PLTA Mekong dan Dilema Tata Kelola Lintas Negara
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah Sungai Mekong, khususnya di Laos, menjadi sorotan utama dalam diskursus tata kelola lingkungan lintas batas Asia Tenggara. Paper “Participation and politics in transboundary hydropower development: The case of the Pak Beng dam in Laos” karya Suhardiman dan Geheb (2022) mengupas secara mendalam bagaimana partisipasi masyarakat, politik kekuasaan, dan disjungsi institusional membentuk proses pengambilan keputusan dalam proyek PLTA Pak Beng. Artikel ini akan membedah temuan utama, data, serta studi kasus dari paper tersebut, lalu mengaitkannya dengan tren global, opini kritis, dan relevansi industri saat ini.
Latar Belakang: Sungai Mekong, Laos, dan Ambisi PLTA
Sungai Mekong menopang salah satu ekosistem paling produktif dan beragam di dunia, menyediakan air, sedimen, dan nutrisi bagi jutaan penduduk serta menjadi tulang punggung perikanan darat terbesar di dunia. Namun, dorongan industrialisasi dan integrasi ekonomi regional membuat Laos menjadikan pembangunan PLTA sebagai strategi utama keluar dari status “Least Developed Country” (LDC). Pada 2019, ekspor listrik Laos mencapai lebih dari US$1,3 miliar, setara hampir seperempat nilai ekspor nasional, dengan kontribusi sektor listrik terhadap pertumbuhan PDB naik dari 6,5% (2014) menjadi 10,9% (2018). Investasi asing di sektor ini sangat besar, mencapai 52% dari total investasi asing pada 2019.
Studi Kasus: Proyek PLTA Pak Beng
Gambaran Proyek
Pak Beng adalah salah satu dari tujuh PLTA utama yang direncanakan di aliran utama Mekong di Laos, dengan kapasitas 912 MW. Proyek ini akan berdampak pada 26 desa di tiga provinsi (Oudomxay, Bokeo, Xayabury), melibatkan 923 rumah tangga atau sekitar 4.726 jiwa. Nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Laos dan China Datang International Power Generation Company ditandatangani pada 2007, dengan 90% listrik direncanakan diekspor ke Thailand dan sisanya untuk jaringan nasional Laos. Namun, hingga kini, belum ada Power Purchase Agreement (PPA) dari Thailand, sehingga konstruksi tertunda.
Proses Konsultasi dan Partisipasi
Proses konsultasi proyek PLTA Pak Beng dilakukan melalui dua jalur utama:
- PNPCA (Procedures for Notification, Prior Consultation and Agreement) di bawah Mekong River Commission (MRC).
- RAP (Resettlement Action Plan) yang dikelola perusahaan dan pemerintah Laos.
Namun, kedua proses ini berjalan paralel tanpa keterkaitan substansial. Konsultasi PNPCA lebih menekankan aspek teknis dan formalitas, sementara RAP seringkali hanya menjadi instrumen untuk menginformasikan, bukan benar-benar melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.
Temuan Lapangan
- Konsultasi di tingkat desa hanya dilakukan di satu desa, tanpa kriteria seleksi yang jelas.
- Banyak warga desa, seperti di Thongngam dan Khamkong, tidak mengetahui adanya RAP atau detail kompensasi.
- Dalam konsultasi, pemerintah menekankan pentingnya proyek untuk pembangunan nasional, sehingga warga enggan mengkritik atau bertanya.
- Kompensasi dan dukungan transisi mata pencaharian (misal, dari pertanian ke buruh konstruksi) tidak dijelaskan secara rinci, dan peluang negosiasi sangat terbatas.
Angka-Angka Kunci dan Dampak Ekonomi
- Kapasitas terpasang PLTA di Laos melonjak dari 640 MW (2000) menjadi 5.227 MW (2018).
- Ekspor listrik menghasilkan lebih dari US$1,3 miliar pada 2019.
- 46% investasi asing di Laos pada 2018 dan 52% pada 2019 masuk ke sektor listrik.
- PLTA Pak Beng akan berdampak pada 26 desa dan hampir 5.000 jiwa.
Analisis Politik dan Disjungsi Institusional
Dualisme Narasi: Nasional vs Lintas Batas
- Narasi Nasional (Laos): PLTA diposisikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, dengan fokus pada pembangunan nasional dan pengentasan kemiskinan.
- Narasi Transboundary (MRC): Menekankan pentingnya keberlanjutan lingkungan, mitigasi dampak lintas batas, dan partisipasi pemangku kepentingan.
Kedua narasi ini berjalan paralel, menghasilkan disjungsi institusional di mana kebijakan, aturan, dan prosedur di tingkat nasional dan regional tidak saling terhubung. Hal ini memungkinkan pemerintah Laos mempertahankan kontrol penuh atas proses pengambilan keputusan, sementara partisipasi masyarakat hanya menjadi formalitas.
Keterbatasan Partisipasi Masyarakat
- Konsultasi publik seringkali hanya bersifat informatif, bukan deliberatif.
- Tidak ada mekanisme pengaduan atau umpan balik yang efektif bagi masyarakat terdampak.
- Proses RAP dan PNPCA tidak saling terhubung, sehingga masukan masyarakat di satu proses tidak memengaruhi proses lain.
- Warga desa cenderung pasif karena tekanan sosial dan minimnya informasi.
Studi Komparatif: Mekong vs Praktik Global
Jika dibandingkan dengan praktik tata kelola PLTA lintas batas di wilayah lain (misal, Eropa atau Amerika Selatan), Mekong menunjukkan lemahnya integrasi antara kepentingan nasional dan regional. Di banyak negara, konsultasi publik dan mekanisme kompensasi telah berkembang menjadi instrumen negosiasi nyata, sementara di Mekong, dominasi narasi pembangunan nasional sering menyingkirkan kepentingan lokal dan lintas batas.
Implikasi Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi
Lingkungan
- PLTA di aliran utama Mekong berpotensi mengganggu aliran sedimen, migrasi ikan, dan ekosistem perairan.
- Studi MRC menunjukkan dampak signifikan pada pasokan sedimen ke hilir dan produktivitas perikanan.
Sosial
- Resettlement dan kompensasi seringkali tidak memadai, dengan banyak warga kehilangan lahan pertanian tanpa jaminan pekerjaan baru.
- Proses konsultasi yang tidak inklusif memperbesar risiko konflik sosial dan marginalisasi kelompok rentan.
Ekonomi
- PLTA memang mendorong pertumbuhan PDB dan ekspor, namun distribusi manfaat ekonomi cenderung timpang, lebih banyak dinikmati elite politik dan korporasi.
- Ketergantungan pada ekspor listrik membuat Laos rentan terhadap fluktuasi permintaan dan harga regional.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Perbaikan
- Integrasi Proses Konsultasi: Satukan mekanisme konsultasi nasional dan regional agar suara masyarakat lokal benar-benar memengaruhi keputusan lintas batas.
- Penguatan Hak Komunitas: Perjelas hak masyarakat terdampak dalam negosiasi kompensasi dan resettlement, serta sediakan mekanisme pengaduan yang efektif.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Wajibkan keterbukaan data terkait dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta proses pengambilan keputusan.
- Pendekatan Partisipatif Berbasis Hak: Jadikan partisipasi sebagai hak politik, bukan sekadar prosedur administratif, dengan memberdayakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan negosiasi.
- Kolaborasi Regional: Dorong kerja sama antarnegara di Mekong untuk memastikan pembangunan PLTA tidak merugikan kepentingan lintas batas dan ekosistem bersama.
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
ESG dan Standar Internasional
Di era ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan dan negara didorong untuk mengadopsi praktik tata kelola yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan. Kasus Pak Beng menunjukkan pentingnya mengintegrasikan standar ESG dalam proyek infrastruktur besar, terutama di kawasan dengan kompleksitas politik dan sosial tinggi.
SDGs dan Agenda Hijau
Proyek PLTA di Mekong sangat terkait dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation), SDG 7 (Affordable and Clean Energy), dan SDG 16 (Peace, Justice and Strong Institutions). Kegagalan mengintegrasikan partisipasi bermakna dan tata kelola lintas batas akan menghambat pencapaian target SDGs di kawasan tersebut.
Opini dan Kritik: Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Inklusif
Paper ini secara tajam menyoroti bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTA lintas batas di Mekong masih sangat terbatas dan didominasi oleh narasi pembangunan nasional. Disjungsi institusional antara proses nasional dan regional menciptakan ruang abu-abu yang merugikan masyarakat terdampak dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Jika dibandingkan dengan studi lain, seperti kajian World Bank atau UNDP tentang tata kelola air lintas negara, Mekong masih tertinggal dalam hal integrasi kebijakan, transparansi, dan perlindungan hak masyarakat lokal.
Namun, paper ini juga membuka peluang reformasi: dengan memperkuat integrasi proses konsultasi, meningkatkan transparansi, dan mengadopsi pendekatan berbasis hak, Mekong dapat menjadi laboratorium tata kelola PLTA lintas batas yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dari Formalitas Menuju Demokratisasi Tata Kelola PLTA
Pembangunan PLTA Pak Beng di Laos menjadi cermin kompleksitas politik, institusi, dan partisipasi dalam tata kelola lingkungan lintas batas di Asia Tenggara. Dominasi narasi pembangunan nasional, disjungsi institusional, dan lemahnya partisipasi masyarakat menjadi tantangan utama yang harus diatasi. Reformasi tata kelola, integrasi proses konsultasi, dan penguatan hak komunitas adalah kunci menuju pembangunan PLTA yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengalaman Mekong dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa di era pembangunan infrastruktur hijau dan globalisasi.
Sumber Asli Artikel
Suhardiman, D., & Geheb, K. (2022). Participation and politics in transboundary hydropower development: The case of the Pak Beng dam in Laos. Environmental Policy and Governance, 32(4), 320–330.