Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Kabut Menjadi Harapan
Di tengah krisis air global, kotakota di wilayah kering menghadapi tantangan eksistensial. Salah satunya adalah Alto Hospicio (AH), kota di gurun Atacama, Chile, yang bergantung pada akuifer purba yang terakhir terisi 10.000 tahun lalu. Artikel karya Carter et al. (2025) mengangkat pendekatan inovatif: panen kabut (fog harvesting) sebagai sumber air alternatif. Dengan menggabungkan pengamatan lapangan dan model numerik AMARU, studi ini menilai potensi kabut sebagai sumber air pelengkap untuk konsumsi manusia, irigasi ruang hijau, dan pertanian hidroponik.
Konteks SosioHidrologis: Ketimpangan dan Ketergantungan
Chile memiliki ratarata ketersediaan air 53.952 m³ per kapita per tahun, namun distribusinya timpang. Di utara, termasuk AH, ketersediaan air <1.000 m³ per kapita, jauh di bawah ambang batas kelangkaan air. AH sendiri berkembang pesat sebagai kota satelit dari Iquique, dihuni oleh kelompok berpenghasilan rendah dan migran. Pada 2023, 46 permukiman informal di AH menampung lebih dari 10.000 keluarga, sebagian besar tanpa akses air bersih. Hanya 1,6% dari permukiman ini terhubung ke jaringan air, sisanya bergantung pada truk air atau sambungan ilegal.
Mengapa Kabut? Potensi yang Terlupakan
Kabut pesisir di Chile utara, dikenal sebagai camanchaca, terbentuk dari interaksi antara arus Humboldt yang dingin dan tekanan tinggi Pasifik. Kabut ini menyelimuti wilayah antara 500–1.200 m dpl, terutama pada musim dingin dan semi. Studi ini menyoroti bahwa kabut menyumbang hingga 76% dari kejadian kelembapan atmosfer di wilayah tersebut, namun belum dimanfaatkan secara sistematis di kawasan urban.
Metodologi: Kombinasi Observasi dan Pemodelan
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama:
Standard Fog Collectors (SFC): Dua unit dipasang di AH (572 m dan 683 m dpl) untuk mengukur volume kabut selama satu tahun (2023–2024).
Model AMARU: Menggunakan data meteorologi dan satelit untuk memetakan potensi panen kabut secara spasial dan temporal.
Model ini memperkirakan volume kabut berdasarkan kandungan air cair adiabatik, kecepatan angin, dan efisiensi kolektor (25%). Validasi dilakukan dengan data dari oasis kabut Alto Patache dan pengamatan lokal.
Hasil: Potensi Nyata di Sekitar Kota
Zona dengan potensi tertinggi berada di timur laut dan tenggara AH, pada ketinggian 700–1.000 m dpl, hanya <1 km dari batas kota.
Model menunjukkan potensi panen kabut hingga 10 L/m²/hari pada puncak musim (Agustus–September), dan ratarata tahunan 2,5 L/m²/hari.
SFC di lokasi High SR mencatat puncak panen 2,5 L/m²/bulan pada Juni, dengan kabut hadir terutama pukul 00:00–09:00 saat kelembapan mencapai 100%.
Studi Kasus: Tiga Aplikasi Strategis
1. Air untuk Konsumsi Manusia
Permukiman informal menerima 300.000 L air per minggu via truk, dengan biaya tahunan USD 23.482.
Dengan potensi panen 2,5 L/m²/hari, dibutuhkan 17.000 m² jaring untuk memenuhi kebutuhan ini.
Solusi ini dapat mengurangi ketergantungan pada truk dan meningkatkan ketahanan air komunitas rentan.
2. Irigasi Ruang Hijau Kota
AH memiliki 30 hektare ruang hijau, namun irigasinya bergantung pada air bersih.
Pemerintah kota mengalokasikan 100.000 L air per tahun untuk irigasi.
Dengan 110 m² jaring panen kabut, kebutuhan ini bisa dipenuhi tanpa membebani jaringan air utama.
3. Produksi Pangan Lokal (Hidroponik)
AH dulunya pusat hortikultura, kini bergantung pada pasokan dari wilayah lain.
Hidroponik menggunakan 0,5 L/m²/hari, dan 1 m² bisa menghasilkan 3–4 kg sayuran/bulan.
Dengan 2,5 L/m²/hari, 1 m² jaring bisa mendukung 5 m² hidroponik, menghasilkan 15–20 kg sayuran/bulan.
Kualitas air kabut sangat baik, rendah padatan terlarut, cocok untuk hidroponik tanpa perlakuan tambahan.
Kritik dan Tantangan
Model AMARU dikalibrasi dengan data dari lokasi 65 km selatan, sehingga perlu validasi lebih lanjut di AH.
Variabilitas musiman tinggi: kabut hanya tersedia 6 bulan/tahun, sehingga penyimpanan air menjadi krusial.
Kualitas udara urban dapat memengaruhi kualitas air kabut—perlu studi lanjutan tentang kontaminan atmosfer.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Global
Studi ini juga membuka peluang replikasi di kotakota arid lain seperti Lima (Peru), Muscat (Oman), atau bahkan pesisir selatan Jawa yang mengalami kabut musiman.
Kesimpulan: Kabut sebagai Jalan Menuju Keadilan Air
Carter et al. (2025) menunjukkan bahwa kabut bukan sekadar fenomena atmosfer, tapi peluang nyata untuk keadilan air. Dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif, panen kabut bisa menjadi bagian dari solusi urban yang berkelanjutan, terutama bagi komunitas yang paling terdampak oleh krisis air. Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tapi juga seruan untuk membayangkan ulang masa depan kotakota kering—dengan kabut sebagai sekutu, bukan hambatan.
Sumber Artikel : Carter, V., Verbrugghe, N., LobosRoco, F., del Río, C., Albornoz, F., & Khan, A. Z. (2025). Unlocking the fog: assessing fog collection potential and need as a complementary water resource in arid urban lands—the Alto Hospicio, Chile case. Frontiers in Environmental Science, 13, 1537058. https://doi.org/10.3389/fenvs.2025.1537058
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Air, Budaya, dan Kompleksitas Tata Kelola
Air bukan sekadar sumber daya alam—ia adalah cerminan nilai, relasi sosial, dan identitas budaya. Artikel karya Heinrichs dan Rojas (2022) mengangkat pertanyaan mendasar: Sejauh mana teori dan nilai budaya telah diintegrasikan dalam riset dan praktik tata kelola air? Melalui tinjauan sistematis terhadap 52 studi lintas negara, artikel ini mengungkap dominasi pendekatan tertentu, keterbatasan implementasi nilai budaya, serta peluang untuk membangun kerangka kerja yang lebih inklusif dan kontekstual.
Dominasi Cultural Theory dan Keterbatasannya
Dari 52 studi yang dianalisis, Cultural Theory karya Mary Douglas (dengan empat kategori: egalitarian, hierarchist, individualist, fatalist) mendominasi literatur, terutama dalam konteks manajemen air. Teori ini populer karena kesederhanaannya dan kemampuannya untuk dikodekan dalam model statistik atau simulasi perilaku.
Namun, pendekatan ini cenderung statis dan homogen, kurang mampu menangkap dinamika nilai lokal atau adat yang lebih kompleks. Misalnya, dalam studi CastillaRho et al., Cultural Theory digunakan untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah di AS, Australia, dan India. Meskipun berhasil secara teknis, pendekatan ini menyederhanakan realitas sosial yang lebih beragam.
Munculnya Indigenous Knowledges dan Nilai Pluriversal
Tren baru yang muncul adalah meningkatnya penggunaan Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis, terutama di Australia. Nilainilai seperti lore, spiritualitas, heritage, dan placebased identity mulai diakui sebagai bagian penting dari tata kelola air.
Namun, artikel ini mencatat bahwa pengakuan terhadap nilai adat masih terbatas pada wacana, belum menjadi dasar pengambilan kebijakan atau desain model. Misalnya, nilai seperti country dan river sering disebut, tetapi tidak diintegrasikan dalam alat pengambilan keputusan.
Perbedaan Nilai antara Manajemen dan Tata Kelola Air
Analisis frekuensi kata menunjukkan perbedaan mencolok:
Hal ini mencerminkan bias teknokratis dalam manajemen air, yang sering mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang lebih dalam.
Asal Disiplin Teori Budaya: Dominasi Antropologi dan Lingkungan
Sebagian besar teori budaya yang digunakan berasal dari antropologi dan ilmu lingkungan. Cultural Theory dan Moral Economy of Water berasal dari antropologi, sementara Cultural Ecosystem Services dan Value Landscape Theory berasal dari lingkungan.
Namun, hanya sedikit studi yang secara eksplisit merefleksikan asalusul disipliner teori yang mereka gunakan. Ini menjadi masalah karena tanpa refleksi epistemologis, pendekatan yang digunakan bisa tidak sesuai dengan konteks sosial yang diteliti.
Implementasi Praktis: Masih Terbatas pada Statistik
Dari 52 studi, hanya 30 yang mengimplementasikan nilai budaya secara nyata, dan sebagian besar melalui:
Contoh menarik adalah studi oleh Koehler et al. yang mengaitkan nilai budaya dengan penggunaan pompa air di Afrika. Namun, pendekatan ini masih jarang dan belum menjadi arus utama.
Kritik dan Rekomendasi: Dari Teori Tunggal ke Teori Plural
Penulis mengusulkan pergeseran dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan “theories of culture” yang lebih fleksibel dan kontekstual. Salah satu alternatif yang disarankan adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang mencakup 10 nilai universal seperti selfdirection, universalism, tradition, dan benevolence.
Model ini dianggap lebih adaptif dan telah divalidasi lintas negara, sehingga cocok untuk digunakan dalam pemodelan kebijakan air yang lebih inklusif.
Opini dan Koneksi Global
Artikel ini sangat relevan dalam konteks global, terutama di negaranegara berkembang seperti Indonesia yang memiliki keragaman nilai lokal dan adat. Pendekatan yang terlalu teknokratis dalam pengelolaan air sering gagal karena tidak mempertimbangkan nilainilai komunitas.
Dengan meningkatnya tantangan seperti perubahan iklim, konflik lintas sektor, dan ketimpangan akses air, pendekatan berbasis nilai budaya yang plural dan kontekstual menjadi semakin penting.
Kesimpulan: Air sebagai Cermin Nilai Sosial
Heinrichs dan Rojas menyimpulkan bahwa air bukan hanya soal kuantitas dan kualitas, tapi juga soal nilai, relasi, dan keadilan. Untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan adil, kita perlu melampaui model teknis dan mengintegrasikan nilainilai budaya secara nyata dalam kebijakan dan praktik.
Artikel ini menjadi panggilan untuk membangun jembatan antara teori dan praktik, antara sains dan budaya, antara model dan makna.
Sumber Artikel :
Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan
Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik. Banyak daerahnya terdiri dari kepulauan dan wilayah terpencil yang belum sepenuhnya terlayani oleh sistem energi nasional. Buku Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil (2019) yang disusun oleh tim UGM dan didanai GEF-SGP UNDP, menjadi kontribusi penting dalam memetakan strategi transisi energi yang tidak hanya berorientasi teknologi, tetapi juga partisipatif dan berkelanjutan.
Latar Belakang dan Tujuan
Transisi energi global menekankan pentingnya pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Indonesia sendiri menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun, ketimpangan akses energi—khususnya di wilayah terpencil—menjadi tantangan utama. Buku ini menyajikan pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas dalam perencanaan dan implementasi teknologi energi terbarukan.
Metodologi dan Wilayah Studi
Studi dilakukan di empat lokasi berbeda:
Metodologi melibatkan survei sosial dan teknis, diseminasi desain, peningkatan kapasitas, serta penyusunan proposal komunitas. Model yang diterapkan bersifat bottom-up, memberi ruang bagi masyarakat untuk menjadi subjek dalam transisi energi.
Teknologi Energi Terbarukan yang Digunakan
Teknologi yang diadopsi menyesuaikan kondisi lokasi:
Studi Kasus dan Data Kunci
Analisis dan Kritik
Pendekatan transdisiplin yang diterapkan memperlihatkan efektivitas dalam menyatukan aspek teknis dan sosial. Namun, tantangan masih ada:
Keterkaitan dengan Agenda Global
Proyek ini sejalan dengan SDG 7 (Affordable and Clean Energy) dan SDG 13 (Climate Action). Selain itu, pendekatan berbasis komunitas memperkuat inklusivitas dan keadilan sosial dalam proses transisi energi.
Nilai Tambah Artikel Ini
Kesimpulan
Transisi energi di wilayah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Pendekatan transdisiplin yang melibatkan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan. Buku ini memberikan model yang dapat menjadi rujukan nasional bahkan internasional untuk pengembangan energi terbarukan yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber:
Budiarto, R., Widhyarto, D.S., Sulaiman, M., dkk. (2019). Transisi Energi Berbasis Komunitas di Kepulauan dan Wilayah Terpencil. Pusat Studi Energi UGM, GEF-SGP UNDP, Yogyakarta.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Air Bersih sebagai Hak Asasi dan Tantangan Global
Air bersih dan sanitasi layak adalah hak dasar manusia, namun hingga 2020, 2 miliar orang masih belum memiliki akses ke layanan air minum yang aman, dan 1,9 miliar orang tidak memiliki akses ke sanitasi dasar. Laporan UNCTAD (2023) ini menyoroti bagaimana sains, teknologi, dan inovasi (STI) menjadi kunci dalam mempercepat pencapaian SDG 6, dengan menekankan pentingnya solusi terintegrasi, kolaborasi global, dan pendekatan lintas sektor.
Kesenjangan Global dan Ketimpangan Akses
SubSahara Afrika menjadi wilayah dengan ketertinggalan paling signifikan: hanya 30% penduduknya memiliki akses ke air minum aman, dibandingkan dengan 96% di Eropa dan Amerika Utara. Ketimpangan juga terjadi antara wilayah urban dan rural—86% penduduk kota memiliki akses air aman, sementara di desa hanya 60%. Kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat menghadapi hambatan tambahan, baik dari sisi infrastruktur maupun norma sosial.
Krisis Iklim dan Dampaknya terhadap Air
Perubahan iklim memperparah kelangkaan air melalui peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan. Di Turki, misalnya, ketersediaan air per kapita diperkirakan turun dari 1.400 m³ (2017) menjadi 1.120 m³ pada 2030. Di sisi lain, negaranegara seperti Kamerun dan Brasil menghadapi cuaca ekstrem yang mengganggu pasokan air dan sanitasi.
Peran STI dalam Rantai Nilai Air
STI berperan dalam seluruh rantai nilai air: dari pengambilan air, pengolahan, distribusi, hingga pengelolaan limbah. Inovasi tidak hanya bersifat teknologi, tetapi juga mencakup inovasi sosial, kebijakan, dan proses. Misalnya:
Studi Kasus: Solusi Nyata dari Berbagai Negara
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski banyak inovasi tersedia, jurang antara riset dan implementasi masih lebar. Banyak solusi gagal mencapai masyarakat karena:
Rekomendasi Strategis
1. Perkuat ekosistem inovasi lokal: Libatkan komunitas dalam desain dan pemeliharaan teknologi.
2. Fokus pada solusi modular dan offgrid: Cocok untuk daerah terpencil dan minim infrastruktur.
3. Integrasikan pendekatan gender dan inklusi sosial: Pastikan perempuan dan kelompok rentan terlibat aktif.
4. Dorong pendekatan nexus dan ekonomi sirkular: Air tidak bisa dipisahkan dari energi, pangan, dan iklim.
5. Bangun sistem data dan pemantauan berbasis teknologi: Gunakan big data, sensor, dan AI untuk pengambilan keputusan.
Penutup: Air sebagai Titik Temu Inovasi dan Keadilan Sosial
Artikel ini menegaskan bahwa air bukan sekadar sumber daya, tapi cermin dari keadilan sosial dan kapasitas inovasi global. Dengan menggabungkan teknologi mutakhir, kebijakan progresif, dan partisipasi masyarakat, dunia memiliki peluang nyata untuk mewujudkan akses air dan sanitasi yang aman bagi semua.
Sumber Artikel :
United Nations Conference on Trade and Development. (2023). Ensuring safe water and sanitation for all: A solution through science, technology and innovation. United Nations. UNCTAD/DTL/TIKD/2022/1. ISBN: 9789211047004.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial
Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.
Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi
Penelitian ini menggunakan dua alat utama:
Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.
Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air
Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:
Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi
Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:
Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:
Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.
Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi
Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:
AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.
Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi
Artikel ini menonjol karena:
Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.
Nilai Tambah dan Relevansi Global
Pendekatan ini sangat relevan untuk:
Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan
Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.
Sumber Artikel :
Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Dari Hidrologi Klasik ke SocioHydrology
Krisis air global saat ini bukan hanya soal kekurangan air, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial dalam mengelola sumber daya tersebut secara adil dan berkelanjutan. Artikel karya Xia, Dong, dan Zou (2022) menelusuri evolusi sociohydrology sebagai disiplin baru yang menjembatani ilmu alam dan sosial untuk memahami dinamika timbal balik antara manusia dan sistem hidrologi. Dengan menyoroti empat isu ilmiah utama dan tantangan metodologis, artikel ini menjadi peta jalan penting bagi masa depan pengelolaan air berbasis keberlanjutan.
Evolusi SocioHydrology: Tiga Tahap Paradigma
Penulis menguraikan perkembangan paradigma hidrologi dalam tiga fase:
1. Pra1970an: Fokus pada dampak manusia terhadap air (I=PAT).
2. 1970–2010an: Interaksi dua arah antara manusia dan air (hydrosociology, IWRM).
3. Pasca2012: Coevolution manusiaair melalui pendekatan sociohydrology (Sivapalan et al., 2012).
Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan eksogen ke endogen, di mana manusia bukan hanya pengguna air, tetapi juga bagian dari sistem dinamis yang saling memengaruhi.
Empat Isu Ilmiah Kunci dalam SocioHydrology
1. Evolusi Jangka Panjang Sistem SosioHidrologi
Studi historis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, proyek irigasi besar, dan polusi industri memiliki efek jangka panjang terhadap kualitas dan kuantitas air. Misalnya, proyek bendungan besar dapat mengubah pola aliran sungai selama ratusan tahun.
2. Deskripsi Kuantitatif dan Mekanisme Penggerak
Penulis menekankan pentingnya metode kuantitatif seperti content analysis, mapping knowledge domain, dan model berbasis agen (ABM) untuk memahami dinamika sosialair. Contoh: Wei et al. (2015) menganalisis evolusi isu air di Australia melalui 150 tahun arsip surat kabar.
3. Prediksi Jalur KoEvolusi Sistem SosialAir
Tantangan utama adalah mengakomodasi ketidakpastian perilaku manusia dalam model prediktif. Faktor seperti nilai, kepercayaan, dan pendidikan memengaruhi respons terhadap kebijakan air. Big data dan media sosial mulai digunakan untuk menangkap dinamika ini secara realtime.
4. Manajemen Terintegrasi Sumber Daya Air (IWRM) Berbasis Sistem
Sociohydrology mendukung IWRM dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi dampak kebijakan dan merancang intervensi adaptif. Contoh sukses: penerapan IWRM di MurrayDarling Basin, Australia.
Studi Kasus dan Model Terapan
Artikel ini menyajikan berbagai studi kasus dari 10 tahun terakhir, termasuk:
Model yang digunakan mencakup system dynamics, Bayesian networks, dan conceptual models, menunjukkan keragaman pendekatan dalam sociohydrology.
Kritik dan Kesenjangan Penelitian
Penulis mengidentifikasi tiga celah utama:
Kurangnya mekanisme interaksi yang jelas antara sistem sosial dan hidrologi.
Dominasi pendekatan kualitatif, padahal prediksi membutuhkan kuantifikasi yang kuat.
Keterbatasan data lintas disiplin, terutama dalam skala spasial dan temporal yang sesuai.
Selain itu, banyak model masih menyederhanakan perilaku manusia dan gagal menangkap dinamika nilai, konflik, dan institusi secara mendalam.
Peluang Masa Depan: Interdisiplin dan Big Data
Sociohydrology memiliki peluang besar untuk berkembang melalui:
Contoh: penggunaan data Twitter untuk memetakan persepsi publik terhadap krisis air di Cape Town (Ren et al., 2019).
Kontribusi terhadap SDGs dan Tata Kelola Global
Sociohydrology berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
Dengan pendekatan sistemik dan partisipatif, sociohydrology dapat membantu merancang kebijakan air yang lebih adil, adaptif, dan berbasis bukti.
Kesimpulan: Ilmu Baru untuk Dunia yang Berubah
Artikel ini menegaskan bahwa sociohydrology bukan sekadar cabang baru dari hidrologi, tetapi paradigma ilmiah baru yang menjawab kompleksitas dunia modern. Dengan menggabungkan sejarah, prediksi, dan manajemen dalam satu kerangka, disiplin ini menawarkan harapan baru untuk mengatasi krisis air global secara berkelanjutan dan inklusif.
Sumber Artikel :
Xia, J., Dong, Y., & Zou, L. (2022). Developing sociohydrology: Research progress, opportunities and challenges. Journal of Geographical Sciences, 32(11), 2131–2146.