangatlah besar. BIM tidak hanya sekadar alat untuk melukis reka bentuk, melainkan sebuah metode yang mengintegrasikan pangkalan data yang luas sepanjang kitaran hidup bangunan. Data ini mencakup sifat dan kualitas komponen, jumlah dan jenis bahan, jadwal pemasangan, hingga peran setiap subkontraktor [1]. Dengan data yang terkoordinasi, konsisten, dan mudah diakses, proyek seharusnya bergerak lebih efisien pada fasa pra-pembinaan, pembinaan, hingga pasca-pembinaan. Proses ini pada akhirnya bertujuan untuk mengatasi masalah klasik konstruksi seperti pertembungan reka bentuk, kelewatan, dan melebihi biaya [1].

Namun, di balik janji efisiensi tersebut, ada sebuah krisis implementasi yang membayangi. Sebuah penelitian kualitatif mendalam yang difokuskan pada pusat industri di Kuala Lumpur baru-baru ini mengungkap bahwa implementasi BIM di lapangan masih tertatih-tatih dan terhambat oleh tantangan fundamental, yang sebagian besar berada di luar urusan teknologi semata. Jika hambatan ini terus berlanjut dan BIM tidak diimplementasikan secara menyeluruh, industri konstruksi domestik Malaysia berisiko mengalami stagnasi. Industri akan terus bergantung pada teknologi asing, yang pada gilirannya akan memperlambat daya saing nasional, berdampak negatif pada produktivitas, biaya, dan kualitas proyek [1].

Wajah Para Peneliti Lapangan: Siapa yang Diwawancarai?

Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai cabaran dan dinamika implementasi BIM, penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur [1]. Fokus studi diarahkan pada empat golongan profesional kunci dalam industri pembinaan yang beroperasi di sekitar kawasan Kuala Lumpur: Kontraktor (R1), Arkitek (R2), Jurukur Bahan atau Quantity Surveyor (R3), dan Pengurus Projek (R4) [1].

Pemilihan responden didasarkan pada kriteria yang ketat, yaitu individu-individu yang harus memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kemahiran substansial mengenai fasa-fasa pelaksanaan BIM [1]. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa sampel responden memiliki kedalaman pengalaman yang signifikan, menjamin bahwa temuan yang dihasilkan mencerminkan masalah sistemik. Responden 1 (Kontraktor) dan Responden 3 (Jurukur Bahan) memiliki pengalaman kerja selama 10 tahun. Responden 2 (Arkitek) memiliki 6 tahun pengalaman. Sementara itu, Responden 4 (Pengurus Projek) adalah yang paling senior, dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun dan telah mengelola hingga 30 proyek BIM [1].

Pengalaman luas yang dimiliki oleh responden, khususnya R4 yang telah mengurus 30 proyek, memberikan perspektif holistik mengenai siklus hidup proyek konstruksi, dari perencanaan hingga penutupan. Ini menunjukkan bahwa cabaran implementasi yang diidentifikasi bukan hanya merupakan hambatan teknis bagi pemula, melainkan masalah struktural yang dihadapi bahkan oleh pihak-pihak yang paling berpengalaman di tingkat pengambilan keputusan proyek [1].

 

Mengungkap Fakta Mengejutkan di Lapangan: Kapan BIM Benar-Benar Diterapkan?

Paradoks Fase Utama: Pasca-Konstruksi Mendominasi

Secara konseptual, manfaat terbesar dari BIM seharusnya dirasakan pada fasa Pra-Pembinaan, yaitu pada saat reka bentuk dan tender, di mana clash detection dapat meminimumkan kesalahan sebelum konstruksi dimulai. Namun, temuan kunci dari studi ini menunjukkan sebuah paradoks implementasi di Malaysia: fasa utama pelaksanaan BIM di lapangan adalah fase Pasca-Pembinaan [1].

Fasa Pasca-Pembinaan ini mencakup Penyelenggaraan (Maintenance) dan Pengoperasian (Operation) fasiliti [1]. Jika BIM paling sering diimplementasikan di fasa akhir, ini mengindikasikan bahwa industri saat ini menggunakan BIM secara reaktif—sebagai alat untuk mengelola aset dan dokumentasi setelah bangunan selesai—alih-alih secara proaktif—sebagai alat pencegah masalah desain dan konflik di awal. Dengan demikian, meskipun BIM bertujuan meminimalisir kerja ulang, kerugian efisiensi akibat konflik desain yang tidak terdeteksi di awal masih berpotensi terjadi, yang pada akhirnya mengurangi dampak positif investasi BIM [1].

Perbedaan Peran dan Fasa Keterlibatan

Pelaksanaan BIM dibagi menjadi tiga fasa besar: Pra-Pembinaan (Kebolehlaksanaan, Reka Bentuk, Tender), Pembinaan, dan Pasca-Pembinaan (Penyelenggaraan dan Pengoperasian) [1]. Keterlibatan para profesional bervariasi, namun beberapa peran menunjukkan cakupan holistik yang sangat penting bagi integrasi data.

Responden Kontraktor (R1) dan Pengurus Projek (R4) menunjukkan keterlibatan yang paling luas, mencakup kelima sub-fasa yang dianalisis. Keterlibatan mereka dari Kebolehlaksanaan (penilaian kelayakan) hingga Penyelenggaraan (pemeliharaan) menyoroti peran sentral mereka dalam mengkoordinasikan proyek secara keseluruhan [1]. Keterlibatan kontraktor di semua fasa, khususnya dalam pengawasan di tapak bina, sangat penting untuk menyelaraskan model BIM dengan realitas lapangan, termasuk melalui penggunaan teknologi pemantauan seperti drone [1].

Di sisi lain, Jurukur Bahan (R3) berfokus pada fasa pra-pembinaan dan tender. Mereka melaporkan bahwa meskipun pekerjaan banyak dilakukan secara daring—seperti e-tender—dan mesyuarat dilengkapi dengan gambaran 3D untuk visualisasi realistik, penggunaan ini seringkali terbatas pada pengumpulan maklumat awal [1]. Keterlibatan penuh semua pihak sejak fasa Kebolehlaksanaan sangat krusial, karena pada fasa ini, segala aspek teknikal, sumber daya, dan anggaran biaya akan diprioritaskan untuk menentukan kelanjutan atau pembatalan proyek [1].

 

Tembok Penghalang Utama: Mengapa Investasi Awal Menjadi Momok Terbesar?

Biaya sebagai Tantangan Paling Dominan

Meskipun potensi BIM dalam mengurangi biaya jangka panjang diakui, tantangan utama yang menghambat implementasi, sebagaimana disepakati oleh mayoritas responden, adalah Kos atau Biaya [1]. Biaya ini bukan sekadar biaya perisian bulanan, tetapi mencakup serangkaian peruntukan awal yang sangat besar, menjadikan investasi ini beban berat terutama bagi organisasi yang lebih kecil.

Beban biaya tersebut terbagi menjadi beberapa komponen utama. Pertama, Biaya Perkakasan (Hardware): implementasi BIM memerlukan perangkat keras High Spec, termasuk komputer dan laptop canggih, serta peralatan Realiti Maya (VR) dan Realiti Tertambah (AR) yang memerlukan Graphic Card berkapasitas tinggi untuk menangani data tiga dimensi dan simulasi yang besar. Kedua, Biaya Perisian dan Infrastruktur: perisian BIM berlisensi memerlukan peruntukan tinggi, diikuti dengan biaya untuk server yang besar untuk menampung data kolaboratif [1].

Kontraktor (R1) menyampaikan bahwa banyak pihak berkepentingan menganggap BIM hanya akan menyebabkan syarikat melabur kos yang tinggi untuk membeli sistem canggih, seperti Internet of Things. Pengurus Proyek (R4) menegaskan bahwa masalah biaya ini meliputi perubahan proses kerja secara menyeluruh dalam organisasi, termasuk penambahbaikan sistem memori yang ada [1]. Besarnya peruntukan awal ini membuat organisasi kecil, yang belum dapat melihat manfaat langsung dari BIM, enggan mengambil risiko finansial, sehingga menghambat adopsi BIM secara menyeluruh dan memperlambat daya saing industri [1].

Kebutuhan Tenaga Kerja Berkemahiran vs. Biaya Pelatihan

Biaya juga secara langsung terkait dengan sumber daya manusia. Meskipun BIM berpotensi mengurangi tenaga buruh konvensional, ia menuntut tenaga kerja yang jauh lebih berkemahiran dalam pengoperasian teknologi canggih. Tanpa tenaga pakar, Kontraktor (R1) dan Arkitek (R2) menegaskan, perisian BIM yang telah dibeli dengan biaya tinggi akan sia-sia. Sebaliknya, tenaga kerja yang memiliki kemahiran tetapi tidak didukung teknologi BIM terpaksa kembali ke metode manual [1].

Untuk mengatasi kesenjangan ini, perusahaan konstruksi harus berinvestasi dalam pelatihan dan kursus bagi pekerja (seperti kursus Revit dan Autocad), yang merupakan biaya tambahan yang substansial. Responden mengakui bahwa kurangnya kemahiran dan pengalaman menyebabkan proyek mengalami ketidakcekapan dan meningkatkan biaya operasi [1]. Ini menunjukkan bahwa investasi BIM harus dilihat sebagai paket holistik: teknologi tinggi harus didampingi oleh pengembangan modal insan yang setara.

 

Cerita di Balik Data Kualitatif: Dilema Kesenjangan Pemahaman dan Asimetri Informasi

Asimetri Informasi: Kesenjangan Pemahaman yang Merusak Desain

Cabaran kedua yang bersifat sistemik adalah masalah Asimetri Maklumat. Kurangnya pemahaman BIM secara menyeluruh di antara pihak-pihak terkait—arsitek, jurutera, dan kontraktor—mengakibatkan reka bentuk tidak dapat dicapai secara harmonis [1]. Kesenjangan pemahaman ini berdampak negatif pada produktivitas, biaya, dan kualitas proyek [1].

Situasi ini terbukti paling nyata dalam proses pengadaan. Meskipun model 3D/BIM dibuat oleh perancang, Jurukur Bahan (R3) melaporkan adanya praktik di mana model BIM ditukar kembali ke format konvensional 2D Autocad untuk tujuan tender. Arkitek (R2) menyebutkan bahwa pihak-pihak tertentu hanya menggunakan model 3D "sekadar mendapat maklumat dan data sahaja," yang menunjukkan bahwa BIM tidak digunakan sebagai platform kolaborasi terintegrasi [1].

Tindakan ini menghilangkan manfaat utama BIM, yaitu clash detection otomatis. Ketika semua pihak tidak bekerja pada model 3D yang sama, peluang konflik desain dan kesalahan logistik terbuka lebar. Konsekuensi dari masalah ini adalah Variation Order (VO) atau penambahan item yang tidak terduga di lapangan [1]. Jurukur Bahan seringkali harus menanggung risiko karena terpaksa melakukan semak ulang manual yang memakan waktu jika menemukan perbedaan antara pelan arsitek dan jurutera. Jika kelalaian terjadi, Jurukur Bahan yang akan dipersalahkan atas item tambahan yang muncul saat pembinaan [1]. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi BIM di Malaysia masih sering terhenti di tahap modeling tanpa mencapai information management yang utuh.

Tantangan Budaya: Ego dan Keengganan Berubah

Faktor manusia dan budaya turut memperparah kesulitan implementasi. Responden Pengurus Projek (R4) menyoroti bagaimana sifat individu dan ego yang terlalu tinggi menjadi penghalang, di mana sebagian pihak yang terbiasa menggunakan kaedah tradisional merasa enggan dan beranggapan teknologi baharu sulit diterima [1].

Konflik juga terjadi dalam kerja berpasukan. Arsitek cenderung fokus pada estetika dan reka bentuk yang cantik, sementara jurutera mungkin merasa reka bentuk tersebut sulit diimplementasikan di lapangan. Perbedaan pandangan ini menghambat proses synchronize atau sinkronisasi desain [1]. Selain itu, kurangnya interaksi yang efektif antara pihak atasan, pertengahan, dan bawahan menyebabkan maklumat tidak tersampaikan dengan jelas, yang berujung pada munculnya item tambahan di fasa pembinaan.

Isu ini menunjukkan bahwa adopsi BIM bukan hanya memerlukan peningkatan teknologi, tetapi juga perubahan budaya kerja yang fundamental. Diperlukan kesadaran penuh dan kemauan untuk berkolaborasi dan berbagi maklumat antara Kontraktor, Klien, dan Konsultan untuk menjamin model yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan tanpa konflik [1].

 

Strategi Jitu Para Profesional: Tiga Kunci Menembus Cabaran Implementasi

Berdasarkan analisis cabaran yang dihadapi, golongan profesional telah menggariskan serangkaian strategi penting untuk meningkatkan keberhasilan implementasi BIM di Malaysia.

Kunci Pertama: Latihan Komprehensif dan Peningkatan Pemahaman

Strategi utama yang diidentifikasi untuk mengatasi hambatan biaya dan keterampilan adalah melalui pelatihan dan perolehan maklumat yang tepat [1]. Latihan ini harus dirancang untuk melibatkan semua individu, termasuk perunding, kontraktor, dan klien, untuk meningkatkan kesadaran kolektif [1].

Pelatihan yang disarankan meliputi kursus spesifik BIM seperti Revit dan Autocad. Selain itu, metode kolaboratif seperti Brainstorming mingguan disarankan sebagai cara praktis untuk mengaplikasikan BIM. Dalam sesi Brainstorming, tim yang terlibat harus menyelesaikan masalah reka bentuk dalam waktu singkat. Proses ini, yang memadukan teori dan aplikasi, memungkinkan individu yang merasa sulit memahami BIM untuk belajar melalui pengalaman praktis dan kesalahan yang dilakukan, sehingga mempermudah proses mengingat langkah-langkah dalam sistem [1]. Peningkatan pemahaman melalui latihan terbukti sangat efektif dalam mengatasi kurangnya kompetensi di industri.

Kunci Kedua: Integrasi Teknologi dan Standarisasi Proses

Untuk mengatasi masalah asimetri informasi, diperlukan integrasi sistem yang ketat dan standarisasi. Golongan profesional harus memastikan sistem BIM terintegrasi penuh antara perunding dan kontraktor [1].

Kontraktor harus didorong untuk menggunakan teknologi canggih seperti Drone, Virtual Reality (VR), dan Augmented Reality (AR) di tapak bina. Penggunaan drone, misalnya, memungkinkan pemantauan keadaan tapak secara berkala, membantu kontraktor bekerja lebih cepat, dan memastikan keselarasan antara model digital dengan konstruksi fisik [1].

Selain integrasi teknologi, penetapan Standard Pelaksanaan BIM yang seragam adalah keharusan. Standard ini harus mencakup aspek pengiraan, dokumentasi, dan metode penyampaian maklumat. Standarisasi membantu memastikan semua pihak memiliki pemahaman yang sama mengenai skop dan cara kerja [1]. Dengan standarisasi, maklumat penting yang dikumpulkan pada fasa reka bentuk dapat disinkronisasi (synchronize) dengan lancar pada fasa integrasi, sehingga dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan isu sejak dini, sebelum masalah tersebut berkembang menjadi konflik yang mahal di lapangan [1].

Kunci Ketiga: Seleksi Tenaga Kerja Ketat dan Komunikasi Intensif

Dalam upaya mengurangi biaya pelatihan dasar yang tinggi, para profesional menyarankan strategi seleksi tenaga kerja yang lebih ketat. Organisasi harus menetapkan kriteria pemilihan kerja, dengan penapisan awal berdasarkan pengetahuan, kemahiran, dan pengalaman calon terhadap BIM [1]. Dengan mempekerjakan individu yang sudah memiliki pengetahuan dasar tentang BIM, organisasi dapat mengurangi kebutuhan untuk melabur dalam pelatihan dasar, sehingga mengatasi hambatan biaya dan keterampilan secara efisien [1].

Di samping itu, Jurukur Bahan dan Kontraktor menekankan bahwa komunikasi adalah aspek terpenting dalam kerja berpasukan. Komunikasi harus dilakukan secara intensif, baik secara langsung maupun melalui mesyuarat yang lebih kerap, untuk memastikan pemahaman yang jelas di semua tingkatan [1]. Komunikasi yang efektif akan membantu semua pihak berkerjasama dengan lebih baik dan memahami peran masing-masing dalam siklus hidup proyek, sehingga meminimalkan salah faham yang dapat memicu Variation Order [1].

 

Kritik Realistis dan Prospek Transformasi: Apa yang Hilang dari Penelitian Ini?

Opini Ringan: Relevansi Temuan Hari Ini

Temuan bahwa "Kos" adalah cabaran utama implementasi BIM saat ini menggarisbawahi perlunya intervensi kebijakan. Digitalisasi konstruksi di Malaysia tidak akan bergerak maju tanpa insentif finansial yang kuat, seperti subsidi peralatan BIM atau insentif pajak, yang secara khusus ditujukan untuk membantu organisasi kecil berinvestasi dan meningkatkan infrastruktur mereka [1].

Pihak yang paling dirugikan dari kegagalan implementasi yang terintegrasi ini adalah Jurukur Bahan dan kontraktor kecil. Jurukur Bahan menanggung risiko besar karena asimetri informasi dan VO yang timbul akibat proses yang terfragmentasi, sementara kontraktor kecil terhambat oleh biaya perangkat keras dan pelatihan [1].

Kritik Realistis terhadap Metodologi Studi

Meskipun laporan ini sangat informatif, terdapat keterbatasan metodologi yang perlu disorot. Studi ini menggunakan metode kualitatif (wawancara) dan fokusnya ketat di sekitar kawasan Kuala Lumpur [1].

Keterbatasan Geografis: Fokus yang sempit pada daerah perkotaan (Kuala Lumpur) berpotensi mengecilkan atau melebih-lebihkan dampak cabaran secara umum. Tantangan implementasi BIM mungkin jauh lebih parah di daerah yang jauh dari pusat urban, di mana akses terhadap teknologi canggih, infrastruktur jaringan, dan tenaga kerja berkemahiran masih sangat terbatas. Dengan demikian, temuan ini mungkin tidak sepenuhnya representatif untuk seluruh industri konstruksi Malaysia.

Ketiadaan Data Kuantitatif: Keterbatasan yang paling signifikan adalah kegagalan studi untuk menyediakan data kuantitatif yang vital. Tidak ada angka spesifik mengenai persentase pengurangan konflik desain, estimasi biaya yang dihemat, atau besaran kerugian finansial akibat rework [1]. Hal ini menyulitkan para pemangku kepentingan untuk melihat justifikasi investasi BIM secara hard numbers atau angka keras. Diperlukan penelitian lanjutan yang mengukur dampak ekonomi BIM secara langsung untuk memperkuat narasi keuntungan yang ditawarkan teknologi ini.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Mengukur Potensi Keuntungan

Implementasi BIM yang terintegrasi, meskipun memerlukan investasi awal yang besar dan perubahan budaya kerja, adalah kebutuhan strategis untuk industri konstruksi Malaysia. Jika strategi pelatihan, standarisasi, dan integrasi sistem yang disarankan oleh para profesional—khususnya dengan mengatasi asimetri informasi dan standarisasi proses tender—diterapkan secara menyeluruh dan didukung oleh kebijakan pro-digitalisasi pemerintah, kerugian akibat konflik desain, Variation Order, dan kerja ulang di tapak bina dapat berkurang secara drastis.

Berdasarkan potensi efisiensi global yang ditawarkan BIM (yang mampu memotong 10-20% biaya siklus hidup proyek), implementasi BIM yang efektif di Malaysia berpotensi mengurangi biaya keseluruhan projek dan pengurusan fasiliti hingga 15% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini akan menghasilkan penghematan biaya yang substansial, meningkatkan margin keuntungan industri, dan secara fundamental meningkatkan daya saing industri konstruksi Malaysia di tingkat regional dan global.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.30880/rmtb.2024.05.02.057

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Digitalisasi Konstruksi Malaysia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Investasi Rp15 Triliun di Konstruksi Digital – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025


Pendahuluan: Pergeseran Paradigma yang Terlambat

Industri konstruksi, yang secara historis terkenal lambat mengadopsi perubahan, kini berada di tengah revolusi digital yang tak terhindarkan. Para peneliti dan pengembang teknologi selama beberapa dekade telah memimpikan otomatisasi penuh, robotika, dan sistem cerdas. Namun, lonjakan dramatis dalam investasi modal ventura (VC) di sektor yang dijuluki Construction Tech baru benar-benar meledak dalam lima tahun terakhir, mengindikasikan bahwa titik kritis telah tercapai.1

Angka-angka finansial menceritakan kisah yang meyakinkan. Di Amerika Serikat saja, jumlah modal ventura yang diinvestasikan di Construction Tech melonjak empat kali lipat dalam waktu singkat. Pada tahun 2013, investasi tahunan berada di kisaran $250 juta. Lima tahun kemudian, pada tahun 2018, angka itu telah melampaui $1 miliar (setara sekitar Rp15 triliun, tergantung kurs saat itu).1 Lonjakan investasi yang eksplosif ini setara dengan menaikkan daya baterai ponsel pintar Anda dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian ulang—sebuah lompatan efisiensi dan keyakinan pasar yang mendadak.

Pertumbuhan finansial yang agresif ini menunjukkan keyakinan pasar bahwa teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), akhirnya menemukan landasan yang praktis untuk diterapkan di lokasi konstruksi. Tetapi, menurut analisis mendalam para ahli, dorongan utama di balik gelombang investasi ini bukanlah semata-mata kecanggihan algoritma AI atau robotika. Sebaliknya, hal ini bergantung pada fondasi informasi digital yang komprehensif dan stabil yang kini tersedia melalui adopsi luas Building Information Modelling (BIM).1 BIM, dalam konteks terluasnya sebagai tulang punggung teknologi, proses, dan sumber daya manusia, adalah prasyarat yang membuat aplikasi AI dan robotika menjadi praktis dan ekonomis saat ini. Tanpa data bangunan digital yang terstruktur, janji AI di sektor konstruksi akan tetap menjadi mimpi yang sulit diwujudkan.

 

Visi Setengah Abad yang Sulit Terwujud: Mengapa Revolusi BIM Lambat Berlari?

Sejarah otomatisasi dalam konstruksi dipenuhi dengan visi-visi cemerlang yang jauh mendahului kemampuan praktis industri. Jauh sebelum BIM menjadi istilah umum, pada tahun 1975, peneliti sudah mengonseptualisasikan Building Design System (BDS) yang memiliki fungsi lengkap seperti BIM modern.1 Ide-ide untuk sistem desain cerdas dan pengecekan kepatuhan kode bangunan yang diotomatisasi muncul pada pertengahan 1980-an, sejalan dengan perkembangan awal AI simbolik.1 Robot konstruksi bahkan telah bekerja keras di laboratorium penelitian selama beberapa dekade.

Namun, implementasi ide-ide futuristik ini selalu tertatih-tatih. Dibutuhkan waktu 25 tahun bagi fungsi dasar BIM untuk benar-benar mencapai pasar.1 Yang lebih mencengangkan, penelitian yang dilakukan hingga tahun 2017 mengungkapkan bahwa dari 14 fungsi BIM yang disurvei, hanya tiga yang digunakan secara luas di industri konstruksi. Ini menunjukkan kesenjangan dramatis antara potensi teoretis dan realitas implementasi. Kesenjangan yang mengejutkan para peneliti ini disebabkan oleh satu hambatan fundamental: Visi konseptual para inovator selalu jauh melampaui kendala praktis, teknis, komersial, budaya, dan organisasi yang ada di lapangan.1

Sebagai contoh, impian pemeriksaan kepatuhan kode bangunan otomatis, yang sejak lama diprediksi akan dilakukan di balai kota atau kantor arsitek, masih belum sepenuhnya terwujud.1 Upaya awal menggunakan sistem pakar AI simbolik (berbasis aturan) yang diterapkan pada representasi grafis 2D CAD terbukti tidak praktis. Representasi grafis CAD secara fundamental berbeda dengan representasi semantik berorientasi objek yang diperlukan untuk memproses aturan.1 Upaya untuk mengekspresikan standar desain sebagai aturan juga menemui tantangan besar yang ditimbulkan oleh kompleksitas leksikal dan logis dari ketentuan kode bangunan itu sendiri.1

Demikian pula, robotika. Meskipun visi awalnya mencakup perubahan revolusioner—menciptakan sistem bangunan yang sepenuhnya baru—kenyataannya, mesin robotik konstruksi yang kini mulai praktis dan ekonomis hanyalah evolusi dari teknologi ke dalam prosedur yang sudah ada. Belum ada robotika yang mencapai perubahan struktural mendasar dalam cara bangunan didirikan.1 Keberhasilan Construction Tech hari ini secara mendasar adalah fungsi dari ketersediaan informasi digital yang komprehensif, yang membuat AI modern menjadi fungsional, menempatkan BIM sebagai pondasi yang penting.

 

Empat Pilar Construction Tech: Menghubungkan Desain Virtual dan Realitas Fisik

Berkat kematangan lingkungan BIM, modal ventura kini aktif mencari perusahaan rintisan di sektor Construction Tech, menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis.1 Perusahaan-perusahaan baru ini beroperasi dalam empat kategori aplikasi utama, yang semuanya bergantung pada aliran data bangunan terintegrasi yang disediakan oleh BIM.1

1. Perangkat Lunak untuk Manajemen Desain dan Konstruksi

Jenis aplikasi ini mencakup alat-alat perangkat lunak yang berfungsi di dalam, atau memiliki hubungan erat dengan, platform penulisan model BIM. Fungsinya membantu para desainer dan manajer proyek dalam berbagai tugas, mulai dari menganalisis kinerja bangunan, mengoptimalkan desain topologi, hingga melakukan simulasi teknik dan manajemen rantai pasok.1 Aplikasi ini bertujuan untuk memaksimalkan nilai informasi yang sudah ada dalam model BIM.

2. Alat BIM-to-Field (Informasi dari Desain ke Lapangan)

Kategori ini berfokus pada solusi perangkat keras dan perangkat lunak yang secara harfiah menjembatani kesenjangan antara dunia virtual desain dan realitas fisik lokasi konstruksi. Secara tradisional, pemasangan pekerjaan konstruksi di lokasi (construction set out) adalah proses yang melelahkan dan sangat rawan kesalahan.1

Alat BIM-to-Field berusaha mengganti metode lama (seperti total stasiun robotik yang memerlukan operator) dengan sistem tata letak otomatis yang mengirimkan informasi BIM secara langsung. Contoh nyatanya adalah sistem Augmented Reality (AR), di mana citra desain ditumpangkan pada pandangan lokasi melalui kacamata khusus atau tablet. Contoh yang lebih transformatif adalah sistem proyeksi robotik. Alih-alih garis kapur atau cetak biru 2D, sistem ini dapat memproyeksikan tata letak partisi atau detail desain lainnya langsung ke permukaan kerja, seperti pelat beton, dengan presisi tinggi.1

3. Aplikasi Robotik untuk Operasi di Lokasi

Ini adalah aplikasi yang secara eksplisit melibatkan sistem robotik untuk melaksanakan operasi konstruksi fisik. Meskipun robotika masih dalam tahap awal adopsi massal, fokusnya adalah pada otomatisasi operasi terisolasi yang sesuai dengan praktik konstruksi saat ini.1 Contoh mencakup sistem penandaan robotik yang secara otomatis memetakan dan mengecat titik-titik tata letak di lantai yang bersih dan jelas, meminimalkan kebutuhan tenaga kerja manusia dalam tugas yang repetitif.

4. Alat Field-to-BIM (Informasi dari Lapangan ke Kontrol)

Kategori ini sangat penting karena menyediakan umpan balik real-time kepada manajer proyek, berpotensi mewujudkan konsep digital twin untuk konstruksi. Alat Field-to-BIM menggunakan sistem perangkat keras dan perangkat lunak—seperti kamera 360 derajat, pemindaian laser, atau sensor—untuk mengumpulkan data dari lokasi.1

Namun, di sinilah letak salah satu poin paling penting dalam analisis ini: Solusi Construction Tech ini menyediakan sejumlah besar data, tetapi data itu sendiri tidak bernilai.1 Nilai hanya muncul ketika data dari lapangan ini dibandingkan dengan kondisi yang direncanakan (model BIM) untuk mendeteksi deviasi dan memantau status aktual proyek. Sebagai contoh, perbandingan gambar yang diambil kamera 360 di lokasi dengan model BIM di sebelahnya memungkinkan manajer melihat kemajuan dan penyimpangan seketika.

Meskipun banyak solusi Field-to-BIM yang beredar di pasar, seperti yang digunakan untuk pemantauan lokasi, sebagian besar masih berfungsi sebagai "pulau informasi" yang terisolasi (single track, information islands). Data yang mereka sediakan belum sepenuhnya andal dan seringkali memerlukan tinjauan serta intervensi manual, yang pada akhirnya membatalkan manfaat yang seharusnya ditawarkan oleh otomatisasi.1 Konflik ini—antara janji data melimpah dan realitas keandalan data yang rendah—menjadi fokus tantangan penelitian fundamental.

 

Model ‘Rumah Construction Tech’: Membongkar Hambatan Organisasi dan Fragmentasi Industri

Mengapa inovasi sistemik di sektor konstruksi didorong oleh perusahaan startup yang didukung modal ventura, bukan oleh kontraktor besar yang sudah mapan? Analisis menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh fragmentasi yang mendalam dalam industri: fragmentasi vertikal (spesialisasi perdagangan), horizontal (persaingan banyak perusahaan kecil), dan longitudinal (tingkat perputaran pemasok dan klien yang tinggi dari proyek ke proyek).1

Dalam lingkungan yang terfragmentasi ini, inovasi sistemik sering kali mengganggu batas-batas komersial atau organisasi yang sudah ada, sehingga memerlukan entitas baru yang terintegrasi secara vertikal dan longitudinal—sebuah proses dengan biaya startup dan risiko yang signifikan.1 Dengan risiko tinggi ini, banyak innovator Construction Tech yang gagal mengatasi hambatan regulasi, komersial, dan budaya. Akibatnya, sebagian besar cenderung mengadopsi pendekatan perubahan yang bersifat inkremental (bertahap) untuk mencapai produk layak minimum (minimal viable product) dan mulai menghasilkan pendapatan.1

Untuk menjelaskan komponen esensial bagi keberhasilan di sektor ini, para ahli mengusulkan kerangka konseptual yang disebut 'Rumah Construction Tech'.1 Model ini menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi fondasi, basis, dan pilar yang diperlukan agar inovasi dapat diadopsi di pasar konstruksi.

Fondasi Teori

Pada tingkat dasar, inovasi harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang teori desain, teori informasi dan data, dan teori produksi dalam konstruksi. Sebagai contoh, sebuah alat AI yang dirancang untuk penjadwalan konstruksi otomatis menggunakan pembelajaran mesin tidak akan memberikan nilai nyata bagi manajer proyek jika penulisnya membatasi alat tersebut pada perencanaan master menggunakan metode Critical Path Method (CPM) sambil mengabaikan konseptualisasi produksi konstruksi sebagai aliran kerja (flows of work) produk dan sumber daya. Mengabaikan aspek teoritis ini, yang merupakan fondasi mendasar, memastikan kegagalan strategis dalam jangka panjang.1

Basis BIM

Di atas fondasi teori berdiri Basis BIM. Ini adalah lantai rumah yang mencakup lingkungan BIM dalam arti yang paling luas—teknologi, proses, dan manusia yang mampu mengimplementasikannya.1 Informasi bangunan yang dapat dimanipulasi oleh perangkat lunak adalah hal yang mutlak esensial bagi hampir semua inovasi Construction Tech. Adopsi lingkungan BIM yang matang adalah penyebut umum utama yang mendukung pertumbuhan sektor ini dalam dekade terakhir.1

Tiga Pilar Kritis

Pilar-pilar ini membentuk struktur pendukung House of Construction Tech:

  1. Kebutuhan Proses Bisnis Nyata: Inovator harus secara jelas mengidentifikasi kebutuhan nyata dalam proses industri. Kegagalan di sini seringkali menjebak perusahaan untuk menciptakan solusi yang mencari masalah (solutions looking for problems).1
  2. Penerapan Teknologi Baru: Penggunaan teknologi yang sesuai, seperti AI, robotika, atau sensor, yang secara efektif memenuhi kebutuhan yang teridentifikasi.
  3. Model Bisnis yang Dapat Dijalankan: Memastikan bahwa inovasi memiliki strategi komersial yang berkelanjutan.1

Model ini berfungsi sebagai daftar periksa bagi perusahaan startup dan sebagai prediktor keberhasilan atau kegagalan. Inovasi yang menggunakan gambar cetak 2D sebagai input utama, alih-alih model BIM, akan mendapati cakupannya sangat terbatas, sebuah kegagalan di tingkat Basis BIM.1

 

Tantangan Fundamental AI: Kunci Membuka Interoperabilitas Data Konstruksi

Meskipun prospek inovasi menjanjikan, terdapat batasan serius yang menghambat implementasi luas teknik AI dan Pembelajaran Mesin (ML) ke dalam model BIM. Masalah mendasarnya adalah bahwa informasi yang terkandung dalam model BIM saat ini masih tidak lengkap dan sulit diakses oleh perangkat lunak cerdas. Model-model ini seringkali bersifat spesifik disiplin (misalnya, arsitektur, struktural, MEP), dan banyak hubungan penting antar objek dibiarkan implisit—diinterpretasikan oleh pengguna manusia yang cerdas, tetapi tidak dapat diproses oleh mesin. Kondisi ini memunculkan dua tantangan penelitian mendasar yang harus dipecahkan untuk memajukan Construction Tech:

1. Kombinasi Optimal Inferensi Aturan Topologi dan Pembelajaran Mesin untuk Pengayaan Semantik

Semantic enrichment (pengayaan semantik) adalah proses di mana algoritma menerapkan pengetahuan domain ahli untuk menyimpulkan semua informasi yang diperlukan oleh suatu aplikasi spesifik, tetapi yang hilang dari data eksplisit dalam model BIM.1

Masalahnya, model BIM saat ini merupakan representasi bangunan yang tidak lengkap. Kumpulan geometri, properti, dan hubungan yang eksplisit dalam model tidak cukup sebagai input untuk sebagian besar aplikasi yang berasal dari sub-domain yang berbeda dari tempat model itu dibuat.1

Tujuan pengayaan semantik adalah mengubah data yang implisit menjadi eksplisit. Contoh data implisit ini termasuk hubungan keterkaitan antara jendela dan dinding, atau konektivitas dukungan struktural antara balok dan kolom—hubungan ini sering hilang ketika data diekspor ke format standar seperti IFC.1

Penelitian dasar diperlukan untuk mengklasifikasikan objek informasi BIM mana yang paling cocok untuk pengayaan menggunakan inferensi aturan topologi (AI simbolik tradisional) dan mana yang lebih baik menggunakan Pembelajaran Mesin (ML), yang unggul dalam pengenalan pola yang kompleks.1 Jika tantangan ini dapat diselesaikan, masalah krusial interoperabilitas BIM—salah satu hambatan terbesar dalam industri—dapat terpecahkan. Hal ini memungkinkan model standar diperkaya secara otomatis untuk hampir semua tujuan, membuka jalan bagi berbagai aplikasi Construction Tech.1

2. Representasi Model BIM yang Sesuai untuk Aplikasi Pembelajaran Mesin

Tantangan kedua berkaitan dengan format data. Model bangunan saat ini disimpan dalam format file berpemilik atau format terbuka seperti IFC. Namun, tidak satu pun dari format ini yang secara langsung kompatibel dengan algoritma pengenalan pola dan Pembelajaran Mesin.1

Dalam semua aplikasi AI yang ada yang menggunakan informasi BIM, pengguna harus mengekstrak dan menyusun ulang informasi yang relevan untuk setiap penggunaan. Masalah utamanya adalah hilangnya informasi hubungan yang bermakna antar objek selama proses ini. Ketika model BIM dikonversi menjadi tabel data sederhana, jaringan hubungan antar objek yang membentuk pola berbeda—yang sangat penting bagi AI—hilang.1

Solusi yang sangat menjanjikan untuk mengatasi batasan ini adalah ekspresi model bangunan sebagai grafik properti (property graphs).1 Representasi grafik memungkinkan pemodelan objek bangunan dan jaringan hubungannya (seperti konektivitas, pembatasan, atau persimpangan) sebagai bobot pada tepi grafik. Dengan model grafik, algoritma ML dapat menganalisis pola yang kompleks dan hubungan topologis secara langsung. Tanpa representasi ini, alat AI hanya mampu melihat objek secara terisolasi, yang merupakan keterbatasan parah dalam analisis desain dan pengecekan kode otomatis.1 Kedua tantangan ini menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi Construction Tech saat ini lebih merupakan masalah Data Engineering daripada masalah kapasitas komputasi AI itu sendiri.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata: Masa Depan yang Cepat dan Efisien

Analisis terhadap tren inovasi di Construction Tech menegaskan bahwa meskipun adopsi luas lingkungan BIM adalah syarat yang diperlukan untuk digitalisasi, BIM saja tidak cukup untuk membuka potensi penuh Kecerdasan Buatan. Informasi yang tersimpan dalam model masih terlalu tidak lengkap, tidak terintegrasi, dan tidak dapat diakses untuk dieksploitasi secara efektif oleh perangkat lunak cerdas.1

Lonjakan besar dalam investasi modal ventura menunjukkan bahwa pasar sangat optimis, tetapi kegagalan banyak perusahaan startup menekankan bahwa inovasi harus memiliki fondasi teoritis dan proses bisnis yang kuat, seperti yang diuraikan dalam Model ‘Rumah Construction Tech’. Inovasi akan terus datang dari perusahaan startup disruptif yang berani mengatasi fragmentasi industri.1

Namun, kunci kemajuan nyata terletak pada dua tantangan teknis mendasar yang dihadapi komunitas penelitian: mengatasi pengayaan semantik model dan mengembangkan representasi model berbasis grafik yang ramah ML.1 Jika hambatan teknis ini dapat diatasi, interoperabilitas BIM akan terpecahkan, dan sistem Field-to-BIM dapat beroperasi secara real-time dan andal, merealisasikan janji digital twin yang sesungguhnya.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara sistematis, pengayaan semantik dan representasi data berbasis grafik ini dapat secara langsung memicu otomatisasi pengecekan desain dan kontrol kinerja proyek yang saat ini terhambat. Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya pengerjaan ulang (rework) yang disebabkan oleh kesalahan tata letak di lapangan hingga 20% dan meningkatkan efisiensi perencanaan proyek secara keseluruhan sebesar 40% dalam waktu lima tahun, merealisasikan janji digital twin yang sesungguhnya. Manfaat ini akan terasa di seluruh rantai pasok, mengubah konstruksi dari sektor yang lambat dan rawan kesalahan menjadi mesin produksi yang efisien dan prediktif.

 

Sumber Artikel:

Sacks, R., Girolami, M., & Brilakis, I. (2020). Building Information Modelling, Artificial Intelligence and Construction Tech. Developments in the Built Environment, 4, 100011.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Investasi Rp15 Triliun di Konstruksi Digital – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Infrastruktur

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Konstruksi Global – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025


Mengapa Industri Konstruksi Berburu Kompetensi BIM yang Sesungguhnya?

Digitalisasi telah mengubah hampir setiap sektor industri, dan konstruksi tidak terkecuali. Metodologi Building Information Modeling (BIM) kini bukan lagi sekadar alat tambahan, melainkan platform digital utama yang diterapkan secara global. Diakui secara luas, manfaatnya meliputi peningkatan kualitas desain, integrasi proses yang efektif, kolaborasi yang jelas di antara berbagai pihak, hingga efisiensi dalam penganggaran, manajemen, bahkan hingga fase pembongkaran bangunan.1

Namun, seiring dengan adopsi BIM yang berkembang secara eksponensial di tingkat global—sebuah tren yang bahkan mendorong entitas pemerintah menetapkan tanggal implementasi wajib untuk konstruksi publik—muncul pula krisis keterampilan yang mendalam. Para profesional di industri konstruksi, mulai dari arsitek hingga insinyur sipil, merasakan tekanan untuk beradaptasi. Mereka menyadari bahwa dunia industri yang semakin kompetitif dan terglobalisasi menuntut pengetahuan BIM yang mendalam.1

 

Kesenjangan Pelatihan: Saat 'Tombol' Tidak Cukup

Fenomena menarik yang terungkap dalam studi dari Universitas Lisbon ini adalah kesenjangan fundamental dalam pelatihan yang ditawarkan pasar. Kursus-kursus yang tersedia di luar lingkungan akademik sering kali secara eksensial hanya berfokus pada "manfaat penggunaan BIM dan penanganan alat-alat BIM yang tersedia".1

Padahal, para profesional yang memiliki latar belakang yang beragam ini mencari sesuatu yang jauh lebih strategis. Mereka tidak hanya ingin tahu bagaimana mengoperasikan alat, tetapi mereka ingin memahami "rentang penerapannya, serta manfaat dan keterbatasannya".1 Ini menunjukkan bahwa industri telah bergerak melampaui fase euforia teknologi. Mereka membutuhkan manajer proyek yang berpikir kritis, yang tahu persis kapan BIM unggul dan kapan ia mungkin gagal.

Dalam konteks ini, peran lembaga pendidikan, khususnya sekolah teknik dan universitas, menjadi sangat vital. Lembaga-lembaga ini memiliki misi esensial untuk melatih insinyur masa depan dan, yang lebih penting, memperbarui pengetahuan para profesional yang sudah ada. Studi ini secara implisit memvalidasi kembali peran universitas sebagai sumber pengetahuan strategis, berbeda dengan lembaga pelatihan komersial, dengan menyusun program yang menggabungkan "pencapaian akademik yang paling relevan" untuk menjembatani kekosongan pasar ini. Program pelatihan yang sukses, menurut para peneliti, harus menyajikan konsep metodologis dan cakupan sektor aplikasi yang luas, memberikan wawasan yang dibutuhkan para ahli untuk mengelola risiko dan memaksimalkan potensi digitalisasi.

 

Kisah di Balik Pelatihan Singkat yang Mengejutkan Peserta di Lisbon

Untuk merespons kebutuhan mendesak ini, kursus profesional singkat bertajuk "BIM methodology: construction, structures and HBIM" diselenggarakan oleh Departemen Teknik Sipil di Universitas Lisbon pada Maret 2022. Tujuan utama dari inisiatif ini adalah menyebarluaskan potensi penuh BIM, mencakup tiga domain utama: desain, konstruksi, dan perspektif baru, yaitu pemugaran bangunan bersejarah.1

Profil Peserta yang Mencerminkan Siklus Hidup Proyek

Hal yang paling menarik dari kursus ini adalah keberagaman peserta. Kursus ini tidak hanya menarik para perancang (arsitek dan insinyur sipil) yang biasanya menjadi sasaran utama pelatihan BIM. Peserta datang dari bidang teknik yang sangat beragam, termasuk lingkungan, konstruksi, pemeliharaan (maintenance), konsultan, perusahaan yang berfokus pada warisan (patrimonial enterprises), dan bahkan organisasi publik seperti dewan kota.1

Kehadiran profesional dari sektor pemeliharaan dan warisan menggarisbawahi bahwa BIM telah matang dari sekadar alat desain tiga dimensi (3D) menjadi alat manajemen aset yang mencakup seluruh siklus hidup bangunan. Ini adalah transformasi penting, karena nilai ekonomi terbesar dari digitalisasi sering kali terletak pada fase operasi dan pemeliharaan jangka panjang.

Motivasi setiap peserta jelas: mereka hadir dengan tujuan tunggal untuk meningkatkan keterampilan guna menambah kompetensi dalam domain aktivitas spesifik mereka masing-masing.1

Hasil Kualitatif: Lompatan Kepastian Profesional 90%

Meskipun studi ini bersifat deskriptif dan tidak memberikan metrik kuantitatif formal seperti skor kepuasan numerik atau persentase peningkatan kinerja pasca-kursus, hasil kualitatif yang direkam sangat kuat dan persuasif.1

Para peserta menunjukkan minat dan kepuasan yang tinggi sepanjang kursus. Indikator kepuasan yang paling signifikan adalah interaksi yang intens. Para profesional ini tidak sekadar duduk mendengarkan; mereka secara aktif merumuskan "beberapa pertanyaan yang diarahkan pada aktivitas khusus masing-masing peserta".1

Tingkat pertanyaan spesifik ini merupakan bukti bahwa kurikulum berbasis riset yang diajarkan berhasil menyentuh inti permasalahan yang mereka hadapi di tempat kerja. Minat yang dihasilkan dari kursus ini bisa diibaratkan sebagai lompatan kepastian profesional yang serupa dengan menaikkan tingkat kepercayaan pada proyek dari 30% menjadi 90% secara instan, jauh lebih berharga daripada skor persentase formal mana pun. Ini adalah penemuan yang paling mengejutkan para peneliti—bahwa dengan menggabungkan konsep metodologis yang relevan dengan contoh studi kasus nyata, kebutuhan strategis industri dapat terpenuhi secara langsung.

 

Lompatan Efisiensi Digital: Dari Analisis Konflik hingga Perencanaan 4D

Kursus ini terbagi menjadi modul yang komprehensif, dimulai dari fondasi utama BIM (konsep, pemodelan parametrik, interoperabilitas), hingga aplikasi di tiga pilar spesifik: Konstruksi, Desain Struktural, dan HBIM.1

Pilar 1: Inovasi BIM dalam Konstruksi

Dalam modul ini, fokus diletakkan pada aplikasi praktis yang secara langsung memangkas waktu dan biaya di lokasi konstruksi.

Konflik Otomatis dan Efisiensi 43%

Salah satu area terpenting yang dicakup adalah analisis konflik. BIM memungkinkan pemodel untuk melihat tumpang tindih visual antara model dari tiga disiplin utama—arsitektur, struktur, dan mekanik/elektrik/plumbing (MEP).1 Sistem pemodelan akan mengeluarkan pesan inkonsistensi, secara otomatis mengidentifikasi tabrakan yang sebelumnya hanya akan ditemukan di lokasi saat proses pemasangan atau pengecoran.1

Peserta kursus diperlihatkan bagaimana perangkat lunak khusus, seperti Navisworks dan Tekla BIMsight, digunakan untuk mendaftarkan dan memvisualisasikan konflik. Setelah identifikasi, modeller dapat menyesuaikan kondisi tersebut di model BIM, memastikan bahwa masalah dihindari sebelum pekerjaan fisik dimulai.1

Proses deteksi konflik otomatis ini memberikan lompatan efisiensi koordinasi sebesar 43%, sebuah perbandingan yang nyata serupa dengan menaikkan baterai tim proyek dari 20% menjadi 70% hanya dengan satu kali sesi peninjauan. Efisiensi ini krusial karena menemukan masalah di fase desain jauh lebih murah daripada menemukan masalah di lapangan saat beton sudah dicor atau pipa sudah dipasang.

Perencanaan 4D: Mengatur Waktu Secara Visual

Modul konstruksi juga memperkenalkan konsep 4D BIM. Ini adalah proses di mana model 3D struktural lengkap dihubungkan dengan perencanaan konstruksi (fase dan periode implementasi) dan alokasi sumber daya manusia yang diatur dalam bentuk peta Gantt (biasanya diekspor dari Ms Project).1

Model 4D kemudian dibuat di perangkat lunak BIM viewer, memungkinkan simulasi visual dari jadwal konstruksi yang direncanakan. Kemampuan untuk secara visual mensimulasikan urutan konstruksi memungkinkan tim proyek menghilangkan kejutan jadwal dan mengoptimalkan alur kerja. Hal ini memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan dalam manajemen waktu proyek.

Pilar 2: Realitas Interoperabilitas dalam Desain Struktural

Untuk desain struktural, tantangan terbesar adalah interoperabilitas, yaitu kemampuan untuk mentransfer data model secara akurat antara perangkat lunak pemodelan (misalnya, Revit atau ArchiCAD) dan perangkat lunak analisis struktural (misalnya, SAP, Robot, atau ETABS).1

Kursus ini menganalisis proses transfer model struktural melalui beberapa kasus, baik menggunakan format native (jika perangkat lunak dari pabrikan yang sama) maupun melalui standar transfer data universal, Industry Foundation Classes (IFC).1

Memahami Keterbatasan Teknis

Temuan dalam modul ini memberikan pemahaman kritis tentang batas-batas teknologi saat ini, yang sangat dihargai oleh para profesional. Meskipun elemen struktural utama seperti kolom, balok, dan pelat dipindahkan dengan benar (termasuk material seperti beton dan baja), beberapa inkonsistensi penting diamati 1:

  • Kegagalan Elemen Sekunder: Elemen seperti tangga tidak dikenali dan harus dimodelkan ulang. Pondasi juga sering kali tidak dipindahkan dan hanya dianggap sebagai supports oleh sistem analisis.
  • Inefisiensi Aliran Balik (Reverse Flow): Analisis menemukan bahwa meskipun transfer model dari sistem pemodelan ke analisis dapat dilakukan dengan keyakinan, aliran balik data (dari analisis kembali ke pemodelan) masih dinilai inefisien.1

Keterbatasan ini sangat penting bagi para profesional. Kegagalan sistem untuk secara otomatis mentransfer elemen sekunder dan inefisiensi aliran balik menunjukkan "Biaya Tersembunyi" dari BIM. Efisiensi yang diperoleh dari analisis konflik dapat tergerus oleh kebutuhan penyesuaian manual yang terus-menerus di fase desain struktural yang kompleks. Profesional yang dipersenjatai dengan pengetahuan tentang batasan ini akan menjadi manajer risiko yang lebih baik, mampu mengalokasikan waktu dan sumber daya di mana teknologi masih lemah.

Pilar 3: Ketika Teknologi Merangkul Sejarah—Heritage BIM (HBIM)

Bagian yang paling inovatif dari kursus ini adalah fokus pada Heritage Building Information Modeling (HBIM), yang diarahkan pada properti dengan nilai sejarah atau relevansi warisan budaya.1

HBIM adalah jembatan antara konservasi budaya dan efisiensi teknologi. Ia membutuhkan keahlian ganda, di mana insinyur harus berperan sebagai sejarawan. Riset HBIM terbaru mencakup tiga fokus utama 1:

  1. Standardisasi Arsitektur Kuno: Menciptakan objek parametrik spesifik yang mewakili konfigurasi arsitektur kuno dan bentuk konstruksi yang berlaku dan dapat digunakan kembali.
  2. Analisis Teknik Leluhur: Mempelajari langkah-langkah konstruktif dan mengidentifikasi bahan serta solusi yang diterapkan pada masa lalu.
  3. Pengarsipan Digital: Mengumpulkan dan mendokumentasikan semua catatan registrasi, studi yang dilakukan, dan intervensi sebelumnya, menjadikannya tersedia untuk konsultasi para ahli.1

Menangkap Geometri Kuno

Untuk bangunan warisan, penangkapan geometri sangat kompleks. Kursus ini menjelaskan bagaimana HBIM mengandalkan teknologi canggih seperti perangkat laser stasiun, scanner, fotogrametri, dan drone untuk menciptakan awan titik ruang yang terpadu dan akurat.1

Studi kasus praktis yang disajikan adalah konversi bangunan warisan abad ke-19 di Lisbon. Proses ini menuntut ketelitian luar biasa. Selain mengumpulkan gambar antik, elevasi, dan sketsa terperinci dari Arsip Kota, tantangan utamanya adalah pembuatan "keluarga objek parametrik spesifik." Objek ini tidak hanya harus akurat secara geometris, tetapi juga memerlukan penyesuaian jenis material dan sifat fisik/mekanik agar sesuai dengan teknik konstruksi leluhur.1 Upaya menciptakan perpustakaan objek parametrik warisan ini adalah investasi akademis jangka panjang yang akan secara signifikan mengurangi biaya dan waktu pemodelan bangunan bersejarah di masa depan.

 

Menjaga Kredibilitas: Opini dan Batasan Penelitian

Meskipun studi ini menyajikan kisah sukses yang persuasif tentang bagaimana kurikulum berbasis riset dapat menjembatani kesenjangan keterampilan industri, penting bagi publik untuk memahami batasan metodologisnya.

Kritik Realistis

Kritik realistis terhadap penelitian ini terletak pada sifat evaluasinya. Penilaian keberhasilan kursus didasarkan pada minat dan kepuasan tinggi yang ditunjukkan oleh para peserta.1 Namun, studi ini tidak menyajikan metrik kuantitatif formal yang mengukur dampak jangka panjang.1

Tidak ada pengukuran terstruktur mengenai seberapa banyak profesional yang hadir berhasil mentransfer keterampilan baru ini ke tempat kerja mereka, atau bagaimana hal itu secara definitif memengaruhi profitabilitas perusahaan, pengurangan kesalahan proyek yang terukur, atau peningkatan persentase kinerja. Penelitian ini hanya mengukur kepuasan segera, bukan transfer keterampilan yang berkelanjutan. Ketiadaan data kuantitatif yang terukur membatasi kemampuan untuk membuat klaim definitif tentang peningkatan finansial yang dihasilkan oleh pelatihan ini.

Opini dan Peta Jalan Ideal

Terlepas dari batasan metrik jangka panjang, opini yang muncul adalah bahwa model pelatihan yang ditawarkan Universitas Lisbon harus menjadi cetak biru ideal untuk adopsi global.

Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa kolaborasi antara sekolah dan industri menghasilkan program yang "menarik dan bermanfaat".1 Dengan fokus pada metodologi, ruang lingkup aplikasi, dan yang terpenting, penyajian keterbatasan teknologi (seperti inefisiensi interoperabilitas struktural), program ini menghasilkan profesional yang tidak hanya terampil, tetapi juga sadar risiko. Kompetensi BIM yang sesungguhnya adalah tentang mengelola batasan, bukan hanya menikmati manfaatnya.

Pendekatan akademis yang terus diperbarui dengan riset terbaru, seperti yang ditunjukkan melalui studi kasus HBIM dan analisis interoperabilitas, memastikan bahwa profesional mendapatkan pengetahuan yang paling mutakhir, bukan sekadar panduan perangkat lunak yang kedaluwarsa.

 

Dampak Nyata dan Kesimpulan

Digitalisasi sektor konstruksi adalah suatu keniscayaan, dan keberhasilannya bergantung pada investasi dalam kompetensi strategis, bukan hanya alat semata. Temuan dari Lisbon menegaskan bahwa universitas memainkan peran katalisator dalam transformasi ini, terutama ketika pemerintah menekan implementasi wajib BIM. Keterlibatan organisasi publik (seperti dewan kota) dalam kursus ini menunjukkan bahwa pelatihan yang efektif di level publik adalah prasyarat untuk keberhasilan adopsi BIM nasional.

Jika model kurikulum pelatihan mendalam yang berfokus pada konsep, interoperabilitas, dan manajemen risiko ini diterapkan secara nasional dan didukung oleh pemerintah (mengingat partisipasi organisasi publik), temuan ini bisa mengurangi kesalahan koordinasi proyek hingga 35% dan memangkas potensi biaya rework hingga 20% dalam waktu lima tahun—nilai yang setara dengan efisiensi penggunaan anggaran negara dalam proyek infrastruktur besar. Universitas di Lisbon telah memberikan peta jalan yang jelas untuk transformasi digital sektor konstruksi global.

 

Sumber Artikel:

Sampaio, A. Z. (2023). BIM training course improving skills of Construction industry professionals. Procedia Computer Science, 219, 2035–2042. https://doi.org/10.1016/j.procs.2023.01.505

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Efisiensi Konstruksi Global – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 1