Sumber Daya Air

Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Peran dan Tantangan Kualitas Air Danau Kandung Suli

Danau Kandung Suli merupakan sumber air utama bagi masyarakat setempat yang dimanfaatkan secara langsung untuk keperluan domestik seperti mandi dan mencuci, serta untuk budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung. Namun, aktivitas domestik dan budidaya ikan yang terus berlangsung berpotensi menurunkan kualitas air danau. Penelitian oleh Lailial Muthifah dkk. (2018) ini bertujuan mengkaji kualitas air Danau Kandung Suli dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) dan membandingkannya dengan baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001.

Penelitian ini penting karena kualitas air yang menurun dapat berdampak buruk tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada produktivitas budidaya ikan yang menjadi sumber penghidupan utama warga sekitar.

 Pengambilan Sampel dan Parameter Kualitas Air

Penelitian dilakukan pada tanggal 30 Juli 2017 dengan pengambilan sampel air secara grab sampling di lima titik strategis di Danau Kandung Suli. Titik-titik tersebut dipilih berdasarkan karakteristik lingkungan, yaitu inlet sungai, lokasi pemukiman, sekitar keramba ikan, dan kondisi alami air danau sebagai kontrol.

Pengambilan sampel dilakukan di kedalaman 0,5 meter dari permukaan dan 0,5 meter dari dasar untuk mendapatkan sampel komposit yang representatif. Parameter yang diukur secara in situ meliputi suhu, pH, kecerahan, total dissolved solids (TDS), dan dissolved oxygen (DO). Sedangkan parameter yang dianalisis di laboratorium adalah biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solids (TSS), fosfat, dan nitrat.

Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan baku mutu kelas II sesuai PP No. 82 Tahun 2001 untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kualitas air danau.

Hasil Penelitian: Kondisi Fisik dan Kimia Air Danau Kandung Suli

Suhu dan Kecerahan

Suhu air di lima titik pengamatan berkisar antara 28°C hingga 31°C, dengan titik 4 (lokasi keramba dan pemukiman) menunjukkan suhu tertinggi 31°C. Suhu ini masih sesuai dengan rentang ideal untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya (25–32°C).

Nilai kecerahan air berada di antara 0,66 hingga 0,86 meter, dengan titik 4 memiliki kecerahan terendah (0,66 m). Penurunan kecerahan ini disebabkan oleh aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan sisa pakan dan limbah organik yang meningkatkan kekeruhan air. Sebagai perbandingan, tingkat kecerahan ideal untuk perairan danau adalah sekitar 2 meter, sehingga kondisi ini menunjukkan penurunan kualitas visual dan potensi gangguan fotosintesis fitoplankton.

pH dan Dissolved Oxygen (DO)

Nilai pH berkisar antara 5,9 hingga 6,9, dengan titik 4 menunjukkan pH terendah 5,9, sedikit di bawah batas baku mutu kelas II (6–9). Penurunan pH ini diduga akibat masuknya senyawa organik dan anorganik dari aktivitas domestik dan budidaya ikan.

Kadar DO bervariasi antara 2,92 mg/L hingga 5,42 mg/L. Titik 3 dan 4 menunjukkan nilai DO yang lebih rendah, yaitu 3,2 mg/L dan 2,92 mg/L, di bawah batas baku mutu 4 mg/L. Rendahnya DO ini mengindikasikan tekanan pencemaran organik yang tinggi, di mana mikroorganisme menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik dari limbah domestik dan sisa pakan ikan.

BOD dan COD

Nilai BOD di titik 3 dan 4 masing-masing sebesar 3,34 mg/L dan 3,9 mg/L telah melebihi batas baku mutu kelas II (3 mg/L). Tingginya BOD menunjukkan tingginya kandungan bahan organik yang memerlukan oksigen untuk terdegradasi.

Sementara itu, nilai COD pada titik yang sama juga meningkat, yaitu 25,12 mg/L dan 25,20 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (25 mg/L). Peningkatan COD ini terkait dengan akumulasi bahan organik yang sulit terurai secara biologis akibat limbah domestik dan aktivitas budidaya ikan.

TSS dan TDS

Kadar total suspended solids (TSS) pada titik 4 mencapai 50,10 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (50 mg/L). Peningkatan TSS ini disebabkan oleh sisa pakan ikan dan aktivitas rumah tangga yang menyebabkan peningkatan partikel tersuspensi dalam air.

Total dissolved solids (TDS) berkisar antara 594,8 mg/L hingga 950 mg/L, masih dalam batas aman menurut baku mutu kelas II (maksimum 1000 mg/L). Namun, nilai TDS yang lebih tinggi pada titik 3 dan 4 menunjukkan akumulasi bahan terlarut dari aktivitas manusia di sekitar danau.

Fosfat dan Nitrat

Konsentrasi fosfat berada di rentang 0,1 mg/L hingga 0,28 mg/L, dengan titik 3 dan 4 menunjukkan nilai tertinggi yang melebihi batas baku mutu kelas II (0,2 mg/L). Fosfat yang tinggi ini berasal dari limbah domestik seperti deterjen dan sisa pakan ikan yang tidak termakan.

Kadar nitrat berkisar antara 5,97 mg/L hingga 9,8 mg/L, masih di bawah batas baku mutu kelas II (10 mg/L), namun titik 4 menunjukkan peningkatan signifikan (9,8 mg/L) akibat aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan limbah nitrogen.

Studi Kasus: Dampak Budidaya Ikan Keramba terhadap Kualitas Air

Titik 4 di Danau Kandung Suli merupakan lokasi dengan aktivitas budidaya ikan keramba dan pemukiman penduduk yang paling intensif. Di lokasi ini, hampir semua parameter kualitas air menunjukkan penurunan kualitas, seperti suhu tertinggi (31°C), pH terendah (5,9), DO terendah (2,92 mg/L), BOD dan COD yang melebihi baku mutu, serta peningkatan TSS, fosfat, dan nitrat.

Sisa pakan ikan yang tidak termakan, limbah metabolisme ikan, dan limbah domestik yang langsung dibuang ke danau menjadi sumber utama pencemaran. Kondisi ini menyebabkan penurunan kecerahan air dan penurunan kadar oksigen terlarut yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup ikan dan organisme air lainnya.

Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan bahwa budidaya ikan intensif tanpa pengelolaan limbah yang baik dapat meningkatkan pencemaran organik dan nutrien di perairan, sehingga memicu eutrofikasi dan penurunan kualitas air.

Analisis dan Opini: Implikasi dan Upaya Pengelolaan

Penelitian ini memberikan gambaran jelas bahwa aktivitas domestik dan budidaya ikan di Danau Kandung Suli telah menurunkan kualitas air, terutama di sekitar lokasi keramba. Penurunan kualitas ini dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat yang menggunakan air danau secara langsung serta menurunkan produktivitas budidaya ikan.

Dalam konteks pengelolaan sumber daya air, hasil ini menegaskan pentingnya penerapan pengelolaan limbah domestik dan budidaya yang terintegrasi, termasuk:

  • Pengelolaan limbah domestik yang baik dengan fasilitas sanitasi yang memadai agar limbah tidak langsung dibuang ke danau.
  • Pengelolaan pakan ikan agar tidak berlebihan dan sisa pakan dibersihkan secara rutin untuk mengurangi akumulasi bahan organik.
  • Monitoring kualitas air secara berkala untuk mendeteksi perubahan dan mengambil tindakan cepat.
  • Edukasi masyarakat tentang dampak pencemaran dan pentingnya menjaga kualitas air.

Pendekatan ini sejalan dengan tren global pengelolaan perairan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan terkait air bersih dan sanitasi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa parameter kualitas air di Danau Kandung Suli telah melampaui baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001, antara lain:

  • BOD sebesar 3,34–3,9 mg/L
  • COD sebesar 25,12–25,20 mg/L
  • TSS sebesar 50,10 mg/L
  • Fosfat sebesar 0,22–0,28 mg/L

Sumber utama pencemaran berasal dari aktivitas domestik dan budidaya ikan keramba yang menghasilkan limbah organik dan nutrien tinggi. Penurunan kualitas air ini perlu mendapat perhatian serius untuk menjaga keberlanjutan fungsi danau sebagai sumber air dan budidaya ikan.

Sumber:
Lailial Muthifah, Nurhayati, Kiki Prio Utomo. (2018). Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Selengkapnya
Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu

Sumber Daya Air

Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah DKI Jakarta

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Sungai Pesanggrahan dan Tantangan Kualitas Air Perkotaan

Sungai Pesanggrahan yang mengalir dari Kabupaten Bogor, Kota Depok, hingga wilayah Jakarta Selatan, Barat, dan Utara, memiliki peranan strategis sebagai sumber air dan ekosistem pendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun, aktivitas manusia yang intensif di sepanjang aliran sungai, seperti permukiman padat, industri, dan lahan terbuka, berkontribusi pada peningkatan beban pencemaran air. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas air yang berpotensi mengganggu fungsi ekologis dan pemanfaatan air untuk perikanan serta kebutuhan domestik.

Penelitian oleh Djoharam dkk. (2018) bertujuan menganalisis kualitas air Sungai Pesanggrahan berdasarkan parameter fisika dan kimia serta menghitung daya tampung beban pencemaran sungai. Studi ini penting untuk memberikan gambaran kondisi kualitas air terkini dan menjadi dasar pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan di wilayah metropolitan DKI Jakarta.

Sampling dan Analisis Parameter Kualitas Air

Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 dengan pengambilan sampel di delapan titik strategis sepanjang Sungai Pesanggrahan yang mewakili berbagai kondisi penggunaan lahan dan potensi sumber pencemar. Parameter yang dianalisis meliputi 5 parameter fisika (suhu, daya hantar listrik, TDS, TSS, dan DO) dan 13 parameter kimia (pH, merkuri, mangan, nikel, total fosfat, seng, sulfat, tembaga, minyak dan lemak, senyawa aktif biru metilen, organik, BOD, dan COD).

Data hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 dan baku mutu Golongan C menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995. Penentuan status mutu air menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) yang mengkategorikan kondisi mutu air dari baik hingga cemar berat.

Hasil dan Pembahasan: Penurunan Kualitas Air dari Hulu ke Hilir

Parameter Fisika dan Kimia

  • Suhu: Berkisar antara 24,4°C hingga 25,2°C, masih memenuhi baku mutu kelas II dan Golongan C, namun kurang optimal untuk budidaya ikan tropis yang idealnya 28–32°C.
  • pH: Stabil di kisaran 7,3–7,5, mengindikasikan kondisi netral yang cocok untuk kehidupan akuatik dan memenuhi standar baku mutu.
  • Total Suspended Solid (TSS): Variasi signifikan dengan nilai antara 19 mg/L hingga 116 mg/L. Titik sampling P7 (116 mg/L) dan P1 (78 mg/L) melebihi batas baku mutu kelas II (50 mg/L), menandakan tingginya kandungan partikel tersuspensi akibat erosi dan aktivitas manusia.
  • Dissolved Oxygen (DO): Menurun dari hulu ke hilir, dengan nilai tertinggi 6,43 mg/L di P1 dan terendah 1,24 mg/L di P4, yang jauh di bawah batas minimum 4 mg/L untuk kelas II. Penurunan DO ini mengindikasikan tekanan pencemaran organik yang mengurangi oksigen terlarut.
  • Biochemical Oxygen Demand (BOD): Nilai BOD bervariasi antara 2,82 mg/L hingga 11,94 mg/L, dengan nilai tertinggi di P7 yang melebihi batas baku mutu kelas II (3 mg/L). Ini menandakan tingginya bahan organik yang terdegradasi oleh mikroorganisme.
  • Chemical Oxygen Demand (COD): Berkisar antara 5,9 mg/L hingga 31,07 mg/L, dengan P7 juga menunjukkan nilai tertinggi yang melebihi batas kelas II (25 mg/L). Hal ini menegaskan adanya bahan organik yang sulit terurai secara biologis.
  • Total Fosfat: Konsentrasi fosfat berkisar 0,13–0,32 mg/L, dengan beberapa titik melebihi batas baku mutu (0,2 mg/L), yang dapat memicu eutrofikasi.
  • Logam Berat dan Senyawa Organik: Konsentrasi merkuri dan nikel berada di bawah batas deteksi, sedangkan mangan dan seng menunjukkan nilai rendah dan masih dalam batas aman.

Status Mutu Air dan Indeks Pencemaran

Berdasarkan Indeks Pencemaran (IP), sebagian besar titik sampling menunjukkan status cemar ringan dengan nilai IP antara 1,1 hingga 4,9. Titik P4 yang merupakan kawasan permukiman padat dan lahan terbuka mengalami cemar sedang dengan IP 6,1 berdasarkan baku mutu kelas II. Jika menggunakan baku mutu Golongan C, semua titik sudah tercemar ringan.

Penurunan kualitas air dari hulu ke hilir terutama disebabkan oleh peningkatan beban limbah domestik dan industri rumah tangga, serta limpasan tanah terbuka yang meningkatkan TSS. Penurunan DO dan peningkatan BOD serta COD mengindikasikan pencemaran organik yang membebani ekosistem sungai.

Studi Kasus: Beban Pencemaran dan Daya Tampung Sungai Pesanggrahan

Analisis daya tampung beban pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Pesanggrahan telah melampaui kapasitasnya untuk menampung beban BOD dan TSS berdasarkan baku mutu kelas II. Beban pencemaran BOD tercatat sebesar 87,915 kg/hari, sedangkan daya tampung hanya 40,617 kg/hari, sehingga diperlukan pengurangan beban sebesar 47,298 kg/hari untuk mengembalikan kualitas air. Untuk TSS, beban pencemaran mencapai 1.125.032 kg/hari, jauh melebihi daya tampung 676.944 kg/hari, sehingga perlu pengurangan signifikan sebesar 448.088 kg/hari.

Namun, berdasarkan baku mutu Golongan C, sungai masih mampu menampung beban pencemaran BOD, COD, dan TSS, yang menandakan perbedaan standar pengelolaan antara regulasi nasional dan daerah.

Opini dan Relevansi dengan Tren Pengelolaan Lingkungan

Penelitian ini menggambarkan tantangan pengelolaan kualitas air di sungai perkotaan yang menghadapi tekanan aktivitas manusia yang terus meningkat. Kondisi Sungai Pesanggrahan yang tercemar ringan hingga sedang mengindikasikan perlunya intervensi pengurangan beban pencemaran, terutama dari limbah domestik dan sedimentasi.

Dibandingkan dengan penelitian lain di sungai perkotaan seperti Ciliwung dan Cisadane, pola penurunan kualitas air dari hulu ke hilir dan dominasi pencemaran organik serta padatan tersuspensi menjadi masalah umum yang memerlukan pendekatan terpadu. Pengelolaan berbasis DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan keterlibatan masyarakat, pengembangan IPAL komunal, dan pengawasan limbah industri rumah tangga menjadi solusi yang relevan.

Tren global dalam pengelolaan sumber daya air menekankan pentingnya pengendalian pencemaran dan pemulihan kualitas air untuk mendukung ekosistem dan kesehatan masyarakat. Penelitian ini memberikan data empiris yang dapat menjadi dasar kebijakan dan program pengelolaan sungai di wilayah metropolitan Jakarta.

Kesimpulan

  • Kualitas air Sungai Pesanggrahan di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan dari hulu ke hilir dengan status cemar ringan hingga cemar sedang.
  • Parameter utama yang menunjukkan pencemaran adalah TSS, BOD, COD, dan penurunan DO, dengan beberapa titik melebihi baku mutu kelas II.
  • Beban pencemaran BOD dan TSS telah melampaui daya tampung sungai berdasarkan standar nasional, sehingga diperlukan pengurangan beban pencemaran.
  • Pengelolaan kualitas air Sungai Pesanggrahan harus melibatkan pengurangan limbah domestik dan industri, pengendalian erosi, serta pemantauan berkala.
  • Penelitian ini menjadi acuan penting dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan yang padat penduduk.

Sumber:
Djoharama, V., Riani, E., & Yani, M. (2018). Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(1), 127-133.

Selengkapnya
Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah DKI Jakarta

Sumber Daya Air

Indeks Kualitas Air dan Dampak Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Pentingnya Monitoring Kualitas Air Sungai Karang Mumus

Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur, merupakan sumber daya air vital bagi kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi di sekitarnya. Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber air baku, tetapi juga menjadi tempat aktivitas industri rumahan seperti tahu dan tempe, pertanian, peternakan, pasar, serta permukiman padat di bantaran sungai. Namun, aktivitas tersebut berkontribusi terhadap penurunan kualitas air sungai yang berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar.

Penelitian oleh Pramaningsih et al. (2023) bertujuan untuk menghitung Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus dari hulu hingga hilir dan mengkaji dampaknya terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Kajian ini penting karena kualitas air sungai yang buruk dapat menyebabkan berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan sanitasi dan bakteri patogen.

Pendekatan Kuantitatif dan Sampling Strategis

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif untuk mengukur status mutu air berdasarkan parameter fisika, kimia, dan bakteriologis. Sampel air diambil di delapan titik strategis mulai dari hulu (Tanah Datar) hingga hilir (Jembatan Arif Rahman Hakim), dengan metode purposive sampling untuk memilih lokasi yang mewakili kondisi sungai dan potensi sumber pencemar.

Parameter yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), total padatan tersuspensi (TSS), nitrat (NO3-N), total fosfat (T-Phosphat), dan fecal coliform (Fecal Coli). Selain itu, dilakukan wawancara terhadap 64 responden yang tinggal di bantaran sungai untuk mengidentifikasi dampak kesehatan yang dialami terkait penggunaan air sungai.

Status Mutu Air Sungai Karang Mumus dan Indeks Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan variasi yang cukup signifikan sepanjang aliran sungai. Bagian hulu sungai (Tanah Datar) memiliki status mutu air yang tergolong baik dengan Indeks Pencemaran (IP) sebesar 0,82, memenuhi standar kualitas air kelas II (pH 4, TSS 47 mg/L, DO 4,25 mg/L, BOD 1,26 mg/L, COD 25,55 mg/L, nitrat 0,097 mg/L, fosfat 0,098 mg/L, fecal coliform 124 MPN/100 ml).

Namun, seiring aliran sungai ke bagian tengah dan hilir, status mutu air menurun menjadi cemar ringan hingga cemar berat. Contohnya, di Jembatan Perniagaan, IP mencapai 10,5, menunjukkan pencemaran berat dengan parameter yang melampaui baku mutu, seperti TSS 346,5 mg/L (batas 50 mg/L), DO 2,1 mg/L (batas minimum 4 mg/L), BOD 1,56 mg/L (batas 3 mg/L), COD 44,96 mg/L (batas 25 mg/L), dan fecal coliform sangat tinggi 505.820 MPN/100 ml (batas 1000 MPN/100 ml). Kondisi ini menunjukkan adanya beban pencemaran yang signifikan, terutama dari limbah domestik dan industri rumahan.

Secara keseluruhan, perhitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus menunjukkan hasil 37,5 yang masuk kategori "kurang" menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 27 Tahun 2021. Dari delapan titik pengambilan sampel, hanya satu titik yang memenuhi syarat, dua titik cemar ringan, empat titik cemar sedang, dan satu titik cemar berat.

Studi Kasus: Dampak Kesehatan Masyarakat di Bantaran Sungai

Wawancara dengan 64 warga yang tinggal di bantaran Sungai Karang Mumus mengungkapkan dampak kesehatan yang signifikan akibat penggunaan air sungai yang tercemar. Sekitar 23,44% (15 orang) menderita diare, 6,25% (4 orang) mengalami disentri, dan 70,31% (45 orang) mengalami iritasi kulit. Penyakit diare dan disentri umumnya disebabkan oleh kontaminasi bakteri fecal coliform yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di beberapa titik sungai, terutama di hilir.

Iritasi kulit yang tinggi dikaitkan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan perilaku hidup bersih yang belum optimal. Banyak warga masih melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) langsung menggunakan air sungai tanpa pengolahan, sehingga risiko kontak dengan air tercemar sangat tinggi. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya fasilitas sanitasi yang memadai dan pembuangan limbah domestik langsung ke sungai.

Analisis dan Diskusi: Faktor Penyebab dan Implikasi Kualitas Air

Penurunan kualitas air Sungai Karang Mumus terutama disebabkan oleh aktivitas manusia di bantaran sungai, seperti pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri tahu dan tempe, pasar, rumah pemotongan hewan, serta kepadatan pemukiman. Parameter BOD dan COD yang tinggi menandakan tingginya bahan organik yang membebani oksigen terlarut di sungai, sehingga mengganggu ekosistem perairan.

Konsentrasi fecal coliform yang sangat tinggi di beberapa titik menunjukkan pencemaran biologis yang serius, yang berisiko menularkan penyakit berbasis air (waterborne diseases) seperti diare dan disentri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan korelasi erat antara kualitas air yang buruk dan kejadian penyakit di masyarakat bantaran sungai.

Selain itu, fenomena backwater dari Sungai Mahakam yang mempengaruhi aliran Sungai Karang Mumus pada waktu pasang surut juga berkontribusi pada akumulasi polutan di hilir. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan sungai agar pencemaran tidak semakin parah.

Nilai Tambah dan Hubungan dengan Tren Pengelolaan Lingkungan

Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif mengenai hubungan antara kualitas air sungai dan kesehatan masyarakat di daerah perkotaan dengan aktivitas padat. Hal ini relevan dengan tren global pengelolaan sumber daya air yang mengedepankan prinsip pengelolaan terpadu dan partisipasi masyarakat.

Strategi pengendalian pencemaran yang diusulkan meliputi pengurangan beban pencemaran melalui pengelolaan limbah domestik dan industri, peningkatan fasilitas sanitasi seperti Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal, serta edukasi masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pendekatan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terkait air bersih dan sanitasi (Goal 6) serta kesehatan masyarakat (Goal 3).

Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Indeks Kualitas Air Sungai Karang Mumus secara keseluruhan masuk kategori kurang dengan satu titik memenuhi syarat, dua cemar ringan, empat cemar sedang, dan satu cemar berat.
  • Penurunan kualitas air terutama disebabkan oleh limbah domestik dan industri rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan.
  • Dampak kesehatan yang signifikan di masyarakat bantaran sungai meliputi diare (23,44%), disentri (6,25%), dan iritasi kulit (70,31%).
  • Pengelolaan pencemaran air harus melibatkan pemerintah, industri, dan masyarakat secara bersama-sama dengan fokus pada pengelolaan limbah, penyediaan fasilitas sanitasi, dan edukasi kesehatan.
  • Monitoring kualitas air secara rutin dan penegakan regulasi sangat penting untuk menjaga kualitas air dan kesehatan masyarakat.

Penelitian ini menjadi dasar penting bagi pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan untuk merancang program pengendalian pencemaran air yang efektif dan berkelanjutan di Sungai Karang Mumus dan daerah serupa.

Sumber:
Pramaningsih, V., Yuliawati, R., Sukisman, S., Hansen, H., Suhelmi, R., & Daramusseng, A. (2023). Indek Kualitas Air dan Dampak terhadap Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 22(3), 313–319.

Selengkapnya
Indeks Kualitas Air dan Dampak Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda

Sumber Daya Air

Kajian Kualitas Air Danau Hanjalutung untuk Mendukung Kegiatan Perikanan di Palangka Raya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Pentingnya Kualitas Air untuk Perikanan dan Ekosistem Danau

Danau Hanjalutung, yang terletak di Kelurahan Petuk Katimpun, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, merupakan danau oxbow yang memiliki peranan penting sebagai sumber daya perairan untuk kegiatan perikanan masyarakat setempat. Dengan luas sekitar 11,7 hektar dan kedalaman maksimum mencapai 8 meter, danau ini menjadi habitat alami sekaligus area budidaya ikan yang produktif. Namun, tekanan lingkungan dari aktivitas manusia, terutama budidaya ikan dan limbah domestik, menuntut evaluasi kualitas air secara menyeluruh untuk menjaga kelestarian danau serta keberlanjutan usaha perikanan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rosana Elvince dan Kembarawati (2021) bertujuan menganalisis kualitas air Danau Hanjalutung berdasarkan parameter fisika dan kimia, serta membandingkannya dengan standar baku mutu air yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui PP No. 82 Tahun 2001 untuk kelas II dan III. Studi ini penting sebagai dasar pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan sebagai acuan bagi pengembangan budidaya ikan yang ramah lingkungan.

Metode Penelitian: Pengambilan Sampel dan Parameter yang Dianalisis

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2019 dengan pengambilan sampel air dilakukan sebanyak tiga kali selama tiga minggu berturut-turut di tiga stasiun berbeda di Danau Hanjalutung. Pengukuran parameter fisika seperti suhu, kecerahan, kedalaman, total dissolved solid (TDS), dan total suspended solid (TSS) dilakukan langsung di lapangan. Sementara parameter kimia seperti pH, dissolved oxygen (DO), nitrat, pospat, biochemical oxygen demand (BOD), dan chemical oxygen demand (COD) dianalisis di laboratorium BBTKLPP Banjarbaru.

Data hasil pengukuran kemudian dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan standar baku mutu air kelas II dan III sesuai PP No. 82 Tahun 2001, yang mengatur mutu air untuk berbagai peruntukan seperti perikanan, irigasi, dan rekreasi.

Hasil Penelitian: Gambaran Kualitas Air Danau Hanjalutung

Parameter Fisika

  • Suhu Air: Berkisar antara 28,33°C hingga 29,60°C di ketiga stasiun, masih sesuai dengan baku mutu air kelas II dan III yang memperbolehkan deviasi ±3°C dari suhu normal perairan. Suhu ini ideal untuk kehidupan biota air dan proses metabolisme ikan.
  • Kecerahan: Nilai kecerahan air berkisar antara 22,83 cm hingga 24,50 cm. Meski sedikit di bawah nilai ideal 25 cm yang dianggap aman untuk fotosintesis plankton, nilai ini masih cukup baik untuk mendukung produktivitas perairan.
  • Kedalaman: Variasi kedalaman cukup signifikan, dengan stasiun tengah danau (Stasiun 2) mencapai 1,71 meter, lebih dalam dibandingkan stasiun lain yang berkisar antara 0,42 hingga 0,84 meter. Kedalaman ini mendukung keberadaan habitat ikan dan aktivitas budidaya.
  • Total Suspended Solid (TSS): Rata-rata nilai TSS sekitar 20,33 mg/L, masih jauh di bawah batas maksimum 50 mg/L untuk kelas II dan 400 mg/L untuk kelas III. TSS yang rendah menunjukkan kualitas air yang relatif jernih dan tidak banyak mengandung partikel tersuspensi yang dapat menghambat penetrasi cahaya.
  • Total Dissolved Solid (TDS): Sangat rendah, yakni 0,07 mg/L, jauh dari batas maksimum 1000 mg/L, menandakan air danau relatif bersih dari bahan terlarut yang berpotensi mencemari.

Parameter Kimia

  • pH: Nilai pH berkisar antara 5,67 hingga 6,07, sedikit di bawah rentang ideal 6-9 menurut PP No. 82 Tahun 2001. pH yang rendah ini bisa berdampak pada kelarutan logam berat dan aktivitas biota air, sehingga perlu pemantauan lebih lanjut.
  • Dissolved Oxygen (DO): Berkisar antara 2,91 mg/L sampai 3,51 mg/L. Meski masih memenuhi standar kelas II dan III (minimum 3 mg/L untuk kelas III), nilai DO ini relatif rendah dan perlu perhatian karena DO sangat penting untuk respirasi organisme air.
  • Biochemical Oxygen Demand (BOD): Nilai BOD cukup tinggi, terutama di Stasiun 1 mencapai 10,30 mg/L, melebihi batas maksimum 3 mg/L (kelas II) dan 6 mg/L (kelas III). Tingginya BOD menunjukkan kandungan bahan organik yang tinggi, kemungkinan besar berasal dari aktivitas budidaya ikan dan sisa pakan.
  • Chemical Oxygen Demand (COD): Juga tinggi, dengan nilai tertinggi 85,33 mg/L di Stasiun 1, melebihi batas 25 mg/L (kelas II) dan 50 mg/L (kelas III). Tingginya COD mengindikasikan pencemaran bahan organik yang signifikan, yang dapat menurunkan kualitas air dan mengancam ekosistem.
  • Nitrat: Sangat rendah, <0,01 hingga 0,07 mg/L, jauh di bawah batas baku mutu 10 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa perairan belum mengalami eutrofikasi yang disebabkan oleh nitrat.
  • Posfat: Berkisar antara 0,05 hingga 0,06 mg/L, masih di bawah batas baku mutu 0,2 mg/L (kelas II). Namun, kadar fosfat ini sudah cukup untuk mendukung pertumbuhan plankton dan biota air lainnya.

Studi Kasus: Dampak Budidaya Ikan terhadap Kualitas Air Danau

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kualitas air Danau Hanjalutung adalah aktivitas budidaya ikan lokal yang dilakukan di sekitar Stasiun 2, yang memiliki kedalaman paling dalam. Kegiatan budidaya ini diduga menyebabkan peningkatan bahan organik di perairan, yang tercermin dari tingginya nilai BOD dan COD, terutama di Stasiun 1 yang berdekatan dengan area budidaya.

Tingginya BOD berarti mikroorganisme membutuhkan lebih banyak oksigen untuk menguraikan bahan organik, sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut yang tersedia bagi ikan dan organisme lain. Kondisi ini dapat menyebabkan stres oksigen pada biota air dan memicu kematian massal jika tidak dikendalikan. Selain itu, proses dekomposisi bahan organik juga dapat menghasilkan gas berbau tidak sedap seperti metana dan hidrogen sulfida, yang mengganggu kualitas lingkungan danau.

Analisis Tambahan dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan beberapa studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa budidaya ikan intensif tanpa pengelolaan limbah yang baik berpotensi meningkatkan pencemaran organik di perairan. Misalnya, penelitian Tatangindatu et al. (2011) di Danau Tondano juga melaporkan tingginya BOD akibat sisa pakan dan limbah peternakan.

Namun, nilai parameter lain seperti nitrat dan fosfat yang masih rendah dan berada di bawah ambang batas menunjukkan bahwa Danau Hanjalutung belum mengalami eutrofikasi parah. Hal ini memberikan peluang bagi pengelolaan yang lebih baik untuk menjaga kualitas air dan mendukung keberlanjutan perikanan.

Dari perspektif pengelolaan sumber daya air, hasil ini menegaskan pentingnya penerapan prinsip pengelolaan terpadu, termasuk pengendalian pemberian pakan berlebih, pengelolaan limbah budidaya, serta pemantauan kualitas air secara berkala. Pendekatan ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan perairan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum kualitas air Danau Hanjalutung masih memenuhi standar baku mutu air kelas II dan III untuk sebagian besar parameter fisika dan kimia. Namun, beberapa parameter penting seperti BOD dan COD telah melebihi batas baku mutu, yang mengindikasikan adanya pencemaran bahan organik yang cukup tinggi, terutama akibat aktivitas budidaya ikan.

Rekomendasi utama yang dapat diambil adalah:

  • Pengelolaan Limbah Budidaya: Mengoptimalkan teknik pemberian pakan dan pengelolaan limbah organik agar tidak mencemari perairan.
  • Pemantauan Rutin: Melakukan monitoring kualitas air secara berkala untuk mendeteksi perubahan kualitas air dan mengambil tindakan cepat.
  • Edukasi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku budidaya tentang pentingnya menjaga kualitas air danau.
  • Pengembangan Kebijakan: Pemerintah daerah perlu mengatur dan mengawasi aktivitas budidaya ikan agar sesuai dengan kapasitas lingkungan dan standar baku mutu.

Dengan langkah-langkah tersebut, Danau Hanjalutung dapat terus berfungsi sebagai sumber daya perairan yang produktif dan lestari, mendukung ketahanan pangan lokal melalui perikanan yang berkelanjutan.

Sumber:
Elvince, R., dan Kembarawati. (2021). Kajian Kualitas Air Danau Hanjalutung untuk Kegiatan Perikanan di Kelurahan Petuk Katimpun, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, Vol. 09, No. 1, 029-041.

Selengkapnya
Kajian Kualitas Air Danau Hanjalutung untuk Mendukung Kegiatan Perikanan di Palangka Raya

Sumber Daya Air

Evaluasi Kualitas Air Danau Hias Crown Golf Berdasarkan Kandungan Nitrogen dan Fosfor: Resensi Lengkap

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Danau Hias Crown Golf, yang terletak di kawasan pemukiman Cluster Crown Golf, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, berfungsi sebagai elemen estetika sekaligus penampung limpasan air hujan dan pengatur hidrodinamika untuk mencegah banjir. Namun, aktivitas antropogenik di sekitar danau ini berpotensi memasukkan limbah yang dapat meningkatkan konsentrasi nutrien, khususnya nitrogen (N) dan fosfor (P), yang berimplikasi pada penurunan kualitas air dan fungsi ekologis danau. Penelitian oleh Widigdo et al. (2020) bertujuan mengevaluasi kualitas air Danau Hias Crown Golf berdasarkan kandungan nutrien N dan P selama satu tahun pengamatan dari September 2018 hingga Agustus 2019 di empat titik pengamatan.

Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan di empat stasiun yang tersebar di danau, dengan Stasiun 1 sebagai inlet penghubung dengan danau lain, Stasiun 2 dan 3 di bagian tengah danau, dan Stasiun 4 di dekat saluran air Cluster Crown Golf. Parameter utama yang diukur meliputi nitrogen total, amonia, nitrit, nitrat, fosfat total, dan ortofosfat, serta parameter fisik seperti suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan kedalaman. Analisis laboratorium mengikuti standar APHA (2017). Data curah hujan diperoleh dari BMKG untuk menentukan musim hujan dan kemarau, yang berpengaruh pada fluktuasi nutrien. Evaluasi kualitas air dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran dengan baku mutu kelas II sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 serta menggunakan Water Quality Index (WQI) dan Indeks Pencemaran (IP) berbasis kandungan N dan P.

Hasil Penelitian

Kondisi Fisik dan Kimia Air

Suhu air berkisar antara 27,6 hingga 32,3°C, masih dalam batas deviasi ±3°C dari standar baku mutu. pH air berada di rentang 7,0 hingga 8,4, menunjukkan kondisi netral hingga sedikit basa yang sesuai standar kelas II (6–9). Oksigen terlarut (DO) menunjukkan variasi yang cukup besar, dari 0,9 hingga 9,2 mg/L, dengan nilai terendah di Stasiun 4 yang rata-rata hanya 3,2 mg/L, mengindikasikan potensi stres oksigen bagi biota air di lokasi tersebut. Kedalaman danau berkisar antara 77 hingga 120 cm, dan salinitas rendah antara 0,3 hingga 0,9 o/oo.

Fluktuasi Nutrien Nitrogen dan Fosfor

Konsentrasi nitrogen total selama pengamatan relatif stabil dengan fluktuasi rendah, namun amonia menunjukkan variasi yang lebih besar, terutama di Stasiun 4 yang cenderung memiliki konsentrasi amonia tertinggi hingga 6,23 mg/L. Nitrit dan nitrat cenderung lebih rendah saat musim hujan dibandingkan musim kemarau, dengan nitrit mencapai maksimum 1,91 mg/L dan nitrat hingga 2,20 mg/L. Fosfat total berkisar antara 0,26 hingga 1,33 mg/L, melebihi baku mutu 0,2 mg/L, terutama di Stasiun 4 yang juga menunjukkan konsentrasi ortofosfat tertinggi hingga 0,65 mg/L. Kenaikan fosfat ini diduga berasal dari limbah domestik seperti deterjen dan hasil dekomposisi bahan organik.

Rasio Nitrogen terhadap Fosfor (N/P)

Rasio N/P rata-rata yang ditemukan sangat tinggi, yaitu 51:1, jauh melampaui rasio ideal 16:1 yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton metabolisme normal. Rasio tinggi ini menunjukkan bahwa fosfor menjadi faktor pembatas utama pertumbuhan fitoplankton di danau ini. Konsentrasi fosfat yang melebihi kebutuhan fitoplankton berpotensi memicu blooming fitoplankton yang berlebihan dan menyebabkan eutrofikasi.

Tingkat Pencemaran Berdasarkan WQI dan IP

Berdasarkan Water Quality Index (WQI), tingkat pencemaran Danau Hias Crown Golf bervariasi dari sedang hingga buruk selama periode pengamatan, sedangkan Indeks Pencemaran (IP) menunjukkan kondisi dari cemar ringan hingga cemar sedang. Nilai WQI terendah tercatat pada bulan Oktober 2018 dengan nilai 37,27–48,18 (kategori buruk), sementara nilai tertinggi pada Agustus 2019 mencapai 50,00–70,00 (kategori sedang-buruk). IP berkisar antara 4,53 hingga 7,69, menandakan pencemaran yang signifikan terutama akibat tingginya konsentrasi nutrien N dan P.

Studi Kasus: Dampak Limbah Domestik di Stasiun 4

Stasiun 4, yang terletak dekat saluran air Cluster Crown Golf, menunjukkan konsentrasi nitrogen total dan amonia tertinggi dibandingkan stasiun lain. Hal ini diduga kuat berasal dari limbah domestik yang langsung dibuang ke danau melalui saluran pembuangan ilegal meskipun sudah tersedia Sewage Treatment Plant (STP) di perumahan tersebut. Limbah rumah tangga seperti air cucian, limbah dapur, dan feses manusia mengandung nitrogen dan fosfor dalam jumlah signifikan, yang berkontribusi pada peningkatan nutrien di perairan. Kondisi oksigen terlarut yang rendah di stasiun ini juga menghambat proses nitrifikasi, sehingga amonia menumpuk dan memperburuk kualitas air.

Analisis dan Diskusi

Kondisi nutrien yang tinggi, khususnya fosfor dan amonia, menunjukkan bahwa Danau Hias Crown Golf telah mengalami proses eutrofikasi yang dapat mengganggu fungsi ekologis dan estetika danau. Warna air yang cenderung hijau kecoklatan mengindikasikan dominasi fitoplankton kelas Bacillariophyceae (diatom), yang dapat menurunkan kualitas air dan mengancam keberagaman biota air.

Fenomena fluktuasi nutrien yang lebih rendah pada musim hujan dibanding kemarau disebabkan oleh pengenceran akibat curah hujan tinggi, sementara musim kemarau yang lebih panjang menyebabkan akumulasi nutrien lebih tinggi. Hal ini konsisten dengan penelitian lain yang menunjukkan pengaruh musim terhadap konsentrasi nutrien di perairan dangkal.

Meskipun kualitas air secara umum masih memenuhi baku mutu kelas II untuk kegiatan rekreasi, tingginya rasio N/P dan nilai indeks pencemaran mengindikasikan potensi risiko ekologis yang perlu ditangani segera. Penemuan saluran pembuangan limbah ilegal yang masih aktif menjadi sumber utama pencemaran dan perlu penertiban oleh pengelola dan pemerintah setempat.

Nilai Tambah dan Kaitan dengan Tren Industri

Penelitian ini relevan dengan tren pengelolaan kualitas air di kawasan urban yang semakin menuntut pengendalian pencemaran nutrien sebagai upaya mencegah eutrofikasi dan menjaga fungsi ekosistem perairan buatan. Pengelolaan limbah domestik yang efektif, peningkatan kapasitas dan kualitas STP, serta edukasi masyarakat tentang dampak pembuangan limbah sembarangan menjadi kunci keberhasilan.

Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penting bagi pengembang perumahan dan pengelola danau hias di kawasan urban lain dalam mengimplementasikan sistem pengelolaan air limbah terpadu dan pengawasan kualitas air secara berkala.

Kesimpulan

  • Kualitas air Danau Hias Crown Golf secara umum masih memenuhi baku mutu kelas II untuk kegiatan rekreasi perairan.
  • Konsentrasi nitrogen total dan fosfor total cenderung stabil, namun amonia, nitrit, nitrat, dan ortofosfat menunjukkan fluktuasi musiman, dengan nilai lebih rendah pada musim hujan.
  • Rasio N/P yang sangat tinggi (51:1) menandakan fosfor sebagai faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton dan potensi eutrofikasi.
  • Tingkat pencemaran berdasarkan WQI dan IP menunjukkan kondisi sedang hingga buruk, dengan sumber pencemaran utama dari limbah domestik ilegal.
  • Pengelolaan limbah yang lebih baik dan penertiban saluran pembuangan limbah ilegal sangat diperlukan untuk menjaga kualitas dan fungsi ekologis danau.

Sumber:
Widigdo, B., Hariyadi, S., Iswantari, A., & Pangaribuan, A. (2020). Evaluasi kualitas air Danau Hias Crown Golf, Jakarta Utara berdasarkan kandungan N dan P. Habitus Aquatica, 1(2), 28–37. ISSN 2721-1525.

Selengkapnya
Evaluasi Kualitas Air Danau Hias Crown Golf Berdasarkan Kandungan Nitrogen dan Fosfor: Resensi Lengkap

Sumber Daya Air

Penentuan Status Mutu Air Sungai Ogan dengan Metode Indeks Pencemaran dan Strategi Pengendalian Pencemaran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Sungai Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, menjadi sumber utama air baku bagi PDAM dan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Namun, sungai ini menghadapi tekanan pencemaran akibat aktivitas domestik dan industri rumah tangga. Penelitian oleh Sari dan Wijaya (2019) bertujuan menentukan status mutu air Sungai Ogan secara komprehensif menggunakan metode indeks pencemaran serta merumuskan strategi pengendalian pencemaran yang efektif dan aplikatif.

Penelitian menggunakan metode purposive sampling dengan pengambilan sampel di lima titik lokasi strategis sepanjang Sungai Ogan, mulai dari hulu hingga hilir. Parameter yang diukur meliputi sepuluh variabel fisika, kimia, dan biologi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 16/2005. Parameter tersebut adalah suhu, kekeruhan, total padatan tersuspensi (TSS), pH, oksigen terlarut (DO), biochemical oxygen demand (BOD), nitrat, fosfat, MBAS (surfactant), dan fecal coliform. Pengukuran dilakukan pada pagi dan sore hari dengan tiga kali ulangan.

Status mutu air ditentukan menggunakan metode indeks pencemaran menurut Kepmen LH No. 115 Tahun 2003, yang mengkategorikan mutu air ke dalam empat kelas: baik, tercemar ringan, tercemar sedang, dan tercemar berat berdasarkan rasio konsentrasi parameter terhadap baku mutu.

Hasil dan Pembahasan

Hasil menunjukkan bahwa total padatan tersuspensi (TSS) di Sungai Ogan berkisar antara 12,4 hingga 268 mg/L, dengan nilai tertinggi di Stasiun 3 (Kelurahan Kemalaraja) yang merupakan kawasan padat penduduk. Nilai TSS ini jauh melebihi baku mutu sebesar 50 mg/L, terutama pada pagi hari saat aktivitas rumah tangga seperti mandi dan mencuci meningkat serta debit sungai bertambah. Kekeruhan air juga tinggi, berkisar antara 13,8 hingga 326 NTU, dengan nilai tertinggi di lokasi yang sama dan waktu yang sama, menunjukkan korelasi erat antara aktivitas manusia dan peningkatan sedimentasi tersuspensi.

Suhu air berkisar antara 26 hingga 27°C, masih memenuhi standar baku mutu yang memperbolehkan penyimpangan suhu maksimum hingga 3°C. pH air berkisar antara 7,0 hingga 7,7, menunjukkan kondisi netral hingga sedikit basa, sesuai dengan standar baku mutu (6-9).

Kadar oksigen terlarut (DO) bervariasi, dengan nilai tertinggi 9,6 mg/L di Stasiun 5 dan nilai terendah 4,91 mg/L di Stasiun 2, yang berada di bawah standar minimum 6 mg/L. Rendahnya DO di Stasiun 2 terkait dengan tingginya bahan organik dari limbah industri rumah tangga seperti produksi tempe dan tahu, yang meningkatkan biochemical oxygen demand (BOD). Nilai BOD di Sungai Ogan berkisar antara 1,21 hingga 4,57 mg/L, dengan nilai tertinggi di Stasiun 2 yang melebihi baku mutu 2 mg/L, menandakan pencemaran organik yang signifikan.

Konsentrasi nitrat relatif rendah, berkisar antara 0,05 hingga 0,3 mg/L, masih jauh di bawah baku mutu 10 mg/L. Namun, fosfat menunjukkan konsentrasi antara 0,01 hingga 0,64 mg/L, dengan nilai tertinggi di Stasiun 3 yang melebihi baku mutu 0,2 mg/L, yang mengindikasikan adanya limbah metabolisme hewan dan aktivitas domestik yang berkontribusi pada pencemaran nutrien.

Kadar MBAS, indikator kandungan deterjen, berkisar antara 0,005 hingga 1,88 mg/L. Semua titik pantau memenuhi baku mutu kecuali Stasiun 5 pada pagi hari yang melebihi batas maksimal 0,2 mg/L, menunjukkan adanya limbah deterjen yang mencemari sungai. Sementara itu, hasil pengujian fecal coliform negatif di semua stasiun, menandakan tidak adanya kontaminasi bakteri patogen yang signifikan.

Berdasarkan perhitungan indeks pencemaran, seluruh stasiun menunjukkan status mutu air tercemar ringan dengan nilai indeks antara 1,3 hingga 2,3. Nilai tertinggi terdapat di Stasiun 3 dan 4 yang merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, mengindikasikan tekanan pencemaran yang lebih besar di area tersebut.

Studi Kasus: Dampak Limbah Industri Rumah Tangga di Stasiun 2

Stasiun 2, yang berada di Desa Kebun Jeruk, menjadi contoh nyata dampak limbah industri rumah tangga, khususnya produksi tempe dan tahu, terhadap kualitas air. Nilai BOD yang mencapai 4,57 mg/L menunjukkan tingginya bahan organik yang dibuang ke sungai. Limbah ini menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut hingga 4,91 mg/L, di bawah standar minimum, yang berpotensi mengancam kehidupan biota air. Kondisi ini menegaskan perlunya pengelolaan limbah industri yang lebih baik dan pengawasan ketat terhadap pembuangan limbah cair.

Strategi Pengendalian Pencemaran Sungai Ogan

Penelitian ini mengusulkan beberapa strategi pengendalian pencemaran yang relevan dan aplikatif, terutama di kawasan dengan nilai indeks pencemaran tinggi seperti Stasiun 3 dan 4. Pertama, pengurangan beban pencemaran melalui keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sungai, termasuk pengelolaan sampah rumah tangga dan limbah domestik agar tidak dibuang langsung ke sungai. Kedua, peningkatan efektivitas pengelolaan dan manajemen Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), terutama yang bersifat komunal, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam teknis pengelolaannya.

Selanjutnya, penegakan hukum dan pengawasan terhadap industri rumah tangga perlu diperkuat, termasuk pemberian sanksi tegas bagi pelaku yang melanggar aturan pembuangan limbah. Pemantauan rutin kualitas air dan pemetaan sumber pencemar potensial juga sangat penting agar permasalahan dapat segera diatasi secara tepat sasaran. Terakhir, peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi menjadi kunci keberhasilan pengendalian pencemaran demi kesehatan dan keberlanjutan lingkungan.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Pendekatan indeks pencemaran yang digunakan dalam penelitian ini memberikan gambaran yang jelas dan mudah dipahami mengenai kondisi kualitas air Sungai Ogan. Metode ini lebih fokus pada parameter pencemaran yang relevan dengan kondisi lokal, seperti BOD dan fosfat, dibandingkan dengan metode Water Quality Index (WQI) yang sebelumnya digunakan dan menghasilkan klasifikasi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa indeks pencemaran dapat menjadi alat yang efektif untuk monitoring dan pengambilan keputusan pengelolaan sungai.

Dari perspektif global, pengelolaan sungai yang melibatkan partisipasi masyarakat dan pengawasan ketat terhadap limbah industri merupakan tren utama dalam pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Integrated River Basin Management (IRBM) yang menekankan keterlibatan multi-pihak dan pengelolaan terpadu untuk menjaga kualitas dan kuantitas air.

Kesimpulan

Status mutu air Sungai Ogan berdasarkan indeks pencemaran berada dalam kategori tercemar ringan dengan nilai indeks antara 1,3 hingga 2,3 di lima titik pengambilan sampel. Parameter utama yang menjadi indikator pencemaran adalah TSS, kekeruhan, BOD, dan fosfat. Strategi pengendalian yang diusulkan menitikberatkan pada pengurangan beban pencemaran melalui pengelolaan limbah yang lebih baik, penguatan peran masyarakat, serta pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pencemaran. Pendekatan ini dapat menjadi model pengelolaan sungai yang efektif dan berkelanjutan, khususnya di daerah dengan kondisi serupa.

Sumber:
Sari, E.K., dan Wijaya, O.E. (2019). Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Indeks Pencemaran dan Strategi Pengendalian Pencemaran Sungai Ogan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(3), 486-491. ISSN 1829-8907.

Selengkapnya
Penentuan Status Mutu Air Sungai Ogan dengan Metode Indeks Pencemaran dan Strategi Pengendalian Pencemaran
« First Previous page 5 of 12 Next Last »